Rabu, 01 Oktober 2014

DIN SASTERA ( SAYA MENYESAL MENULIS )

Pembaca yang budiman, tidak ada yang salah pada mata anda. Apa yang tertera di atas adalah rangkaian huruf yang tertata dengan benar dan jelas. Anda pikir saya salah ketik. Tidak juga. Atau anda berpendapat itu adalah judul yang provokatif. Bisa saja benar. Dan memang saya sengaja memberikan judul seperti itu. Tujuannya agar anda tertarik untuk membaca tulisan saya berikut ini.

Saya memang sangat menyesal menulis tidak dari dulu. Karena manfaat menulis sangatlah besar. Dulu sekali saat saya masih duduk di bangku sekolah, antara SD dan SMP. Saya adalah penggemar fanatik dari puisi. Semua puisi yang ada di koran langganan ayah, saya gunting satu-persatu dan untuk bahan koleksi. Saking cintanya pada puisi saya juga sering iseng-iseng untuk menulis puisi di dalam buku tulis sekolah.

Menginjak bangku SMA kebiasaan mengoleksi dan menulis puisi itu berhenti total. Saya tidak tahu apa penyebab utamanya, sehingga kebiasaan itu berhenti. Bertahun-tahun saya tak lagi berkutat dunia literasi. Membaca buku pun sangat jarang. Saya hanya membaca buku ketika berhubungan dengan urusan akedemik di kampus. Bisa dibilang itu adalah sebuah keterpaksaan atau sebuah tuntutan.

Hingga pada awal 2013 saya telah disadarkan oleh sebuah buku yang sangat inspiratif yang berjudul “9 Summers 10 Autumns” buku karya Iwan Setiawan. Di dalam buku itu berkisah tentang seorang pemuda miskin berasal dari kota Batu Malang yang memiliki mimpi besar untuk membebaskan keluarganya dari jerat kemiskinan melalui jalan pendidikan. Dari buku itu saya belajar bahwa menulis adalah salah satu cara untuk melawan lupa. Dengan menulis kita bisa menjadi pelaku sejarah. Melalui menulis kita bisa mengisahkan masa lalu kepada orang lain tanpa harus berkoar-koar tidak jelas di depan mereka. Simple saja, mereka akan mengetahui keberadaan kita dalam bentuk tulisan.

Tahu Andrea Hirata? Dia adalah penulis buku mega bestseller Laskar Pelangi yang penjualan bukunya mampu menembus pasar mancanegara dan diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa. Di dalam buku Andrea Hirata itu mengisahkan 10 siswa miskin di daerah Belitong yang jatuh bangun dalam mengejar mimpi melalui bangku pendidikan. Jika ingin diteliti lebih dalam, pasti masih banyak kisah yang serupa yang dialami oleh orang lain di pelosok Indonesia lainnya.

Bahkan bisa saja lebih parah dari yang dialami oleh Andrea sendiri. Tapi yang membuatnya menjadi fenomenal, karena Andrea Hirata menuliskan kisahnya itu. Sehingga banyak orang yang tergugah setelah membacanya. Apa jadinya kalau Andrea Hirata tak menuliskan kisahnya itu. Maka perjalanan hidupnya itu hanya akan menjadi sejarah yang dinikmati oleh Andrea Hirata sendiri. Tapi menjadi berbeda ketika dia menuliskannya.

Masih kurang contoh orang yang sukses melalui tulisan? Saya kasih sample lagi. Kenal Ahmad Fuadi? Dia adalah salah penulis favorit saya yang bergenre islami. Dia adalah penulis buku Trilogi 5 Menara (Negeri 5 Menara, Ranah 3 Warna, Rantau 1 Muara). Awalnya dia hijrah ke tanah Jawa untuk masuk ke salah satu pesantren di sana.

Setelah berhasil melewati masa-masa jatuh bangunnya di pesantren, dia melanjutkan kuliahnya hingga lulus. Kemudian mendapatkan beasiswa untuk study ke Amerika Serikat. Padahal jika ingin diselidik lebih dalam. Pasti banyak orang yang kisahnya jauh lebih hebat dari beliau. Namun lagi-lagi yang kemudian menjadi faktor pembeda yakni Ahmad Fuadi menuliskannya sementara orang lain tidak.

Karena hati dan pikiran telah terbuka kembali bahwa menulis itu sangat penting. Maka sejak 2013 lalu saya putuskan untuk belajar menulis lagi. Walaupun kualitas karya masih di bawah standard. Paling tidak saya telah kembali ke jalan yang benar untuk mulai menulis lagi. Karena saya yakin menulis itu bukan masalah bakat tapi itu karena faktor kemauan. Ketika niat telah kuat untuk menulis. Apa pun hambatannya tak ada alasan untuk menelurkan karya.

Sebagai penutup saya akan mengisahkan sebuah cerita based on true story. Bukan bermaksud riya’ atau apa ini hanya sebagai pelecut semangat saja dalam berkarya. Begitu seringnya saya menulis dan kadang-kadang mempostingnya di social media. Ada seorang teman yang mengatakan saya adalah laki-laki lebay yang terlalu mendayu-dayu memposting sesuatu di akun Facebook.

Saya pun tak menanggapi serius komentar teman itu. Saya anggap itu adalah sebuah pembakar semangat agar terus berkarya. Karena dia berkomentar seperti itu pastinya dia telah membaca karya-karya yang saya posting sebelumnya.

Dan suatu ketika saya mendapatkan kiriman pulsa dan juga paket dari pos yang isinya sebuah VCD berisikan lantunan puisi. Dan teman bertanya “dapat dari mana?” Dengan bangga aku menjawab “Ini aku dapat karena ikut lomba puisi di Facebook.” Kemudian dia hanya diam dan tak mampu berkata-kata lagi. Walaupun hadiahnya tak seberapa. Paling tidak ada orang yang telah mengapresiasi karya yang telah saya buat.

Maka dari itu menulislah. Karena sejarah tak pernah tercipta jika penulis tak pernah ada!

Di Kutip dari : www.pesantrenpenulis.com
[] Oleh: RahmatSuardi 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar