Rabu, 01 Oktober 2014

ZHAM SASTERA ( SEMANGAT JADI PENULIS! )


Ini bukan kali pertama saya merasa bersemangat menulis kembali, tapi, kali ini terasa lebih dari biasanya. Betapa pengaruh seseorang itu luar biasa dalam hidup. Bagaimana kita bisa bangkit dari keterpurukan hanya karena kita masih ingat ada orang yang menyuruh kita bangun, jangan menyerah! Hal seperti itu sama sulitnya seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Istilah yang nggak pas tapi saya pake juga.. He.. he..
Saya menangis. Entah kenapa, saat sujud itu sempurna, butiran air mata melebur sudah membasahi sajadah. Allah sudah sangat baik pada saya, karena telah mempertemukan saya dengan orang-orang yang hebat. Mereka luar biasa, saya tak bilang satu orang, tapi banyak orang di sekeliling saya. Saya bukan orang baik, sehingga merasa tak pantas ketika bertatap muka dengan orang-orang cerdas dan berakhlak mulia di luar sana. Bersyukurnya saya, karena semua ini sungguh bukan kebetulan. Ini pengalaman luar biasa.
Saya memang mau jadi penulis, ingin punya buku solo, tapi, jujur saja, setelah masuk, saya tak lagi terburu-buru. Sangat menikmati proses. Saya belum bisa apa-apa. Masih pemula yang dulu hanya senang menulis diary dan kini mulai lebih serius lagi. Dan, pintu itu terbuka tanpa saya duga. Entah, saya merasa senang atau bingung menanggapinya. Yang jelas, hati saya tak terlalu mempermasalahkan peluang itu, tapi sedang bahagia dipertemukan dengan mereka. Semoga mereka menjadi jalan untuk saya, supaya saya bisa berproses menjadi orang yang lebih baik.
"Menulis dari pagi, siang bahkan sampai malam nggak tidur ketika semua orang di rumahmu sudah terlelap. Sebenarnya apa yang sedang kamu perjuangkan?" kalimat serupa yang dulu pernah saya baca, intinya begitu. Lho, anehnya saya merasa tak bisa menjawabnya.
Padahal sejak dulu saya tahu, saya mau menulis, saya mau punya buku, tapi pertanyaan itu seperti tak bisa hanya dijawab sesederhana itu.
Saya merasa jadi orang paling aneh di dunia. Kenapa juga bisa merasa bersalah saat membaca pertanyaan itu, cerita-cerita saya yang penuh dengan bid'ah, kadang jelas nggak bermanfaat tapi masih lanjut juga. Ah, bukan itu yang sedang saya perjuangkan. Bukan!
Buku "Writerpreneurship!" milik pak Dwi Suwiknyo benar-benar menyentak. Sempurna sudah saya menjawab pertanyaan yang sejujurnya membuat sesak. Kenapa saya sampai sekeras ini berjuang? Demi apa? Kadang kalau dipikir, uang pun tak pernah dirasa. Kalau hanya karena uang, mending tinggalkan saja, capek-capek belum ada hasilnya.
Masih mending selonjoran di rumah, santai daripada kebut pagi mengerjakan pekerjaan rumah, membereskan semua dengan tergesa supaya saya bisa punya celah setelahnya, mengerjakan tulisan yang masih biasa-biasa saja. Nggak mungkinkan karena satu alasan itu yang bahkan bila ditinggal justru lebih terlihat. 
Jadi karena apa? Karena menulis itu berjuang. Bukan main-main. Bukan sekadar cerita romance, bukan pula hanya komedi tak berarti. Ada banyak pesan yang hendak disampaikan, semata-mata untuk perbaikan, semoga bermanfaat untuk orang lain. Bukankah menyenangkan ketika buku yang kita tulis ternyata membuat seseorang lebih giat belajar, lebih giat beribadah. Bukankah itu tak ternilai? bahkan menjadi amal akhirat yang akan menolong kita kelak.
Saya banyak belajar dari buku ini. Luar biasa menyentak. Tak banyak buku panduan menulis yang bisa membangunkan saya, menyadarkan saya akan arti sebuah perjuangan. Saya tak ingin mengkhianati mimpi sendiri. Saya harus terus berjuang.
Seperti kata pak Dwi dalam buku beliau, "Sekali kau terlantarkan naskah novelmu, mendiamkannya, tak 'menyentuhnya' selama berhari-hari. maka jangan menyesal jika kau tak akan mampu lagi merampungkan ceritanya. Kau khianati sendiri impianmu!"
Mak jleb! Nelan ludah. Saya kembali menulis di blog, apa pun ini. Setelah membaca buku itu, saya jadi merasa perlu melakukannya.
Saya sudah tahu apa yang saya perjuangkan, kalau kamu?

Di kutip dari : www.pesantrenpenulis.com
[] Oleh: Muyassaroh dari sini

*Buat kamu yang ingin pesan buku 'Writerpreneurship!' bisa pesan SMS / WA ke 0878 3291 2011 atau BBM 7E6636BF hanya Rp 65 ribu + tanda tangan penulis + free ongkos kirim ke seluruh wilayah Indonesia! 


DIN SASTERA ( SAYA MENYESAL MENULIS )

Pembaca yang budiman, tidak ada yang salah pada mata anda. Apa yang tertera di atas adalah rangkaian huruf yang tertata dengan benar dan jelas. Anda pikir saya salah ketik. Tidak juga. Atau anda berpendapat itu adalah judul yang provokatif. Bisa saja benar. Dan memang saya sengaja memberikan judul seperti itu. Tujuannya agar anda tertarik untuk membaca tulisan saya berikut ini.

Saya memang sangat menyesal menulis tidak dari dulu. Karena manfaat menulis sangatlah besar. Dulu sekali saat saya masih duduk di bangku sekolah, antara SD dan SMP. Saya adalah penggemar fanatik dari puisi. Semua puisi yang ada di koran langganan ayah, saya gunting satu-persatu dan untuk bahan koleksi. Saking cintanya pada puisi saya juga sering iseng-iseng untuk menulis puisi di dalam buku tulis sekolah.

Menginjak bangku SMA kebiasaan mengoleksi dan menulis puisi itu berhenti total. Saya tidak tahu apa penyebab utamanya, sehingga kebiasaan itu berhenti. Bertahun-tahun saya tak lagi berkutat dunia literasi. Membaca buku pun sangat jarang. Saya hanya membaca buku ketika berhubungan dengan urusan akedemik di kampus. Bisa dibilang itu adalah sebuah keterpaksaan atau sebuah tuntutan.

Hingga pada awal 2013 saya telah disadarkan oleh sebuah buku yang sangat inspiratif yang berjudul “9 Summers 10 Autumns” buku karya Iwan Setiawan. Di dalam buku itu berkisah tentang seorang pemuda miskin berasal dari kota Batu Malang yang memiliki mimpi besar untuk membebaskan keluarganya dari jerat kemiskinan melalui jalan pendidikan. Dari buku itu saya belajar bahwa menulis adalah salah satu cara untuk melawan lupa. Dengan menulis kita bisa menjadi pelaku sejarah. Melalui menulis kita bisa mengisahkan masa lalu kepada orang lain tanpa harus berkoar-koar tidak jelas di depan mereka. Simple saja, mereka akan mengetahui keberadaan kita dalam bentuk tulisan.

Tahu Andrea Hirata? Dia adalah penulis buku mega bestseller Laskar Pelangi yang penjualan bukunya mampu menembus pasar mancanegara dan diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa. Di dalam buku Andrea Hirata itu mengisahkan 10 siswa miskin di daerah Belitong yang jatuh bangun dalam mengejar mimpi melalui bangku pendidikan. Jika ingin diteliti lebih dalam, pasti masih banyak kisah yang serupa yang dialami oleh orang lain di pelosok Indonesia lainnya.

Bahkan bisa saja lebih parah dari yang dialami oleh Andrea sendiri. Tapi yang membuatnya menjadi fenomenal, karena Andrea Hirata menuliskan kisahnya itu. Sehingga banyak orang yang tergugah setelah membacanya. Apa jadinya kalau Andrea Hirata tak menuliskan kisahnya itu. Maka perjalanan hidupnya itu hanya akan menjadi sejarah yang dinikmati oleh Andrea Hirata sendiri. Tapi menjadi berbeda ketika dia menuliskannya.

Masih kurang contoh orang yang sukses melalui tulisan? Saya kasih sample lagi. Kenal Ahmad Fuadi? Dia adalah salah penulis favorit saya yang bergenre islami. Dia adalah penulis buku Trilogi 5 Menara (Negeri 5 Menara, Ranah 3 Warna, Rantau 1 Muara). Awalnya dia hijrah ke tanah Jawa untuk masuk ke salah satu pesantren di sana.

Setelah berhasil melewati masa-masa jatuh bangunnya di pesantren, dia melanjutkan kuliahnya hingga lulus. Kemudian mendapatkan beasiswa untuk study ke Amerika Serikat. Padahal jika ingin diselidik lebih dalam. Pasti banyak orang yang kisahnya jauh lebih hebat dari beliau. Namun lagi-lagi yang kemudian menjadi faktor pembeda yakni Ahmad Fuadi menuliskannya sementara orang lain tidak.

Karena hati dan pikiran telah terbuka kembali bahwa menulis itu sangat penting. Maka sejak 2013 lalu saya putuskan untuk belajar menulis lagi. Walaupun kualitas karya masih di bawah standard. Paling tidak saya telah kembali ke jalan yang benar untuk mulai menulis lagi. Karena saya yakin menulis itu bukan masalah bakat tapi itu karena faktor kemauan. Ketika niat telah kuat untuk menulis. Apa pun hambatannya tak ada alasan untuk menelurkan karya.

Sebagai penutup saya akan mengisahkan sebuah cerita based on true story. Bukan bermaksud riya’ atau apa ini hanya sebagai pelecut semangat saja dalam berkarya. Begitu seringnya saya menulis dan kadang-kadang mempostingnya di social media. Ada seorang teman yang mengatakan saya adalah laki-laki lebay yang terlalu mendayu-dayu memposting sesuatu di akun Facebook.

Saya pun tak menanggapi serius komentar teman itu. Saya anggap itu adalah sebuah pembakar semangat agar terus berkarya. Karena dia berkomentar seperti itu pastinya dia telah membaca karya-karya yang saya posting sebelumnya.

Dan suatu ketika saya mendapatkan kiriman pulsa dan juga paket dari pos yang isinya sebuah VCD berisikan lantunan puisi. Dan teman bertanya “dapat dari mana?” Dengan bangga aku menjawab “Ini aku dapat karena ikut lomba puisi di Facebook.” Kemudian dia hanya diam dan tak mampu berkata-kata lagi. Walaupun hadiahnya tak seberapa. Paling tidak ada orang yang telah mengapresiasi karya yang telah saya buat.

Maka dari itu menulislah. Karena sejarah tak pernah tercipta jika penulis tak pernah ada!

Di Kutip dari : www.pesantrenpenulis.com
[] Oleh: RahmatSuardi 


DIN SASTERA ( AGAR ANAK GEMAR MENULIS )

Kini, dunia tulis-menulis menjadi lebih gegap gempita setelah dimasuki oleh anak-anak. Publik pun mengapresiasi kehadirannya. Pemerintah, penerbit dan media massa sudah banyak menerbitkan karyanya dan memberikan penghargaan atas prestasinya. “Penulis Cilik” menjadi salah satu sebutan yang lumayan membanggakan dan mulai impikan anak.

Lalu, bagaimana agar anak-anak bisa gemar menulis?

Suatu ketika saya dan istri menerawang jauh ke masa depan anak-anak. Ketika itu kami sedang memikirkan profesi apa yang cocok bagi si kembar cewek (Qonita dan Salma). Profesi  yang baik bagi kehidupan dan agamanya. Waktu itu kami belum kenal penulis cilik. Generasi awal penulis cilik seperti Sri Izzati dan Faiz mungkin sudah ada, tetapi tidak setenar sekarang.

Lalu, saya dan istri mengaca pada diri sendiri. Kami sama-sama lulusan perguruan tinggi, namun tidak bisa berbuat apa-apa untuk mandiri. Kami tidak memiliki keterampilan dan pengalaman. Beberapa kali berwiraswasta tidak menemui keberhasilan. Beberapa macam perkerjaan telah saya jalani, dan umumnya hanya betah tiga tahun. Sedikit banyak akhirnya saya memiliki pengetahuan mengenai lingkungan hidup, perikanan, akuntasi, agama (pesantren), perdagangan dan penulisan-penerbitan. Sepanjang itulah saya mulai mencoba-coba menulis. Satu-dua tulisan artikel dan buku berhasil diterbitkan.

Maka, muncullah ide untuk membekali si kembar dengan keterampilan menulis. Ya, menulis. Menurut saya, menulis dapat menjadi sebuah mainan, sarana belajar, dan sekaligus sarana untuk meniti kariernya. Betapa tidak?

1. Menulis adalah sebuah mainan

Sejak kelas 2 SD (2004) si kembar mulai bermain dengan peralatan menulis (pensil, buku, kertas, dll). Mereka juga menulis cerita di salinan dokumen AMDAL untuk memanfaatkan halaman yang kosong. Menjelang kelas 3 mereka mulai menggunakan komputer. Pikir saya, bila rusak ya itulah mainannya rusak, tak mengapa. Si kembar rupanya semakin senang menulis.

Mereka bermain (baca: berlatih) menyusun kata, kalimat dan paragraf. Agar tidak terganggu, saya sengaja tidak memperkenalkan game. Sedangkan facebook, multiply ataupun internert juga belum kenal. Mereka asyik dengan permainan tulis-menulis. Mereka mendapatkan kebahagiaan tatkala dapat menyelesaikan tulisan-tulisannya.

Bahkan, kegembiraan-kegembiraan yang dirasakan oleh penulis dewasa, juga dirasakan oleh mereka. Seperti perasaan lega setelah berhasil menumpahkan semua beban dan unek-uneknya ke dalam tulisan. Serta, perasaan berharga bila dirinya mampu menghasilkan tulisan yang bermanfaat bagi umat manusia atau teman-teman sebaya. 

2. Menulis adalah sarana belajar

Bukan hanya bagi penulis cilik, menulis juga berguna sebagai sarana belajar bagi penulis dewasa. Penulis belajar untuk menyelami dirinya sendiri dan mengembangkan kepribadiannya, meluaskan wawasannya, melembutkan hatinya, serta bisa belajar dari semua hikmah yang terpancar dari proses baca-tulis dan hasil tulisannya. 

3. Menulis adalah sarana untuk meniti karier
Setidak-tidaknya ada dua keuntungan bagi karier anak yang gemar menulis, yaitu: 

a) Sebagai penunjang profesinya

Tidak semua penulis cilik secara otomatis ingin mendalami dunia kepenulisan. Mantan penulis cilik, Sri Izzati kini kuliah di psikologi UI. Mantan penulis remaja, Hilmy kini kuliah di TI Telkom University, setelah menolak tawaran saya untuk kuliah di Jurnalistik atau Sastra.

Namun yang jelas, kemampuan menulis anak akan menunjang statusnya baik sebagai mahasiswa atau kelak bagi profesinya. Sebab, tak ada satu bidang pun yang tidak memerlukan peran kepenulisan. Bahkan, kepakaran seseorang lebih (tampak) terukur ketika dia mampu menuliskan bidang kemampuannya dalam sebuah buku. 

b) Sebagai penunjang profesinya

Kini, sudah tidak sepantasnya meragukan profesi penulis. Sudah banyak orang memilih jalan menulis sebagai profesi. Kita patut ragu apabila kita menjalaninya tidak serius. Kata pepatah Man jadda wa jadda (siapa yang serius, dia yang jadi). Karena, memang tidak ada jaminan –gaji, apalagi uang pensiunan—ketika kita bertekad memilih menulis sebagai profesi.

Dengan demikian, tidak perlu diragukan lagi kelebihan-kelebihan anak yang gemar menulis. Apakah anak kita akan berprofesi sebagi penulis atau tidak, yang jelas dunia tulis-menulis bisa dijadikan sebagai dunia bermain, sarana belajar dan penunjang karier apabila mereka suka, dan tanpa paksaan. Ini sebuah ikhtiar saya. Semoga bermanfaat. Salam.

Di Kutip dari : www.pesantrenpenulis.com

[] Oleh: Hanjaeli 

ZHAM SASTERA (MENULIS UNTUK BERDAKWAH)


Karenanya menulis adalah sebuah proses panjang menuju goresan tinta yang tajam. Semakin diasah, ia akan semakin tajam. Hingga bisa menghunus siapa saja lewat rangkaian katanya. Maka sejatinya menulis bukan hanya sekedar merangkai kata tanpa makna. Akan tetapi ada makna disetiap kata-kata yang akan merubah peradaban dunia.

***

“Tidak ada resep bagi seorang penulis selain menulis sekarang juga!”

Itulah satu kalimat yang saya temui dalam buku inspiring words for writer. Kalimat yang selalu membuat kobaran api semangat dalam diri saya untuk selalu menuangkan apa yang ada dalam pikiran saya. Gagasan, ide yang menggeliat-geliat dalam pikiran itu seakan tumpah ruah dalam tulisan saya.

Saya sendiri juga tidak tahu, kapan tepatnya saya mulai menyukai dunia literer. Yang jelas, seingat saya, kala itu saya yang masih duduk dibangku SMP sedang gandrung dengan buku-bukunya bunda Asma Nadia, bang Gol a Gong, bunda Afifah Afrah, bunda Izzatul Janna dan sederet punulis ternama lainnya yang tergabung dalam Forum Lingkar Pena.

Gaya bahasa yang ringan segmen remaja, dengan muatan dakwah yang terselip didalamnya membuat saya mengidolakan mereka. Dari situlah saya terinspirasi untuk menjadi seorang penulis. Saya ingin berdakwah lewat tulisan saya. Karena saya tahu, saya orang yang paling susah untuk berdialog didepan umum.

Namun perjalanan menjadi seorang penulis tak semudah yang dibayangkan. Butuh waktu, butuh perjuangan untuk bisa merangkai sebuah kata menjadi sebuah kalimat, paragraf hingga menjadi sebuah karya tulis yang indah, penuh makna dan bisa diterima oleh pembaca.

Awalnya saya hanya bisa menuliskan isi hati saya dalam buku harian saya. Lambat laun akhirnya saya memberanikan diri menulis artikel, cerpen yang sengaja saya tulis dibuku tulis. Karena pada saat itu saya belum mempunyai laptop ataupun komputer terjelek sekalipun.

Tulisan yang tak pernah jadi itu kemudian terbuang sia-sia. Karena ketidak beranian saya untuk mendapat komentar atas tulisan yang saya buat. Pernah beberapa kali saya kirimkan ke majalah sekolah (MIFTAH – media informasi MTs N Gresik) dan majalah Annida. Namun tak pernah dimuat. Sekali lagi tak pernah dimuat!

Saya mulai putus asa! Perlahan hoby membaca dan menulis saya mulai pudar seiring dengan kesibukan saya di pesantren saat saya SMA. Akan tetapi saya teringat kembali sebuah kata yang saya tulis dalam biodata singkat almamater smp saya dulu, be teacher, writer and painter. Kata-kata yang akhirnya saya tuliskan kembali dalam biodata alamamater sma saya, saya ingin menjadi seorang penulis buku best seller!

Aah... apakah mungkin? Dari mana jalannya? Bathin saya selalu bertanya-tanya. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saya menemukan sebuah buku kumal yang terselip diantara tumpukan buku mata pelajaran perpustakaan pondok. Buku inspiring words for writer karya ustadz Fauzul Adzim inilah yang akhirnya membuat saya banyak termotivasi.

Di buku itu diceritakan tentang bang Jhoni Ariadinata, seorang tukang becak yang biasa mangkal di Malioboro yang hampir 500 kali tulisannya ditolak oleh media. Dan berkat kegigihannya kini beliau menjadi penulis yang tak diragukan lagi karyanya. Saya masih ingat, saya sering menemui tulisannya di majalah Annida, dikolom dapur penulis.

Di buku itu saya diajari bagaimana seorang penulis pemula seperti saya ini, agar gigih dan tidak pantang menyerah. Dan dibuku itu pula saya akhirnya tahu, bahwa menulis bukan hanya persoalan merangkai sebuah kata menjadi kalimat yang indah tanpa makna. Akan tetapi, saya diajarkan bahwa menulis adalah goresan tinta yang tajam. Karena Ada makna disetiap rangkaian kata-kata yang mudah dipahami oleh pembacanya.

Lewat buku itu Allah memberikan ruh semangat yang tak pernah habis. Saya mulai kembali menulis. Artikel perjalanan, cerpen, dan apapun yang berkeliaran dalam pikiran saya. Tapi sayang, karena tidak berani mengirimkan kemedia, akhirnya tulisan itu hanya memenuhi folder laptop saya dan sebagian hilang bersama rusaknya hard disk laptop saya.

Alhamdulillah, dipetengahan tahun 2013 silam Allah membukakan jalan untuk saya. Lewat sebuah pelatihan blog yang diisi oleh ustadz Muclisin, owner blog bersamadakwa.com akhirnya tulisan saya muncul dimedia. Dibaca banyak orang. Meskipun awalnya saya ragu, karena yang saya setorkan kala itu hanya sebuah catatan perjalan. Namun berkat tips dari ustadz Muchlisin, tulisan itu kemudian saya edit dan dimuat di bersama dakwah.

Hingga kini, saya masih terus menulis. Meski kadang dalam satu bulan saya hanya bisa menyetorkan satu artikel lepas. Itupun kadang dimuat, kadang tidak. Dan sejak saat bertekad saya akan terus menulis. Apapun profesi dan kesibukan saya, saya ingin melanjutkan cita-cita saya menjadi seorang penulis.

Dari pengalaman saya itu, ada satu hal yang saya selalu saya ingat! Dalam menulis kita harus berani mencoba. Entah itu mengirim kemedia, ikut event kepenulisan atau sekedar meminta teman untuk dibaca. Karena dari situ kita akan tahu letak kekurangan dan kelebihan tulisan kita.

Alhamdulillah, karena kenekatan saya, beberapa pekan lalu saya dihubungi oleh redaksi majalah pondok alumni saya dulu. Tulisan saya dimuat dalam buku “indahnya hidup di pesantren” dengan beberapa alumni lain. semoga kedepannya bukan hanya di bersama dakwah, akan tetapi akan ada artikel atau tulisan-tulisan saya lainnya yang nongkrong disetiap kolom media lainnya. Hingga bertebaranlah dakwah saya ini. Karena cita-cita saya adalah menjadi seorang da’iyyah yang berdakwah lewat goresan tintanya.

Di Kutip dari   : www.pesantrenpenulis.com
[] Oleh: Sri Hidayati Nur


ZHAM SASTERA (MENSTIMULUS HASRAT MENULIS)

Tidak ada orang yang ujug-ujug gemar menulis. Seseorang pasti melaui proses panjang/pendek agar cinta menulis. Bila kita menginginkan anak, teman, istri atau kita sendiri agar suka menulis maka kita harus tahu bagaimana cara menstimulus hasrat menulisnya.  Tanpa melakukan ikhtiar ini, tapi langsung meminta atau bahkan memaksa anak/orang lain untuk gemar menulis maka itu sebuah ‘penyiksaan’ yang bisa berdampak buruk.

Lantas, bagaimanakah cara menstimulus hasrat menulis yang efektif?

Hasrat (menulis) amat berbeda dengan makan, tidur, dan kebutuhan fisik lainnya. Kebutuhan fisik (hajatul-udhawiyah) muncul dari internal tubuh. Manusia merasakan kebutuhan makan saat ia lapar sebab adanya kebutuhan organ tubuhnya pada zat-zat yang terkandung di dalam makanan. Ia juga merasakan kebutuhan akan tidur atau istirahat setelah iamengantuk, terlalu lelah, dan organ tubuhnya tidak mampu berfungsi (baik) bila ia tidak tidur atau istirahat.

Pemenuhan kebutuhan jasmani adalah sebuah keharusan. Kalau tidak terpenuhi, akan mengantarkan manusia pada kerusakan dan bahkan berakhir pada kematian. Orang yang lapar, misalnya, bila ia tidak makan terus-menerus akan menyebabkan ia lemas, tidak bertenaga, dan lama kelamaan ia mati kelaparan.

Adapun hasrat adalah naluri (gharizah), yang muncul dari faktor eksternal. Misalnya, saat seorang pemuda melihat gadis cantik maka bangkitlah rasa cinta terhadap lawan jenisnya, salah satu penampakan naluri seksualnya. Ketika ia melihat mayat maka bangkitlah pemikirannya tentang kelemahannya, salah satu penampakan naluri beragama. Begitu pula, ketika ia melihat seorang penulis sukses dan mendapatkan harta yang banyak maka bangkitlah rasa ingin untuk bisa meneladaninya, sebagai salah satu penampakan naluri mempertahankan diri.

Pemenuhan kebutuhan naluri bukanlah suatu keharusan. Apabila hal itu tidak terpenuhi, tidak menyebabkan manusia binasa atau mati. Kebutuhan naluri (saat muncul) hanya akan bikin galau atau risau. Bahkan, kebutuhan naluri bisa dialihkan dengan cara melupakannya atau sibuk dengan hal-hal lain. Begitu pula, hasrat menulis bisa hilang bila kita mampu move on. Sehingga, tidak menyebabkan apa-apa, tidak bikin pathek’en apalagi binasa.

Karena itu, hasrat menulis bisa dibangkitkan dengan menghadirkan rangsangannya. Semakin kuat rangsangannya akan menyebabkan semakin tinggi hasrat menulis dan tingkat kegalauannya sehingga semakin besar dorongannya untuk menulis dan terus berkarya.

Bila rangsangannya melemah atau menghilang, maka membuat hasrat menulis kecil dan hilang pula. Tidak bikin galau ataupun loyo. Betapa banyak orang berminat menulis, tapi ya sekadar minat. Tak lama kemudian mereka dengan ‘bahagia’ melupakannya.  Karenanya, menurut Arswendo,  seseorang tidak cukup sekadar kepingin menulis untuk dapat menghasilkan karya (buku) tapi harus B3, yaitu Butuh Banget Berprestasi (need for achievement).

Dengan begitu, kita harus berikhtiar untuk terus menstimulus hasrat menulis (bagi diri sendiri, istri/suami, anak, dsb) bila kesuksesan melahirkan tulisan yang diinginkan. Ikhtiar yang bisa ditempuh di antaranya adalah:

    Pertama, suka ketemu penulis, baik secara personal maupun di komunitas penulis. Stimulus paling efektif bagi anak agar gemar menulis adalah teladan orangtua atau orang dekat lainnya. Selain kesukaannya meniru, seorang anak juga akan mendapatkan bimbingan yang lebih baik dari mereka yang sudah menulis. Bergaul dengan penulis dan segala interaksi di komunitas penulis juga cukup efektif untuk menjaga kestabilan hasrat menulis, selain untuk memunculkan isnpirasi dan mempertajam teknik menulis.

    Kedua, suka ke toko buku, perpustakaan dan bazar buku. Hasrat menulis seseorang bisa tumbuh dari intensitas interaksinya dengan buku hingga ia mencintainya dan ingin menciptakannya pula. Penulis sukses umumnya seorang pembaca yang baik. Cintanya terhadap buku pada akhirnya diartikulasikan pada buku pula melalui tulisan-tulisannya.

   Ketiga, suka menghadiri momentum literasi seperti bedah buku, penganugerahan hadiah kepada penulis terbaik (misalnya Khatulistiwa Literary Award), konferensi penulis (cilik), Indonesia book fair ataupun Islamic book fair. Faktor ini juga dapat memacu gairah menulis.

    Keempat, menghadirkan segala sesuatu lainnya yang dapat merangsang hasrat menulis, seperti tersedianya sarana menulis yang menarik, pelatihan menulis yang mengasyikkan, adanya lomba atau tantangan menulis yang menggiurkan, dan gemar membaca yang memberdayakan.

Demikianlah poin-poinnya. Tentunya masih ada hal-hal lain yang senantiasa kita gali untuk menumbuhkan hasrat menulis. Bahkan yang sifatnya ‘kebetulan’ juga ada, seperti kebetulan dapat pekerjaan di penerbitan yang lama-kelamaan menjadi penulis (senang menulis). Kebetulan dapat istri/suami penulis yang pada gilirannya ikutan menulis. Dan, kebetulan-kebetulan lainnya. Namun, bilakah kita menunggu kebetulan? Sementara kita merasa jalan ini baik bagi kita atau anak kita. Inilah sebuah ikhtiar menstimulus hasrat menulis. Semoga bermanfaat. Salam.

Di kutip dari Web : www.pesantrenpenulis.com
[] Oleh: Hanjaeli