Rabu, 10 Desember 2014

RELASI GENDER DI DALAM AGAMA YAHUDI



a.      Bias Gender di dalam Talmud
     Talmud secara literal berarti “pelajaran”, menjadi istilah bagi koleksi rekaman diskusi-diskusi dan administrasi hukum Yahudi oleh para ulama dan ahli hukum Yahudi dari berbagai disiplin ilmu, dari tahun 200 sampai 500 SM. Dalam sejarah Yahudi dikenal dua macam Talmud, yaitu Talmud Babilonia dan Talmud Palestina atau Yerusalem. Kedua Talmud ini mempunyai banyak persamaan, antara lain terdiri atas dua bagian pokok, yakni Mishnah, berisi hukum-hukum secara lisan atau semacam hukum adat yang mengikat kepada umat yahudi, dan Gemara yang merupakan penafsiran dan penjelasan tambahan terhadap Mishnah. Talmud Babilonia ini memuat berbagai cerita rakyat, dan Talmud inilah yang paling banyak tersebar di berbagi wilayah.
     Dalam Talmud ini seringkali diceritakan tradisi orang-orang Yahudi serta hukum-hukum yang ada, termasuk cerita penciptaan perempuan dan penyebab keluarnya Adam dari surge karena godaan Hawa. Cerita-cerita seperti inilah yang melahirkan faham missoginis (pembencian perempuan oleh laki-laki). Riffat Hasan pun berkomentar bahwa ajaran Yahudi memberikan citra negative terhadap perempuan, karena menganggap perempuan sebagai penyebab utama terjadinya dosa warisan     Keberadaan perempuan dalam kehidupan masyarakat Yahudi sejak dahulu selalu direndahkan. Hal ini karena isi dari kitab Talmud sangatlah bias gender. Dalam kitab ini, perempuan dianggap sebagai pendosa besar, karena telah menggoda Adam untuk memakan buah yang sudah dilarang untuk dimakan hingga ia tergoda dan membuat Adam diturunkan dari surga. Hal ini yang menjadi anggapan dari orang-orang Yahudi untuk mewariskan dosa turunan ini pada perempuan. Perempuan selalu menjadi jenis kelamin kedua (the second sex) dalam setiap literature-literatur Yahudi. Perempuan dalam agama Yahudi direndahkan dan dihina luar biasa. Laki-laki akan selalu mendapat tempat sebagai penguasa, mereka pun berhak dalam menentukan nasib anak-anak perempuan, saudara perempuan, bahkan isteri ayahnya pun akan ada ditangan anak laki-laki. Ayah bahkan diperbolehkan untuk menjual anak perempuannya untuk dijadikan sebagai pelayan atau budak jika dalam keadaan mendesak seperti kesulitan ekonomi. Disini amatlah jelas bahwa agama yang paling merendahkan perempuan adalah Yahudi.
Anehnya hal ini pun terdapat pula dalam pandangan para penafsir al-Qur’an yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan pandangan missoginis, entah karena para penafsir ini sangat patriarki atau karena hal lainnya. Padahal Allah sendiri tidak pernah membeda-bedakan kedudukan perempuan dan laki-laki dalam kitab al-Qur’an.

b.      Citra Perempuan dalam Tradisi Yahudi
     Perempuan dalam agama Yahudi kedudukannya sebagai makhluk sosial tidak pernah dianggap keberadaannya. Hal ini bisa kita lihat dlebih jelas lagi dari sejarah. Perempuan akibat dosa turunan yang melekat padanya turut pula melekat pada masyarakat modern sampai sekarang. Tradisi yang menyebutkan bahwa perempuan saat masa haidnya sangatlah kotor, sampai-sampai fasilitas yang ada padanya dibedakan dengan orang lain. Mereka yang sedang haid tidak boleh disentuh atau pun didekati sedikit pun, apa pun yang disentuh olehnya akan dianggap najis.
Bahkan hak-hak perempuan dalam agama Yahudi tidak memiliki hak sama sekali, bahkan hak untuk hidup. Keberadaan mereka tidak pernah diinginkan sama sekali, karena dianggap sebagai penggoda saja. Dalam tradisi Yahudi perempuan bisa dan bahkan boleh untuk diperjualbelikan sebagai budak oleh ayahnya sendiri. Apabila suaminya telah meninggal pun ia boleh diwariskan kepada saudara laki-laki suaminya, dan akan menjadi pelayan dari saudara laki-laki suaminya tersebut.
Dalam Exodus disebutkan, ‘Jika seorang laki-laki menjual anak perempuannya untuk dijadikan budak, maka anak tersebut tidak dapat diperlakukan seperti budak-budak lainnya.’ Artinya, anak perempuan tersebut tidak bisa ditebus kembali maupun dibebaskan, tapi harus tetap menjadi budak selamanya. Dia tidak hanya dijual, tapi juga dipastikan menjalani perbudakan selamanya.Begitulah realitas yang terjadi dalam agama Yahudi, perempuan dihina, dicaci, bahkan dianggap najis.

c.       Teologi Feminis dan Rekonstruksi Peran Perempuan dalam Kehidupan Masyarakat  Yahudi
Dalam pemahaman para feminis Yahudi, mereka bisa saja menganggap Talmud memanglah sangat bias gender. Tapi mereka juga tidak bisa menolak hal tersebut, karena penyusun dan penafsir-penafsir Talmud sendiri merupakan laki-laki yang sangat berpaham patriarkhi. Perempuan-perempuan Yahudi pun tidak dapat menolak penafsiran-penafsiran patriarki tersebut. Karena mereka sendiri tidak diperbolehkan untuk mempelajari Perjanjian Lama. Terbukti dengan masih berlakunya penindasan terhadap perempuan dalam Yahudi, dan perempuan akan selalu dianggap sebagai jenis kelamin kedua setelah laki-laki.
Hukum Yahudi yang berhubungan dengan perempuan tetap tidak berubah hingga sekarang, dan memasukkan peraturan dan ketetapan berikut ini mengenai perempuan: “Seorang perempuan harus dianggap kotor begitu dia merasa bahwa masa dating bulannya hamper mulai, meskipun tidak ada tanda-tanda yang jelas. Bahkan suaminya tidak dibolehkan untuk menyentuh barang-barang yang disentuh isterinya ketika isterinya sedang haid.”
“Seorang perempuan yang melahirkan anak dijauhkan karena dianggap kotor. Jika dia melahirkan anak laki-laki, dai akan tetap kotor selama 7 hari. Di lain pihak jika dia melahirkan seorang anak perempuan, dia akan tetap kotor selama 14 hari. Jika anaknya laki-laki, dia tidak boleh mandi selama 40 hari dan 80 hari jika anaknya perempuan.”
Peraturan-peraturan ini sangatlah jelas menunjukkan betapa hinanya kaum perempuan dalam agama Yahudi. Mereka menganggap kaum perempuan sebagai sumber dosa dan cabul serta busuk. Hal ini juga menunjukkan sejauh mana agama Yahudi telah berubah dan menyimpang selama berabad-abad untuk mendapat “persetujuan” masyarakat modern
Kesimpulan
Dari pembahasan ini kita dapat mengetahui tradisi asal kenapa perempuan selalu dianggap rendah, karena sebelum datangnya Islam, ada agama Yahudi yang diturunkan kepada Bani Israel yang terkenal dengan tradisi patriarkinya. Cerita-cerita tentang penciptaan perempuan dan dosa yang dilakukan Hawa terhadap Adam ini terdapat dalam Perjanjian Lama (Talmud). Hal ini juga melekat dalam ajaran agama Kristen dalam Perjanjian Baru yang sekarang disebut Injil. Hal tersebut melekat dalam kultur sosial masyarakat yang terpengaruh kedua agama itu. Kemudian terus berkembang hingga datangnya Islam, tapi cerita ini pun tak kunjung hilang, justru dipakai juga dalam menafsirkan ayat-ayat penciptaan manusia dalam al-Qur’an.


ILMU PERBANDINGAN AGAMA ( Ajaran Gereja dan Sakramen )

TUGAS RESUME
“AJARAN GEREJA DAN SAKRAMEN”
(Tugas ini dibuat untuk salah satu tugas pada mata kuliah Agama Kristen)



Dosen:
Drs. M. Nuh Hasan, MA







Oleh

Jamiludin
1112032100023



JURUSAN ILMU PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA




A.     GEREJA : PENGERTIAN, SIFAT DAN TUJUAN

PENGERTIAN
Kata “Gereja” berasal dari kata Portugis igreya, yang jika mengingat akan cara pemakaiannya sekarang ini, adalah terjemahan dari kata Yunani kyriake[1][1], yang berarti yang menjadi milik Tuhan. Adapun yang dimaksud dengan “milik Tuhan” adalah: orang-orang yang percaya kepada Tuhan Yesus sebagai Juru Selamatnya. Jadi yang dimaksud dengan “Gereja adalah persekutuan para orang beriman”.[2][2] Menurut Alkitab, keselamatan yang dikaruniakan oleh Tuhan Allah dengan perantaraan karya Tuhan Yesus Kristus itu pertama-tama bukan ditujukan kepada perorangan, melainkan kepada umat Allah sebagai keseluruhan, atau kepada umat Allah yang mewujudkan suatu kesatuan. Yang disebut anak Allah pertama-tama adalah seluruh persekutuan orang beriman.Akan tetapi oleh karena tiap orang beriman menjadi anggota umat Allah sebagai keseluruhan, maka dengan sendirinya tiap orang beriman juga mendapat bagian dari keselamatan tadi.[3][3]
Istilah Yunani ekklesia berarti pertemuan atau sidang. Kata ini umumnya dipakai bagi sidang umum dari penduduk kota yang dikumpulkan secara resmi. Tidaklah jelas apakah pemakaian ekklesia secara Kristiani pada mulanya diambil dari pemakian non-Yahudi atau dari pemakaian Yahudi, tapi adalah pasti bahwa kata ini lebih mengandung arti “pertemuan” daripada “organisasi” atau “masyarakat”. Sifat asas ekklesia ialah setempat. Ekklesia setempat janganlah dipandang sebagai bagian dari ekklesia seantero dunia. Sekalipun adalah mungkin banyaknya gereja seperti banyaknya kota bahkan banyaknya rumah tangga, namun PB hanya mengacu pada satu ekklesia, tanpa menganggap perlu menjelaskan hubungan antara gereja yang satu dengan yang banyak itu. Gereja yang satu itu bukanlah gabungan atau federasi dari sekian banyak gereja. Gereja mewujudkan realitas “sorgawi” yang tidak tergolong bentuk dunia ini,  tapi termasuk wawasan kemuliaan kebangkitan, tempat Kristus ditinggikan di sebelah kanan Allah (Ef 1:20-23; Ibr 2:12; 12:23). Namun, karena ekklesia setempat dikumpulkan bersama dalam nama Kristus dan memiliki Kristus di tengah-tengahnya (Mat 18:20), maka ekklesia itu merasakan kuasa zaman yang akan datang dan merupakan buah-buah sulung dari ekklesia yang eskatologis. Demikianlah gereja setempat disebut “jemaat Allah”, yang telah dibeli dengan darah-Nya sendiri (Kis 20:28; 1 Kor 1:2; 1 Ptr 5:2; 1 Kor 12:27).[4][4]

1. Arti Linguistik

Kata "gereja" sebetulnya tidak terdapat dalam Alkitab bahasa Indonesia, tetapi kata ini sama dengan "jemaat" atau "sidang jemaat" (/TB #Mat 16:18; 18:17; Rom 16:1,5*). Kata-kata ini adalah terjemahan
dari bahasa Yunani "ekklesia." Kata ekklesia terdiri dari kata depan "ek" yang berarti "ke luar" dan kata kerja "kalein" yang berarti "memanggil." Maka ekklesia berarti "orang-orang yang dipanggil ke luar."

2. Arti Sekuler

Di masyarakat Yunani kuno, ekklesia merupakan sebagian rakyat setempat yang berkumpul untuk menyelesaikan persoalan-persoalan mereka di bawah pimpinan pemerintahan yang bersifat demokrasi. Dalam /TB #Kisah 19:39* istilah ini dipakai untuk menunjukkan suatu badan politik yang bercorak demokrasi, yaitu "Sidang Rakyat" di Efesus.

3. Arti di dalam Perjanjian Lama

Di dalam Septuaginta (Perjanjian Lama bahasa Yunani), kata Ibrani "Qahal" diterjemahkan sebagai "ekklesia." Qahal menunjukkan sidang bangsa Israel di hadapan Allah. Misalnya: Jemaah/Congretation (/TB #Ul 31:30; 1Taw 29:1). Jemaah/Assembly (Hak 21:8*). Maka konsep orang Israel tentang "jemaah" adalah perhimpunan umat Allah di bawah kedaulatan teokrasi. Masih ada satu istilah yang mempunyai konsep ekklesia yaitu "Sinagoge" (Synogogue) yang diterjemahkan sebagai "rumah ibadat" (/TB #Mr 1:21-23*) atau "rumah sembahyang" (/TB #Luk 4:15-16*). Sinagoge merupakan suatu tempat di mana mereka berbakti kepada Tuhan dan kebaktian itu berkenan dengan berdoa, membaca serta menjelaskan ayat-ayat dalam Perjanjian Lama. Gagasan Sinagoge ini mirip dengan eklesia.

4. Arti di dalam Perjanjian Baru

Tatkala Yesus mengatakan "Aku akan membangun jemaat-Ku (Ekklesia)" (/TB #Mat 16:18*), para murid mengetahui apa yang dimaksud dengan "jemaat-Ku." Seolah-olah Tuhan mengatakan: "Lihatlah, orang-orang Yahudi mempunyai jemaat dan orang Yunani juga mempunyainya. Kini Aku akan membangun jemaat-Ku." Menurut Hall Lindsay, gereja di dalam Perjanjian Baru adalah suatu demokrasi-teokratik, suatu lembaga yang bebas, tetapi kebebasan
mereka berdasarkan kesetiaan kepada Kristus. Maka gereja merupakan suatu tubuh, di mana anggota-anggota-Nya disatukan melalui kasih mereka terhadap Kristus dan ketaatan kepada-Nya (under the Lordshipof Christ).

SIFAT
Kata "ekklesia" dipakai di Perjanjian Baru sebanyak 115 kali, di mana 92 kali dipakai untuk menunjukkan gereja setempat (local Chruch). Yang lain menunjukkan gereja di dalam pengertian yang umum. Dengan demikian kita megenal dua ganda sifat dasar gereja:

1. Dalam pengertian umum Ekklesia

"Ekklesia" mencakup semua orang yang beriman di dalam Kristus, tanpa menyinggung perbedaan waktu dan lokalitas (/TB #Mat 16:18*). Inilah yang disebut dalam Pengakuan Iman Rasuli sebagai "gereja yang kudus dan am." Gereja ini akan menjadi realitas sewaktu Tuhan Yesus datang untuk kedua kalinya (/TB #Ibr 12:23; Wahy 21:22*).

2. Dalam pengertian lokal

"Ekklessia" merupakan gereja setempat, gereja yang berkaitan dengan waktu dan tempat dan merupakan sebagian dari gereja yang kudus dan am.

Tatkala Yesus mengatakan: "Aku akan membangun jemaat-Ku, kepadamu Aku berikan kunci Kerajaan Surga" (/TB #Mat 16:18*). Di sini "jemaat" menunjukkan gereja di dalam arti yang umum. Tetapi janji Tuhan itu diulang di dalam /TB #Matius 18:18-20*, di mana gereja setempat pun diberi "Kunci Kerajaan Surga.
TUJUAN
Tujuan gereja tercantum dalam /TB #Efesus
Tha nguoi dung noi se yeu minh toi mai thoi thi gio day toi se vui hon. Gio nguoi lac loi buoc chan ve noi xa xoi, cay dang chi rieng minh toi.
mencapai tujuan ini, hendaknya kita mengenal dua kata yang sering muncul di dalam Perjanjian Baru :

1. Koinonia
Yaitu persekutuan (Fellowship) yang mempunyai arti "sharing" di dalam persahabatan, iman, pelayanan bahkan harta benda (/TB #Kis 2:44*).Koinonia akan tercapai kalau kita rela diatur dan di satukan oleh Roh Kudus.
2. Diakonia
Yaitu pelayanan orang Kristen. Hal ini dijelaskan oleh D.L. Moody sebagai berikut: "Gereja adalah misi, tanpa misi berarti tanpa gereja. Tuhan memanggil dan mengasingkan gereja dan keduniawian dan kemudian mengutusnya kembali ke dunia dengan suatu misi."

Memang bentuk organisasi dan liturgi boleh senantiasa berubah menurut kebutuhan masing-masing tetapi tujuan gereja adalah sama yaitu melalui Koinonia dan Diakonia kita memuliakan Tuhan.
















B.     GEREJA SEBAGAI TUBUH KRISTUS

Prinsip hidup ”di dalam Kristus[5][5]/tubuh Kristus” bukan hanya dimaksudkan dalam konteks sempit yaitu menyangkut masalah pribadi dan berkaitan dengan rohani pribadi seseorang, tetapi menyangkut juga dengan kehidupan sosial bersama, khususnya gereja. Bagi Paulus gereja itu saja, sebagai tubuh Kristus, dan satu Israel yang baru. Oleh karena ancaman serta perpecahan yang terjadi merupakan hal yang sangat menyedihkan hati Paulus. Konsepsi Paulus mengenai kesatuan meliputi kesatuan spiritual dalam Kristus/tubuh Kristus di mana tidak terdapat perbedaan dalam hubungan dengan Allah, tetapi bukan kesatuan yang menghilangkan semua perbedaan historis. Konsepsinya mengenai kesatuan memerlukan keutuhan yang terus menerus antara bangsa-bangsa bukan Yahudi dan bangsa Yahudi. Iman kepada Yahwe sebagai Allah yang esa yang universal dengan demikian memerlukan pengakuan bersama antara orang-orang yahudi dan orang-orang bukan yahudi bahwa mereka adalah milik Allah yang sama. Boleh dikatakan lebih lanjut bahwa setiap usaha oleh salah satu pihak untuk menghapuskan keadaan etnik dan budaya pihak yang lainnya akan berarti menghancurkan konsepsi khusus Paulus mengenai kesatuan antara orang-orang Yahudi dan orang-orang bukan Yahudi.[6][6]
Ungkapan tubuh Kristus dalam PB digunakan dengan trimakna:[7][7]
1.      Tubuh manusiawi dari Yesus Kristus. Ini ditekankan dalam PB oleh para penulisnya sebagai benar-benar riil menghadapi doketisme (menyangkal bahwa Yesus Kristus datang dalam daging adalah ’dari antikristus’ 1 Yoh 4:2-3). Realitas tubuh Kristus adalah bukti bahwa Ia benar-benar manusia sejati. Bahwa Sang Anak harus mengenakan tubuh manusiawi memang maha penting bagi keselamatan (Ibr 2:14) dan teristimewa bagi pendamaian (Ibr 10:20). Bahwa tubuh itu menjadi lain (bukan dilepaskan) pada kebangkitan-Nya adalah jaminan dan contoh dari kebangkitan tubuh orang percaya (1 Kor 15; Flp 3:2).
2.      Roti perjamuan terakhir. Tentang ini Kristus berfirman, ”Inilah tubuh-Ku” (Mat 26; Mrk 14; Luk 22; 1 Kor 11; 1 Kor 10:16). Kata-kata ini dalam sejarah ditafsirkan dalam dua arti: ”Itu melambangkan korban-Ku”, dan ”Inilah Aku Sendiri”.
3.      Ungkapan yang persis dipakai Paulus dalam 1 Kor 10:16; 12:27 dan mengacu kepada sekelompok orang percaya (bnd Rm 12:5 ’satu tubuh dalam Kristus’) dan ’tubuh’ dalam ayat-ayat tentang suatu gereja atau Gereja, yaitu 1 Kor 10:17; 12:12; Ef 1:23; 2:16; 4:4,12,16,23; Kol 1:18,24; 2:19; 3:15. Perhatikanlah bahwa ungkapannya adalah ”tubuh Kristus”, bukan ”dari orang-orang Kristen”, dan mengandung ari dapat kelihatan, berjemaat dan eskatologis.
Asal dari lukisan Paulus tentang ”Tubuh Kristus” ini telah dicari di pengambilan bagian secara kelompok dalam roti perjamuan, menyatakan tubuh yang telah dipecah-pecahkan, konsepsi-konsepsi Stoa, Kristus dianggap satu dengan orang Kristen (Kis 9:4-5; Kol 1:24).
PB menamai gereja itu dengan beberapa istilah, yaitu gereja adalah bait Allah, bangsa Allah, Israel baru. Tetapi istilah yang paling tepat adalah gereja sebagai tubuh Kristus. Istilah ini sangat banyak dalam surat-surat Paulus (Ef 1:22; 5:29; Kol 1:18; 1 Kor 10:6). Dari ayat-ayat ini dinyatakan walaupun anggota tubuh dalam satu badan yang berbeda, tapi mempunyai tugas masing-masing dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Tubuh dan kepala ialah perumpamaan yang tepat untuk menggambarkan wujud gereja. Karl Barth menguraikan arti istilah ini melalui 4 point:[8][8]
1.      Tubuh Kristus berarti bahwa di dalam gereja ada hubungan dengan Kristus. Gereja bukan lanjutan inkarnasi Allah. Tapi tanda itu nampak di dunia ini. Kristus telah pernah datang berupa badan manusia, sekarang berada dalam tubuh-Nya yakni gereja. Jadi gereja adalah tubuh duniawi dari Tuhan surgawi.
2.      Gereja dikumpulkan dan diperintahkan oleh Kristus sang kepala gereja. Gereja tidak boleh bertindak seolah-olah ia berdiri sendiri dan tidak boleh memerintah diri sendiri. Dari awal, gereja adalah milik Kristus dan Dia-lah yang memerintah (Kristokrasi). Jadi gereja bukan perkumpulan orang-orang yang saleh. Gereja dijadikan oleh Kristus dan milik Kristus.
3.      Perkataan tubuh Kristus berarti anggota gereja bukan membntuk kesatuan oleh dorongan hati sendiri. Mereka adalah satu kesatuan. Gereja bukan gabungan oknum-oknum yang mengakibatkan berdirinya gereja. Gereja melebihi oknum, melebihi jumlah anggota jemaat, gereja adalah ibu orang percaya.
4.      Istilah tubuh ada kaitannya dengan suatu badan yang tampak. Jika kita lihat gereja, kita melihat anggota jemaat, pendeta dll. Tapi masih ada yang tidak kelihatan, yaitu iman, persekutuan. Kita percaya bahwa kita adalah anggota jemaat yang telah dipanggil dan dibenarkan juga dihimpunkan oleh Tuhan. Kita tidak boleh membedakan gereja yang tampak dan tidak tampak. Keduanya adalah dua segi dari satu badan.
Gereja adalah tempat persekutuan orang-orang yang telah dipanggil dan disucikan oleh Allah melalui karya penebusan Yesus di kayu salib dan diutus ke dalam dunia untuk mempersaksikan Yesus Kristus.[9][9] Gereja sebagai ”tubuh Kristus” berarti di dalam ada hubungan yang serasi antara Kristus sebagai kepala, gereja sebagai tubuh dan sesama anggota tubuh. Gereja sebagai tubuh Kristus terdiri dari berbagai macam bentuk anggota akan tetapi semua macam-macam anggota tersebut telah dipersatukan dalam tubuh Kristus dan harapan gereja sebagai tubuh Kristus adalah untuk saling mengasihi, saling membantu dan saling menghormati dan saling merendahkan diri di hadapan Tuhan. Gereja sebagai tubuh Kristus dan Kristus sebagai kepala tentu ada yang menghubungkan dan mempersatukan yaitu Roh Kudus. Hubungan kepala dan tubuh harus selalu terkordinir agar pertumbuhan tubuh itu sehat dan baik. Gereja hanya dapat menjadi sehat dan berguna apabila hanya Kristus benar-benar menjadi kepala setiap warga dan segala perilaku kehidupannya, membiarkan diri diatur oleh-Nya sebagaimana setiap bagian tubuh yang sehat patuh kepada Yesus Kristus sebagai kepala adalah pemegang kendali pemerintahan sekaligus menjadi tujuan, sehingga apapun yang dilakukan oleh tubuh (gereja), semata-mata untuk kepala gereja sebagai tubuh Kristus tersangkut dengan persekutuan sesama.[10][10]


C.     HUBUNGAN GEREJA DENGAN KERAJAAN ALLAH
Di dalam Al kitab kita mendapatkan bahwa Yesus sendirilah yang pertama kali menggunakan kata Gereja atau Jemaat. Dalam Matius 16:16-18, ketika pertama kali Kristus berbicara mengenai gereja, yang Ia maksudkan adalah Gereja atau Jemaat yang Universal, yang sesungguhnya tidak keliatan oleh mata manusia. Atas dasar pernyataan Yesus ini maka dapat di sebutkan bahwa gereja adalah:
1.      Milik Kristus;
2.      Hanya ada satu (kata gereja di sini tidak di tulis dalam bentuk jamak);
3.      Didirikan oleh Kristus sendiri;
4.      Dibangun atas Batu Karang (pondasi rohani), yaitu Yesus Kristus;
5.      Akan mengalahkan alam maut;
6.      Memiliki kunci kerajaan surga;
7.      Akan memiliki kuasa untuk mengikat dan melepaskann, baik dibumi maupun di sorga.
Jelaslah bahwa diantara Kerajaan Allah dan Gereja terdapat hubungan yang erat, karena Kristus telah memberikan kunci kerajaan surge kepada gereja.
George E. Ledd menyatakan bahwa Kerajaan Allah harus dianggap sebagai pemerintahan Allah.Gereja dengan demikian merupakan kumpulan orang yang berbeda dibawah pemerintahan Allah.Kerajaan Allah adalah kepemimpinan Allah, sedangkan gereja merupakan masyarakat yang berbeda dibawah kepemimpinan tersebut. Lima butir dasar hubungan di antara Kerajaan Allah dengan Gereja, yaitu:

1. Gereja bukan Kerajaan Allah.
2. Kerajaan Allah mendirikan Gereja.
3. Gereja menyaksikan kerajaan Allah.
4. Gereja merupakan alat Kerajaan Allah.
5. Gereja adalah pemelihara-penjaga kerajaan Allah.
Jadi, Gereja meruapakan manifestasi dari kerajaan atau pemerintahan Allah. Gereja merupakan bentuk pemerintahan Allah tersebut dimuka bumi ini. Gereja merupakan manifestasi pemerintahan Allah yang berdaulat di dalam hati kita, dimana kehendak Allah  dilaksanakan.
(Erickson, Millard J., 1985. Christian Theology. Edisi Indonesia diterjemahkan (1998), 3 jilid, Penerbit Gandum Mas: Malang)






D.     PENGERTIAN SAKRAMEN
Sakramen beararti suatu kenyataan yang tampak yang meghadirkan rahmat penyelamataan Allah. Dengan kata lain, sakramen adalah suatu “tanda” yang tampak dari karya Allah yang tidak tampak.
Orang-orang Kristiani yankin bahwa keberadaan Gereja (jemaat Kristiani) di dunia ini menandakan karya yang telah, sedang, dan akan dilaksanakan oleh Allah bagi umat manusia melalui manusia Yesus. Karya Allah, yaitu karya rekonsiliasi/pendamaian (medamaikan manuisa dengan Allah dan manusia dengan manusia) dan karya pengudusan  (membuat manusia menjadi kudus, yaitu hidup dalam kasih dan ketaatan kepada Allah), berlanngsung di dalam dan di luar Gereja Kristiani (misalnya, Allah berkarya pula dalam umat Islam). Keberadan Gereja menjadi saksi karya pendamaian dan pengudusan yang dilakukan Allah dalam sejarah dan menunjukan cara Allah – menurut keyakinan Kristiani – melaksanakan penyelamatan umat manusia.
Orang-orang Kristiani yakin bahwa Kristus yang telah bangkit hidup didalam dan bersama dengan umat-Nya dan senantiasa melakukan hal yang sama seperti yang telah Ia lakukan dalam hidup Nya di Palestina: mengajar,  berdoa, member makan, menghibur, mengampuni, menderita, dan mati di bunuh. Aktifitas yang tidak nampak ini dibuat tampak dalam kehidupan umat melalui penerimaan sakramen-sakramen. Dengan kata lain, ketika orang Kristiani mengambil bagian dalam penerimaan sakramen, ia percaya bahwa ia berjumpa dengan Kristus yang telah bangkit yang menawarkan rahmat penyelamatan Allah.
Hampir semua orang Kristiani sependapat bahwa sakramen yang utama ada dua, yaitu: Sakramen Baptis dan Ekaristi. Disamping sakramen yang utama ini, orang-orang Kristiani Ortodoks dan Katolik meyakini ada lima sakramen yang lain, sehingga semuanya ada tujuh sakramen. Gereja-gereja Protestan  bervariasi dalam hal jumlah sakramen yang mereka akui, tetapi kebanyakan menerima ada dua sakramen utama, yaitu Baptis dan Ekaristi (Perjamuan Kudus). Sedikit saja Gereja Protestan, misalnya “Quakers” (Penggoncang) dan “Salavation Army” (Bala Keselamatan) yang sama sekali tidak mempunyai sakramen.( Thomas Michel S. J . 2001, hal, 78-79)










E.      SAKRAMEN DALAM GERJA  ROMA KHATOLIK DAN KRISTEN  PROTESTAN
SAKRAMEN KHATOLIK
Gereja-Gereja Katolik, Ortodoks TimurOrtodoks OrientalAssyriaAnglikanMethodis, dan Lutheran yakin bahwa sakramen-sakramen bukan sekedar simbol-simbol belaka, melainkan "tanda-tanda atau simbol-simbol yang mengeluarkan apa yang dilambangkannya", jadi, sakramen-sakramen, di dalamnya dan dari padanya, yang dilayankan dengan benar, digunakan Allah sebagai sarana untuk mengkomunikasikan rahmat bagi umat beriman yang menerimanya.
Dalam tradisi Kekristenan Barat, sakramen kerap diartikan sebagai tanda yang terlihat, yakni kulit luar yang membungkus isinya, yaitu rahmat rohaniah (walaupun tidak semua sakramen diterima semua Gereja sebagaisakramen).            Ketujuhsakramen adalah PembaptisanKrisma (atau Penguatan), Ekaristi (Komuni), Imamat (Pentahbisan), Rekonsiliasi (atau Pengakuan Dosa), Pengurapan orang sakit (Minyak Suci), dan Pernikahan. Kebanyakan dari sakramen-sakramen ini digunakan sejak masa apostolik dalam Gereja, tetapi perkawinan, misalnya, baru diakui sebagai suatu sakramen pada abad pertengahan.Beberapa Gereja tidak menganggap beberapa dari sakramen di atas sebagai sakramen. Beberapa Gereja yang lain, misalnya Gereja Anglikan dan Kaum Katolik-Lama (bukan Gereja Katolik), menganggap dua sakramen ketuhanan dalam Injil, yaitu Pembaptisan dan Ekaristi, sebagai "sakramen-sakramen yang diperintahkan, yang mendasar, dan yang utama, yang dianugerahkan bagi keselamatan kita," serta menganggap kelima ritus sakramental lainnya sebagai "sakramen rendah" yang merupakan turunan dari kedua sakramen utama tadi.
Sudah jelas bahwa Gereja-Gereja, denominasi-denominasi, dan sekte-sekte Kristen tidak sepaham dalam hal jumlah dan pelaksanaan sakramen, namun umumnya sakramen-sakramen diyakini telah dilembagakan oleh Yesus.Pihak yang tidak percaya pada teologi sakramental menyebut ritus-ritus tersebut — atau setidak-tidaknya ritus-ritus yang mereka gunakan — terutama pembaptisan dan Komuni, sebagai "ordinansi."Sakramen-sakramen biasanya dilayankan oleh klerus bagi satu atau lebih penerima, dan umumnya difahami melibatkan unsur-unsur yang terlihat dan yang tak terlihat. Unsur yang tak terlihat (yang bermanifestasi di dalam diri) dianggap terjadi berkat karya Roh Kudus, rahmat Allah bekerja di dalam diri para penerima sakramen, sedangkan unsur yang terlihat (atau yang tampak dari luar) meliputi penggunaan benda-benda sepertiairminyakroti, serta roti dan anggur yang diberkati atau dikonsekrasi; penumpangan tangan; atau suatu kaul(sumpah) penting tertentu yang ditandai dengan suatu pemberkatan umum (seperti pada pernikahan dan absolusi).
Sakramen dalam Gereja Katolik
Ketujuh sakramen adalah sebagai berikut:
·         Pembaptisan (Permandian)
·         Ekaristi (Komuni Suci)
·         Penguatan (Sakramen Krisma)
·         Pernikahan (Perkawinan)
·         Imamat (Pentahbisan)
·         Rekonsiliasi (Pengakuan Dosa, Sakramen Tobat)
·         Pengurapan orang sakit (Sakramen Minyak Suci)
Beberapa Gereja menggunakan nama-nama lain untuk menyebut sakramen-sakramen yang mereka akui, misalnya Krisma (Bahasa Inggris: Chrismation, Bahasa Italia: Crezima) adalah sebutan Gereja Ortodoks untuk menyebut ritus penerimaan meterai Roh Kudus (Sakramen Penguatan); dan Gereja-Gereja Protestan di Indonesia lebih umum menggunakan sebutan Sakramen Perjamuan Kudus atau Sakramen Meja Tuhan dari pada Sakramen Ekaristi atau Komuni Suci.
Selain ketujuh sakramen di atas, beberapa golongan Kristen (khususnya golongan Anabaptis dan kelompok-kelompok Persaudaraan) mengakui upacara pembasuhan kaki sebagai sakramen (lihat Injil Yohanes 13:14), dan beberapa golongan Kristen lainnya (Misalnya Polish National Catholic Church of America) ingin agar mendengarkan Pembacaan Injil dianggap sebagai suatu sakramen pula. Jumlah, nama dan makna sakramen-sakramen serta penambahan sakramen-sakramen baru berbeda-beda antara satu denominasi dengan denominasi lainnya.
Beberapa Gereja Protestan menganggap misteri-misteri “injili,” atau “dominikal,” yakni Pembaptisan dan Ekaristi sajalah yang merupakan sakramen, karena hanya keduanya yang langsung dilembagakan oleh Yesus sendiri, seperti tertulis dalam Injil-Injil. Kelima ritus lainnya dianggap bukan sakramen bersarkan Kitab Perjanjian Baru. Jadi, meskipun hampir semua Gereja Protestan menyelenggarakan upacara akad nikah, dan banyak pula yang menahbiskan pejabat-pejabat Gerejanya dalam upacara Pentahbisan, Gereja-Gereja Kristen ini menganggap ritus-ritus tersebut sebagai ordinansi (upacara/ibadah khusus) atau Sarana-Sarana Rahmat, bukannya sakramen.
Pandangan Gereja-Gereja dalam Komuni Anglikan berbeda-beda dalam hal ini. Artikel ke-39 dalam Buku Doa Bersama (Book of Common Prayer) tahun 1662 menyatakan bahwa Pembaptisan dan Komuni Suci adalah dua sakramen dominikal yang diakui dalam Gereja Inggris, dan kelima praktek lainnya dianggap "secara umum disebut sakramen." Kaum Anglo-Katolik (anggota Komuni Anglikan) senantiasa mengakui angka tujuh sebagai jumlah sakramen. Katekismus Gereja Episkopal di Amerika Serikat (anggota Komuni Anglikan), versi revisi lengkap tahun 1979, menyatakan: "Allah tidak membatasi diri-Nya dengan ritus-ritus ini; ritus-ritus tersebut adalah pola-pola dari cara-cara yang tak terhitung jumlahnya di mana Allah menggunakan hal-hal yang bersifat material untuk menjangkau kita."
Berbagai Gereja bertradisi Katolik juga mengenal sakramental, yakni tindakan penyembahan yang berbeda dari layaknya sakramen-sakramen, namun juga merupakan sarana-sarana rahmat. Benda-benda seperti rosario (tasbih), berbagai macam skapulir dan medali suci termasuk dalam sakramental.
Ketujuh sakramen yang diakui oleh Gereja Katolik, pada umumnya juga diterima oleh Gereja Ortodoks Timur dan Gereja Ortodoks Oriental serta banyak Gereja dari Komuni Anglikan, akan tetapi Gereja-Gereja ini tidak membatasi jumlah sakramen sampai tujuh saja, karena yakin bahwa apapun yang diperbuat oleh Gereja selaku Gereja dalam beberapa segi adalah sakramental. Untuk lebih akuratnya, bagi Gereja Ortodoks Timur dan Gereja Ortodoks Oriental istilah “Sakramen” adalah suatu faham Barat yang berusaha mengklasifikasikan sesuatu yang tidak mungkin diklasifikasikan.Mereka lebih suka menggunakan istilah “Misteri”, karena “Bagaimana hal itu mungkin terjadi” tak dapat difahami oleh manusia. Allah menyentuh kita melalui sarana-sarana material seperti air, roti, minyak, kemenyan, lilin, altar, ikon, dst. Bagaimana Allah melakukannya merupakan suatu misteri. Dalam makna luasnya, misteri-misteri (sakramen) merupakan suatu penegasan akan kebaikan benda-benda ciptaan, dan merupakan suatu deklarasi empatik dari maksud penciptaan benda-benda tersebut. Dalam makna yang lebih spesifik, meskipun tidak secara sistematik membatasi misteri-misteri dalam jumlah tujuh, Misteri yang paling agung tanpa diragukan lagi adalah Ekaristi, yang di dalamnya orang-orang yang mengambil bagian, dengan berpartisipasi dalam liturgi serta menerima roti dan anggur yang sudah dikonsekrasi, yang diyakini telah menjadi tubuh dan darah Kristus sendiri, secara langsung berkomuni (masuk dalam persekutuan) dengan Allah. Adanya kekurangjelasan tersebut dipandang Gereja Ortodoks sebagai kesalehan dan sikap hormat terhadap sesuatu yang mendalam dan tak terfahami.Gereja Ortodoks tidak ingin mencoba menggolong-golongkannya ke dalam jenjang-jenjang apapun karena tindakan tersebut dipandang sebagai tindakan buang-buang waktu yang tidak perlu terjadi dan tidak berfaedah.
Pendekatan ini merupakan karakteristik teologi Ortodoks pada umumnya, dan kerap disebut "apofatik," artinya setiap dan semua pernyataan positif mengenai Allah dan hal-hal teologis lainnya harus diimbangi dengan pernyataan-pernyataan negatif. Misalnya, meskipun bahwasanya benar dan tepat untuk mengatakan bahwa Allah itu ada, atau bahkan bahwa Allah adalah satu-satunya yang sungguh-sungguh ada, pernyataan-pernyataan semacam itu harus difahami juga mengandung gagasan bahwa Allah melampaui apa yang biasanya difahami dengan istilah "ada."
Meskipun demikian, para teolog Ortodoks menulis juga mengenai adanya tujuh misteri (sakramen) "utama."
Gereja Bala Keselamatan tidak mempraktekkan sakramen-sakramen formal dengan berbagai macam alasan, termasuk adanya keyakinan bahwa adalah lebih baik bila berkonsentrasi pada realitas di balik simbol-simbol; meskipun demikian, Gereja ini tidak melarang warganya untuk menerima sakramen-sakramen di denominasi-denominasi lain[1].
Kaum Quaker tidak mempraktekkan sakramen-sakramen formal, karena percaya bahwa segala aktivitas semestinya dipandang suci.

SAKRAMEN PROTESTAN
Bagi Gereja Protestan, kata "menjadi perantara" atau "menyalurkan" digunakan hanya dengan pemahaman bahwa sakramen adalah suatu simbol atau peringatan yang terlihat dari rahmat yang tak terlihat. Gereja-Gereja Pentakosta klasik, kaum Injili, Nazarin dan Fundamentalis, menganut suatu bentuk imamat yang unik. Karena alasan ini, kebanyakan dari mereka lebih suka menggunakan istilah “Fungsi Imamat” atau “Ordinansi”. Keyakinan ini menjadikan ordinansi efektif dalam hal ketaatan dan partisipasi orang-orang percaya serta kesaksian pimpinan dan anggota jemaat. Cara pandang ini bersumber dari pengembangan konsep "imamat setiap orang percaya". Kegiatan ordinansi lebih ditekankan peran imamat dari pada peran sakramentalnya sehingga ordinansi lebih dipandang sebagai suatu tindakan pengorbanan yang dipersembahkan oleh orang-orang percaya dari pribadinya masing-masing, dari pada sebagai suatu ritual yang mengandung kuasa sendiri.

F.      JENIS-JENIS DAN MAKNA SAKRAMEN
Kristus sudah mempercayakan Sakramen-Sakramen kepada Gereja-Nya. Sakramen-Sakramen itu adalah Sakramen-Sakramen ”Gereja” dalam arti ganda: Sakramen-Sakramen itu ”dari Gereja” sejauh merupakan tindakan Gereja, yang pada gilirannya merupakan Sakramen tindakan Kristus, dan ”untuk Gereja” sejauh Sakramen-Sakramen itu membangun Gereja.(Kompendium KGK)


















G.     SAKRAMEN SEBAGAI DOKTRIN PENYELAMATAN
Sakramen menjadi Lambangserta Sarana   Penyelamatan
Penyelamatan manusia merupakan kehendak Allah dan itu diwujudkandan dilaksanakan dalam Yesus Kristus. Yesus Kristus menjadi sakramen induk, artinya dalam dialah terjadi sejarah penyelamatan Allah.Kristus menjadi lambang dan sarana Allah yang menyelamatkan umat manusia.Yesus Kristus merpakan kehadiran Allah sendiri ditengah umatNya, kehadiran yang menyelamatkan dan menebus kita. (Kis 4:12). Kristus menjadi simbol dan tanda yang hidup darikehadiran Allah dan sekaligus menghadirkan keselamatan yang hanya berpangkal dan mungkin dikerjakan oleh Allah saja.
Sekarang, tindak penyelamatan Allah itu dilanjutkan oleh Allah dalam Gereja, Tubuh Kristus.Gereja didirikan oleh Kristus bukan untukdirinya sendiri, tetapi untuk tujuan penyelamatan itu.Gereja menjalankan fungsi penyelamatan yang diembannya dalam Roh Kudusyang dijanjikan Kristus.Gereja merupakan tanda dan tempatkehadiran Kristus.          Gerejaadalah tanda kehadiran Allah yangmenyelamatkan sebagaimana terlaksana dalamYesus Kristus.Olehkarena itu, Gereja juga disebut sakramen dasar karena Kristus.Kalau demikian, Gereja menjadi lambang dan sarana penyelamatanAllahyang terwujuddalamKristus.
Pelaksanaan tindak penyelamatan Allah dalam Yesus melalui Gerejaitu secara konkret terjadi dalam liturgi baptis, ekaristi, krisma, tobat, minyak suci, tahbisan dan perkawinan. Dari segi Gereja, sakramen-sakramen ini merupakan konkretisasi dari Gereja sebagai sakramen dasar. Dengan perayaan sakramen, maka terungkaplah, ditampilkanlah, dan terlaksanalah apa yang disebut Gereja (SC 2). Gereja adalah kumpulan umat beriman dan kumpulan itu secara jelas menampilkan dirinya dalam perayaan liturgi sakramen (bdk.LG 26).Dari segi dinamika penyelamatan Allah, maka sakramen-sakramen itumenjadi lambang dan sarana penyelamatan itu. Lambang di sini dalam arti simbol ekspresif, tanda yang sekaligus menjalankan         apayang ditandakan. Saranaberarti            menjadialat.
Berkaitan dengan daya guna sakramen-sakramen itu, perlu diperhatikan bahwa dayaguna sakramen menjadi real dan terwujudjika penerima memiliki intentio recioiendi quod facit ecclesia (penerima punya maksud menerima apa yang dibuat Gereja), sedang demi sahnya pelayan sakramen juga harus memiliki intentio faciendi quod facit ecclesia (ia punya kehendak dan bertindak sesuai yangdimaui Gereja), serta simbol sakramennya sah. Kalau disposisinya belum penuh, kita mengenal reviviscentia sacramentorum.













H.     HUBUNGAN ANTARA GREJA DENGAN SAKRAMEN

Sakramen-sakramen Gereja ini tak dapat dipisahkan dari ibadat atauliturgi Gereja, karena semua sakramen-sakramen adalan bentuk-bentuk ibadat Gereja; yaitu mereka merayakan misteri penyelamatan Allah melalui Kristus.Melalui tanda-tanda, mereka menghasilkan rahmat yang sesuatu dengan masing-masing sakramen bagi pribadi-pribadi yang merayakansakramen-sakramenini.
Sejarah keselamatan adalah sejarah perjumpaan personal Allahdengan manusia dan penyingkapan rencana keselamatanNya dalam sejarah. Perjumpaan personal Allah dengan manusia ini, yanginisiatifnya datang dari Allah dan hanya dari Dia, telah terpenuhi sekali untuk selamanya dalam Yesus Kristus : dalam satu Pengantara jarak tak terbatas yang memisahkan manusia dari Allah telah dijembatani; melalui misteri Paskah Kristus semua manusia telah diselamatkan dan dipersatukan dengan Allah. Namun, misteri itu yangterpenuhi sekali untuk selamanya masih harusdihadirkan dan operatifdi segala zaman dan segala tempat, dan dampak penyelematanNya harus menyentuh semua orang.Perayaan sakramen-sakramen merupakan sarana khusus yang ditetapkan oleh Kristus dandipercayakanNya pada Gereja, yang olehnya misteri penyelamatan menjadi, bagi setiap zaman sampai pada akhir zaman, sebuah realitas yang hidup dan bisa disentuh.Melalui sakramen-sakramen, misteri Kristus selalu aktual dan efektif.Kristus yang telah mati danbangikit hadir di dalamnya dan melaksanakan melalui sakramen-sakramen itu daya keselamatanNya.Dalam  sakramen-sakramen,        manusiasampai pada sentuhan personal dengan Tuhan yang bangkitdan karya            penyelamatanNya. Tanda-tanda manusiawi yang sederhanayang dari dirinya sendiri tak pernah dapat memiliki suatu daya kekuatan yang berdaya supranatural telah menjadi sarana rahmat Allah karena Kristus telah menetapkannya melalui Gereja menjadi ungkapan indrawi dari kehendak pengudusanNya.
Dengan demikian, ada dua penegasan fundamental berkaitan denganajaran Gereja tentang Sakramen.Pertama, Gereja adalah tempatmenyimpan tanda-tanda yang ditetapkan oleh Kristus, yangdipercayakanNya pada Gereja supaya dipelihara dan dirayakan dengansetia.Kedua, tanda-tanda ini, karena mereka adalah tanda-tandatindakan  Kristus yang mulia, merupakan tanda-tanda yang berdaya rahmat. Dirancang olehNya untuk mengkomunikasikan penyelamatanNya dan dianggapNya sebagai tindakanNya sendiri,tanda-tanda itu tidak dihalangi           dalam validitas mereka olehkelemahanmanusiawi dari parapelayannya, sejauh merekabermaksud untuk mengkomunikasikan apa yang telahdipercayakan Kristus pada Gereja.Penerimaan akan tanda-tanda itu yang berbuah limpah tidak tergantung pada disposisi mereka yang merayakannya.
Selama berabad-abad, Gereja telah berkembang dalam kesadaran eksplisit akan kehidupan sakramentalnya. Doktrin sakramentalnya telah mengembangkan pelaksanaan kehidupan sakramentalnya; secara khusus, doktrin tentang jumlah tujuh sakramen secara eksplisit telah ditetapkan kurang lebih sejak periode-periode awal.Setelah lama dimiliki secara tenang, doktrin sakramental Gereja secara serius ditantang pertama kali oleh kaum reformasi.Gereja mempertahankan khasanah kesuciannya dan menegaskan denganjelas daya guna obyektif yang melekat pada sakramen-sakramen yangditetapkan Kristus. Namun, dalam proses penekanan daya guna ex opere operato dari tanda-tanda sakramental, teologi post Trente telah, secara luas, kehidulangan pandangan akan aspek personalnya. Hal ini ditekankan kembali pada tahun-tahun belakangan ini : sakramen-sakramen adalah perjumpaan personal Kristus denganmanusia dalam tanda-tanda Gereja. Maknanya bagi kehidupan Gerejajuga mendapatkan penekanan baru : sebagai ungkapan kelihatan danaktualitas yang terus menerus dari misteri Kristus, sakramen-sakramen adalah juga suatu manifestasi atau epifani dari misteri Gereja.

KESIMPULAN

GEREJA DAN SAKRAMEN
Gereja (bahasa Portugis: igreja dan bahasa Yunani: εκκλησία (ekklêsia)) adalah suatu kata bahasa Indonesia yang berarti suatu perkumpulan atau lembaga dari penganut Kristiani. Istilah Yunani κκλησία, yang muncul dalam Perjanjian Baru di AlkitabKristen biasanya diterjemahkan sebagai "jemaat". Istilah ini muncul dalam 2 ayat dari Injil Matius, 24 ayat dari Kisah Para Rasul, 58 ayat dari surat Rasul Paulus, 2 ayat dari Surat kepada Orang Ibrani, 1 ayat dari Surat Yakobus, 3 ayat dari Surat Yohanes yang Ketiga, dan 19 ayat dari Kitab Wahyu.

Etimologi

Gereja berasal dari bahasa Portugis: igreja, yang berasal dari bahasa Yunani: εκκλησία (ekklêsia) yang berarti dipanggil keluar (ek= keluar; klesia dari kata kaleo= memanggil); kumpulan orang yang dipanggil ke luar dari dunia memiliki beberapa arti:
  1. Arti pertama ialah 'umat', atau lebih tepat, 'persekutuan' orang Kristen. Arti ini diterima sebagai arti pertama bagi orang Kristen. Jadi, gereja pertama-tama bukanlah sebuah gedung.
  2. Arti kedua adalah sebuah perhimpunan atau pertemuan ibadah umat Kristen. Bisa bertempat di rumah kediaman, lapangan, ruangan di hotel, maupun tempat rekreasi.
  3. Arti ketiga ialah mazhab (aliran) atau denominasi dalam agama Kristen. Gereja Katolik, Gereja Protestan, dan lain-lain.
  4. Arti keempat ialah lembaga (administratif) daripada sebuah mazhab Kristen. Contoh kalimat “Gereja menentang perang Irak”.
  5. Arti terakhir dan juga arti umum adalah sebuah “rumah ibadah” umat Kristen, di mana umat bisa berdoa atau bersembahyang.
Gereja (untuk arti yang pertama) terbentuk 50 hari setelah kebangkitan Yesus Kristus pada hari rayaPentakosta, yaitu ketika Roh Kudus yang dijanjikan Allah diberikan kepada semua yang percaya pada YesusKristus.




Sakramen
Beberapa Gereja menggunakan nama-nama lain untuk menyebut sakramen-sakramen yang mereka akui, misalnya Krisma (Bahasa Inggris: Chrismation, Bahasa Italia: Crezima) adalah sebutan Gereja Ortodoks untuk menyebut ritus penerimaan meterai Roh Kudus (Sakramen Penguatan); dan Gereja-Gereja Protestan di Indonesia lebih umum menggunakan sebutan Sakramen Perjamuan Kudus atau Sakramen Meja Tuhan dari pada Sakramen Ekaristi atau Komuni Suci.
Selain ketujuh sakramen di atas, beberapa golongan Kristen (khususnya golongan Anabaptis dan kelompok-kelompok Persaudaraan) mengakui upacara pembasuhan kaki sebagai sakramen (lihat Injil Yohanes 13:14), dan beberapa golongan Kristen lainnya (Misalnya Polish National Catholic Church of America) ingin agar mendengarkan Pembacaan Injil dianggap sebagai suatu sakramen pula. Jumlah, nama dan makna sakramen-sakramen serta penambahan sakramen-sakramen baru berbeda-beda antara satu denominasi dengan denominasi lainnya.
Beberapa Gereja Protestan menganggap misteri-misteri “injili,” atau “dominikal,” yakni Pembaptisan dan Ekaristi sajalah yang merupakan sakramen, karena hanya keduanya yang langsung dilembagakan oleh Yesus sendiri, seperti tertulis dalam Injil-Injil. Kelima ritus lainnya dianggap bukan sakramen bersarkan Kitab Perjanjian Baru. Jadi, meskipun hampir semua Gereja Protestan menyelenggarakan upacara akad nikah, dan banyak pula yang menahbiskan pejabat-pejabat Gerejanya dalam upacara Pentahbisan, Gereja-Gereja Kristen ini menganggap ritus-ritus tersebut sebagai ordinansi (upacara/ibadah khusus) atau Sarana-Sarana Rahmat, bukannya sakramen.
Pandangan Gereja-Gereja dalam Komuni Anglikan berbeda-beda dalam hal ini. Artikel ke-39 dalam Buku Doa Bersama (Book of Common Prayer) tahun 1662 menyatakan bahwa Pembaptisan dan Komuni Suci adalah dua sakramen dominikal yang diakui dalam Gereja Inggris, dan kelima praktek lainnya dianggap "secara umum disebut sakramen." Kaum Anglo-Katolik (anggota Komuni Anglikan) senantiasa mengakui angka tujuh sebagai jumlah sakramen. Katekismus Gereja Episkopal di Amerika Serikat (anggota Komuni Anglikan), versi revisi lengkap tahun 1979, menyatakan: "Allah tidak membatasi diri-Nya dengan ritus-ritus ini; ritus-ritus tersebut adalah pola-pola dari cara-cara yang tak terhitung jumlahnya di mana Allah menggunakan hal-hal yang bersifat material untuk menjangkau kita."
Berbagai Gereja bertradisi Katolik juga mengenal sakramental, yakni tindakan penyembahan yang berbeda dari layaknya sakramen-sakramen, namun juga merupakan sarana-sarana rahmat. Benda-benda seperti rosario (tasbih), berbagai macam skapulir dan medali suci termasuk dalam sakramental.
Ketujuh sakramen yang diakui oleh Gereja Katolik, pada umumnya juga diterima oleh Gereja Ortodoks Timur dan Gereja Ortodoks Oriental serta banyak Gereja dari Komuni Anglikan, akan tetapi Gereja-Gereja ini tidak membatasi jumlah sakramen sampai tujuh saja, karena yakin bahwa apapun yang diperbuat oleh Gereja selaku Gereja dalam beberapa segi adalah sakramental. Untuk lebih akuratnya, bagi Gereja Ortodoks Timur dan Gereja Ortodoks Oriental istilah “Sakramen” adalah suatu faham Barat yang berusaha mengklasifikasikan sesuatu yang tidak mungkin diklasifikasikan. Mereka lebih suka menggunakan istilah “Misteri”, karena “Bagaimana hal itu mungkin terjadi” tak dapat difahami oleh manusia. Allah menyentuh kita melalui sarana-sarana material seperti air, roti, minyak, kemenyan, lilin, altar, ikon, dst. Bagaimana Allah melakukannya merupakan suatu misteri. Dalam makna luasnya, misteri-misteri (sakramen) merupakan suatu penegasan akan kebaikan benda-benda ciptaan, dan merupakan suatu deklarasi empatik dari maksud penciptaan benda-benda tersebut. Dalam makna yang lebih spesifik, meskipun tidak secara sistematik membatasi misteri-misteri dalam jumlah tujuh, Misteri yang paling agung tanpa diragukan lagi adalah Ekaristi, yang di dalamnya orang-orang yang mengambil bagian, dengan berpartisipasi dalam liturgi serta menerima roti dan anggur yang sudah dikonsekrasi, yang diyakini telah menjadi tubuh dan darah Kristus sendiri, secara langsung berkomuni (masuk dalam persekutuan) dengan Allah. Adanya kekurangjelasan tersebut dipandang Gereja Ortodoks sebagai kesalehan dan sikap hormat terhadap sesuatu yang mendalam dan tak terfahami. Gereja Ortodoks tidak ingin mencoba menggolong-golongkannya ke dalam jenjang-jenjang apapun karena tindakan tersebut dipandang sebagai tindakan buang-buang waktu yang tidak perlu terjadi dan tidak berfaedah.
Pendekatan ini merupakan karakteristik teologi Ortodoks pada umumnya, dan kerap disebut "apofatik," artinya setiap dan semua pernyataan positif mengenai Allah dan hal-hal teologis lainnya harus diimbangi dengan pernyataan-pernyataan negatif. Misalnya, meskipun bahwasanya benar dan tepat untuk mengatakan bahwa Allah itu ada, atau bahkan bahwa Allah adalah satu-satunya yang sungguh-sungguh ada, pernyataan-pernyataan semacam itu harus difahami juga mengandung gagasan bahwa Allah melampaui apa yang biasanya difahami dengan istilah "ada."
Meskipun demikian, para teolog Ortodoks menulis juga mengenai adanya tujuh misteri (sakramen) "utama."
Gereja Bala Keselamatan tidak mempraktekkan sakramen-sakramen formal dengan berbagai macam alasan, termasuk adanya keyakinan bahwa adalah lebih baik bila berkonsentrasi pada realitas di balik simbol-simbol; meskipun demikian, Gereja ini tidak melarang warganya untuk menerima sakramen-sakramen di denominasi-denominasi lain[1].
Kaum Quaker tidak mempraktekkan sakramen-sakramen formal, karena percaya bahwa segala aktivitas semestinya dipandang suci.

Arti Penting Sakramen

Umat Kristiani umumnya percaya bahwa sakramen secara langsung memengaruhi keadaan jiwa di alam baka. Sinode Missouri dari Gereja Lutheran menitikberatkan sakramen Pembaptisan. Mereka kerap sependapat dengan Santo Agustinus dari Hippo bahwa semua orang yang tidak dibaptis akan masuk ke neraka bila meninggal dunia, bahkan juga bayi. Di lain pihak, umat Katolik diizinkan percaya bahwa bayi-bayi yang meninggal tanpa dibaptis masuk ke limbo. Jika Gereja Protestan menitikberatkan Pembaptisan, umat Katolik justru percaya bahwa sakramen-sakramen lainnya juga diperlukan untuk mencegah agar umat beriman jangan sampai masuk ke neraka. Rekonsilisasi, misalnya, diperlukan bila seseorang telah berbuat dosa yang membawa maut (zina, membunuh, cabul, tidak menghadiri Misa pada hari minggu karena keinginan sendiri, memberikan kesaksian palsu, tidak beriman, penggunaan alat kontrasepsi) seperti melewatkan Ekaristi tanpa alasan yang benar. Dalam Gereja Katolik, sakramen-sakramen dapat pula mengurangi penderitaan seseorang di purgatorium (api penyucian).



DAFTAR KEPUSTAKAAN
1.      Lose Bernard, Pengantar sejarah dogma Kristen, (PT BPK Gunung Mulia, Jl. Kuintang 22, Jakarta 10420)
2.      Baker, david L, Satu Al Kitab dua Perjanjian, (PT BPK Gunung Mulia, Jl. Kuintang 22, Jakarta 10420)
4.      http://wikipedia.com
5.      James, Bar, Al Kitab di Dunia Modern
6.      http://www.kristenkatolik.com



[1][1]Kata kyriake sebagai sebutan bagi persekutuan para orang yang menjadi milik Tuhan, belum terdapat di dalam PB.Istilah ini baru dipakai pada zaman sesudah zaman para rasul, yaitu sebagai sebutan Gereja sebagai suatu lembaga dengan segala peraturannya.Di dalam PB kata yang dipakai untuk menyebutkan persekutuan para orang beriman adalah ekklesia, yang berarti rapat atau perkumpulan yang terdiri dari orang-orang yang dipanggil untuk berkumpul.Mereka berkumpul karena dipanggil atau dikumpulkan.
[2][2]Harun Hadiwijono, Iman Kristen, Jakarta: BPK-GM, 2009, hlm. 362
[3][3]Ibid, hlm. 362-363. Ingat kepada tubuh dengan segala anggota-anggotanya: tubuh bukan terdiri dari tangan yang hidup, kaki yang hidup, dada yang hidup, dan sebagainya, yang kemudian dikaitkan yang satu dengan yang lain, tetapi seluruh tubuh mendapat hidup, dan oleh karena itu segala bagiannya hidup juga.
[4][4]F.J.A Hort, “Gereja”, dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid I: A-L, J.D. Douglas (ed.), Jakarta: YKBK/OMF, 2008, hlm. 334
[5][5]Paulus melihat pemahaman en-Kristo ditunjukkan dalam keseluruhan gereja, di mana itu adalah keseluruhan di dalam Kristus.Bukan hanya gereja tetapi semua anggota di dalam gereja itu adalah di dalam Kristus. Dan itu menunjuk kepada Kristus. Sebab di dalam, dijelaskan bahwa di dalam Kristus kita tidak ada perbedaan, semua orang adalah satu tubuh yang disebut sebagai tubuh Kristus (Gal 2:28). Ungkapan “di dalam Kristus” dimaksudkan untuk suatu perubahan radikal yang terjadi pada saat ketika seseorang menjadi Kristen. Akan tetapi “di dalam Kristus” jauh lebih berarti dari sekedar ungkapan lain bagi “Kristen”. Secara hidup ungkapan ini mengungkapkan pemikiran bahwa apa yang terjadi pada Kristus ada dampaknya bagi setiap orang yang percaya kepada-Nya. Paulus juga menghubungkan di dalam Kristus adalah ciptaan baru (2 Kor 5:17). Ciptaan baru itu terjadi pada orang percaya berkat apa yang telah terjadi pada Kristus. Paulus juga tanpa ragu menghubungkan ciptaan baru ini dengan suatu peristiwa masa lalu, yaitu kematian dan kebangkitan Yesus yang sungguh-sungguh terjadi (2 Kor 5:15). Dalam kematian Kristus ia melihat lebih dari kematian Yesus yang manusiawi. Ia juga melihat di situ kematian ciptaan lama yang dikuasai kekuatan-kekuatan jahat, dan kedatangan suatu ciptaan baru yang di dalamnya segalanya mencakup asas-asas hidup yang baru, gagasan-gagasan moral yang baru, metode berpikir yang baru. Ia membawa  dampak kepada pribadi-pribadi, tetapi juga ada segi kebersamaan. Latar belakang “ciptaan baru di dalam Kristus” ini mempengaruhi makna ungkapan “di dalam Kristus”, sebab ciptaan baru ini menjadi terwujud hanya dalam mereka yang berada “di dalam Kristus”. Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 2: Misi Kristen, Roh Kudus, Kehidupan Kristen, Jakarta: BPK-GM, 2009, hlm. 303-304
[6][6]George Howard, Paul: Crisist in Galatia dikutip dalam John S. Feinberg (ed), Masih Relevankah Perjanjian Lama di Era Perjanjian Baru, Malang: Gandum Mas, 1996, hlm. 400
[7][7]J.A.T Robinson, “Tubuh Kristus”, dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II: M-Z, J.D. Douglas (ed), Jakara: YKBK/OMF, 2008, 494
[8][8]E.P. Gintings, Apakah Hukum Gereja, Bandung: Jurnal Info Media, 2009, hlm. 15-16
[9][9]G.C. van Niftrik & B.J. Boland, Dogmatika Masa Kini, Jakarta: BPK-GM, 2008, hlm. 358
[10][10]Prancis Fulkos, Ephession Commentary, Interversity Press Leicester, England: 1983, p. 108