Rabu, 10 Desember 2014

RELASI GENDER DI DALAM AGAMA YAHUDI



a.      Bias Gender di dalam Talmud
     Talmud secara literal berarti “pelajaran”, menjadi istilah bagi koleksi rekaman diskusi-diskusi dan administrasi hukum Yahudi oleh para ulama dan ahli hukum Yahudi dari berbagai disiplin ilmu, dari tahun 200 sampai 500 SM. Dalam sejarah Yahudi dikenal dua macam Talmud, yaitu Talmud Babilonia dan Talmud Palestina atau Yerusalem. Kedua Talmud ini mempunyai banyak persamaan, antara lain terdiri atas dua bagian pokok, yakni Mishnah, berisi hukum-hukum secara lisan atau semacam hukum adat yang mengikat kepada umat yahudi, dan Gemara yang merupakan penafsiran dan penjelasan tambahan terhadap Mishnah. Talmud Babilonia ini memuat berbagai cerita rakyat, dan Talmud inilah yang paling banyak tersebar di berbagi wilayah.
     Dalam Talmud ini seringkali diceritakan tradisi orang-orang Yahudi serta hukum-hukum yang ada, termasuk cerita penciptaan perempuan dan penyebab keluarnya Adam dari surge karena godaan Hawa. Cerita-cerita seperti inilah yang melahirkan faham missoginis (pembencian perempuan oleh laki-laki). Riffat Hasan pun berkomentar bahwa ajaran Yahudi memberikan citra negative terhadap perempuan, karena menganggap perempuan sebagai penyebab utama terjadinya dosa warisan     Keberadaan perempuan dalam kehidupan masyarakat Yahudi sejak dahulu selalu direndahkan. Hal ini karena isi dari kitab Talmud sangatlah bias gender. Dalam kitab ini, perempuan dianggap sebagai pendosa besar, karena telah menggoda Adam untuk memakan buah yang sudah dilarang untuk dimakan hingga ia tergoda dan membuat Adam diturunkan dari surga. Hal ini yang menjadi anggapan dari orang-orang Yahudi untuk mewariskan dosa turunan ini pada perempuan. Perempuan selalu menjadi jenis kelamin kedua (the second sex) dalam setiap literature-literatur Yahudi. Perempuan dalam agama Yahudi direndahkan dan dihina luar biasa. Laki-laki akan selalu mendapat tempat sebagai penguasa, mereka pun berhak dalam menentukan nasib anak-anak perempuan, saudara perempuan, bahkan isteri ayahnya pun akan ada ditangan anak laki-laki. Ayah bahkan diperbolehkan untuk menjual anak perempuannya untuk dijadikan sebagai pelayan atau budak jika dalam keadaan mendesak seperti kesulitan ekonomi. Disini amatlah jelas bahwa agama yang paling merendahkan perempuan adalah Yahudi.
Anehnya hal ini pun terdapat pula dalam pandangan para penafsir al-Qur’an yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan pandangan missoginis, entah karena para penafsir ini sangat patriarki atau karena hal lainnya. Padahal Allah sendiri tidak pernah membeda-bedakan kedudukan perempuan dan laki-laki dalam kitab al-Qur’an.

b.      Citra Perempuan dalam Tradisi Yahudi
     Perempuan dalam agama Yahudi kedudukannya sebagai makhluk sosial tidak pernah dianggap keberadaannya. Hal ini bisa kita lihat dlebih jelas lagi dari sejarah. Perempuan akibat dosa turunan yang melekat padanya turut pula melekat pada masyarakat modern sampai sekarang. Tradisi yang menyebutkan bahwa perempuan saat masa haidnya sangatlah kotor, sampai-sampai fasilitas yang ada padanya dibedakan dengan orang lain. Mereka yang sedang haid tidak boleh disentuh atau pun didekati sedikit pun, apa pun yang disentuh olehnya akan dianggap najis.
Bahkan hak-hak perempuan dalam agama Yahudi tidak memiliki hak sama sekali, bahkan hak untuk hidup. Keberadaan mereka tidak pernah diinginkan sama sekali, karena dianggap sebagai penggoda saja. Dalam tradisi Yahudi perempuan bisa dan bahkan boleh untuk diperjualbelikan sebagai budak oleh ayahnya sendiri. Apabila suaminya telah meninggal pun ia boleh diwariskan kepada saudara laki-laki suaminya, dan akan menjadi pelayan dari saudara laki-laki suaminya tersebut.
Dalam Exodus disebutkan, ‘Jika seorang laki-laki menjual anak perempuannya untuk dijadikan budak, maka anak tersebut tidak dapat diperlakukan seperti budak-budak lainnya.’ Artinya, anak perempuan tersebut tidak bisa ditebus kembali maupun dibebaskan, tapi harus tetap menjadi budak selamanya. Dia tidak hanya dijual, tapi juga dipastikan menjalani perbudakan selamanya.Begitulah realitas yang terjadi dalam agama Yahudi, perempuan dihina, dicaci, bahkan dianggap najis.

c.       Teologi Feminis dan Rekonstruksi Peran Perempuan dalam Kehidupan Masyarakat  Yahudi
Dalam pemahaman para feminis Yahudi, mereka bisa saja menganggap Talmud memanglah sangat bias gender. Tapi mereka juga tidak bisa menolak hal tersebut, karena penyusun dan penafsir-penafsir Talmud sendiri merupakan laki-laki yang sangat berpaham patriarkhi. Perempuan-perempuan Yahudi pun tidak dapat menolak penafsiran-penafsiran patriarki tersebut. Karena mereka sendiri tidak diperbolehkan untuk mempelajari Perjanjian Lama. Terbukti dengan masih berlakunya penindasan terhadap perempuan dalam Yahudi, dan perempuan akan selalu dianggap sebagai jenis kelamin kedua setelah laki-laki.
Hukum Yahudi yang berhubungan dengan perempuan tetap tidak berubah hingga sekarang, dan memasukkan peraturan dan ketetapan berikut ini mengenai perempuan: “Seorang perempuan harus dianggap kotor begitu dia merasa bahwa masa dating bulannya hamper mulai, meskipun tidak ada tanda-tanda yang jelas. Bahkan suaminya tidak dibolehkan untuk menyentuh barang-barang yang disentuh isterinya ketika isterinya sedang haid.”
“Seorang perempuan yang melahirkan anak dijauhkan karena dianggap kotor. Jika dia melahirkan anak laki-laki, dai akan tetap kotor selama 7 hari. Di lain pihak jika dia melahirkan seorang anak perempuan, dia akan tetap kotor selama 14 hari. Jika anaknya laki-laki, dia tidak boleh mandi selama 40 hari dan 80 hari jika anaknya perempuan.”
Peraturan-peraturan ini sangatlah jelas menunjukkan betapa hinanya kaum perempuan dalam agama Yahudi. Mereka menganggap kaum perempuan sebagai sumber dosa dan cabul serta busuk. Hal ini juga menunjukkan sejauh mana agama Yahudi telah berubah dan menyimpang selama berabad-abad untuk mendapat “persetujuan” masyarakat modern
Kesimpulan
Dari pembahasan ini kita dapat mengetahui tradisi asal kenapa perempuan selalu dianggap rendah, karena sebelum datangnya Islam, ada agama Yahudi yang diturunkan kepada Bani Israel yang terkenal dengan tradisi patriarkinya. Cerita-cerita tentang penciptaan perempuan dan dosa yang dilakukan Hawa terhadap Adam ini terdapat dalam Perjanjian Lama (Talmud). Hal ini juga melekat dalam ajaran agama Kristen dalam Perjanjian Baru yang sekarang disebut Injil. Hal tersebut melekat dalam kultur sosial masyarakat yang terpengaruh kedua agama itu. Kemudian terus berkembang hingga datangnya Islam, tapi cerita ini pun tak kunjung hilang, justru dipakai juga dalam menafsirkan ayat-ayat penciptaan manusia dalam al-Qur’an.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar