Rabu, 18 Desember 2013

AGAMA SEBAGAI KONTROL SOSIAL

Agama sebagai Kontrol Sosial



Agama adalah salah satu institusi besar dalam kehidupan manusia (masyarakat). Agama melalui postulat keagamaannya yang suci (ajaran agama) memiliki peran strategis dalam mengontrol kehidupan sosial umat manusia.
Sistem sosial ada dengan maksud untuk menata kehidupan sosial yang lebik baik, tapi mengingat agama bukanlah satu-satunya institusi sosial yang ada dimasyarakat, (juga ada negara) maka dua intitusi besar tersbut meski berada pada posisi yang sejajar, saling mengimbangi, dan mampu menjalin hubungan yang sifatnya harmonis. Namun faktanya tidak demikian, berbicara hubungan agama dan negara akan ditemukan relung dimana terjadinya sebuah ketimpangan dalam posisi keduanya. Agama kerap berada dibawah dominasi negara.
Sebagaimana disitir oleh Michel Lowy (2003) bahwa “perselisihan yang dipicu oleh masalah agama, kini mengancam kehidupan berbangsa kita. Sejarah kemanusiaan hancur setelah kobaran kebencian membakar perasaan masing-masing pemeluk agama. Jauh dari kebencian itu semua, ada permasalahan mendasar yang terus menerus ditanam. Kekuasaan yang seharusnya melindungi bersama-sama dengan kaum pemodal, telah meletakkan agama dibawah pengaruh kekuasaannya. Agama dipaksa untuk melayani keperluan, baik penguasa maupun pemodal. Adalah paradoksal melihat ketidakadilan, Agama tidak memebri reaksi. Sebaliknya ketika kekuasaan berhasrat untuk mempertahankan kelestariannya, agama serta merta mencari dasar teologis pembenarnya”[1].
Rasanya tidak terlalu berlebihan apa yang disitir oleh Michel Lowy diatas, bila Mencoba mencermati realita kehidupan sosial-keagamaan hari ini. Sebagai institusi yang memiliki peran penting dalam mengontrol kehidupan sosial manusia, agama mesti melakukan reposisi agar mampu mengoptimalkan fungsi kontrolnya dalam kehidupan sosial manusia.
            Sejarah kemunculan agama-agama memberikan indikasi bahwasanya agama lahir sebagai “kritik”atas realitas kehidupan sosial masyarakat. Dapat dikatakan, rata-rata kondisi sosial masyarakat-dimana sebuah agama lahir-cenderung amoral dan semrawut. Logika kehidupan kaum barbarian begitu dominan, kehidupan dibaluti dengan hukum rimba dimana yang kuat menindas yang lemah. Dalam kondisi seperti inilah, keberadaan seseorang yang perduli dengan realitas tersebut akan menapaki jejak “mengembara” untuk menemukan formulasi yang tepat agar dapat merubah kehidupan yang demikian. Orang-orang inilah yang kemudian kita kenal sebagai Nabi, yang datang membawa spirit kebenaran atas nama Agama.
Proses kemunculan agama Budha misalkan, tidak jauh dari apa yang dipaparkan disatu paragrap diatas, dimana Sidharta Gautama melakukan perjalanan panjang setelah ia melihat realitas kehidupan manusia diluar istana (mengingat Sidharta adalah putra kerajaan). Dalam perjalanan panjangnya ia kemudian menemukan konsep-konsep ilahiah untuk mengatasi persoalan sosial dimasyarakatnya. Hasil “semedinya” itulah yang lalu didakwahkan kepada masyarakat. Begitu pula dengan kemunculan agama Kong Hu Cu, Konfuse sebagai pembawa ajaran agama Kong Hu Cu juga melakukan hal yang sama dengan Sidharta Gautama. Tak terkecuali juga dengan Nabi Muhammad SAW, yang juga melakukan pertapaan di Gua Hira` lantaran kemuakannya melihat kondisi sosial masyarakat Arab waktu itu. Dalam proses penyendiriannya di Gua Hira` itulah ia lalu didatangi oleh malaikta Jibril yang membawakan wahyu kepadanya. Hasil menyendirinya itulah yang ia sebarluaskan dimasyarakat Arab, dimana pasca dakwahnya kondisi sosial masyarakat Arab dapat berubah menjadi lebih baik.  
            Saya tidak ingin mengekplorasi sejarah kemunculan dan perkembangan agama lebih jauh, karena tentunya kita semua sudah sering dijejali oleh pengetahuan semacam itu. Tapi paling tidak dari cerita sekilas diatas, kita bisa menemukan peran agama yang begitu mendasar dan strategis dalam mengontrol bahkan merubah kehidupan sosial masyarakat. Fakta sejarah (historical fact) diatas mampu mengarahkan kita pada sebuah pemahaman bahwasanya agama lahir memang diperuntukkan untuk kepentingan manusia, sekaligus sebagai pegangan (way of life) serta bimbingan bagi manusia dalam menjalani kehidupannya, agar terbentuk sebuah kerangka kehidupan yang lebih baik, humanis, serta harmonis. Harapan seperti ini pantas kita tanamkan dalam lubuk hati setiap manusia yang beragama.
            Kondisi kehidupan sosial hari ini tidak jauh beda dengan masa-masa kemunculan agama-agama. Tingginya angka kriminalitas, seringnya terjadi pemerkosaaan di angkutan umum, banyaknya kasus pembunuhan, pencurian, trend seks bebas yang banyak terjadi dikalangan remaja, bobroknya moralitas para pejabat dan elite politik, adalah indikasi-indikasi yang mengarah pada perilaku kehidupan masyarakat primitif. Kondisi seperti ini sebenarnya adalah muara tempat dimana agama seharusnya mampu menemukan posisinya untuk mengontrol bahkan menyehatkan kehidupan sosial hari ini.   
            Yang tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah pada tingkat usaha agama dalam merealisasi fungsi kontrolnya, mengingat agama bukanlah satu-satunya institusi sosial dalam kahidupan manusia, tapi juga ada Negara di sisi lainnya. Berbicara peran agama pada tataran ini, maka akan ditemukan titik perselisihan diantara keduanya. Terlebih lagi bila berbicara dalam lokalitas keindonesiaan, dimana konteks kehidupan keberagamaan di Indonesia, selalu merupakan bagian integral dari proses-proses politik. Konsekuensi ini muncul karena relasi agama-negara sangat plastis yang memungkinkan agama selalu berada pada titik persinggungan dengan politik (negara). Negara selalu berupaya untuk menunjukkan dirinya dalam setiap level kehidupan masyarakat, termasuk agama[2].  
       Usaha agama dalam menjalankan fungsi kontrol
a.    Jalan Politik
Langkah politis kerap diambil agama (tokoh-tokoh agama) untuk menyalurkan fungsi kontrolnya. Logikanya adalah ketika agama mampu meraih tampuk kekuasaan, maka dengan sendirinya akan mendatangkan kemudahan dalam mengontrol laju kehidupan sosial masyarakat. Tapi hal ini, dapat dikatakan belum mampu terealisasi, karena agama akan bersinggungan dengan adanya perspektif negatif tatkala agama memasuki wilayah yang di cap “kotor” dan penuh dengan kemunafikan ini.
Bahkan langkah ini kerap menjadi bumerang bagi eksistensi dan pencitraan agama sendiri, karena kesan adanya “politisasi agama” akan begitu menguat di masyarakat. Agama hanya akan dimanfaatkan sebagai media pendulang suara semata dalam sebuah kompetisi politik. Sebagaimana diungkapkan oleh Prof. John A Titaly, Th.D Bahwa “politisasi agama adalah upaya mempergunakan agama sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan politik tertentu, baik yang dilakukan oleh perorangan maupun institusi tertentu. Itu bisa terjadi karena ada kerjasama dari para pemimpin agama. pada umunya yang lebih diuntungkan dalam upaya seperti ini adalah para politisinya ketimbang para pemimpin agamanya. Kalaupun para pemimpin agama nampaknya menikmati keuntungan, maka sudah tentu keuntungan itu adalah keuntungan politik mereka senidir, bukan kepentingan agama”[3]. 
b.    Kemunculan Organisasi Berbasis Agama
Bak jamur di musim hujan, kemunculan organ berbasis agama begitu banyak di masyarakat, fenomena ini juga dapat diposisikan sebagai langkah agama dalam menempuh fungsi kontrolnya. Keberadaan NU, Muhammaiyah, FPI, HTI, MMI, adalah wajah organ berbasis agama di masyarakat. Tapi bentuk controlling organ-organ ini lebih bersifat sektoral, dan belum mampu menasionalisasikan gerakan-gerakan kontrolnya.
c.    Pemanfaatan Tekhnologi
Yang dimaksudkan disini adalah kemunculan banyak pendakwah di media (TV). Acara bernuansa keagmaan akan banyak kita temukan di layar kaca, hal ini juga adalah bagian dari melaksanakan fungsi kontrol agama        
Kendala-kendala agama dalam menjalani fungsi kontrol
1.    Adanya ketimpangan relasi Agama-Negara
Ketimpangan ini berujud pada terjadinya dominasi negara terhadap agama atau Meminjam judul bukunya Tedi Kholiludin “Kuasa Negara atas Agama”. Konsekuensi yang terbangun dari situasi semacam ini adalah sempitnya ruang agama dalam melakukan fungsi kontrolnya. Setiap usaha agama mesti dijadikan sebagai Undang-Undang negara baru bisa diteruskan kepada masyarakat.
2.    Masih kurangnya pemahaman keagamaan masyarakat
Spirit keberagamaan di masyarakat memang tinggi, tapi hal ini akan kontraproduktif bila tidak diimbangi oleh adanya pemahaman terhadap ajaran agama yang juga mesti tinggi. Karena bila tidak terjadi keseimbangan antara spirit keberagamaan dan pemahaman keagamaan, maka hal ini akan cenderung mengarahkan manusia pada sikap fanatik (fanatic attitude) dan sikap keberagamaan yang sempit (narrow religiousity) dan sikap fundamentalis[4].        
Agama menempati posisi fumdamental dan strategis dalam kehidupan sosial masyarakat, sehingga agama mesti menyadari posisi ini. Kondisi kehidupan sosial yang masih jauh dari ideal ajaran agama, mesti segera dirubah. Agama mesti menempuh jalan dakwah yang lebih efektif untuk mentranformasikan nilai-nilai keagamaan ke masyarakat. Juga mesti pandai-pandai memilih strategi dan substansi dakwahan agar kesan penyampaian khutbah keagmaan tidak hanya mengajarkan manusia cara membangun jembatan menuju surga, sementara selangkah lagi manusia akan terjatuh dalam kubangan neraka. 
Daptar Bacaan
Hanafi. Hasan dkk, 2006, Islam dan Humanisme Aktualisasi Humanisme Islam Ditengah Krisis Humanisme Universal. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Kholiludin. Tedi, 2009, Kuasa Negara Atas Agama Politik Pengakuan, “Diskursus Agama Resmi” dan Deskriminasi Hak sipil. Semarang : RaSAIL
Komarudin. Hidayat, 2008, The Wisdom Of Life Menjawab Kegelisahan hidup dan Agama. Jakarta : Kompas
Lowy. Michael, 2003, Teologi Pembebasan, Yogayakrta : Pustaka Pelajar dan insist   
  


[1] Michael Lowy, 2003, Teologi Pembebasan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar dan insist
[2] Baca lebih lanjut dalam Tedi, Kholiluddin. 2009. Kuasa Negara Atas Agama Politik Pengakuan, “Diskursus Agama Resmi” dan Deskriminasi Hak Sipil. Semarang : RaSAIL Media Group. hlm : 125
[3] John, A Tilaty. 2009. Kata Pengantar Kala Tuhan Dipolitisasi Pengakuan ATAS Agama dan Masalah Kebebasan Beragama Di Indonesia” dalam Ibid, hlm : XI
[4] Abu, Hatsin. 2006. Kata Pengantar. dalam Islam dan Humanisme Aktualisasi Humanisme Islam di tengah krisi humansime universal. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. hlm : vii

Rabu, 11 Desember 2013

AGAMA DILIHAT DARI PENDEKATAN ANTROPOLOGI (Pengantar Studi Agama)

MAKALAH
AGAMA DILIHAT DARI PENDEKATAN ANTROPOLOGI
Makalah ini diajukan untuk memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester UAS
pada Mata Kuliah Pengantar Studi Agama
Dosen:
Dr. Syaiful Azmi, MA











Oleh:
NAMA: Jamiludin
NIM    : 1112032100023






JURUSAN ILMU PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
Universitas Islam Negri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2013




DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………………...….  i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………………....… ii
BAB I PENDAHULUAN

1.1    Latar belakang……………………………………………………………………………………...…..  3
1.2    Rumusan Masalah………………………………………………………………………………..……. 4
1.3    Signifikasi Studi…………………………………………………………………………………...…… 4

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Catatan-catatan Mengenai Studi Agama…………………………………………………..………… 5
2.2 Defenisi Agama........................................................................................................................................  6       
2.3 Ranah Kajian Antropologi Agama........................................................................................................  6
2.4 Pendekatan Antropologis terhadap Agama……………………………………………………….… 7

BAB III SIMPULAN

3.1 Simpulan……………………………………………………………………………….………………..... 8
3.2 Daftar Pustaka………………………………………………………………………………………...…  8





BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Berbagai pertanyaan mengenai agama menjadi fokus di dalam antropologi sejak periode awalnya, apakah kita meletakanya di abad ke-19 M dengan para pemkikir seperti E.B Tylor, atau abad ke 18 M dengan Vico. Tentnya, hl itu adalah diatara pertanyaan-pertayaan antropologis  yang paling besar dan sulit seperti pertanyaan mengenai peredaan, rasionalitas, komunitas, modernitas, simbolisasi, makna, relativisme, mimesis, proyeksi, mediasi, kekuasaan, tatanan, hierarki, harmoni, konflik, alienasi, cinta, kemakmuran, martabat, koherensi estetika, kreatifitas, kesengan, reproduksi, fertilitas, kedewasaan, kematian, motivasi, kesengsaraan dan penebusan. Antropologi agama menunjuk kepada suatu penghubung yang unik  atas moralitas, hasrat, dan kekuatan, dengan jedikendalikan dan kemerdekaan, dengan duniawi  dan asketisme, dengan idealitas dan kekerasan, dengan imajinasi dan penjelmaan, dengan  imanensi  dan transendensi yang merupakan sisi dunia manusia yang berbeda dengan dunia makhluk lain.
        Antropologi agama kontemporer bersumber dari sejumlah sumber. Dari tradisi Amerika (Mahzab Boas), antropologi menggambarkan sebuah pemahaman akan hubunngan yang erat antara agama, bahasa dan sajak, dan pentingnya mengkonsultasikan dan memahami pengalaman para para praktisi berbakat. Dari Durkheim, antropologi merupakan pemahaman atas fenomena keagamaan sebagai sosial, begitu juga kaitan yang erat antara funsi dan makna di dalam ritual dan representasi keagamaan, dan antara agama dan tatanan sosial. Dari mazhab evolusionisme, antropologi meramu pertayaan akan rasionalitas pemikira masyarakat primitive, sebuah pertanyaan yang berlanjut menghidangkan diskusi tentang logika dan legitimasi dari bentuk tertentu deklarasi atau praktek keagamaan. Dari mazhab evolusionis juga, dan secara beragam di mediasikan oleh para ahli fenomenologis dan psikoanalisa,  antropologi mengajukan pertanyaan berkenaan dengan bobot relative pemikiran pengalaman inntelektual dan praktekny, rasional dan irasionalnya, kesadaran dan ketidaksadaran didalam ranah keagamaan. Dari Marx, antropologi focus kepada kekuasaan, alienasi, fetihisism, dan mistifikasi. Dari Weber, antropolgi menjadi alat pemerhati aspek-aspek agama-agama berbaisi kitab suci  secara kompertif, poisi agama dalam transisinya kearah modernitas, jaringn-jarinngan antara agama dan basis-basinya  dalam tidakan ekonomi dan politik, dan akhirnya pertanyaan atas teodisi, teka-teki dalam meletakan makna  atau penganugrahan dunia, kesengsaraan dan kematian. Semua pemikiran masa silam, yaitu dalam Plato antara mimesis dan filsafat dalam diskusi aristoteles antara etika (etichs) dan puisi (poetics) dan pada gambaran di dalam teks seperti Oedipus Job mengenai  takdir dan keadilan.[1]
      Kebanyakan aspek vitalnya menjadi suatu aliran  gagasan bersumber dari beragam tradisi keagamaan yang para antropologi pelajari selama ini. Tradisi tersebut bukan hanya menyuplai beberapa istilah kunci yang kita selalu berkutat denganya mislanya, totem, tabo, mana, karma nnamun juga pengalaman-pengalaman kita dilapangan dan pelajaran-pelajran yang telah kita  terima dari kawan berbicara kita yang telah membentuk model kita bertanya dan menjawab berbagai masalah, dan telah member pengaruh besar bagi karaktersitik resepsi kita atas berbagai  teori yang telah disebutkan diatas.[2]
1.2  Rumusan Masalah
Setiap  penelitian pada awalnya karena adanya masalah. Masalah penelitian timbul karena adanya tantangan, kesangsian, atau kebingungan terhadap sesuatu hal ata permasalahan.
Penyusunan makalah ini berusaha menjawab pertanyaan yang dirumuskan sebagai berikut atau terkait mengenai:
1.      Catatan-catatan Mengenai Studi Agama
2.      Defenisi Agama
3.      Ranah Kajian Antropologi Agama dan
4.      Pendekatan Antropologis terhadap Agama

1.3  Signifikansi Studi
Ilmu Antropologi  sebagai bagian dari ilmu-ilmu sosial telah mengalami perkembangan yang cukup signifikan dengan adanya kontribusi berbagai penelitian yang dilakukan para Antropolog dan para ahli ilmu sosial yang lain, khususnya sejak paruh kedua abad ke-20 M. Hal ini tentunya membuat focus kajian Antropologi semakin kompleks dan mendalam sehingga, seiring dengan perkembangan ilmu sosial yang lain, beberapa ilmu yang menjadi cabang Antropologi semakin mengkokohkan urgensinya sebagai alat kaji atas berbagai fenomena sosial dan budaya didalam masyarakat. Salah satu cabang ilmu yang banyak mendapatkan perhatian para pakar ilmu sosial adalah Antropologi Agama.
      Cabang ilmu Antropologi Agama ini diyakini oleh banyak pakar sebagai salah satu alat studi    yang akurat dalam melihat relasi antara agama, budaya, dan lingkungan sekitar sebuah masyarakat. Pasca-tragedi penabrakan dua pesawat komersial American Airlines terhadap gedung World Trade (WTC), senbuah pesawat komersial atas Gedung Departemen Pertahanan Amlerika Serikat Pentagon, dan sebuah pesawat komersial yang jatuh disebuah dataran kosong Amerika yang menyebabkan lebih dari 3000 orang tewas pada tanggal 11 September 2001, banyak orang,m baik para pakar ilmu sosial, agamawan, politikus, dan masyarakat umum percaya bahwa abad ke-21 M ini adalah abad yang akan menemmpatkan kembali agama sebagai salah satu sumber kekuatan yang akan banyak memengaruhi kehidupan global. Berrbagai aksi kekerasan dan terror yang mengatasnamakan agama telah memberikan indikasi bahwa paham radikalisme agama sebagai akibat dari kebijakan ekonomi dan politik global  yang tidak adil telah menjadi perhatian para ahli ilmu sosial, bahwa pemahaman dan corak keagamaan sebuah kelompok atau masyarakat sangat dipengaruhi oleh kondisi ideologi, politik, sosial, dan budaya yang berkembang di dalamnya, tambahan juga latar historis awal mula berkembangnya agama di tempat itu.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Catatan-catatan Mengenai Studi Agama
Eropa abad pertengahan bisa jadi  menjadi sebuah arena konflik dengan adanya ragam kepentingan politik dan keagamaan. Namun tentunya, disana terdapat kesatuan keyakinan akan eksistensi Tuhan dan , lawanya, klaim-klaim sekuler. Pada zaman pencerahan (Enlightenment), keyakinan-keyakinan dasar yang telah mengakar mengalami banyak gugatan. David Hume (1711-76), mislanya berpendapat bahwa observasi empiric bisa menciptakan basis ilmu etika (moral siences). Gugatan lebih mendasar diajukan oleh Ludwig Feurbach (1804-1872). Baginya, agama Kristen hanyalah sebuah ilusi dan menjadi objek kajian teologi dan filsafat ketimbang spekulasi metafisik berkenaan dengan sifat-sifat Tuhan.[3]
Sementara itu, meskipun ide-ide baru terkait dengan teologi ini lebih berani diperdebatkan di kalangan intelektual, bahkan ide seperti deklarasi “kematian Tuhan” yang dikemukakan oleh Friderich Nietzche (1844-1900), mayoritas penduduk Eropa masih memepertahankan keyakinan dan nilai-nilai ajaran Kristen (atau Yahudi) tradisional. Fenomena ini memperlihatkan bahwa ide-ide inovatif berkait dengan sifat dasar agama yang dikemukakan oleh para sarjana abad ke-19 dan ke-20 M hanya bisa dipahami bersebrangan dengan latar belakang agama formal.[4]
Charles Darwin (1809-82) misalnya membublikasikan laporan kontroversialnya mengenai evolusi manusia, The Descent of Man, tahun 1871. Laporan ini secara terang-terangan membuyarkan ajararan dan doktrin agama tentang penciptaan manusia. Di situ, Darwin secara tegas mengklaim bahwa manusia merupakan keturunan apes dank arena itu tidak menyaksikan ruang bagi Tuhan dalam laporan seleksi alam dan adaptasi spesies. Sementara gagasan Darwin tampaknya dianggap sebagai  penyebab konflik antara agama dengan sains waktu itu, teori evolusi sosial (yang dikenal dengan Sosial-Darwinisme) telah dan semkain dikembanglan secara mapan hingga tahun 1870an. Herbert nSpencer (1820-1903), mislanya, kemudian mengemukakan teori bahwa segala sesuatu, benda hidup atau mati, bergerak dari bentuk yang paling sederhana kepada bentuk kompleks yang lebihh beragam, dari homogeny menjadi heterogen. Dalam The Principles of Sociology (187) Spencer mengembangkan tesisnya mengenai evolusi universal.[5]
Spencer, lebih jauh lagi, secara tegas berpendapat bahwa semua manusia, bagaimanapun sederhananya teknologi yang dikembangkan, adalah makhluk rasional. Menurut Spencer, agama berkembang dari observasi bahwa didalam mimpi jiwa bisa meninggalkan raga. Mansuia karena itu memiliki aspek ganda, dan stelah matinnya jiwa berlanjut muncul menjadi living descendents didalam mimpi-mimpi. Hantu-hantu dari tokoh pendahulu tersebut pada akhirnya memperoleh status dewa. Praktek menyajikan sesajen yang menyebar luas di gua-gua nenek moyang dan member mereka makanan berkembangmenjadi ritual pengorbanan bagi dewa. Ritual nenek moyang karena itu diangap akr dari setap agma.[6]
Antropologi Inggris, Edward Brunett Tylor, yang menyumbangkan terminologi kuncinya bagi antropologi agama, sepakat dengan teori evolusi sosial dan gagasan asal usul agama dari mimpi tersebut, Namun, Tylor lebih suka menekankan peran jiwa (soul) dalam catatan asal usul agamanya, yang akhirnya mengembangkan istilah animisme untuk mendeskripsikan keyakian bahwa objek-objek berupa benda hidup atau mati, begitu juga manusia, bisa memiliki sebuah jiwa.[7]
2.2  Defenisi Agama
Kebanyakan defenisi agama sangat bergantung kepada konsep ketuhanan (divinity) atau hal supranatural atau spiritual.[8] Tylor, misalnya, berpendapat bahwa defenisi minimal agama adalah “kepercayaan kepada wujud spiritual”  (the belief in Spiritual Beings).[9] Di lain pihak, sebuah defensisi yang agak berbeda namun berpengaruh adalah defenisi yang disodorkan oleh Antropolog Amerika kontemporer, Clifford Geertz, yang sering dianggap mewakili pendekatan simbolik atas agama. Sarjana simbolis melihat cara-cara dimana simbol-simbol dan ritual-ritual sebagai metafor bagi kehgidupan sosial, ketimbang apa yang agama berusaha untuk menjelaskan. Geertz mendefinisikan agama sebagai berikut:
      “a system of symbol which acts to (2) establish powerful, pervasive, and long-lasting moods and motivations in men by (3) formulating conceptions of a general order of exsistence and (4) clhoting these conceptions with such an aura of factuality thatbn(5) the moods and motivations seem  uniquely realistic.[10]
Di dalam defenisi Geertz tersebut, kita tidak melihat adanya Tuhan atau dewa, begitu juga tidak ada kekuatan-0kekuatan supernatural. Kita melihat bahwa Geertz menggunakan model system. Layaknya budaya diamana agama menjadi salah satu unsurnya, agama sendirinya adalah sebuah system. Namun dalam kasus ini, system tersebut berisi simbol-simbol simbol-simbol. Simbola adalah sesuatua yang membuat sesuatau menjadi penting ketimbang dirinya sendiri . Misalnya, dalam sebuah kartun, awan hitam yang menyelimuti kepala sesorang adalah sebuah coretan tangan, namun bermakna simbolik yang memberitahu kita bahwa orang itu sedang tidak bersemangat.
2.3  Ranah Kajian Antrpologi Agama

Jika ditelitik secara mendalam, sesungguhnya litreratur Antropologi mengenai agama sangat beragam dan berjilid-jilid. Namun disana ada sebuah prespektif umum yang menaungi keseluruhan literature tersebut, dan itu adalah keyakinan bahwa prinsip-prinsip epistimologi dari metode ilmiah tidak bisa tau seharusnya tidak boleh diaplikasikan pada kandungan keyakinan-keyakinan agama, dengan landasan bhwa fenomena non-empiris pada divaarnya melampaui ruang lingkup ilmu pengetahuan empirik.[11] Evans-Pritchard menyodorkan sebuah formulasi dari posisi tersebut dalam Theories of Primitive Religion:
      He [the Antropologist] is not concered, qua anthropologist, with the truth or falsity of religious thought. As I understand the matter there is no possibility of his knowing whether the spiritual beings of primitive religions or of any other have any exsistence or not, and sience that is the case he cannot take the questions into consideration.[12]
Mayoritas Antropolog sependapat dengan pernyataan Evans-Pritchard bahwa, sebagai Antropolog, mereka tidak bisa atau tidak sehararusnya menginvestigasi kebenaran atau kesalahan keyakinan-keyakinan keagamaan. Tampaknya kebanyakan karya-karya Antropologis mengenai agama, jika tidak semua dalam buku-buku teks Antropologi Kultural, pertanyaan akan kebenaran atau kesalahan keyakinan agama diabaikan, sebagai gantinya mendukung pernyataan-pernyataan yang berkait dengan fungsi dan dimensi sosial, psikologis, ekologis, simbolis, estetis dan etik dari agama.[13]



2.4  Pendekatan Antropologis terhadap Agama
Para Antropolog generasi awal, seperti juga hampir semua sarjana abad ke-19, umumnya adalah penganut mazhab evolusionis. Mereka mengaggap semua masyarakat manusia bisa disusun secara berjenjang, seakan-akan seperti tangga escalator historis yang besar. Menurut mereka, beberapa masyarakat, khususnya masyarakat para sarjana itu, berada di tingkatan atas; yang lain berbagai peradaban bangsa Eropa dan Asia yang “kurang maju” berada di posisi tengah; dan masyarakat bersekala kecil yang primitive berada pada tingkatan bawah.[14] Simak saja apa  yang di kemukakan oleh Sir James Frazer. Frazer menyodorkan sebuah  skema evolusi yangs sederhana, yaitu bahwa sejarah manusia melewati tiga fase yang didominsai secara berurut oleh magic, agama dan ilmu.
      Sementara itu, bersebrangan dengan Frazer, Emile Durkheim menyadari bahwa pengambilan sampel-sampel dari seluruh dunia tanpa memberikan pertimbangan yang cukup atas konteks orosionalnya adalah  sebuah kesalahan dalam metode  antropologis. Pengumpulan sampel-sampel atas apa yang diperkirakanya memiliki fenomena yang sama, yakni hanya berfungsi member suatu keyakinan selama orang menganggap bahwa semua itu adalah fenomena yang sama. Kemudian, bertentangan dengan Frazer lagi, Durkheim menekankan studi kasus tunggal dengan eksperimen yang dalam untuk menguak kebenaran universal. Pendirianya ini, seperti dinyatakan oleh Conoly, telah membuat Durkehim beranjak melampaui perhatian para sarjana eolusionis yang hanya focus pada tingkatan dan mekanisme perkembangan historis.[15]
      Di luar ini, ada juga Malinowski, salah satu pendiri mazhab fungsionalisme dalam antropologi sosial. Malinowski meyakini bahwa masyarakat harus dilihat dalam keseluruhan fungsinya. Pandanganya ini ingin memberikan penegsan bahwa semua tradisi dan prakteknya harus dipahami dalam konteks utuhnya manusia, anggota masyarakat tersebut. Bagi Malinowski, adalah manusia tidak relevan menekankan gagsan evolusionis atas masyarkat manusia yang mampu  bertahan (survivals) untuk menjelsakan segala hal. Karena itu, kata Malinowski, segala sesuatu yang telah dilakukan manusia yang harus dijelaskan melalui perananya pada masa sekrang; bahkan tradisi-tradisi yang tampaknya seperi sekedar sampah dari peridoe yang lebih awal pasti memiliki sebuah fungsi dan fungsi tersebut adalah penjelasan sebenar-benarnya bagi eksistensi mereka.


BAB III
KESIMPULAN
3.1 Simpulan
            Para ahli ilmu sosial memiliki beragam cara dalam menganalsia agama dan fenomenanya yang berkembangdi dalam masyarakat. Hal ini tentunya harus disikapi  dengganpemahaman historis yang memadai. Pada abad ke-19 M, misalnya, masyarakat dan kebudayaanya memilki hirarki dan berkebang dari tingkatan kebudayaan yang paling sederhana hingga kepada tatanan masyarakat yang lebih kompleks. Pandnagan umum  seperti ini tentunya berakar pada paradigm  evolusionis yang tumbuh di kalangan masyrakat Barat yang “diklaim” sebagai masyarakat yang telah mencapai tingkatan tertinggi. Teori besar ini secara otomatids memengaruhi perkembangan teori-teori dalam hampir semua analisa terhadaps semua aspek universal dari suatu kebudayaan masyarakat di dunia. Aspek agama juga turut dipahami berdasarkan bingkai besar pandangan evolusionis. Karena itu pengkajian terhadap  budaya, termasuk juga agama didalamnya, selalu bersifat general dengan mengumpulkan data sebanyak mungkin dari berbagai masyarakat.
3.2 Daftar Pustaka
·         Razak,Yusron, Nurtawaban,Ervan, “Antropologi Agama” UIN Jakarta Press, Jakarta; Desember 2007
·         Kh,Maman, Ridwan,Deden, “Metodologi Penelitian Agama” PT RAJAGRAFINDO PERSADA, Jakarta; Januri 2006
·         Ali,Abdullah, “Agama Dalam Ilmu Perbandingan” Nuansa Aulia, Bandung; Mei 2007




[1] Drs. Yusron Razak, MA, Antropologi Agama. Hal.2

[2] Drs. Yusron Razak, MA, Antropologi Agama. Hal.2
[3] Drs. Yusron Razak, MA, Antropologi Agama. Hal.10
[4] Drs. Yusron Razak, MA, Antropologi Agama. Hal.2
[5] Drs. Yusron Razak, MA, Antropologi Agama. Hal.11
[6] Drs. Yusron Razak, MA, Antropologi Agama. Hal.11
[7]Drs. U. Maman Kh., M.Si. Metodologi Penelitian Agama, Hal.93
[8] Drs. Yusron Razak, MA, Antropologi Agama. Hal.13
[9] Drs. Yusron Razak, MA, Antropologi Agama. Hal.13
[10] Drs. U. Maman Kh., M.Si. Metodologi Penelitian agama, Hal.94
[11] Drs. Yusron Razak, MA, Antropologi Agama. Hal.14
[12] (Evans-Pritchard 1965:17), Drs. Yusron Razak, MA, Antropologi Agama. Hal.14
[13] Drs. Yusron Razak, MA, Antropologi Agama. Hal.15
[14] Drs. Yusron Razak, MA, Antropologi Agama. Hal.20s
[15] Drs. Yusron Razak, MA, Antropologi Agama. Hal.20