Rabu, 03 Februari 2016

Doa yang Dibaca Rasul Ketika Hujan Turun

Doa yang Dibaca Rasul Ketika Hujan Turun
Musim kemarau telah lama berlalu. Kini tiba masanya musim hujan. Ketika musim kemarau, kita suka melafalkan doa minta hujan, bahkan dibarengi dengan shalat istisqa. Seketika musim hujan datang, ternyata guyuran hujan tidak selamanya menguntungkan banyak orang. Terutama bagi orang-orang yang bermukim di daerah rawan banjir.

Dulu pernah terjadi musim kemarau di masa Rasulullah. Kebanyakan orang datang menghampiri Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam dan meminta agar Beliau memohon kepada Allah agar hujan diturunkan.

Tak lama kemudian, hujan lebat pun turun membasahi lingkungan penduduk. Saking kencangnya, rumah-rumah penduduk banyak yang hancur, pepohanan berjatuhan, dan binatang ternak pun ikut menderita. Melihat malapetaka ini, mereka mengadu kepada Rasul agar hujan musibah itu segera dihentikan.

Atas dasar permintaan ini, Nabi berdo’a, “Allâhumma hawâlainâ wa lâ ’alainâ (Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami, bukan untuk merusak kami),” HR Bukhari.

Hadis riwayat lain al-Bukhari menyebutkan bahwa:

إن النبي - صلى الله عليه وسلم- كان إذا رأى المطر قال اللهم صيبا نافعا

“Sesungguhnya Nabi SAW ketika melihat hujan berdo’a: Ya Allah turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat.”

Hadits ini menunjukan bahwa ketika hujan turun, Nabi SAW senantiasa meminta agar hujan yang diturunkan Allah SWT menjadi hujan rahmat, hujan yang membawa berkah,  bukan hujan musibah. Do’a ini dibaca Nabi kisaran dua atau tiga kali berdasarkan riwayat yang disampaikan Ibnu Majah.

Di saat musim hujan seperti sekarang ini, do’a di atas penting untuk kita baca. Semoga hujan musim hujan kali ini membawa kemaslahatan bagi kita bersama. Wallâhu a’lam. (Hengki Ferdiansyah)

Doa yang Dibaca Rasul Ketika Hujan Turun
Musim kemarau telah lama berlalu. Kini tiba masanya musim hujan. Ketika musim kemarau, kita suka melafalkan doa minta hujan, bahkan dibarengi dengan shalat istisqa. Seketika musim hujan datang, ternyata guyuran hujan tidak selamanya menguntungkan banyak orang. Terutama bagi orang-orang yang bermukim di daerah rawan banjir.

Dulu pernah terjadi musim kemarau di masa Rasulullah. Kebanyakan orang datang menghampiri Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam dan meminta agar Beliau memohon kepada Allah agar hujan diturunkan.

Tak lama kemudian, hujan lebat pun turun membasahi lingkungan penduduk. Saking kencangnya, rumah-rumah penduduk banyak yang hancur, pepohanan berjatuhan, dan binatang ternak pun ikut menderita. Melihat malapetaka ini, mereka mengadu kepada Rasul agar hujan musibah itu segera dihentikan.

Atas dasar permintaan ini, Nabi berdo’a, “Allâhumma hawâlainâ wa lâ ’alainâ (Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami, bukan untuk merusak kami),” HR Bukhari.

Hadis riwayat lain al-Bukhari menyebutkan bahwa:

إن النبي - صلى الله عليه وسلم- كان إذا رأى المطر قال اللهم صيبا نافعا

“Sesungguhnya Nabi SAW ketika melihat hujan berdo’a: Ya Allah turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat.”

Hadits ini menunjukan bahwa ketika hujan turun, Nabi SAW senantiasa meminta agar hujan yang diturunkan Allah SWT menjadi hujan rahmat, hujan yang membawa berkah,  bukan hujan musibah. Do’a ini dibaca Nabi kisaran dua atau tiga kali berdasarkan riwayat yang disampaikan Ibnu Majah.

Di saat musim hujan seperti sekarang ini, do’a di atas penting untuk kita baca. Semoga hujan musim hujan kali ini membawa kemaslahatan bagi kita bersama. Wallâhu a’lam. (Hengki Ferdiansyah)

Sumber : http://www.nu.or.id/post/

Sedekah Pohon untuk Anak Cucu

mengolah makanan. Manusia cukup mengambil dari alam karena alam banyak menyediakan kebutuhan manusia, terutama makanan. Makanan itu antara lain buah-buahan dan binatang buruan.

Kehidupan awal manusia sangat tergantung dari alam. Ketika alam sudah tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup manusia, yang disebabkan populasi manusia bertambah dan sumber daya alam berkurang, maka manusia mulai memikirkan bagaimana dapat menghasilkan makanan.

Oleh karena itu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ غَرَسَ غَرْساً، لَمْ يَأْكُلْ مِنْهُ آدَمِيٌّ، وَلاَ خَلْقٌ مِنْ خَلْقِ اللهِ، إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةٌ

Artinya: “Siapa yang menanam tumbuh-tumbuhan, kemudian dimakan anak Adam (manusia) atau makhluk Allah lainnya, niscaya baginya (pahala) sedekah “ (HR. Muslim)

Sabda tersebut menggerakkan para sahabat Nabi untuk melakukan penghijauan. Diceritakan, Abu Darda radliyallahu ‘anhu pernah menanam pohon zaitun ketika usianya sudah senja. Padahal, untuk menghasilkan buah pohon tersebut membutuhkan waktu cukup lama.

Abu Darda pun ditegur seseorang perihal kegiatannya ini. “Kenapa Engkau menanam pohon zaitun, padahal pohon tersebut lama berbuah sementara usiamu sudah tua, wahai Abu Darda?” 

“Tidak menjadi persoalan pohon yang saya tanam berbuah ketika saya sudah meninggal, tapi nanti yang menikmati anak cucu saya,” jelas Abu Darda.

Abu Darda pun melanjutkan penjelasannya,  “Anak cucu saya akan mendoakan, dan doanya sampai ke kuburan saya.” (Ahmad Rosyidi)

(Disarikan dari kitab Ahubbuhum Anfa’uhum karya Dr.  Imad Ali Abd Abdusam’i Husani) 

Sedekah Pohon untuk Anak CucuFoto: Ilustrasi
Ketika kebutuhan hidup manusia terpenuhi oleh alam, manusia tidak perlu susah-susah membuat dan mengolah makanan. Manusia cukup mengambil dari alam karena alam banyak menyediakan kebutuhan manusia, terutama makanan. Makanan itu antara lain buah-buahan dan binatang buruan.

Kehidupan awal manusia sangat tergantung dari alam. Ketika alam sudah tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup manusia, yang disebabkan populasi manusia bertambah dan sumber daya alam berkurang, maka manusia mulai memikirkan bagaimana dapat menghasilkan makanan.

Oleh karena itu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ غَرَسَ غَرْساً، لَمْ يَأْكُلْ مِنْهُ آدَمِيٌّ، وَلاَ خَلْقٌ مِنْ خَلْقِ اللهِ، إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةٌ

Artinya: “Siapa yang menanam tumbuh-tumbuhan, kemudian dimakan anak Adam (manusia) atau makhluk Allah lainnya, niscaya baginya (pahala) sedekah “ (HR. Muslim)

Sabda tersebut menggerakkan para sahabat Nabi untuk melakukan penghijauan. Diceritakan, Abu Darda radliyallahu ‘anhu pernah menanam pohon zaitun ketika usianya sudah senja. Padahal, untuk menghasilkan buah pohon tersebut membutuhkan waktu cukup lama.

Abu Darda pun ditegur seseorang perihal kegiatannya ini. “Kenapa Engkau menanam pohon zaitun, padahal pohon tersebut lama berbuah sementara usiamu sudah tua, wahai Abu Darda?” 

“Tidak menjadi persoalan pohon yang saya tanam berbuah ketika saya sudah meninggal, tapi nanti yang menikmati anak cucu saya,” jelas Abu Darda.

Abu Darda pun melanjutkan penjelasannya,  “Anak cucu saya akan mendoakan, dan doanya sampai ke kuburan saya.” (Ahmad Rosyidi)

(Disarikan dari kitab Ahubbuhum Anfa’uhum karya Dr.  Imad Ali Abd Abdusam’i Husani) 

Sumber : http://www.nu.or.id/

EPISTEMOLOGI : SUMBER KEBENARAN DAN KRITERIA KEBENARAN


Ditulis oleh :
Ahmad Hujazi*
Jamiludin *
Samsul Hafidz*

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Manusia selalu berusaha menemukan kebenaran. Beberapa cara ditempuh untuk memperoleh kebenaran, antara lain dengan menggunakan korespondensi, koherensi, pragmatis, religious, dan sintaksis. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia membuahkan prinsip-prinsip yang lewat penalaran rasional, sehingga kejadian-kejadian yang berlaku di alam itu dianggap dapat dimengerti dan benar hukumnya sesuai dengan teori yang dipakai.
Pengetahuan inderawi merupakan struktur terendah dalam struktur tersebut. Tingkat pengetahuan yang lebih tinggi adalah pengetahuan rasional dan intuitif. Tingkat yang lebih rendah menangkap kebenaran secara tidak lengkap, tidak terstruktur, dan pada umumnya kabur, khususnya pada pengetahuan inderawi dan naluri. Oleh sebab itulah pengetahuan ini harus dilengkapi dengan pengetahuan yang lebih tinggi.
Dalam filsafat pengkajian tentang standar kebenaran amat penting sebab salah satu definisi filsafat adalah cinta terhadap kebenaran. Aristoteles, filsafat Yunani sangat kagum terhadap Plato yang memang gurunya namun dia lebih mencintai kebenaran ketimbang mencntai plato. Begitu juga Al-Ghozali yang serius mencari kebenaran hingga dia mengeluarkan pertanyaan dalam dirinya, aliran mana yang paling benar dari semua aliran itu.
Dalam bahasan ini, makna “kebenaran” dibatasi pada kekhususan makna “kebenaran keilmuan (ilmiah)”. Kebenaran ini mutlak dan tidak sama atau pun langgeng, melainkan bersifat nisbi (relatif), sementara (tentatif) dan hanya merupakan pendekatan namun guna kepentingan keilmuan religious (dalam hal ini Islam) maka dalam pembahasan ini juga dipadukan dengan teori kebenaran yang berifat illahiyyah.[1]
Secara historis, epistimologi bukanlah permasalahan  pertama yang muncul dalam pikiran manusia. Justru aktivitas filsafat dimulai dalam wilayah metafisika. Apa itu dunia? apa itu jiwa? Dan sebagainya merupakan pertanyaan-pertanyaan pertama yang  mengganggu pikiran manusia yang selanjutnya mereka mencoba menemukan jawabannya. Akan tetapi, mereka mendapati berbagai jawaban tentang hal-hal tersebut beragam dan saling bertentangan. Berangkat dari fakta ini mereka sampai pada dunia luar, tetapi justru mereka arahkan kepada dirinya sendiri tentang apakah intelek manusia mampu menjawab permasalahan-permasalahan tersebut. Pada titik inilah manusia masuk dalam kawasan epistimologi.
Dalam makalah ini, kami akan mencoba memaparkan bagaimanakah konsep epistimologi dalam perspektif filsafat islam.


1.2  Rumusan Masalah
Setiap  penelitian pada awalnya karena adanya masalah. Masalah penelitian timbul karena adanya tantangan, kesangsian, atau kebingngan terhadap sesuatu hal atau permasalahan.
Penyusunan makalah ini berusaha menjawab pertanyaan yang dirumuskan yaitu
      Hal-hal apa sajakah yang berkaitan dengan Epistemologi : Sumber kebenaran dan Kriteria Kebenaran?

1.3  Tujuan dan Kegunaan
Tujuan:
Seperti yang tersirat pada rumusan masalah diatas, makalah ini bertujuan untuk :
Mengetahui hal-hal apa sajakah yang berkaitan dengan Epistemologi : Sumber kebenaran dan Kriteria kebenaran.

Kegunaan:
Diharapkan makalah ini dapat meberikan manfaat bagi:
Mahasiswa khusunya, dan Dosen, hasil makalah ini bisa menjadi masukan dan pengetahuan serta menambah wawasan bagi mahasiswa khususnya dan dosen dalam memahami dan mempelajari Ilmu Filsafat Agama.
Khazanah Ilmu pengetahuan , hasil  dari makalah ini, diharapakan bisa menjadi sumbangan i perkembangan
Ilmu pengetahuan.

1.4  Metode Penyusunan
Landasan penulis dalam memperoleh kesimpulan  yang diharapkan, diperlukan metode yang tepat dalam penyusunan makalah. Metode yang penulis gunakan dalam penyusunan makalah ini adalah studi pustaka, yaitu “suatu usaha pengumpulan data dan informasi dengan  satuan bemacam-macam  material yang terdapat diruang perpustakaan dan media internet”.
Tentunya dengan harapan bahwa pengumpulan data melalui studi pustaka yang penulis gunakan  dapat memperoleh teori-teori atau pendapat para ahli Filsafat Agama tentang pembahasan di atas.

1.5  Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Sebagai salah satu bahan untuk menambah wawasan tentang  Ilmu Filsafat Agama
2.      Sebagai sumber Ilmu pengetahuan tentang mata kuliah Ilmu Filsafat Agama












BAB II
PEMBAHASAN
Epistemologi : Sumber Kebenaran dan Kriteria Kebenaran
2.1 Pengertian Epistemologi
Epistimologi berasal dari Bahasa Yunani kuno, yaitu epistem yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti penjelasan atau ilmu. Jadi secara etimologis, epistimologi adalah ilmu tentang pengetahuan.[2] Sedangkan secara terminologi epistimologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan teori ilmu pengetahuan, sumber pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan itu.
Epistimologi merupakan cabang filsafat yang yang membicarakan mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha pemikiran yang sistematik dan metodik untuk menemukan prisip kebenaran yang terdapat pada suatu obyek kajian ilmu. Apakah obyek kajian ilmu itu dan seberapa jauhkah tingkat kebenaran yang bisa dicapainya, dan kebenaran yang bagaimana yang bisa dicapai dalam kajian ilmu, kebenaran obyektif, subyektif, absolut atau relatif. Subyek ilmu adalah manusia, dan manusia hidup dalam ruang dan waktu yang terbatas, sehingga kajian ilmu pada realitasnya, selalu berada pada batas-batas, baik batas-batas yang melingkupi hidup manusia sendiri, maupun batas-batas obyek kajian yang menjadi fokusnya, dan setiap batas-batas itu, dengan sendirinya selalu membawa konsekuensi-konsekuensi tertentu.[3]
Jadi, epistimologi adalah suatu cabang filsafat yang membahas sumber, proses, syarat, batas, validitas dan hakekat pengetahuan. Epistimologi meliputi berbagai sarana dan tata cara menggunakan sarana dan sumber pengetahuan untuk mencapai kebenaran dan kenyataan. Perbedaaan dalam pemilihan asumsi ontologi dengan sendirinya akan mengakibatkan perbedaan, yaitu akal, pengetahuan, intuisi dan lain-lain.



2.2 Teori Kebenaran ( Korespondensi, Koherensi, Pragmatisme, dan Hudhuri)
A.    Kebenaran Korespondensi  
Teori Korespondensi (The Correspondence Theory of Thruth) adalah teori yang berpandangan bahwa pernyataan-pernyataan adalah benar jika berkorespondensi terhadap fakta atau pernyataan yang ada di alam atau objek yang dituju pernyataan tersebut. Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan benar jika ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan fakta. Kebenaran ini seutuhya berpangkal dari keadaan/kenyataan alam yang ada yang dapat dibuktikan secara inderawi oleh responden.[4]
Teori kebenaran korespondensi adalah teori kebenaran yang paling awal, sehingga dapat digolongkan ke dalam teori kebenaran tradisional karena sejak awal (sebelum abad Modern) mensyaratkan kebenaran pengetahuan harus sesuai dengan kenyataan yang diketahuinya. Hal ini dapat diartikan bahwa teori yang diterapkan atau dikemukakan tidak boleh bersimpangan/bersebrangan dengan kenyataan yang menjadi objek.[5]
Dalam teori kebenaran korespondensi tidak berlaku pada objek/bidang non-empiris atau objek yang tidak dapat diinderai. Kebenaran dalam ilmu adalah kebenaran yang sifatnya objektif, ia harus didukung oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan dalam pembentukan objektivanya. Kebenaran yang benar-benar lepas dari kenyataan subjek.
Dalam teori ini terdapat tiga kesukaran dalam menentukan kebenaran yang disebabkan karena :
1.      Teori korespondensi memberikan gambaran yang menyesatkan dan yang terlalu sederhana mengenai bagaimana kita menentukan suatu kebenaran atau kekeliruan dari suatu pernyataan. Bahkan seseorang dapat menolak pernyataan sebagai sesuatu yang benar didasarkan dari suatu latar belakang kepercayaannya masing-masing.
2.      Teori korespondensi bekerja dengan idea, “bahwa dalam mengukur suatu kebenaran kita harus melihat setiap pernyataan satu-per-satu, apakah pernyataan tersebut berhubungan dengan realitasnya atau tidak.” Lalu bagaimana jika kita tidak mengetahui realitasnya? Bagaimanapun hal itu sulit untuk dilakukan.
3.      Kelemahan teori kebenaran korespondensi ialah munculnya kekhilafan karena kurang cermatnya penginderaan, atau indera tidak normal lagi sehingga apa yang dijadikan sebagai sebuah kebenaran tidak sesuai dengan apa yang ada di alam.
Sebuah ketelitian dan kesigapan dalam menentukan sebuah kebenaran dalam menentukan teori kebenaran koresponensi sangat diutamakan sebab untuk menghindari kesalahan yang terjadi atas tiga hal tersebut. Maka faktor inderawi yang menjadi alat untuk mengungkap kenyataan alam harus dapat menyatakan yang sebenarnya, mengetahui/menguasai realitas yang ada dan cermat.

B.     Kebenaran Koherensi
Koherensi merupakan pengaturan secara rapi kenyataan dan gagasan, fakta, dan ide menjadi suatu untaian yang logis sehingga mudah memahami pesan yang dihubungkannya.
Teori kebenaran koherensi ini digunagan sebagai sebuah pesan / penarik kepada umum supaya perhatiannya tertuju pada satu titik atau dengar arti lain, teori kebenaran koherensi merupakan teori kebenaran yang didasarkan kepada kriteria koheren atau konsistensi. Suatu pernyataan disebut benar bila sesuai dengan jaringan komprehensif dari pernyataan-pernyataan yang berhubungan secara logis. Pernyataan-pernyataan ini mengikuti atau membawa kepada pernyataan yang lain.[6]
Seorang sarjana Barat A.C Ewing (1951:62) menulis tentang teori koherensi, ia mengatakan bahwa koherensi yang sempurna merupakan suatu idel yang tak dapat dicapai, akan tetapi pendapat-pendapat dapat dipertimbangkan menurut jaraknya dari ideal tersebut. Sebagaimana pendekatan dalam aritmatik, dimana pernyataan-pernyataan terjalin sangat teratur sehingga tiap pernyataan timbul dengan sendirinya dari pernyataan tanpa berkontradiksi dengan pernyataan-pernyataan lainnya. Jika kita menganggap bahwa 2+2=5, maka tanpa melakukan kesalahan lebih lanjut, dapat ditarik kesimpulan yang menyalahi tiap kebenaran aritmatik tentang angka apa saja.
Teori ini punya banyak kelemahan dan mulai ditinggalkan. Misalnya, astrologi mempunyai sistem yang sangat koheren, tetapi kita tidak menganggap astrologi benar. Kebenaran tidak hanya terbentuk oleh hubungan antara fakta atau realitas saja, tetapi juga hubungan antara pernyataan-pernyataan itu sendiri. Dengan kata lain, suatu pernyataan adalah benar apabila konsisten dengan pernyataan-pernyataan yang terlebih dahulu kita terima dan kita ketahui kebenarannya.
Dua masalah yang didapatkan dari teori koherensi adalah:
a.       Pernyataan yang tidak koheren (melekat satu sama lain) secara otomatis tidak tergolong kepada suatu kebenaran, namun pernyataan yang koheren juga tidak otomatis tergolong kepada suatu kebenaran. Misalnya saja diantara pernyataan “anakku mengacak-acak pekerjaanku” dan “anjingku mengacak-acak pekerjaanku” adalah sesuatu yang sulit untuk diputuskan mana yang merupakan kebenaran, jika hanya dipertimbangkan dari teori koherensi saja. Misalnya lagi, seseorang yang berkata, “ Sundel Bolong telah mengacak-acak pekerjaan saya!”, akan dianggap salah oleh saya karena tidak konsisten dengan kepercayaan saya.
b.      Sama halnya dalam mengecek apakah setiap pernyataan berhubungan dengan realitasnya, kita juga tidak akan mampu mengecek apakah ada koherensi diantara semua pernyataan yang benar.
Dua masalah ini lahir karena adanya pertentangan keyakinan, moral maupun ketidak sanggupan untuk mengecek sebuah pernyataan yang sudah dilontarkan dengan keadaan lapangan atau hal yang dialami sehingga tingkat konsistensinya rendah bahkan berat untuk dipertanggungjawabkan.

C.    Kebenaran Pragmatis
Teori pragmatisme tentang kebenaran, the pragmatic [pramatist] theory of truth. Kata Pragmatisme berasal dari bahasa Yunani yaitu pragma,  artinya yang dikerjakan, yang dapat dilaksanakan, dilakukan, tindakan atau perbuatan. Falsafah ini dikembangan oleh seorang bernama William James di Amerika Serikat.
Menurut filsafat ini dinyatakan bahwa sesuatu ucapan, hukum, atau sebuah teori semata-mata bergantung kepada asas manfaat. Sesuatu dianggap benar jika mendatangkan manfaat. Suatu kebenaran atau suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan manusia.
Pragmatisme menantang segala otoritanianisme, intelektualisme dan rasionalisme. Bagi mereka ujian kebenaran adalah manfaat (utility), kemungkinan dikerjakan (workability) atau akibat yang memuaskan sehingga dapat dikatakan bahwa pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis.
Teori ini pada dasarnya mengatakan bahwa suatu proposisi benar dilihat dari realisasi proposisi itu. Jadi, benar-tidaknya tergantung pada konsekuensi, kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis, sepanjang proposisi itu berlaku atau memuaskan.
Satu-satunya yang dijadikan acuan bagi kaum pragmatis ini untuk menyebut sesuatu sebagai kebenaran ialah jika sesuatu itu bermanfaat atau memuaskan. Apa yang diartikan dengan benar adalah yang berguna (useful) dan yang diartikan salah adalah yang tidak berguna (useless). Karena istilah “berguna” atau “fungsional” itu sendiri masih samar-samar, teori ini tidak mengakui adanya kebenaran yang tetap atau mutlak.

D.    Kebenaran Hudhuri
Berpendirian bahwa kebenaran ialah kebenaran Ilahi = divine truth, kebenaran yang bersumber dari tuhan, kebenaran ini disampaikan melalui wahyu. Manusia bukan semata makhluk jasmani yang ditentukan oleh hukum alam dan kehidupan saja. Ia juga makhluk rohaniah sekaligus, pendukung nilai. Kebenaran tidak cukup diukur dengan interes dan rasio individu, akan tetapi harus bisa menjawab kebutuhan dan memberi keyakinan pada seluruh umat. Karena itu kebenaran haruslah mutlak, berlaku sepanjang sejarah manusia.
Dalam teori tentang kebenaran religious ini, penulis mempersempit pambahasan hanya pada agama yang penulis anut, yaitu  Islam. Pemahaman tentang kebenaran dalam pandangan Islam adalah percaya dan meyakini terhadap apa yang diNashkan oleh Allah dalam Kitab sucinya dan mempercayai terhadap sada Rosulullah untuk dijadikan sebagai pegangan hidup dengan tujuan selamat dunia dan akhirat.
Kebenaran hudhuri menjadi sebagai sebuah kebenaran yang mutlak untuk tiap penganutnya sekalipun dalam tiap kitab suci dan sabda yang dijadikan pedoman dalam teori kebenaran memiliki perbedaan pemahaman, tafsir, pendapat sebab kebenaran disini tidak hanya diperuntukan untuk kepentingan kelompok (bersifat universal) maka perlu adanya mujtahidin untuk membahasakannya supaya tidak menjadikan kebenaran sebagai sumber konflik.   
Dr. M.J. Langeveld dalam bukunya berjudul” Menuju ke Pemikiran Filsafat” mengemukakan bahwa kebenaran ialah hubungan antara pemikiran subyek dengan obyek yang dijurusi . Olehnya kemudian diuraikan beberapa teori yag menginterpretasikan “hubungan” itu:
1.      Realisme Naïf (Naïve Realism) : hubungan itu ialah persesuaian antara pemikiran dan obyek.
2.      Imanen (Immanent) : hubungan itu sebagai gambaran-gambaran jiwa yang terbentuk oleh pemikiran, sedangkan subjek tidak mengetahui apa-apa tentang hubunganya dengan obyek yang sebenarnya.
3.      Transenden (Trancendent) : hubungan itu ialah perhubungan erat antara gambaran pemikiran dengan “benda yang sebenarnya.”
4.      Transcendental (Transecendental) : hubungan itu ialah persesuaian pemikiran dengan bentuk-bentuk transendental dan sekunder .

           



2.3 Hakikat Pengetahuan ( Idealisme dan Realisme )
Epistemologi pada hakikatnya membahas tentang pengetahuan, yang berkaitan dengan apa itu pengetahuan dan bagaimana memperoleh pengetahuan tersebut. Pengetahuan pada dasarnya adalah keadaan mental (mental state). Mengetahui sesuatu adalah menyusun pendapat tentang sesuatu objek. Dengan kata lain, menyusun gambaran dalam akal tentang fakta yang ada di luar akal. Persoalanya kemudian adalah apakah gambaran itu sesuai denhgan fakta atau tidak? Apakah gambaran itu benar? Atau apakah gambaran itu dekat pada kebenaran atau jah dari kebenaran?[7]
Ada dua teori untuk mengetahui hakikat kebenaran itu. Pertama realisme, yang mempunyai pandangan realistis terhadap alam. Pengetahuan menurut realisme, adalah gambaran atau kopi yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata (dari fakta atau hakikat). Pengetahuan atau gambaran yang ada dalam akal adalah kopi dari yang asli yang ada di luar akal. Hal ini tidak ubahnya seperti gambaran yang terdapat dalam foto. Dengan demikian, realisme berpendapat bahwa pengetahuan adalah benar dan tepat bila sesuai dengan kenyataan.
Ajaran realisme percaya bahwa dengan sesuatu atau lain cara, ada hal-hal yang hanya  terdapat di dalam dan tentang dirinya sendiri, serta yang hakikatnya tidak terpengaruh oleh sesorang. Contohnya, fakta menunjukan, suatu meja tetap sebagaimana adanya kendati tidak ada orang di dalam ruangan itu yang menangkapnya. Jadi, meja itu tidak tergantung kepada gagasan kita mengenainya, tetapi tergantung pada meja tersebut.
Para penganut realisme mengakui bahwa seseorang salah lihat pada benda-benda atau dia melihat terpengaruh oleh keadaan sekelilingnya. Namun, mereka paham ada benda yang di anggap mempunyai wujud tersendiri, ada benda yang tetap kendati tidak di amati. Menurut Prof. Dr. Rasjidi, penganut agama perlu sekali dalam mempelajari realsime dengan alasan:
1.      Dengan menjelaskan kesulitan-kesulitan yang terdapat dalam pikiran. Kesulitan pikiran tersebut adalah pendapat yang mengatakan bahwa tiap-tiap kejadian dapat di ketahui hanya di ketahui hanya dari segi subyektif. Menurut Rasjidi, pernyataan itu tidak benar sebab adanya factor subjektif bukan berarti menolak factor objektif. Kalau seseorang melihat sebatang pohon, tentu pohon itu memang pohon yang di lihat oleh si subjek. Namun, hal ini tidak berarti meniadakan pohon yang mempunyai wujud tersendiri. Begitu juga ketika orang berdoa kepada Tuhan, bukan berarti Tuhan mitu hanya ada dalam pikiran, tetapi Tuhan punya wujud tersendiri.
2.       Dengan jalan memberi pertimbangan-pertimbangan yang positif, menurut Rasjidi, umumnya orang beranggapan bahwa tiap-tiap benda mempunyai satu sebab. Contohnya, apa yang menyebabkan Ahamad sakit. Biasanya kita puas ketika di jawab karena kuman. Sebenarnya, sebab sakit itu banyak sekali karena ada orang yang bersarang kuman dalam tubuhnya, tetapi dia tidak sakit. Dengan demikian, penyakit si Ahmad itu di sebabkan keadaan badannya, iklim, dan sebagainya. Prinsip semacam ini, menurut Rasjidi,  bisa di gunakan untuk mempelajari agama karena adanya perasaan yang subyektif tidak berarti tidak hanya keadaan yang objektif.

Teori kedua tentang hakikat pengetahuan adalah idelaisme. Ajaran idealisme menandaskan bahwa untuk mendapatkan pengetahuan yang benar-benar sesuai dengan kenyataan adalah mustahil. Pengetahuan adalah proses-proses mental atau proses psikologis yang bersifat subjektif. Oleh karena itu, pengetahuan bagi seorang idealis hanya merupakan gambaran subjektif dan bukan gambaran objektif tentang realitas. Subjektif di pandang sebagai suatu yang mengetahui, yaitu dari orang yang membuat gambaran tersebut. Oleh karena itu, pengetahuan menurut teori ini, jam tidak menggambarkan kebenaran yang sebenarnya. Yang diberikan pengetahuan hanyalah gambaran menurut pendapat atau penglihatan orang yang mengetahui.[8]
Kalau pada realisme mempertajam perebdaan antara yang mengetahui dan yang di ketahui, maka idealisme adalah sebaiknya. Bagi idelisme, dunia dan bagian-bagianya harus di pandang sebagai hal-hal yang memunyai hubungan, seperti organism dengan bagian-bagianya. Dunia merupakan satu kebulatan bukan kesatuan mekanik, tetapi kebulatan organic sesngguhnya yang sedemikian rupa, sehingga suatu bagian darinya di pandang sebagai kebulatan logis, dengan makna sebagai inti yang terdalam.
Premis pokok yang di ajukan oleh idealism adalah jiwa mempunyai kedudukan yang utama dalam alam semesta. Sebenarnya, idelisme tidak mengingkari materi. Namun, materi adalah suatu gagasan yang tidak jelas dan bukan hakikat. Sebab, seseorang yang akan memikirkan roh atau akal. Jika seseorang ingin mengetahui apa sesungguhnya materi itu, dia harus meneliti apakah pikiran itu, apakah nilai itu, dan apakah akal budi itu; bukanya apakah materi itu.
            H.M Rasjidi menganggap bahwa subjektivitas idealism ii berbahaya bagi agama. Subjekitivitas berarti angapan bahw kebenaran sesuatu hal di tentukan oleh si subjek. Oleh karena itu, menurut Rajsidi bisa saja dikatakan bahwa Tuhan itu mungkin ada untuk si A, tetapi si B tidak mengakuinya.
            Rasjidi tampaknya lebih cenderung pada realism ketimbang idelaisme. Realism, menurutnya keyakinan bahwa benda itu ada tersendiri dan terpisah daripada pikiran orang yang mengetahuinya. Benda itu bisa merupakan benda fisik, seperti pohon dan batu, tetapi juga mungkin meruapakan hal hal yang bersifat ide universal.
            Sebenarnya, realism dan idelaisme memiliki kelemahan-kelemahan tertentu. Realism ekstrem bisa sampai pada monism matrealistik atau dualism. Seorang pengikut matrelaisme mengatakan jika demikian hanya, sudah barang tentu dapat juga dikatakan bahwa jiwa dan materi sepenuhnya sama. Lebih lanjut, realism tidak tidak terlalu mementingkan subjek sebagai penilai, tetapi hanya memfokuskan pada objek yang dinilai. Padahal, subjek yang menilai memiliki peran penting dalam me nghubungkan antara objek dengan ungkapan tentang objek tersebut.
            Idealisme subjektif juga akan rmenimbulkan kebenaran yang relative karena setiap individu berhak untuk menolak kebenaran yang datang dari luar dirinya. Akibatnya, kebenaran yang bersidat universal tidak diakui. Kalau demikian jadinya, maka aturan-aturan agama dan kemasyarakatan hanya bisa benar untuk kelompok tertentu dan tidak berlaku bagi kelompok yang lain. Selain itu, idelaisme terlalu mengutamakan subjek sebagi si penilai, dengan merendahkan objek yang di nilai. Sebab, subjek yang menilai kadangkala berada pada keadaan yang berubah-ubah, seperti sedang marah atau gembira.

2.4 Sumber Pengetahuan (Empirisme, Rasionalisme, dan Iluminasionisme)
            Kalau ada dua teori mengenai hakikat pengetahuan, maka ada tiga teori tentang jalan memperoleh pengetahuan atau sumber pengetahuan. Yaitu empirisme, rasionlisme, dan iluminasinisme/intuisionisme. Menurut empirisme pengetahuan diperoleh dengan perantaraan pancaindera. Pancaindera mendapatkan kesan-kesan dari apa yang ada di alam nyata dan kesan-kesan itu berkumpul dalam diri manusia. Pengetahuan tersusun dari pengaturan kesan-kesan yang semacam itu.[9]
            Seorang empirisme berpendirian bahwa kita dapat memperoleh pengetahuan melalui pengalaman. Cirri yang menojol dari jawaban ini dapat di lihat bila di perhatikan pertanyaan seperti, “Bagaimana orang mengetahui es dingin?” jawaban seorang empiris akan berbunyi, “Karena saya merasakan hal itu atau karena seorang ilmuan telah merasakan seperti itu.” Dalam pernyataan tersebut ada tiga unsure, yaitu yang mengetahui (subjek), yang di ketahui (objek), dan cara dia mengetahui bahwa e situ dingin. Bagaimana dia mengetahui es itu dingin? Dengan menyentuh langsung lewat alat peraba. Dengan kata lain, seorang empiris akan mengatakan bahwa pengetahuan itu di peroleh lewat pengalaman-pengalaman inderawai yang sesuai.
            John Locke, bapak empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia di lahirkan akal nya merupakan sejenis buku catatan kosong (tabula rasa), dan di dalam buku catatan itulah di tulis pengalaman-pengalaman indrawi. Menurutnya, seluruh sisa pengetahuan kita di peroleh dengan jalan menggunakan serta membandingkan ide-ide yang di peroleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama dan sederhana.
            Dia memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita, betapapun rumitnya, dapat di lacak kembali sampai pada pengalaman-pengalaman indrawi yang pertama-tama dapat di ibaratkan sebagai atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu di lacak kembali  secara demikian itu bukanlah pengetahuan, atau setidak-tidaknya bukan pengetahuan mengenai hal-hal yang faktual.
            Setelah John Locke, David Hume, tokoh empirisme yang melanjutkan gagasan Locke. Menurutnya, manusia tidak membawa pengetahuan bawaan dalam hidupnya. Sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal, kesan-kesan (impressions) dan pengertian-pengertian atau ide-ide (ideas). Yang di maksud dengan kesan-kesan adalah pengalaman langsung yang di terima dari pengalaman, baik pengalaman lahiriah maupun pengalaman batiniah, yang menampakan diri dengan jelas, hidup dan kuat seperti, merasakan tangan terbakar. Yang di maksud dengan ide adalah gambaran tentang pengamatan yang redup, samar-samar, yang dihasilkan dengan merenungkan kembali atau mereflesikan dalam kesadaran kesan-kesan yang di terima dari pengalaman. Ide kurang jelas, kurang hidup, jika di banding dengan kesan-kesan.
            David Hume menegaskan bahwa pengalaman lebih memberi keyakinan dibanding kesimpulan logika atau kemestiaan sebab akibat. Sebab dan akibat hanya hubungan yang saling berurutan saja dan secara konstan terjadi seperti api yang membuat air mendidih. Padahal dalam api tidak dapat di amati adanya “daya aktif” yang medidihkan air. Jadi, “daya aktif” yang disebut “hukum kasualitas” itu bukanalah hal yang dapat di amati, bukan hal yang dapat dilihat dengan mata sebagai berada dalam “air” yang direbus. Dengan demikian, kasulaitas tidak bisa digunakan untuk menetapkan peristiwa yang akan datang brdasarkan peristiwa yang akan datang berdasarkan peristiwa-peristiwa yang terdahulu.[10]
            Menurut Hume pengalamanlah yang memberikan informasi yang langsung dan pasti terhadap objek yang di mati sesuai dengan waktu dan tempat. Roti yang telah saya makan, kata Hume, mengenyangkan saya, artinya bahwa tubuh dengan bahan ini dan pada waktu itu memiliki rahasia kekuatan untuk mengenyangkan. Namun, roti tersebut belum tentu bisa menjadi jaminan yang pasti mengenyangkan saya pada waktu lain karena roti itu unsurnya telah berubah kena polusi atau tercemar dan situasi pun tidak sama lagi dengan makan roti yang pertama. Jadi, pengalaman adalah sumber informasi bahwa roti itu mengenyangkan, sedangkan roti itu mengenyangkan untuk selanjutnya hanya kemungkinan belaka, bukan kepastian.[11]
            Para filosof, menurut Hume, berpendapat bahwa akal berfungsi untuk memastikan hubungan urutan-urutan peristiwa tersebut. Padahal hubugan yang demikian itu bersifat kemungkinan belaka dan pengetahuan kita tentang hubungan peristiwa tersebut sesungguhnya berasal dari pengalaman. Karena itu, semua kesimpulan eksperimen selanjutn ya seharusnya berdasarkan pada perkiraan bukan kepastiaan bahwa peristiwa yang akan datang kemungkinan cocok dengan yang lewat.
            Akala tidak bisa bekerja tanpa bantuan pengalaman. Sebagai contoh ada seseorang dari planet lain yang di anugerahi kemampuan akal yang sangat kuat kemudian di bawa ke bumi . tentu saja dia secara langsung mampu mengobservasi peristiwa-peristiwa yang berurutan, namun dia tidak mampu menemukan sesuatu yang lebih dari itu. Untuk pertama kali dia tidak mungkin menangkap ide sebab akibat karen akekuatan-kekuatan particular yang berjalan secara alami belumtertangkap oleh indranya. Begitu juga akan tidak mampu sekaligus menyimpulkan berdasarkan satu peristiwa bahwa suatu sebab menimbulkan akibat tertentu karena hubungan itu bisa berubah-ubah dan kasuistis.[12]
            Jadi, dalam empirisme sumber utama untuk memperoleh pengetahuan adalah data empiris yang di peroleh dari panca indra. Akal tidak berfungsi banyak, kalau ada, itu pun sebatas ide yang kabur.
            Teori kedua tentang cara memperoleh pengetahuan adalah rasionalisme. Tidaklah mudah membuat defenisi tentang rasionalisme sebagai suatu metode memperoleh pengetahuan. Rasinalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Betul dalam hal ini akal berhajat pada bantuan pancaindra untuk memperoleh data dari dalam nyata, tetapi akallah yang menghubungkan data ini satu sama lainya, sehingga terdapatlah apa yang di namakan pengetahuan. Dalam penyusunan  ini akal mempergunakan konsep-konsep rasional atau idea-idea universal.  Kosnep tersebut mempunyai wujud dalam alam nyata dan bersifat universal. Yang di maksud dengan prinsip-prisnip universal adalah abstraksi dari benda-benda konkret, seperti hukum kasualitas atau gambaran umum tentang kursi. Sebaliknya, bagi empirisisme hukum tersebut tidak diakui.
            Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide dan bukan di dalam diri sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna ide yang sesuai dengan atau yang menunjuk pada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran seseorang dan hanya bisa diperoleh dengan akal budi saja.
            Descartes, salah seorang pelopor rasionalisme, berusaha menemukan suatu kebenaran yang tidak dapat di ragukan lagi. Kebenaran itu, menurutnya adalah dia tidak ragu bahwa dia ragu. Pernyataan tersebut terkenal dengan semboyanya cogito ergo sum (saya ragu maka saya ada). Ia yakin, kebenaran-kebenaran semacam itu adan dan kebenaran-kebanaran tersebut dikenal dengan cahaya yang terang dari akal budi. Dengan demikian, kebenaran itu bisa dipahami lewat sejenis khusus, yang dengan perantara itu dapat di kenal kebenaran dan deengan suatu teknik deduktif, yang dengan memakai teknik tersebut dapat ditemukan kebenaran.[13]
            Spinoza memberi penjelasan yang lebih mudah dengan menyusun sistem rasionalsime atas dasar sistem ilmu ukur. Menurutnya, dalil ilmu ukur merupakan dalil kebenaran yang tidak perlu di buktikan lagi. Artinya, Spinoza yakin jika seseorang  memahami makna yang terkandung oleh pernyataan, “Sebuah garis lurus merupakan jarak terdekat di antara dua buah titik,” maka seseorang mau tidak mau mengakui kebenaran pernyataan itu. Menurutnya, tidak perlu ada bahan-bahan bukti yang lain kecuali makna yang di kandung oleh kata-kata yang digunakan.[14]
            Metode ilmiah pada dasarnya tidak mempertentangkan dua aliran yang berbeda tersebut, baik dari segi hakikat pengetahuan maupun sumbernya. Metode ilmiah lebih menjurus pada penggabungan antara paham realisme dan rasionalisme. Pancaindera mengumpukan data-data, sedangkan akal menyimpulkan berdasarkan pada prisnip-prinsip universal, yang kemudian di sebut pengetahuan. Kebenaran dengan penggabungan ini pun bukan kebenaran mutlak, tetapi kebenaran yang dekat pada hakikat, yaitu menurut kesanggupan tertinggi dari akal dalam mendekati hakikat itu.
            Ada kesulitan juga dalam teori ini karena tidak semua data yang ada dalam alam dapat di kumpulkan. Alam terlalu besar sedangkan masa berajalan terus. Yang dapat di kimpulkan hanyalah sebagian dari data dan itu pun data yang telah terjadi data yang belum terjadi tidak dapat di buat bahan observasi. Karena itu, pengetahuan yang di peroleh bukanlah pengetahuan yang lengkap, tetapi pengetahuan yang belum sempurna. Dengan demikian, seorang ilmuan hanya mengadakan hipotesis dari hipotesis ini dianggap benar selama data yang datang kemudain memperkuat kebenaraanya. Namun, kalau ada data yang datang kemudian memberikan gambaran lain dari data sebelumnya maka hipotesis harus diubah. Menurut Harun Nasution, semua teori ini tidak membawa pada pengetahuan yang benar-benar membawa keyakinan bahwa apa yang di ketahui benar-benar sesuai dengan fakta-fakta yang ada dalam kenyataan. Pengetahuan tentang materi, kendati pengetahuan itu diuraikan secara ilmiah, belumlah tentu dan pasti kebenarannya. Karena itu, sebagian filosof bersikap skeptic, ragu bahwa kebenaran yang sebenarnya bisa dicapai oleh manusia.[15]
            Kalau demikian halnya, menurutnya, jika ada orang yang tidak percaya pada kebenaran agama dengan alasan bahwa keyakinan agama tidak menimbulkan keyakin mereka, maka pengetahuan yang di peroleh secara ilmiah pun sebenaranya tidak membawa kepada keyakinan yang kuat. Kebenaran yang di hasilkan pemikiran di luar lapangan agama, bahkan yang dihasilkan dalam lapangan ilmiah sekalipun, belum tentu benar.[16]
            Immanuel Kant berpendapat bahwa untuk mendapatkan pengetahuan yang benar, seorang harus membedakan empat macam pengetahuan, yaitu analitis a priori, sintesis a priori, analitis a posteriori, dan sitesis a posteriori. Pengetahuan a priori adalah pengetahuan yang tidak tergantung pada adanya pengalaman atau yang ada sebelum pengalaman, sedangkan pengetahuan a posteriori terjadi akibat pengalaman. Pengetyahuan analitis merupakan hasil analitis, sedangkan sintesis merupakan hasil  keadaan yang mempersatukan dua hal yang bisanya terpisah.
            Menurut Kant, analitis a priori adalah pengetahuan yang tidak mendatangkan sesuatu yang baru kepada subjeknya dan diperloeh tanpa pengalaman, contoh liongkaran itu bulat. Bulat sebagai predikat tidak memberikan hal yang baru pada subjek lingkaran. Sintesis a posteriori adalah kebalikan dari sintesis a priori, bahwa pengetahuan yang diperoleh mendatangkan hal yang baru akibat dari pengalaman, seperti meja itu bundar. Bundar adalah predikat yang memebrikan arti baru bagi subjek meja sebab tidak semua meja bundar. Pengetahuan sintesis a priori adalah pengetahuan yang kendati bersifat a priori, tetapi sintetsis juga seperti segala kejadian ada sebabnya.[17]
            Ilmu pasti, demikian menurut Kant, sebenarnya disusun atas dasar a priori yang bersifat sintesis ini. ilmu mengandaikan adanya putusan-putusan yang memberi pengertian baru (sintesis) dan yang mutlak serta bersifat umum (s priori). Maka ilmu menuntut adanya  putusan a priori yang bersifat sintesis.
            Dengan teori ini, Kant ingin mempertahankan sifat objektivitas ilmu. Agar maksud itu tercapai, seseorang harus menghindarkan diri dari sifat sepihak rasionalisme dan dari sifat sepihak empirsime. Menurut Kant, rasionalisme mengira telah menemukan kunci bagi pembukaan realitas pada subjeknya, lepas dari segala pengalaman, sedangkan empirisme mengira hanya dapat memperoleh pengetahuan dari pengalaman saja. Ternayata bahwa empirisme sekali pun mulai dengan ajaran yang murni tentang pengalaman, tetapi melalui idealism subjektif yang bermuara pada suatu skeptisisme yang radikal.[18]
            Menurut Kant, syarat dasar suatu ilmu adalah, a) bersifat umum dan mutlak serta b) memberi pengetahuan baru. Empirisme, menurutnya, memberikan pengetahuan yang bersfiat baru, sedangkan rasionalisme memberikan putusan-putusan yang bersifat umum dan mutlak. Dengan demikian, baik empirisme maupun rasionalisme tidak memenuhi syarat yang di tuntut oleh suatu ilmu. Karena itu, perlu diselidiki putusan yang bersifat sintesis a priori, yaitu gabungan antara empirisme dan rasionalisme.[19]
            Untuk menghubungkan teori empirisme dengan rasionalisme, Kant berusaha menjelaskan dnegan tingkat-tingkat pengenalan roh, dari tingkat yang terendah sampai menuju yang tertinggi. Pengenalan yang terendah adalah pengamatan indrawi kemudian akal, akhirnya budi. Kerja akal mengatur data-data indrawi, yaitu dengan mengemukakan putusan-putusan lewat sintesis yang teratur. Budi adalah semacam penghubung batin yang trasenden antara cerapan indrawi dan akal. Budi ini, menurut Kant, adalah daya pencipta pengertian murni atau mutlak, yang tidak diberikan oleh pengalaman.
            Pengertian yang di peroleh oleh budi ini tidak lewat pengalaman, contohnya pengertian atau ide tentang Tuhan. Karena itu, pengetahuan yang semacam ini juga disebut dengan intusionisme. Pengertian budi memiliki daya mengatur, artinya ide tidak memperbanyak pengetahuan dan mendatangkan pengetahuan yang baru.
            Henry Bergson membedakan antara pengetahuan diskursif dan intuitif. Menurutnya, pengetahuan diskursif diperoleh melalui penggunaan simbol-simbol yang mencoba mengatakann kepada kita mengenal sesuatu. Hal ini tergantung pada sudut pandang mana suatu kejaidan di pahami. Dengan cara ini, seseorang hanya memperoleh pengetahuan mengenai suatu bagian atau beberapa bagian dari kejaidan tersebut, tetapi tidak pernah mengenai kejadian itu seluruhnya.
            Pelukis sebuah kejaidan, kata Bergson hanya menijau dari sudut pandang tertentu, berhubungan dengan suatu penglihatan tertentu. Atas dasar itulah, Bergson tidak dapat merasakan dirinya berada didalamnya dan mengalaminya sebagai suatu keselurhan dan mutlak. Menurutnya, hanya dengan menggunakan intiuisi, seorang dapat memperoleh pengetahuan “tentang” kejaidan itu, yakni suatu pengetahuan yang langsung, yang mutlak, dan bukan pengetahuan yang nisbi.
            Menurutnya, intuisi mengatasi sifat lahirnya pengetahuan simbolis, yang pada dasarnya bersifat analitis, menyeluruh, mutlak, dan tanpa di bantu oleh penggambaran secara simbolis. Karena itu, intuisi adalah sarana untuk mengetahu secara langsung dan seketika. Analisis, atau pengetahuan yang di peroleh lewat pelukisan tidak dapat menggantikan hasil pengenalan intuisi. [20]
            Dalam tasawuf, intuisi disebut dengan makrifah, yaitu pengetahuan yang datang dari Tuhan melalui pencerahan dan penyinaran. Istilah ini juga sering disebut dengan iluminasi. Intuisi dalam filsafat barat diperoleh lewat usaha perenungan dan pemikiran yang konsisten, sedangkan dalam Islam makrifah diperoleh lewat perenungan dasn penyinaran dari Tuahn. Jalaluddin Al Rumi pernah mengatakan, “Berjalanlah kamu ke sebuah tempat dasn tunggulah disana penyinaran dari Tuhan.” Al Rumi juga menggambarakan bahwa penyinaran atau anugerah itu bagaikan seorang penyelam mencari mutiara. Untuk sampai ke dasar laut, seseorang, menurut Al Rumi harus memiliki keterampilan berenang dan menyelam, dia harus memakai alat khusus. Dan ketika sampai di dasar lautan dia mulai memilih kerang. Ada kerang yang berisi mutiara dan ada yang tidak. Anugerah atau keberuntunganlah yang menetukan seseroang memperoleh mutiara, bukan lagi keterampilan dan alat. Jadi, menurut Al Rumi, untuk memperoleh Makrifah atau penyinaran, sesoerang di samping berusaha juga meyakini anugerah Tuhan. [21]
            Dalil seperti ini sebenarnya sudash pernah juga di kemukakan oleh Al Ghazali dalam bukunya Al Mungqdz min al dhalal (Jalan selamat dari kesesatan). Dia berendapat bahwa pengetahuan yang paling benar adalah pengetahuan ituisi/makrifah yang disinarkan oleh Allah langsung kepada seseorang. Pengetahuan mistiklah yang membuat dia yakin dan merasa tenang setelah dia dilanda oleh keraguan yang hebat.
            Al Ghazali membagi pengetahuan itu kepada tiga tingkat, yaitu pengetahuan orang awam, pengetahuan kaumi itelektual, dan pengetahuan kaum sufi. Orang awam menerima pengetahuan/berita tanpa mau menyelidiki. Contohnya, ada orang yang mengatakan, “Dirumah itu ada orang” orang awam, tanpa menyelidiki kebenarannya langsung percaya saja.beda halnya dengan kaum intelektual, mereka akan menyelidiki kebenaran mereka tersebut dengan mengadakan analisis data-data yang ada. Apakah benar ada orang disekitar rumah itu. Setelah meneliti sandal, suara percakapan, dan lain-lain, mereka mengambil kesimpulan bahwa memang benar ada orang didalam rumah tersebut. [22]
            Para sufi mendapatkan berita yang seperti itu, tidak menerima saja dan tidak meneliti data-data yang mebenarkan berita tersebut, tetapi langsung membuka pintu rumah, sehingga mereka dapat melihat langsung orang didalamnya. Makrifah, dalam pengeertian  Al Ghazali, adalah seperti pengetahuan yang ketiga ini. lagi pula pengetahuan yang ketiga ini, menurut Al Ghazali, lebih membawa keyakinan dan kepuasan ketimbang pengetahuan yang pertama dan kedua.
            Pengetahuan indrawi dan akal, menurut Al Ghazali, tidak bisa diyakini kebenaranya. Pancaindra sering berbohong karena bayangan pohon yang dianggap oleh mata tidak bergerak, ternyata dalam waktu tertentu berpindah tempat. Akal juga demikian, ketika seorang bermimpi tentang sesuatu, dia merasakan bahwa kejaidan itu benar-benar ada dan terjadi. Namun, ketika dia bangun hal itu tidak ada sama sekali. Karena itu, Al Ghazali menggambarkan keidupam dunia ini bagaikan orang tidur, nanti kalau di akhirat atau setelah mati mereka baru bangun dan sadar bahwa apa yang di dunia ini semuanya berupa mimpi.
            Pengetahuan intuisi ini banyak mendaspat tantangan, terutama dari sifat objektivitasnya. Namun, perlu juga diketahui pengetahuan ini terjadi pada beberapa orang terntenu dnegan pola yang sama, sehingga bisa di anggap sebagai pengetahuan intersubjektivitas. Pengethuan yang berdasarkan intersubjektivitas bisa dikategorikan  sebagai pengetahuan ilmiah.
            Menurut Mehdi Ha ‘iri yazdi, pengetahuan dengan pencerahan itu dapat dianggap sebagi ebuah pengetahuan. Sebab, pengetahuan korespondensi melibtakan objek diluar dirinya, sedangkan pengetahuan dengan pencerahan menyadarkan bahwa pengetahuan tentang yang diluar harus didahului dengan pengetahuantentang dirinya sendiri. tidak mungkin seseorang mengetahui suatu objek diluar dirinya, tanpa mengethau terlebih dahulu pengethauan ada dalam dirinya.  Pengetahuan dalama dirinya ini diperoleh berkat anugrah Tuhan, baik sejak lahir amupun setelah dewasa. Kalau semua orang, demikian Ha ‘iri yazdi, mengakui adanya pengetahuan tentang dirinya ‘mengetahui’ sebelum mengethaui yang lain,  maka pengetahuan iluminasi adalah objek dan bisa diterima secara ilmiah.
            Masalahnya kemudian adalah semua bentuk pengetahuan itu – empirisisme, rasionalisme, dan iluminasionisme- bersumber dari manusia yan g bersfiat relative. Relativitas itu tidak saja dari pemikiran, tetapi juga perangkat yang di miliki manusia dalam memperloeh pengetahuan, seperti daya pancaindra, akal, dan hati. Karena itu, tidak mustahil ada zat yang lebih memiliki pengetahuan yang hakiki daripada manusia, dan dia merupakan hakikat dan sekaligus sumber pengetahuan.


                                                                                                                                  



BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
            Kebenaran pertama-tama berkedudukan dalam diri si pengenal. Kebenaran di beri batasan-batasan sebagai penyamaan akal dengan kenyataan, yang terjadi pada taraf inderawi maupun akal budi tanpa pernah sampai kesamaan sempurna yang dituju kebenaran dalam pengalaman manusia. Ilmu-ikmu empiris memegang peranannya dalam usaha memegang kesamaannya itu. Dalm bidang ilmu-ilmu itu sendiri pun kebenaran selalu bersifat sementara . Ilmu-ilmu pasti tidak langsung berkecimpung dalam usaha manusia menuju kebenaran, tepatnya perjalanan ilmu-ilmu itu merupakan suati sumbangan agar pengetahuan diluar ilmu-ilmu itu makin lancar mendekati kebenaran.
Bahwa subtansi kebenaran adalah di dalam interaksi kepribadian manusia dengan alam semesta. Tingkat Wujud kebenaran dutentukan potensi subyek yang menjangkaunya. Artinya fungsi-fungsi potensi subyek apriori tersedia sesuai dengan materi dan tingkat kebenaran yang ada di dalam alam semesta dan metafisis.

3.2 Penutup
         Demikianlah makalah ini kami susun. Semoga dapat menambah pengetahuan dan bermanfaat bagi kita semua. Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan baik dalam penyusunan maupun penyampaian. Kritik dan saran yang konstruktif sangat kami butuhkan untuk kesempurnaan makalah selanjutnya.





3.3 Daftar Pustaka

DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Agama Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia, Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2012.

Kartanegara, Mulyadhi,  Fenomena Filsafat Islam, Bandung:  Mizan, 2005.

Rasjidi, H.M., Filsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1994

http://ranahfilsafat.wordpress.com/

http://kajianfilsafatepistemologi.wordpress.com/

http://www.ilmufilsafat.com/






[1] Artikel di akses pada tanggal 18 September 2015 pada: http://ranahfilsafat.wprdpress.com/
[2] Artikel di akses pada tanggal 18 September 2015 pada: http://kajianfilsafatepistemologi.wordpress.com/
[3] H.M., Rasjidi, Filsafat Agama , (Jakarta : Bulan Bintang, 1994), hlm. 21

[4] Artikel di akses pada tangal 19 September 2015 pada : http://www.ilmufilsafat.com/
[5] H.M., Rasjidi, Filsafat Agama, hlm. 21

[6] Artikel di akses pada tangal 19 September 2015 pada : http://www.ilmufilsafat.com/
[7] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia, (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2012), hlm. 37
[8] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia, hlm. 39
[9] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia, hlm. 41
[10] Artikel di akses pada tanggal 18 September 2015 pada: http://ranahfilsafat.wprdpress.com/
[11] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia, hlm. 45
[12] Mulyadhi  Kartanegara,  Fenomena Filsafat Islam, (Bandung:  Mizan, 2005), hlm. 10
[13] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia, hlm. 45
[14] Artikel di akses pada tanggal 18 September 2015 pada: http://ranahfilsafat.wprdpress.com/
[15] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia, hlm. 48

[17] H.M., Rasjidi, Filsafat Agama, hlm. 30
[18] H.M., Rasjidi, Filsafat Agama, hlm. 37
[19] Mulyadhi  Kartanegara,  Fenomena Filsafat Islam, hlm. 13
[20] Mulyadhi  Kartanegara,  Fenomena Filsafat Islam, hlm. 18
[21] Mulyadhi  Kartanegara,  Fenomena Filsafat Islam,  hlm. 25
[22] H.M., Rasjidi, Filsafat Agama, hlm. 28

***Mahasiswa Studi Agama-agama Fakultas Theologi Islam & Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta