Selasa, 02 Februari 2016

Peran Kepala Sekolah dalam Peningkatan Mutu Pendidikan - Prof. Dr. Dede Rosyada, MA


Oleh :
Prof. Dr. Dede Rosyada, MA
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta



Pendahuluan

Pendidikan di Indonesia kini terus dikembangkan, terutama sejak reformasi bergulir tahun 1998. Hal ini ditandai dengan lahirnya Undang-Undang (UU) Nomor 22 tahun 1999, yang belakangan direvisi oleh oleh UU Nomor 32 tahun 2004, dan kini direvisi lagi dengan UU Nomor 23 tahun 2014. Dan, salah satu agenda reformasinya adalah pendelegasian kewenangan pengelolaan pendidikan pada pemerintah daerah. Hanya saja, kewenangan pemerintah daerah terbatas pada aspek pembiayaan, sumber daya manusia dan sarana-prasarana. Sementara untuk aspek-aspek menyangkut kurikulum, pembelajaran, evaluasi dan pengukuran, sarana dan alat pembelajaran, metode dan waktu belajar, buku teks serta alokasi belanja dan penggunaan anggaran, semuanya menjadi kewenangan sekolah. Dalam hal ini, maka kepala sekolah dan para guru dituntut bertanggung jawab terhadap kualitas proses dan hasil belajar guna meningkatkan mutu pendidikan secara nasional.[1]

Inilah era reformasi pendidikan yang sangat monumental dalam sejarah pendidikan di Indonesia, dimana otoritas yang sangat besar diberikan langsung pada sekolah atau madrasah. Sekolah bisa mengembangkan inovasinya masing-masing dalam mengembangkan perlakuan pada siswa dalam belajar, bahkan sekolah diberi kewenangan untuk menetapkan apakah akan fullday school atau partday school dalam penggunaan waktu belajar. Selain itu, apakah sekolah akan menyusun sendiri buku teks yang diajarkan sesuai dengan kurikulum yang disepakati, atau membeli buku-buku karya guru lainnya? Dalam hal ini, hal terpenting sekaligus menjadi tekannya adalah bahwa di end product-nya siswa berprestasi, siap diuji, sesuai dengan standar kompetensi yang ditetapkan oleh pemerintah atas usulan masyarakat. Karena itu, bila prestasi siswa menurun, maka masyarakat tidak bisa menyalahkan kantor dinas pendidikan kabupaten/kota. Sebaliknya, mereka bisa bertanya pada kepala sekolah/madrasah dan para gurunya, karena soal kurikulum dan pembelajaran seluruhnya menjadi kewenangan penuh sekolah.

Berkaca pada agenda reformasi demikian, maka kepala sekolah/madrasah mendapat tuntutan peran yang sangat besar. Dia harus kuat dan memiliki strong leadership untuk mendorong seluruh gurunya bekerja total dalam mendidik murid-muridnya, memiliki visi untuk kemajuan sekolah, konsisten dengan visinya, tapi tetap demokratis dan menghargai pandangan para koleganya. Kepala sekolah juga harus memiliki ekspektasi yang baik pada para siswanya, memberikan penguatan basic skill untuk anak didiknya, sehingga bisa berkembang dengan baik dalam profesi apapun, dan mampu menciptakan suasanan yang kondusif untuk para guru dan karyawan bekerja, serta menciptakan suasana yang nyaman untuk para siswa belajar.[2]Selanjutnya, Kepala sekolah juga harus dedikatif untuk sekolahnya, dan bekerja total bagi kemajuan sekolahnya. Lantas sekarang, apa yang harus dilakukan kepala sekolah agar proses dan produk pendidikannya berkualitas?

Kualitas Pendidikan

Istilah ‘kualitas pendidikan’ sangat mudah dikatakan, namun sangat sukar didefinisikan, karena pemaknannya terus berkembang dan menjadi perhatian semua orang di dunia. Edward Sallis, seperti dikutip Dede Rosyada (2013), menyatakan, bahwa kualitas terbagi dalam dua bagian utama, yaitu kualitas absolut dan kualitas relatif. Kualitas absolut adalah pencapaian standar tertinggi dalam pelaksanaan pekerjaan, melahirkan produk, atau memberikan layanan jasa, yang tidak mungkin bisa terlampaui dan bahkan sudah tidak ada lagi peluang untuk perbaikan. Tetapi, kualitas absolut ini sangat berat dan mahal dalam mewujudkannya. Oleh sebab itu, ukuran kualitas dalam manajemen pendidikan seringkali menggunakan ukuran dalam pengertian kualitas relatif, yakni kualitas yang masih berpeluang untuk ditingkatkan, direvisi secara dinamis, sehingga pengertiannya menjadi pencapaian standar tertentu yang telah ditetapkan bersama-sama sebelum memulai pekerjaan, baik dalam produk barang, jasa maupun lainnya[3].

Pendidikan termasuk produk jasa, dan dalam pendidikan selalu ada standar (kualitas) yang dirumuskan bersama oleh masyarakat dan diusulkan pada pemerintah untuk ditetapkan menjadi Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, atau paling tidak Peraturan Daerah. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 dan direvisi menjadi PP Nomor 13 Tahun 2015, ditetapkanbahwa kualitas pendidikan di Indonesia diukur dengan delapan standar, yakni  standar isi, standar proses; standar kompetensi lulusan; standar pendidik dan tenaga kependidikan; standar sarana dan prasarana; standar pengelolaan; standar pembiayaan; dan standar penilaian pendidikan.[4]Delapan standar ini telah dijelaskan serta ditentukan ukuran-ukuran pencapaiannya yang telah ditetapkan dalam bentuk Peraturan Menteri Pendidikan Nasional. Dengan demikian, ukuran pencapaian kualitas pendidikan di Indonesia sangat ditentukan oleh pencapaian masing-masing sekolah dalam mengimplementasikan program dan proses layanan menuju pada standar minmal hasil pendidikan yang diharapkan dalam seluruh standar isi dan standar kompetensi lulusan, didukung dengan terpenuhinya standar proses, sarana dan parasarana, pengelolaan, penilaian, pembiayaan dan lain-lain.

Lembaga dunia PBB melalui United Nation Children’s Fund (UNICEF) pernah melakukan penelitian teoretik untuk mengevaluasi dan mengukur kualitas penyelenggaraan pendidikan untuk anak-anak di tingkat sekolah dasar, dengan mengukur lima (5) variabel utama, yakni siswa, kurikulum dan bahan ajar, proses pembelajaran, lingkungan belajar dan outcome sekolah. Pada aspek siswa, diteliti tentang kesehatan, keterpeliharaan mereka sehingga siap untuk melakukan proses pembelajaran, dan terakhir dukungan keluarga dalam belajar. Sedangkan pada aspek lingkungan, dievaluasi dan diukur tingkat kesehatan lingkungannya, keamanan, proteksi terhadap para siswa dan kepekaan gender, dan penyiapan sumber-sumber dan fasilitas yang cukup untuk mereka belajar. Sementara aspek proses pembelajaran harus dilaksanakan oleh guru terlatih untuk mengajar, pembelajaran yang berpusat pada siswa, pengelolaan kelas yang baik, penilaian dilakukan oleh tenaga berkeahlian agar mampu memfasilitasi mereka belajar dan mengurangi disparitas hasil belajar. Kemudian pengukuran kualitas dalam aspek bahan ajar harus mencerminkan penguasaan basic skill bagi anak sekolah dasar yang akan melanjutkan studi dan menjadi seorang profesional dalam berbagai bidang pilihan mereka, harus pandai membaca, menghitung dan life skill. Terakhir pengukuran outcome dilihat dengan pencapaian pengetahuan, ketrampilan dan sikap sesuai tujuan pendidikan nasional dan kemampuan mereka berpartisipasi di masyarakat.[5]

UNICEF memang bukan badan PBB yang fokus pada pendidikan, tapi lembaga ini fokus pada keselamatan dan kesehatan anak-anak. Dan, salah satu kajiannya dalam mempersiapkan anak masa depan adalah pengukuran kualitas pendidikan yang, menurut UNICEF, bisa dilihat dari lima aspek, yakni kesehatan dan kesiapan belajar siswa, lingkungan belajar yang sehat, kurikulum yang baik dan mendukung pencapaian tujuan pendidikan nasional, proses belajar yang dipegang oleh para guru terdidik untuk menjadi guru, belajar yang berpusat pada siswa, kelas yang kondusif, dan lingkungan yang nyaman untuk siswa belajar, serta outcome yang sesuai dengan kebutuhan para pengguna, yakni kalau alumni SD akan memberi kepuasan pada SMP tempat para siswa melanjutkan studi mereka, kalau SMP memberi kepusan pada SMA tempat para siswa melanjutkan studi, dan begitu seterusnya. Bahkan jika ada sekolah kejuruan pada jenjang menengah atas, maka ketrampilan dan keahlian mereka itu sangat menggembirakan di mata para pengusaha yang menampung mereka bekerja.

Sementara Research Connection sebuah konsorsium antar-universitas yang dipimpin oleh Columbia University, dalam salah satu program penelitiannya yang berjudul “The Quality of School-Age Child Care in After-School Settings[6]” untuk mengevaluasi kualitas pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan yang mempersiapkan aktifitas anaak setelah sekolah, mengangkat dua kategori struktur dan proses. Kualitas struktur diukur dalam tiga (3) variabel, yakni; 1) rasio siswa dengan staf, ukuran rombongan belajar, dan program pengelolaan sekolah; 2) kualifikasi staf, level pendidikan dan pelatihan; dan 3) lamanya waktu layanan pendidikan. Kemudian, kategori proses diukur dengan delapan (8) variabel, yakni:

1. Keamanan fisik dan psikologis,

2. Struktur yang memadai

3. Hubungan yang sangat mendukung

4. Kesempatan keterlibatan  para siswa yang bermakna

5. Norma sosial yang positif

6. Orientasi pembelajaran yang mengembang pembinaan ketrampilan

7. Keseimbangan antara otonomi dengan stutter

8. Koneksitas antara sekolah, rumah dan  masyarakat

Kendati penelitian ini fokus pada kajian program after school setting yakni mengembangkan program dan kegiatan setelah sekolah berakhir, tapi menjadi bagian dari layanan pendidikan sekolah untuk para siswa. Dengan demikian, variabel-variabel yang mereka lihat sebagai faktor kunci untuk sebuah kualitas, merupkan bagian integral dalam pengukuran kualitas secara keseluruhan. Mereka bicara rasio siswa dengan guru, rombongan belajar dan lain-lain variabel yang digunakan dalam pengukuran kualitas sekolah. Dan bagi Indonesia, standar kualitas akan selalu  diukur dengan delapan standar pendidikan nasional dengan ukuran-ukuran yang sudah ditetapkan dalam peraturan menteri pendidikan nasional.

Sekolah/madrasah itu berkualitas atau tidak berkualitas sangat bergantung pada leadership dari kepala sekolah/madrasah, karena dialah pimpinan tertinggi di sekolah/madrasah itu, dan dialah yang bisa mengambil keputusan dalam segala hal, tentang guru yang direkrut, penugasan guru, rotasi guru, pembinaan guru dan bahkan promosi kepangkatan guru. Semakin guru itu bekerja dengan penuh antusias, bermotivasi baik, dinamis mengikuti kemajuan baik teori, instrumen, teknologi, maupun kebijakan pemerintah, maka akan semakin tinggi produktifitas sekolah, dan akan semakin besar kontribusnya terhadap pemajuan bangsa ke depan. Demikian pula dengan sarana serta prasarana pendidikan. Kepala sekolah/madrasah memiliki otoritas yang sangat besar untuk pengadaan sarana prasaran dengan mengajukan anggaran pembiayaan pada pemerintah atau pemerintah daerah bagi satuan pendidikan negeri, atau ke yayasan bagi satuan pendidikan swasta. Kemudian kepala sekolah juga memiliki kewenangan untuk mengatur waktu belajar siswa, antara full day school atau part day school, dan dialah yang bisa berkomunikasi secara eksternal pada pemerintah atau pemerintah daerah, pada tokoh masyarakat, atau pada apapun yang bisa berpartisipasi dalam pengembangan sekolah/madrasah.

Apa hang Harus Dilakukan Kepala Sekolah?

Terkait dengan tugas dan posisinya yang sangat strategis, maka kepala sekolah dituntut memiliki kreatifitas, yakni kemampuan untuk mentransformasikan ide dan imajinasi serta keinginan-keinginan besar menjadi kenyataan. Untuk menjadi orang kreatif, seorang kepala sekolah harus memiliki imajinasi, harus memiliki kekuatan ide melahirkan sesuatu yang belum ada sebelumnya, kemudian untuk menjadi orang kreatif, dia juga harus berusaha mencari cara bagaimana ide-ide tersebut diturunkan menjadi sebuah kenyataan. Dengan demikian, untuk menjadi kreatif setiap kepala sekolah harus memiliki dua variabel utama, ide dan karya. Ide dan gagasan tanpa karya hanya akan menghasilkan mimpi-mimpi indah tanpa membawa perubahan, sebagaimana juga karya tanpa gagasan baru hanya akan menghasilkan stagnasi dan kejumudan.[7]

Tugas kepala sekolah sebagai seorang manajer, sangat kompleks, tidak sekedar mengelola kurikulum dan buku ajar, tapi juga SDM guru, staf tata usaha dan juga mengelola serta mengembangkan aset dan mengelola keuangan institusi. Dengan demikian, dia harus memiliki tiga kecerdasan, yakni kecerdasan profesional, kecerdasan personal dan kecerdasan manajerial[8]. Kecerdasan profesional adalah penguasaan terhadap berbagai pengetahuan dalam bidang tugasnya, yakni pendidikan. Seorang kepala sekolah harus menguasai teknik penyusunan kurikulum, perencanaan pembelajaran, strategi pembelajaran, evaluasi, pengelolaan kelas, dan berbagai pengetahuan tentang pendidikan dan pembelajaran. Tidak mungkin jabatan kepala sekolah dipegang oleh seseorang yang tidak menguasai pendidikan,  atau sama sekali tidak pernah mengalami profesi keguruan, karena dia harus mengelola seluruh sumber daya untuk proses pendidikan dan pembelajaran.

Bersamaan dengan itu, kepala sekolah juga harus memiliki kecerdasan personal, yakni bisa menerima orang lain, menghargai orang lain, dan selalu respek kepada seluruh gurunya, seluruh orang tua siswa dan bahkan dengan tokoh-tokoh pendidikan di sekitar sekolahnya. Demikian pula, kepala sekolah harus respek pada para siswanya, termasuk siswa yang tertinggal dalam penguasaan bahan-bahan ajar, agar tidak ada satu anak pun yang tertinggal oleh rombongan belajarnya. Tidak boleh ada disparitas yang mencolok antara satu dengan lainnya, dan tidak boleh membedakan layanan hanya karena perbedaan etnik, bahasa, budaya dan agama. Kepala sekolah harus memiliki rasa percaya diri yang baik untuk berhadapan dengan para pejabat daerah dan pusat, dan tidak boleh superior terhadap guru, staf dan seluruh jajaran pegawai di sekolahnya.

Terakhir, seorang kepala sekolah harus memiliki kecerdasan manajerial, yakni memiliki ide-ide besar untuk kemajuan sekolahnya, mampu mengorganisir seluruh stafnya untuk melaksanakan program yang sudah ditetapkan sebagai rencana kerja tahunan, mampu memberi motivasi kepada seluruh staf akademik dan staf non akademik, dan selalu menghargai seluruh stafnya itu. Seorang kepala sekolah, harus mampu berkomunikasi dengan baik untuk membuat seluruh stafnya faham akan sesuatu yang harus mereka kerjakan, dan mampu mendorong mereka untuk bekerja memajukan institusi sekolahnya. Dan bahkan seorang kepala sekolah harus mampu mengevaluasi secara obyektif pekerjaan yang diselesaikan oleh seluruh tim kerjanya, dan menjadikan sebagai inspirasi untuk perbaikan di waktu yang akan datang.

Lalu apa yang harus dilakukan oleh kepala sekolah untuk memajukan sekolahnya?James Harvey dalam tulisannya berjudul “The School Principal as Leader: Guiding Schools to Better Teaching and Learning” mengatakan,seorang kepala sekolah harus melakukan lima hal kunci, yakni[9]:

         1. Merumuskan visi untuk kemajuan dan keberhasilan academik siswa

          2. Menciptakan suasana sekolah yang sangat kayak untuk pendidikan dan

              pembelajaran

          3. Menanamkan sikap kepemimpinan terhadap seluruh staf akademik dan non

              akademik

          4. Meningkatkan pembelajaran

          5. Mengelola seluruh staf akademik dan non-akademik untuk mengelola proses

              layanan akademik dan non-akademik dal am rangka mempercepat kemajuan

Kepala sekolah harus merumuskan visi kepemimpinannya yang jelas dan terukur, dan dapat difahami oleh semua staf akademik dan non akademik sehingga mereka memahami apa yang harus dikerjakan sesuai visi kepala sekolahnya. Kemudian menciptakan suasana yang dapat mendukung pelaksanaan proses pembelajaran, memimpin seluruh stafnya, serta mengelola seluruh orang dan proses untuk mempercepat kemajuan sekolah.

Di samping itu semua, ada hal yang sangat krusial yang harus dilakukan kepala sekolah dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya, yakni peningkatan kualitas proses dan hasil belajar. Kunci utama peningkatan mutu tersebut adalah guru. Pendidikan yang baik harus ditopang oleh guru yang memiliki kapabilitas, loyalitas dan integritas, serta akuntabilitas pelaksanaan tugas. Untuk keempat tagihan utama tersebut, guru harus bersikap profesional. Kepala sekolah harus memiliki komitmen kuat untuk mengembangkan, meningkatkan dan memelihara profesionalisme para guru di sekolah/madrasah nya. Untuk itu, menurut Paul V. Bredeson dari University of Wisconsin-madison, USA, dan  Olof Johansson dari University of UmeĆ„, Sweden, seorang kepala sekolah  harus melakukan delapan (8) langkah sebagai berikut[10].

Selalu melakukan analisis terhadap basil belajar siswa, khususnya analisis terhadap  hasil ujian siswa, dengan mengkaji perbedaan antara hasil belajar dengan tujuan danstandar kompetensi siswa.
Melibatkan guru dalam mengidentifikasi kebutuhan belajar siswa, dan      meningkatkan pengalaman belajar mereka untuk mencapai spa yang mereka  butuhkan.
Melakukan analisis apakah program sekolah sesuai dengan kegiatan harian guru.
Melakukan analisis apakah program-program yang sudah diorganisisr mash efisien untuk mengatasi masalah.
Melakukan analisis apakah kegiatan yang sedang berjalan dan program belajarberikutnya mendukung terhadap kebutuhan studi lanjut.
Melakukan evaluasi bersama dengan menggunakan data dari beragam sumber  belajar siswa dan bahan ajar yang diajarkan guru.
Memberi kesempatan bagi guru untuk akses pada teori-teori yang mendasari  pengetahuan, ketrampilan yang mereka pelajari.
Melakukan analisis apakah program pembelajaran siswa sesuai dengan tujuan  melakukan perubahan yang komprehensif pada siswa, dan apakah program  perubahan tersebut fokus pada kemajuan belajar siswa.
Dalam konteks peningkatan dan pengembangan profesionalisme guru ini, kepala sekolah harus memiliki data sebagai pijakan untuk melakukan perubahan menuju tercapainya tujuan dan terpenuhinya kebutuhan para siswa. Kemudian mendampingi para guru untuk melakukan perbaikan-perbaikan proses pembelajaran agar tetap konsisten menuju tercapainya tujuan yang disepakati bersama, dan sesuai pula dengan kebutuhan para siswa sebagai warga belajar.

Untuk meningkatkan kualitas sekolah/madrasah, kepala sekolah sebagai manajer yang bertanggung jawab terhadap maju mundurnya satuan pendidikan yang menjadi wilayah otoritasnya, yang paling pertama harus dilakukannya adalah merumuskan visi kepemimpinannya, mempersiapkan sekolah yang layak untuk penyeenggaraan pendidikan dan pembelajaran, bersikap sebagai seorang leader di hadapan seluruh staf akademik dan non-akademik, dan mengoptimalkan layanan seluruh stafnya untuk mempercepat kemajuan. Dan bersamaan dengan itu, kepala sekolah juga harus terus melakukan analisis terus menerus terhadap kesesuaian hasil belajar siswa dengan visi dan tujuan sekolah, kebutuhan siswa, kebutuhan studi lanjut, serta mengarahkan guru untuk menyesuaikan program pembelajaran dan proses pembelajaran dengan pencapaian visi tersebut, serta dengan berbagai variabel kebutuhan siswa untuk studi lanjut dan bahkan untuk mampu menyesuaikan diri dengan kehdupan sosial kemasyarakatan serta berbagai perubahan yang terjadai sangat cepat dalam kehidupan sosial. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Bahan Bacaan

Bredeson, Paul V.,dan Olof Johansson,The School Principal’s Role in Teacher Professional Development, Journal of  in Service Education, USA, 2013.

Colby, Jeanette,and Miske Witt, Defining Quality in Education, Working paper of Education Section, program division, UNICEF, New York 2000.

Harvey, James,The School Principal as Leader: Guiding Schools to Better Teaching and Learning, the Wallace  Foundation, 2013.

Little, Priscilla M.,The Quality ofSchool-Age Child Care in After-School Settings, Journal Child Care and Early Education, Research Connection, Columbia University, 2007,

Peraturan Pemerintah No. 13 tahun 2015, revisi atas Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005.

Rosyada, Dede,Paradigma Pendidikan Demokratis, Sebuah Model pelibatan Masyarakat dalam Pendidikan, Prenada Media, jakarta, 2013,

Rosyada, Dede,Creative Thinking, Kolom Rector UIN Syarif Hidayatullah, jakarta, Edisi 3 Mei 2015.

Tulisan disampaikan dalam Seminar Pendidikan yang diselenggarakan oleh

Asosiasi Kepala Sekolah Provinsi Banten, pad

[1]Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, Sebuah Model pelibatan Masyarakat dalam Pendidikan, Prenada Media, jakarta, 2013, h. xi.

[2]Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, …. h. 228

[3]Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, … h. 278.

[4]Pasal 2 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 13 tahun 2015, revisi atas Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005.

[5]Jeanette Colby and Miske Witt, Defining Quality in Education, Working paper of Education Section, program division, UNICEF, New York 2000, p. 3

[6]Priscilla M. Little,the quality of school-age child care in after-school settings, Journal Child care and Early Education, Reseacrh Connection, Columbia University, 2007, p. 4

[7]Dede Rosyada, Creative Thinking, Kolom Rector UIN Syarif Hidayatullah, jakarta, Edisi 3 Mei 2015.

[8]Dede Rosyada, Paradigma pendidikan Demokratis, … h. 233

[9]James Harvey,the school principal as leader: guiding schools to better teaching and learning, the Wallace  Foundation, 2013, p 4.

[10]Paul V. Bredeson dan Olof Johansson,The school principal’s role in teacher professional

development, journal of In Service Education, USA, 2013, p. 318

 Views: 87.994
Ditulis oleh Prof. Dr. Dede Rosyada, MA 20/10/2015

Rancang Bangun Budaya Akademik untuk Mendukung Program Research University - Prof. Dr. Dede Rosyada, MA


Oleh :
Prof. Dr. Dede Rosyada, MA 
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

 Pengantar

            Perguruan Tinggi memiliki dua fungsi yang sama kuat, yakni menghasilkan sarjana untuk menjadi tenaga-tenaga terampil dan tenaga ahli yang profesional, serta menghasilkan teori dan teknologi yang digunakan kalangan profesional dalam pengembangan industri, baik pertanian, tekstil, manufaktur ataupun lainnya. Dunia senantiasa membutuhkan dua-duanya. Industri membutuhkan tenaga kerja profesional, sebagaimana juga membutuhkan teknologi yang dapat mengefisiensikan proses produksi dalam indsutri yang para pelaku usaha jalankan. Berbagai temuan teknologi baru atau instrumen baru, akan membawa banyak perubahan, kemajuan dan bahkan daya saing sebuah bangsa, yang pada akhirnya akan mendongkraknya menjadi sebuah bangsa maju, dengan penghasilan perkapita tinggi, kesejahteraan masyarakatnya tinggi dan juga disegani oleh bangsa-bangsa lain di dunia.

            Penelitian di perguruan tinggi memiliki dua fungsi utama, yakni menghasilkan teori baru baik memperkuat teori yang sudah ada maupun mensubstitusi teori sebelumnya untuk mendinamisasi perkuliahan, dan kedua menghasilkan intrumen atau teknologi baru untuk mengaplikasikan teori tersebut dalam kehidupan nyata, apakah di kantor-kantor pemerintah, kantor perusahaan swasta, dunia industri atau dalam kehidupan sosial yang lebih luas. Kehidupan manusia, sejak dalam rumah, di jalan raya, di kantor dan di manapun tidak terlepas dari penggunaan teknologi hasil penelitian para ilmuwan, yang pada umumnya mereka berada di perguruan tinggi. Para ilmuwan dengan kapasitas keilmuannya, bisa menemukan sesuatu yang baru, tidak boleh dibelenggu dengan berbagai ikatan yang mengekang kreatifitas mereka, sebaliknya harus diberi kesempatan yang luas untuk menemukan sesuau yang baru lewat aktifitas penelitian, dengan ukuran-ukuran akuntabilitas produk yang mereka hasilkan, dan dipublikasikan serta memperoleh akseptabilitas dan pengakuan seluruh stakeholder dari temuannya itu.

            Perguruan Tinggi akan mampu mengotimalisasikan fungsi-fungsi kampusnya sebagai pusat kegiatan pembelajaran dan penelitian dengan baik, jika sudah memiliki budaya kampus yang mendukung untuk kegiatan pembelajaran dan penelitian, baik dalam konteks sarana dan prasarananya, tradisi akademik para dosennya, tradisi akademik para mahasiswanya, maupun tradisi akademik yang terbangun antara dosen dan mahasiswa. Tradisi akademik di kalangan dosen dan mahasiswa bukan sesuatu yang akan terjadi secara natural, tetapi sesuatu yang akan berkembang setelah terstimulasi oleh sebuah regulasi, kebijakan pelaksanaan regulasi, atau kebijakan universitas yang semata-mata dikembangkan oleh universitas karena visinya sendiri. Dengan demikian, budaya akademik di sebuah kampus akan berkembang jika dirancang oleh kampus sendiri melalui berbagai penugasan terhadap civitas academicanya.

Budaya Akademik Untuk Research University

            Research University ditandai dengan penugasan penelitian pada para dosen sama pentingnya, atau bahkan lebih penting daripada tugas layanan pembelajaran, sehingga produk kampus tidak sekedar jumlah sarjana yang diwisuda, tapi sejumlah teori baru, paten baru, dan bahkan mungkin akan ada temuan-temuan teknologi baru, intrumen baru atau model baru dalam pengelolaan organisasi, perusahaan atau kantor-kantor pemerintahan. Fokus pada penelitian berimplikasi pada proporsi mahasiswa antara program sarjana dan magister, dengan memperbesar program magister dan program doktor, karena dua program pascasarjana tersebut menghasilkan ilmuwan, dan mewajibkan para mahasiswanya melakukan penelitian untuk karya tulis akhir mereka. Dengan demikian, produk penelitian universitas akan meningkat. Demikian pula, dengan biaya penelitian yang terus diperbesar agar  frekwensi penelitian terus semakin besar, baik dana dari pemerintah, dana kampus sendiri, dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan-perusahaan swasta, maupun dana Research and Development dari perusahaan swasta yang dikerjasamakan dengan kampus.

            Perubahan pola ilmiah pokok dari kampus pembelajaran menjadi kampus penelitian berimplikasi perubahan paradigma budaya akademik di kampus. Tradisi akademik yang semula diwarnai dengan mentoring, diskusi-diskusi pengembangan ajar, praktikum, pelatihan dan workshop ketrampilan, kini berkembang dengan semakin maraknya conference pembahasan hasil-hasil penelitian, penulisan publikasi ilmiah dalam jurnal-jurnal nasional dan internasional, serta peluncuran berbagai temuan baru yang patut disampaikan pada masyarakat. Semua perubahan tersebut tidak akan terjadi secara instan, karena budaya akademik bukan sesuatu yang natural, tapi perubahan yang direncanakan dan dirancang. Perubahan budaya akademik dimulai dari perubahan penataan kampus dengan memberikan banyak fasilitas ruang conference untuk para peneliti membahas usulan penelitian, membahas progress penelitiannya, memperkuat jaringan internet, serta memperkuat networking dengan berbagai perguruan tinggi dalam dan luar negeri untuk penguatan akademik para dosen dan mahasiswanya. Akan tetapi, semua research university tetap mempertahankan fungsinya sebagai teaching university, dengan diversifikasi program akademik antara pengajaran dan penelitian.

            Sejalan dengan itu, penugasan dosen yang semula menghabiskan proporsi penugasan dosen untuk mengajar, sehingga beban mengajarnya mencapai 12 sks, 14 sks, dan bahkan ada yang mengambil sampai 16 sks, tanpa menyediakan waktu sama sekali untuk penelitian dan penulisan makalah ilmiah. Inilah ciri ekstrim teaching university, semakin besar beban mengajar, maka akan semakin kecil kesempatan bagi mereka untuk melakukan penelitian serta publikasi hasil penelitian dalam jurnal nasional dan internasional, sehingga teaching university akan sangat minim karya-karya akademik. Dengan bergerak menuju research university, penugasan dosen dibagi secara proporsional antara pengajaran dengan penelitian, bahkan untuk dosen-dosen yang memiliki target penelitian dan publikasi hasil penelitian dalam jurnal nasional dan internasional, bisa meminimalkan tugas mengajarnya dengan hanya mengambil 3 sks., sebagai beban kredit minimal untuk fungsi dikjar, sementara beban lainnya dipakai untuk kegiatan penelitian dan pengabdian pada masyarakat.

            Regulasi penugasan dosen, sebagaimana diatur pada pasal 8 ayat 1, butir b poin 1, PP No. 37 tahun 2009, adalah  bahwa dosen setidaknya melaksanakan tugas dengan beban kerja pendidikan dan penelitian paling sedikit sepadan dengan 9 (sembilan) SKS yang dilaksanakan di perguruan tinggi yang bersangkutan. Dengan demikian, dosen harus malaksanakan tugas dharma pendidikan di samping penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Beban minimal mengajar, jika dianalogikan pada dosen yang menjabat adalah 3 sks., sebagaimana diatur pada pasal 8 ayat 3, PP No. 37 tahun 2009. Dengan demikian, jika dosen hanya diberi tugas mengajar 3 sks dalam setiap minggu, sudah benar menurut regulasi, sementara 9 sks lainnya adalah untuk penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Akan tetapi, jika dosen mengambil beban kerja 9 sks untuk penelitian dan pengabdian pada masyarakat, berarti bahwa tugas penelitian harus minimal sebesar 6 sks, karena pengabdian pada masyarakat maksimal 3 sks. Oleh sebab itu, dosen harus mengalokasikan waktu untuk penelitian sebesar 6 X 270 menit perminggu, atau sekitar 27 jam perminggu untuk kegiatan penelitian. Itu artimya, rata-rata harus bekerja untuk penelitian sebanyak 9 jam per hari tiga hari dalam seminggu, karena dua hari lainnya untuk mengajar dan melakukan pengabdian pada masyarakat. Dengan demikian, dosen akan memiliki waktu yang sangat lapang untuk mempersiapkan penelitian mereka, baik penyiapan proposal, kajian teori, penyiapan instrumen, pengumpulan data lapangan, data laboratorium atau data lain dari sumber lain yang memiliki risiko waktu.

            Program-program penelitian yang bisa dilakukan sebagai pelaksanaan tugas pokok dosen, antara lain adalah:

Pertama, penelitian yang dibiayai oleh pemerintah melalui program kerja pemerintah di masing-masing perguruan tinggi negeri, atau program penelitian yang dikelola oleh masing-masing kementerian teknis. Anggaran ini selalu ada, karena memang diperlukan oleh setiap universitas untuk mengembangkan bahan ajar, memperbaharui bahan ajar, atau penemuan-penemuan teori baru, teknologi baru, isntrumen baru, atau model baru yang bisa mengembangkan khazanah ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kedua, penelitian yang dibiayai oleh Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), yakni dana yang dikelola perguruan tinggi dari hasil bisnisnya sebagai satuan kerja pemerintah  dengan mandat untuk memberikan layanan umum, sehingga berubah posisi satuan kerjanya dari satker APBN menjadi satker Badan Layanan Umum (BLU). Kemungkinan program penelitian yang dibiayai oleh sumber dana PNBP adalah sebagai berikut.

Penelitian yang dibiayai oleh anggaran internal universitas yang bersumber dari dana PNBP, baik berasal dari SPP, revenue dari pusat-pusat kegiatan usaha, CSR yang masuk dalam akumulasi PNBP universitas atau hibah.
Penelitian kemitraan dengan berbagai perusahaan atau institusi swasta yang dana penelitiannya diberikan penuh pada universitas untuk mengelolanya. Kendati fokus penelitian disesuaikan dengan permintaan pemilik dana, dan hasilnya untuk institusi pemilik dana, tapi penelitian tersebut termasuk dalam kategori pembiayaan PNBP.
            Ketiga, penelitian kemitraan dengan pemerintah daerah atau institusi lain yang para peneliti universitas diminta oleh perusahaan tersebut, oleh pemerintah daerah, atau oleh lembaga apapun sebagai konsultan mereka. Penelitian tersebut bisa dimasukkan dalam kategori pelaksanaan tugas wajib dosen, sejauh penelitian tersebut dilaksanakan atas dasar sebuah MoU antara universitas dengan pemerintah daerah atau perusahaan tersebut, dan universitas menugaskan dosen yang bersangkutan untuk melaksanakan MoU tersebut, dan pekerjaan profesinya itu dihitung sebagai pelaksanaan tugas wajib dosen dalam dharma penelitian. Dengan demikian, dia tetap harus mengajar sebanyak minimal 3 sks., dan selebihnya melaksanakan tugas penelitian di institusi mitra universitas tersebut. Kemudian, dosen yang bersangkutan harus memberitahu universitas tentang budget penelitian yang dibelanjakannya, serta insentif dia sebagai profesional, untuk diakumulasi sebagai cash flow universitas, dan secara keseluruhan cash flow universitas akan meningkat signifikan.

            Hasil-hasil penelitian, pada dasarnya adalah temuan teori baru, baik dengan mengkritik teori yang sudah ada, atau memang menghasilkan teori yang benar-benar baru. Semua penelitian harus menghasilkan teori baru. Kemudian teori tersebut diuji kekuatannya atau validitasnya dalam kenyataan empirik lewat pengabdian pada masyarakat. Setelah terbukti bahwa teori tersebut membawa perubahan, maka teori tersebut sudah layak untuk dipublikasikan dan diajarkan pada para mahasiswa. Ada tiga tahap validasi teori, yakni pengujian empirik dalam kehidupan nyata, dipublikasikan dalam jurnal ilmiah, dan terakhir diseminarkan.

            Kemudian, jika penelitian itu adalah kemitraan dengan pemerintah daerah, apakah dalam bentuk pendampingan atau lainnya. Maka program tersebut, bagi universitas harus menjadi karya akademik. Oleh sebab itu, dosen bisa mendisain program pendampingan tersebut dengan CBR (Community Based Research), dengan melaporkan hasil-hasil nyata  dari pendampingan tersebut, dengan mengidentifikasi perubahan-perubahan teoretik yang terjadi dalam dinamika kehidupan sosial tempat para dosen melakukan program pendampingan. Wallau a’lam bi al-shawab


Ditulis oleh Prof. Dr. Dede Rosyada, MA 28/01/2016 (REKTOR UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA)

CARA BELI BUKU KUMPUIS 99 SEMIOTIKA KEHIDUPAN

BUKU KUMPULAN PUISI 99 SEMIOTIKA KEHIDUPAN - KARYA : ZHAM SASTERA


Judul buku : 99 Semiotika Kehidupan 
Penulis : Zham Sastera
ISBN : 978-602-6752-12-3 
Penerbit : Asrifa 
Jumlah hal : 164 Dimensi : 14 x 21 cm 
Harga buku : Rp. 42.000 (Belum ongkir) 
Pemesanan secara POD via SMS/Line/Wa 085624070744

 --------------- Sinopsis :

 ---------------- daku kini bukan saatnya bercumbu dengan jeratan kaku tatap pasti lembayung senja, kembali melukis asa, di sana bukan bertopang pada buah celatuk butuh satu genjotan rasa rasa yang bercampur dengan butiran permata makna bukan lepas tangan dalam resah kelana ------ 

“Membaca kumpulan puisi ini kembali mengguggah hati dan pikiran kita; bahwa kita tidak bisa hidup tanpa alam. Alam telah memberi kita segalanya, lalu apa yang kita berikan untuk alam? Bacalah buku ini.” (Dwi Suwiknyo, SE, M.Si – Founder Pesantren Penulis) 

“Puisi yang penuh makna dan ditulis dengan hati, sebuah karya yang membuat saya tertegun dan berusaha menangkap setiap untai kalimat yang ditulis jujur nan indah.” (Adhan Efendi, M.Pd - Demisioner Kadera Pramuka UNSRI, Aktivis Kemanusiaan, Orang yang memiliki mimpi) 

“Membaca puisi Zham Sastera, saya tidak hanya disuguhi rangkaian kata yang indah, tetapi juga mendengar teriakan kecil yang ketika diikuti semakin menumbuhkan motivasi.” (Ocol Abthal / Roni S. Wahid – Penulis Novel My Romance Comedy & Reporter Mazalah Sahabat) 

“Membaca sajak-sajak Zham Sastera, seakan saya diajak menyelami makna hidup. Dengan diksi yang ringan namun dalam, puisi-puisi dalam buku 99 Semiotika Kehidupan mampu menghanyutkan diri ke dalam perenungan tentang hakikat makna hidup di bumi Tuhan dan hakikat dalam bertuhan itu sendiri. salut dengan Zham Sastera, lanjutkan!!!” (Belda E. Janitra – Penulis, Aktivis Kemanusiaan, & Traveller)

Info Lengkap bisa hub Penerbit di :
http://www.asrifa.com/2015/11/new-book-judul-buku-99-semiotika.html