Sabtu, 06 Desember 2014

RELASI GENDER DI NEGARA MESIR


 Pendahuluan

       Berbicara Politik di era modern dewasa ini dalam lingkup Ilmu Hubungan Internasional, tidak lagi hanya membicarakan aspek power dalam kaitan pendominasian suatu negara terhadap negara lain. Aktor atau pelaku politik juga tidak lagi terbatas dilakukan oleh negara/state saja. Menariknya pula, politik juga telah memberikan ruang,  bukan hanya kepada kaum laki-laki, tetapi juga kepada kaum perempuan.  Pencapaian ini bukan berarti tanpa perjuangan, melainkan melalui pergerakan-pergerakan politik yang pada akhirnya dapat diterima oleh pemerintah.
         Perjuangan politik kaum perempuan di berbagai negara melalui proses yang berbeda-beda dan  mendapatkan respon yang berbeda-beda pula. Hal ini tergantung dari ideologi negara tersebut. Negara-negara Barat atau negara maju cenderung lebih cepat menerima perjuangan perempuan dibandingkan negara-negara miskin, terlebih lagi negara-negara Islam yang sangat kaku terhadap memberikan peraturan terhadap keberadaan kaum perempuan. Negara Iran menjadi salah satu negara Islam yang cukup berbeda dari negara-negara Islam lainnya dalam memandang perempuan.[1]

         Kaum perempuan adalah salah satu kekuatan masyarakat yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam mengisi kemerdekaan bangsa untuk mewujudkan sistem kehidupan dalam internal suatu negara itu sendiri maupun secara global, yang semakin memberikan penekanan pada aspek demokratisasi, perlindungan hak asasi manusia, lingkungan hidup, serta supremasi sipil.[2]
    Gerakan perempuan atau lebih dikenal sebagai gerakan gender sebagai gerakan politik sebenarnya berakar pada suatu gerakan yang dalam akhir abad ke-19 di berbagai negara Barat dikenal sebagai gerakan “suffrage”, yaitu suatu gerakan untuk memajukan perempuan baik di sisi kondisi kehidupannya maupun mengenai status dan perannya. Inti dari perjuangan mereka adalah bahwa mereka menyadari bahwa di dalam masyarakat ada satu golongan manusia yang belum banyak terpikirkan nasibnya. Golongan tersebut adalah kaum perempuan[1]
            Stereotipe peran seksual yang ada, mengatakan bahwa politik adalah dunia laki-laki. Politik selamanya selalu dikaitkan dengan maskulinitas, sesuatu yang bertentangan dengan feminitas[2] 

Rumusan Masalah

a.      Mengetahui Islam dan Kesetaraan Gender
b.      Mengetahui Gerakan Perempuan Islam dan Perjuangan Ketiak adilan Kesetaraan Gender di Mesir


 Pembahasan

Islam dan Kesetaraan Gender
            Gerakan feminis muslim di dunia Islam, terutama di Timur Tengah atau di dunia Arabia selaluterkait dengan kebangkitan Islam. Hal ini ditandai dengan pertentangan antara intelektual ekstrem kanandan ekstrem kiri yang melibatkan rezim/pemerintah yang berafiliasi dengan imperium. Oleh karenanya, pembahasan feminis muslim ini harus dikaji dari sisi historis, framework feminis muslim, dan isu-isu yang diperdebatkannya.[3]
Penetrasi Barat ke pusat dunia Islam di Timur Tengah Pertama–tama dilakukan oleh dua bangsa Eropa, yaitu Inggris dan Perancis, yang keduanya sedang bersaing sebagai imperium. Inggris terlebih dahulu menguasai di India. Adapun Perancis, untuk masuk ke India, terlebih dahulu harus menguasai Mesir (tahun 1798 M) sebagai pintu gerbang masuk ke India. Motif lain Perancis menaklukkan Mesir,adalah politik ekonomi terkait dengan pemasaran dan penyediaan bahan-bahan baku dan menjadikan pusat kegiatan pendistribusian hasil industrinya ke wilayah Timur Tengah, serta keinginan yang kuat ekspedisi Napoleon Bonaparte untuk mengikuti jejak Alexander the great dari Macedonia yang pernah menguasai Eropa, Asia, sampai dengan India. Persaingan antara Inggris dan Perancis di Timur Tengah terjadi sudah lama dan terus berlangsung, dan faktor utama yang menarik kehadiran kekuatan-kekuatan Eropa ke dunia muslim, adalah ekonomi dan politik. Namun persoalan tersebut melibatkan agama dalam proses politik penjajahan Barat atas dunia Islam.
Pertarungan antara Islam dan kekuatan Eropa telah menyadarkan umat Islam bahwa umat Islam tertinggal jauh dari Eropa. Usaha-usaha yang dilakukan oleh umat Islam adalah gerakan pembaharuan,yang didorong oleh faktor yang saling mendukung, yaitu pemurnian ajaran Islam dari unsur asing yang dipandang sebagai penyebab kemunduran umat Islam, dan menimba gagasan ilmu pengetahuan dari Barat. Gerakan ini melibatkan gerakan Wahabiyah (1703-1787 M) di Arabia, Syah Waliyullah (1703-1762 M) di India, dan Gerakan Sanusiah di Afrika Utara yang dipimpin Muhammad Sanusi dari al-jazair. Selanjutnya, pergerakan ini memasuki ranah politik. Gagasan politik yang pertama kali adalah gagasan Pan-Islamisme  sebagai gagasan persatuan Islam sedunia yang disuarakan secara lantang oleh Jamaludin al-Afghani (1839-1897 M).[4]
Berkenaan dengan konteks gerakan gagasan persatuan Islam sedunia ini, seperti yang dikemukakan Bernard Lewis, memahami Islam yang terjadi dewasa ini dibutuhkan penghargaan/penghormatan karakter universal dan posisi sentral agama dalam kehidupan umat Islam. Oleh karena itu, gerakan-gerakan sosial dan politik yang paling menonjol dalam lintas sejarah Islam modern telah menempatkan Islam sebagai kekuatan dan gagasan persatuan dalam perjuangannya.
Pada tahun 1928, Hasan al-Banna adalah seorang pengikut al-Afghani dan Abduh mendirikan Ikhwanul Muslimin (Jam’iyah al-ikhwan al-Muslimin). Tujuan didirikannya untuk mendidik rakyat,meningkatkan kesejahteraan, dan memperkuat pranata Islam (al Nizam al-Islam). Gerakan ini menolakpengaruh budaya, politik dan ekonomi Barat, dan dalam waktu yang bersamaan berkolaborasi dengangerakan perjuangan kemerdekaan untuk menggulingkan monarki-Mesir pro-Inggris. Ikhwanul Muslimin merupakan fenomena baru sebagai gerakan yang didukung oleh massa, gerakan terorganisir, dan berorientasi pada masyarakat urban untuk mengatasi kemunduran Islam di dunia modern. Meskipun
Demikian, hal itu mendapat respon berbeda di luar negeri dianggap sebagai gerakan fundamentalis yang ingin mendirikan kembali Negara Islam.6 Komunitas Ikhwanul Muslimin saat itu hendak mendirikan devisi Muslim Sisters, dan Hasan al-Banna meminta Zaenab al-Gazali memimpinnya dan menggabungkan dengan Muslim Women’s Association, tetapi ditolaknya dan tetap menjalin kerja sama dalam perjuangan untuk mendirikan Negara Islam dan bergerak di bawah tanah selama rezim ‘Abd anNasser pada tahun 1950-1960.7
Kajian pergerakan perempuan di Mesir (Egypt) dimulai tahun 1919 ditandai dengan munculnya aktivis feminis yang tergabung dengan the Egyptian Feminist Union (EFU) dipimpin oleh Huda Sha’rawi.[5]
Fokus perjuangannya adalah hak-hak politik perempuan, perubahan hukum status perseorangan yang mencakup pengendalian perceraian, poligami (the personal satus law), persamaan akses pendidikan baik ditingkat lanjutan maupun perguruan tinggi, dan berbagai pengembangan tentang kesempatan profesional bagi perempuan. Namun demikian, aktivitas pergerakan perempuan tersebut diwarnai ketegangan dengan gerakan nasionalisme.

Awal perjuangan pergerakan perempuan dalam pengembangan intelektual dan prinsip-prinsip ideologinya hampir diilhami oleh reformer modernis laki-laki seperti Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afghani, dan yang paling luar biasa adalah Qosim Amin yang pada saat tahun 1919 berkaitan dengan perlawanan Inggris dan masa keberlangsungan dan perluasan berbagai aktivitas perempuan. Di samping itu, beberapa kontribusi perempuan dalam publikasi jurnal sebagaimana mainstream pers yang memunculkan debat tentang isu-isu sosial seperti pendidikan, peran perempuan dalam keluarga, dan hak-hak perempuan.[6]
Sementara itu, pada periode 1945-1959 muncul organisasi perempuan, yaitu Bint el-Nile(Daughter of the Nile) yang dipimpin oleh Doria Shafik. Pergerakan ini sebagai suatu yang baru dan menyegarkangerakan feminis, bertujuan untuk  memproklamirkan hak-hak politik secara penuh bagi perempuan.
Kegiatan ini juga mempromosikan berbagai programnya, berkampanye perbaikan budaya, perbaikan kesehatan dan pelayanan sosial bagi masyarakat miskin, mempertinggi pelayanan ibu, dan perawatan anak (chaildcare). Menurut Khater dan Nelson bahwa hak-hak politik perempuan dipertautkan kampanye reformasi sosial. Proses reformasi sosial ini oleh para feminis seperti Inji Aflatoun, Soraya Adham, dan Latifa Zayyad di adopsinya ideologi sosial atau komunis dengan memperlihatkan pada perjuangan pembebasan perempuan dan hukum (sosial equality and justice). Namun demikian, pergerakan perempuan mulai menyusut terjadi pada masa pemerintahan Gamal Abdul Nasser (1952-1970) ditandai dengan pengendalian ruang gerak organisasi perempuan.[1]
Sub ordinasi atas wanita di Timur tengah kuno tampaknya telah dilembagakan seiring dengan kebangitan, masyarakat perkotaan  dan dengan kebangkitan negara kuno khususnya. Bertolak belakang dengan  teori-teori androsentris yang mengemukakan bahwa status sosial inferior wanita didasarkan  pada biologi dan “alam ” dan dengan demikan, sudah ada selma dimiliki manusia, bukti arkeologi menunjukan bahwa wanita di hormati sebelum bangkitnya masyarakat perkotaan dan statusnya merosot seiring dengan munculnya pusat-pusat perkotaan dan negara kota. Para sering kali mengutip catal huyuk, sebuah pemukiman zaman  Neolitik di Asia kecil yang berasal dari sekitar tahun 6000 S.M., untuk membenarkan posisi dominan  dan tertinggi wanita ( sebagian orang berargumen demikian). Di dalam pemukiman ini, bagian lebih besar dari panggung pemakaman yang di temukan dalam rumah-rumah berisi wanita, dan berbagai lukisan dan dekorasi di dinding banyak pemakaman dengan jelas menggambarkan  sosok wanita. Catal Huyuk Bukan satu-satunya kebudayaan awal di kawasan itu yang memberikan bukti tentang posisi  luhur dan mungkin terhormat yang dimiliki wanita.temuan temuan arkeologis menunjukkan bahwa berbagai kebudayaan  diseluruh Timur Tengah menghormati dewi Ibu dalam Zaman Neolirtik, hingga milenium kedua sebelum Masehi di beberapa kawasan. Juga, kajian tentang berbagai kebudayaan kuno  di kawasan itu menunjukkan bahwa supremasi  sosok  dewi  dan status tinggi bagi wanita adalah aturan alih-alih kekecualian di Mesopotamia, Elam, Mesir, Kreta, misalnya, dan di kalangan bangsa  yunani, phoenicia, dan lain-lainya. [7]





Gerakan Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan Kesetaraan Gender di Mesir

             Pada abad ke-6  Masehi, boleh di katakan Arabia adalah sebuah pulau di Timur Tengah, kawasaan terakhir yang tersisa di mana perkawinan patrialineal, patriarkal belum dilembagakan sebagai satu-satunya bentuk perkawinan yang sah; sekalipun bahkan di sana hal itupun mungkin jenis-jenis perkawinan yang di praktekkan adalah perkawinan matrilineal,  uksorilokal (sangat menggandrungi wanita wanita), yang  dijumpai  di Arabia, termasuk Makkah, sekitar masa kelahiran  Muhammad (kira kira pada abad 570 M)  wanita tetap tinggal  bersamanya, dan anak-anak yang di lahirkan menjadi suku Ibunya serta perkawinan bersifat poliandri dan poligami.
            Keberagama berbagai praktek perkawinan di Arabia pra-Islam dan adanya adat istiadat  matrilineal, termasuk  bergabungnya anak-anak bersama suku sang ibu, tidak mesti bahwa wanita mempunyai kekuatan yang lebih besar dalam masyarakat atau akses lebih besar pada sumber-sumber ekonomi. Praktek-praktek ini juga tidak berkorelasi dengan adanya misogini. Sesungguhnyalah, ada bukti yang jelas bagi yang sebaliknya. Praktek pembunuhan bayi yang agaknya terbatas anak-anak perempuan, mengesankan sauatu keyakinan bahwa kaum perempuan adalah cacat dan bisa di korbankan. Ayat-ayat al- Qur’an yang mengutuk pembunuhan bayi mengesankan perasaan malu dan sikap negatif yang di asosiasikan oleh orang-orang Arab Jahiliyah dengan jenis kelamin.[8][1]
             Kairo adalah  Salah satu potret ikonik revolusi  Mesir adalah potret para lelaki dan perempuan yang berdiri bersama, bersatu untuk perubahan positif. Namun setelah itu, perempuan bergulat dengan masalah pelecehan seksual dan dipinggirkan dalam transisi politik. Akan tetapi, para perempuan Mesir tidak pernah berhenti berjuang – dan kini mereka tengah menemukan banyak sekutu.
          Sebagian orang berpandangan bahwa demokrasi perlu dicapai lebih dulu sebelum memperhatikan hak-hak perempuan. Namun, mengatasi marginalisasi perempuan lebih dulu sebenarnya sangat penting untuk menciptakan Mesir yang benar-benar demokratis. Masalah intinya bukan saja tentang kesetaraan perempuan dengan laki-laki, namun juga tentang ketidakadilan. Terlampau sering, perempuan diperlakukan sebagai warga negara kelas dua dan mendapatkan ketidak adilan – mereka menghadapi pelecehan di jalanan, menjadi korban tes keperawanan oleh militer, dan tidak diberi banyak kesempatan untuk terlibat dalam politik. Misalnya, para aktivis hak perempuan tidak diajak musyawarah dalam proses perancangan konstitusi. Meskipun perempuan bisa secara hukum memegang posisi seperti hakim atau jabatan tinggi politik, tekanan sosial sering kali membuat perempuan tak bisa memperolehnya.
Namun, para aktivis hak perempuan tidak berdiam diri di tengah berbagai rintangan seperti ini. Ambil contoh Bothaina Kamel, yang mencoba menggunakan haknya untuk maju menjadi calon presiden, dan merupakan kandidat presiden perempuan pertama di Mesir. Sekalipun ia akhirnya gagal mengumpulkan cukup tanda tangan untuk bisa masuk daftar calon yang dipilih, ia memperlihatkan kepada perempuan Mesir lainnya bahwa mereka juga semestinya bisa berpartisipasi dalam politik.
[9]
      Selain berbagai contoh aktivis perempuan ini, ada juga berbagai cerita tentang para lelaki yang mendukung perempuan. Banyak anggota parlemen liberal, seperti Amr Hamzawy, telah bicara tentang pentingnya membuat isu perempuan sebagai sebuah prioritas. Dukungan laki-laki telah meluas hingga tingkat akar rumput juga. Selama setahun terakhir, laki-laki telah berpartisipasi dalam aksi-aksi pawai yang digelar oleh para perempuan, dan melindungi perempuan dari pelecehan selama aksi. Selain itu, berbagai proyek seperti Harassmap, yang mencatat dan mengadvokasi pelecehan di jalanan, dan organisasi-organisasi lainnya seperti itu, memiliki banyak relawan pria.
           Satu-satunya cara untuk benar-benar mewujudkan hak-hak perempuan dalam jangka panjang adalah menyertakan perempuan dalam semua proses pembuatan keputusan – termasuk dalam merevisi konstitusi. Konstitusi baru Mesir harus menyerukan dihilangkannya diskriminasi berbasis gender bagaimana pun bentuknya. Tahun lalu bahkan, berbagai kelompok feminis yang bekerja untuk PBB merancang Piagam Perempuan Mesir, yang bisa menjadi sebuah model bagi konstitusi yang lebih peka Gender.
         Selain itu, para aktivis hak-hak perempuan harus terlibat dalam negara – dan berpartisipasi baik di oposisi maupun pemerintahan baru Mohamed Morsi. Satu langkah yang bisa negara ambil untuk mendorong hak-hak perempuan adalah mensponsori program-program yang dilakukan oleh berbagai organisasi perempuan, dan melibatkan perempuan dari organisasi-organisasi ini dalam kabinet baru yang sedang dibentuk. Dalam pemerintahan Prancis, Najat Vallaud-Belkacem menjadi Menteri Hak-hak Perempuan – sebuah posisi yang mungkin patut ditiru di Mesir.
        Penting juga mengingat bahwa al-Ikhwan al-Muslimun menyertakan banyak anggota perempuan. Bahkan, banyak perempuan dalam al-Ikhwan al-Muslimun menduduki peran-peran penting dalam partai dan organisasi mereka, seperti Hoda Abdel Moneim, seorang pengacara dan Ketua Komite Urusan Perempuan Partai Kebebasan dan Keadilan. Banyak perempuan di al-Ikhwan al-Muslimun juga mengelola berbagai program sosial. Dari percakapan saya sendiri dengan para perempuan di al-Ikhwan al-Muslimun, tampak jelas bahwa mereka memiliki hasrat tulus untuk menduduki posisi-posisi kepemimpinan dan secara aktif berusaha ,memperbaiki kondisi para perempuan Mesir.
             Para aktivis hak perempuan dari semua latar belakang perlu terus merapatkan barisan dan secara aktif berpartisipasi dalam transisi politik Mesir. Dalam suatu wawancara pribadi, Abdel Moneim menekankan perlunya para perempuan al-Ikhwan al-Muslimun berusaha mereformasi ruang politik dan sosial Mesir, bersama para perempuan di luar gerakan ini. Kemitraan seperti inilah yang sangat diperlukan – para aktivis dari semua perspektif, religius dan sekuler, bergabung menghadapi tantangan-tantangan di depan.
                  Jadi perempuan di Mesir tidak di rendahkan derajat kemanusiaannya seperti terjadi pada kaum perempuan dalam peradaban kuno lainnya. Di dalam risalahnya as-Sayyed menulis dalam judul Kewajiban perempuan terhadap suaminya bahwa perempuan Mesir adalah istri yang patuh, Ibu rumah tangganya yang sempurna dan Ibu yang ideal. Jadi meskipun kedudukannya tinggi dalam Masyarakat, dia tetap berkhidmat terhadap suaminya. Walupun status perempuan itu tinggi dalam peradaban Mesir, namun kaumn laki-laki mempunyai prioritas dalam hal warisan dan peluang naik tahta, walaupun kaum perempuan mempunyai peluang untuk naik tahta, namun hak ini hanya di peroleh jika ahli waris laki-laki tidak ada.
                  Walupun derajatnya tinggi, namun hukum juga mengharuskan perempuan tunduk terhadap peraturan-peraturan yang berlaku. Hukum menetapkan bahwa tidak boleh menyentuh perempuan selama periode nifas. Ia di kurung di tempat khusus yang di sebut Hariri. Selain itu, hubungan seksual di luar nikah di anggap sebagai dosa besar dan perempuan yang melakukan hubungan seksual haram itu akan di hukum mati. Pada kenyataanya hukum pidana tidak berlaku adil karena perempuan di hukum mati begitu kesetiaan terhadap suaminya di ragukan. Satus perempuan yang tinggi dalam perdaban Mesir berlangsung selama berabad-abad, tetapi mulai memburuk setelah di bawah pengaruh peradaban Yunani, setelah runtuhnya kekaisaran romawi. Selain itu, kezaliman bangsa Romawi menyebabkan banyak bangsa Mesir meninggalkan kesia-siaan dunia ini dan memulai kehidupan biara. Maka hukum dan perundang-undangan bangsa Mesir tamat riwayatnya sebelum masa Islam. Umar Kahaleh menjelaskan bahwa demikianlah status perempuan sebelum berkuasanya kaum batavian di Mesir yang menyerahkan kaum perempuan kepada otoritas kaum laki-laki dan mencabut hak-haknya.[2]

            Qasim Amien di antara Pergumulan Pemikiran Islam di Mesir
Dalam kajian sosiologiA pemikiran, kita akan dikenalkan dua macam varian dari pergerakan-pergerakan pemikiran. Pertama, gerakan yang menjaga usul-usul (fundamen), tradisi dan agama secara rigid dan tertutup, varian ini biasanya dikenal dengan Front Tradisionalis-konservatif. Kedua, Front Reformis-liberal adalah gerakan yang mengkaji agama dan tradisi secara kritis, rasional dan liberal. Begitu juga halnya dengan permasalahan relasi gender, di satu sisi terdapat kelompok yang berusaha keras mempertahankan warisan kaum terdahulu (al-Sâbiqûn al-Awwalûn). Terlepas apakah warisan tersebut merupakan syariat murni atau hasil ijtihad manusia terhadap masalah-masalah kontekstual. Di tepi lain, suatu golongan berusaha mencari terobosan-terobosan baru, guna menyelesaikan problem kontekstual dengan mengkaji tradisi agama dan sosial secara kritis tanpa mengenyampingkan tradisi dan pengalaman hidup leluhurnya.
Jika kita mencoba mengklasifikasikan posisi para feminis ke dalam dua golongan tersebut, yaitu Tradisionalis-konservatif dan Reformis-liberal, maka Qasim Amien masuk pada kelompok kedua. Ketika Qasim Amien mengadakan pembaruan di bidang sosial,—di antaranya permasalahan kaum perempuan— beliau menafsirkan kembali (reinterpretasi), dengan jalan mengkritisi, “dekonstruksi” dan rekonstruksi terhadap syariat-syariat Islam yang menjadi pemicu timbulnya diskriminasi dan subordinasi terhadap perempuan.
Dalam menyikapi pemikiran Qasim Amien, masyarakat Mesir pecah menjadi dua kubu. Pertama, kubu yang sangat mendukung pemikiran-pemikiran dan agenda pergerakan Qasim, secara penuh dan total yang akhirnya menimbulkan fanatisme terhadap pemikiran Qasim Amien. Menurut mereka, pemikiran Qasim Amien merupakan hasil ijtihad yang benar-benar positif, mengentaskan umat manusia dari Zaman Kegelapan (‘Ashr al-Dlalâm)menuju Zaman Terang-benderang (‘Ashr Tanwîr). Zaman ini memiliki beberapa identitas, di antaranya kebebasan kaum perempuan dari kekangan-kekangan dan terlepas dari pandangan negatif dan nyinyir dari kaum laki-laki.
Kedua, kubu yang menyikapi pemikiran dan gerakan Qasim Amien dengan sikap skeptis, apatis bahkan antipati. Bagi mereka, pemikiran dan pergerakan tersebut tidak lain hanyalah bentuk lain dari westernalisasi terhadap budaya-budaya Timur, yang akan mengikis habis identitas budaya Timur itu sendiri.
Sedangkan penulis sendiri tidak mau terjebak di dua sisi ini, karena, akan melahirkan pemikiran yang memihak, tidak objektif dan ekstrim. Seyogyanya pemikiran seorang tokoh diapresiasi sedemikian rupa, dengan “pisau analisis” yang “steril” terbebas dari “karat-karat” ideologi dan kepentingan kelompok.
Dari Analisa Sosial Menuju Pembebasan dan Pemberdayaan Perempuan
Dalam menyusun tesa-tesa pemikirannya hingga sampai pada suatu hipotesa yang siap disuguhkan, Qasim Amien lebih cenderung menyimpulkan suatu permasalahan menggunakan piranti-piranti analisa sosial dan data empirik dari interaksi beliau dengan masyarakat luas. Bagi beliau, teori-teori sosial dan hipotesa-hipotesa yang hanya lahir dari “atas meja” akan melahirkan teori dan kesimpulan yang cenderung “mengira-ngira”, tidak realistis, dan bahkan jauh dari nilai kebenaran. Kita bisa melihat, ketika beliau memberikan kritik pedas terhadap tulisan D’Harcouri tentang kondisi sosial masyarakat Mesir sebagai masyarakat Muslim yang terpuruk. Menurutnya, tesa-tesa dalam tulisan D’Harcouri itu—dapat dikatakan— sama sekali tidak mendekati kebenaran, karena ia (D’Harcouri) tidak berinteraksi langsung dengan masyarakat Mesir sehingga tidak tahu persis keadaan masyarakat Mesir sebenarnya. Jika realitanya demikian, bagaimana mungkin tesa-tesa D’Harcouri bisa “dicap” objektif? Jadi, bisa kita katakan bahwa pemikiran-pemikiran seseorang bermula dari analisa sosial yang tajam dan kritis dengan tetap melihat fenomena-fenomena sosial yang nampak. Selanjutnya, ia boleh “berijtihad” untuk menyusun tesa-tesa demi memberikan solusi bagi permasalahan-permasalahan sosial yang dianggap wajib untuk diperbarui.[10]
Posisi Qasim sebagai hakim dan tokoh masyarakat pada waktu itu nampaknya lebih memberikan kesempatan baginya untuk mengadakan pembaruan di bidang sosial kemasyarakatan. Qasim juga merupakan salah seorang yang memberikan kontribusi besar terhadap teori-teori sosial. Namun, syarat utama suatu teori sosial, adalah, teori tersebut harus sesuai dengan kemaslahatan umat manusia. Artinya, teori-teori sosial tersebut harus fleksibel, elastis, dan nisbi, jika suatu teori bisa direlisasikan pada suatu masa dan tempat tertentu, maka bisa jadi teori tersebut tidak dapat direalisasikan kembali pada masa dan tempat yang lain, karena tergantung pada kemaslahatan dan kebutuhan masyarakat yang plural, berbeda, dan bertentangan. Dengan kata lain, teori sosial-sosial tersebut­—termasuk di dalamnya norma-norma agama— tidak boleh absolut, statis dan “otoriter”.
Norma-norma agama yang bersifat tekstual, harus dicari “celah-celah” kontekstualnya. Misalnya, kewajiban hijâb bagi kaum perempuan yang termaktub dalam teks al-Quran, bukanlah semata-mata syariat agama Islam, namun bagi Qasim, hijâb lebih merupakan bentuk adat istiadat yang diwarisi bangsa-bangsa Arab kuno. Nah, dalam Islam, teori hijâb ini menjadi syariat karena sesuai dengan kondisi sosial-kultural masyarakat pada saat itu. Jika kondisi berubah, maka, tradisi ini boleh jadi tidak sesuai lagi. Dan ini berarti, jika hijab sudah tidak lagi mengandung unsur kemaslahatan sosial, maka kita bisa menggantikannya dengan solusi lain yang sesuai dengan zaman kita sekarang ini.[5]
Qasim Amien juga memberikan perhatian yang serius terhadap kondisi ekonomi masyarakat. Baginya, kondisi ekonomi sangat mempengaruhi keadaan suatu masyarakat, lebih jauh lagi, ekonomi memiliki faktor dominan yang mempengaruhi kondisi masyarakat dari pada faktor-faktor lain, seperti; pendidikan, agama dan budaya. Dari kondisi ekonomi, kita bisa melacak sebab-sebab terjadinya diskriminasi perempuan. Misalnya, dalam skup permasalahan yang lebih sempit, yaitu, poligami. Komunitas masyarakat pada tataran ekonominya menengah ke atas akan lebih termotivasi melakukan poligami. Realita ini terjadi pada masyarakat Mesir. Masyarakat pedesaan yang kondisi ekonominya lemah dan pas-pasan, akan mengurangi kemungkinan menjamurnya tradisi poligami. Berbeda dengan masyarakat kota yang mempunyai pendapatan perkapita lebih besar. Premis ini dapat dibenarkan, pasalnya, masyarakat dengan pendapatan perkapita yang hanya bisa untuk mencukupi kebutuhan primernya, tidak akan terlalu ngoyo untuk memenuhi kebutuhan sekunder. Jangankan untuk kebutuhan yang sekunder, untuk kebutuhan primer saja mereka harus berjuang dan bekerja keras. Berbeda dengan masyarakat yang telah mencukupi kebutuhan primernya, mereka memiliki kesempatan lebih banyak memikirkan kebutuhan-kebutuhan sekunder.
Namun, premis ini tidak selamanya dapat dibenarkan, karena, faktor ekonomi bukanlah satu-satunya faktor penentu bagi yang mengkonstruksi bentuk sosial masyarakat, tetapi, di samping itu masih banyak lagi terdapat variabel-veriabel yang lain, seperti tingkat pendidikan, ideologi masyarakat, dan budaya.[6]
Pada masa Qasim Amien, posisi kaum perempuan dalam keluarga dan masyarakat tidak lebih hanya sebagai konco wingking-nya laki-laki, artinya, tugas sosialnya hanyalah “sekedar” pelayan bagi seorang suami, seorang istri hanya bertugas menghidangkan makanan bagi sang suami, mengandung dan melahirkan anaknya, dan bahkan tidak jarang istri tidak mengetahui banyak hal tentang suaminya. Ia juga “hanya” ibu bagi anak-anaknya, tugasnya melahirkan, menyusui dan menyediakan kebutuhan-kebutuhan materi anak, tanpa ada bekal pengetahuan sedikitpun tentang pengasuhan dan pendidikan anak. Padahal, kualitas generasi umat sangat tergantung pada pendidikan anak, khususnya pendidikan yang ditanamkan ibu pada masa-masa perkembangan awal.
Sedangkan nasib perempuan pada saat itu dalam kondisi yang terpuruk dan mengenaskan. Pendidikan sekolah hampir tidak pernah dirasakan kaum perempuan, pendidikan nonformal dari pihak keluarga dan lingkungan mereka hanya sekedar pembekalan untuk mengatur urusan dapur dan rumah tangga saja. Interaksi sosial bagi kaum perempuan pada saat itu dengan masyarakat luas hampir menjadi suatu hal yang mustahil, karena ia “terpenjara” di antara dinding-dinding rumah mereka sendiri. Keadaan yang ironis tersebut memasung kebebasan kaum perempuan, baik kebebasan berkehendak, berpikir dan berbuat yang semestinya menjadi hak asasi setiap insan. Perempuan terkekang dan tunduk di bawah kekuasaan kaum lelaki. Kondisi inilah yang menyentuh hati Qasim dan mendorongnya untuk berjuang demi melakukan pembaruan sosial ke arah yang lebih “memanusiakan” manusia. Qasim sadar bahwa fenomena seperti ini merupakan salah satu sebab utama keterbelakangan dan kejumudan masyarakat Islam di Arab.
Menurut Qasim, kebebasan kaum perempuan adalah masalah pertama yang harus diperjuangkan. Karena bagaimanapun, kebebasan merupakan kekayaan termahal bagi setiap manusia yang memiliki hak untuk merdeka dan bebas. Namun perlu menjadi catatan, kebebasan yang ditekankan Qasim bukanlah kebebasan mutlak tanpa batas, melainkan kebebasan yang dibatasi dengan kerangka syariat agama dan etika sosial.[7]Kondisi kaum perempuan pada waktu itu bisa disamakan dengan budak, karena budak adalah orang yang terampas kemerdekaan dan hak-haknya. Jangankan hak untuk memperoleh pendidikan, kebebasan untuk berkehendak saja sudah sedemikian terkekang. Sehingga ia tidak mempunyai kebebasan untuk berbuat lebih banyak, baik untuk dirinya sendiri, keluarga dan masyarakatnya.

Pembebasan Perempuan melalui Tradisi “Kritik Teks”
Seperti diketahui, pembebasan adalah agenda terdepan sebelum pemberdayaan. Jauh-jauh hari Qasim Amien telah membidik teks-teks agama yang menjadi “momok” perempuan lewat karyanya Tahrîr Al-Mar’ah. Seperti permasalahan hijab dan poligami.
Sebelum terlalu jauh membicarakan masalah hijab, mungkin ada baiknya jika kita mencoba mengetahui terlebih dahulu pemahaman Qasim tentang makna hijab ini. Menurut Qasim Amien hijab mempunyai dua makna.Pertama, hijab secara makna hakiki, berfungsi menutup aurat perempuan hingga wajah dan telapak tangan (penutup wajah disebut niqâb [cadar]). Bagi masyarakat Mesir pada waktu itu, hijab dalam makna di atas dianggap sebagai syariat Islam. Kedua, adalah hijab dalam makna majazi, yaitu “penjara” kaum perempuan dalam rumahnya sendiri. Selain memaparkan makna hijab sesuai dengan “idelogi” masyarakat Mesir di atas, Qasim juga mencoba membuat analisa dan studi kritik tentang hijab ini dari dua sudut pandang; agama dan sosial.
Dalam perjalanan sejarah masyarakat Timur, hijab bagi kaum perempuan sangat memainkan peranan penting dalam membentuk sistem sosial yang ada. Bahkan sebenarnya hijab bukan saja merupakan ciri khas masyarakat Timur saja. Sejarah telah mencatat, kaum perempuan pada masyarakat Yunani waktu itu juga memakai busana tersebut jika keluar dari rumahnya. Adat ini berlanjut sampai pada abad pertengahan, khususnya abad ke-IX, dan sampai pada abad ke-XIII. Namun, karena keadaan sosiologis yang terus berubah menuju kemajuan dan kemodernan maka adat ini-pun di daerah Yunani dan wilayah Barat lainnya menjadi punah.
Menurut Qasim Amien masyarakat Arab mempunyai pandangan yang “salah kaprah” terhadap hijab ini, sehingga mereka bersikeras mempertahankan tradisi ini. Hijab hanya dianggap sebagai pesan syariat agama an sich. Sehingga agama dijadikan legitimasi atas kewajiban memakai hijab. Padahal—menurut Qasim—tidak ada satupun nash-nash sharîh yang mewajibkan pemakaian hijab ini. Dalam Surat Al-Nûr ayat 30, difirmankan secara jelas, bahwa kaum perempuan yang beriman diperintahkan untuk menjaga kehormatannya dan tiada memperlihatkan perhiasannya (tubuhnya) selain dari yang nyata (mesti terbuka). Para ulama telah bersepakat bahwa yang dimaksud dengan anggota tubuh yang mesti terbuka di sini adalah anggota tubuh yang diperlukan dalam kehidupan dan interaksi sehari-hari, yaitu wajah dan telapak tangan. Jika pemakaian hijab bertujuan menghindari fitnah, maka menurut Qasim, justru hijab—dalam makna masyarakat Mesir di atas lengkap dengan antribut cadarnya—yang berpotensi menimbulkan fitnah, sebab, seorang yang memakai hijab cenderung lebih bebas untuk bertindak melanggar sosial tanpa ada rasa khawatir untuk diketahui oleh khalayak ramai. Berbeda dengan seorang perempuan yang tidak menutupi wajahnya, ia akan cenderung menjaga kehormatan pribadi dan keluarganya sehingga lebih berhati-hati dalam bertindak.[8]
Jadi, etika dan perilaku sosial yang terpuji tidak ada hubungannya dengan pemakaian hijab, karena yang lebih menentukan baik atau tidaknya moral seseorang adalah dari nurani dan hatinya, bukanlah dari penampilan lahiriyah.
Pada sisi sosial, Qasim melihat bahwa hijab dalam beberapa hal justru menjadi kendala bagi pemakainya untuk bisa berinteraksi dengan masyarakat luas. Misalnya, dalam hal kriminalitas dan kesaksian dalam pengadilan, kemungkinan untuk melakukan bentuk-bentuk manipulasi terbuka lebar. Ujung-ujungnya akan merugikan salah satu pihak dari kedua puhak yang beselisih. Begitu juga dalam bentuk interaksi sosial lainnya, seperti perdagangan dan pertanian. Masyarakatpertanian di pedesaan di mana kaum perempuan sedikit banyak ikut berperan dalam cocok tanam, akan lebih banyak menemukan kesulitan dari pada perempuan yang tidak berhijab. Bahkan secara lebih radikal lagi, Qasim menyatakan bahwa kaum perempuan yang berhijab akan lebih terisolir dari pada kaum perempuan yang menanggalkan hijabnya.[9]
Dalam masalah poligami, Qasim bisa digolongkan ke dalam kelompok yang paling menentang adanya poligami dengan alasan etika kemanusiaan. Poligami menurut Qasim adalah bentuk penghinaan bagi kaum perempuan. Sudah menjadi tabiat asli manusia, seorang perempuan tidak akan pernah rela jika suaminya membagi cinta kepada perempuan lain, demikian halnya sang suami, tidak akan rela jika ada lelaki lain yang ikut mendapatkan bagian cinta istrinya.
Sisi negatif yang disorot Qasim akibat dari poligami ini adalah permusuhan batin antara istri yang satu dengan yang lain, sehingga tidak jarang permusuhan antara mereka diwariskan kepada anak-anak mereka. Karena bisa jadi seorang ibu­—secara tidak sadar— menyulut api permusuhan dan kedengkian antara anak-anak dan keluarganya kepada keluarga dari istri yang lain. Seorang istri yang dimadu dan tidak rela, namun ia berusaha untuk memendam perasaannya akan mengakibatkan akumulasi kekecewaan di bawah alam sadar, dan sewaktu-waktu bisa meledak dan menyulut konflik besar. Persaingan yang terjadi antara mereka adalah persaingan yang tidak sportif, nilai-nilai persaudaraan dan etika kemanusiaan yang seharusnya dipupuk antara sesama manusia,—karena poligami ini—akan cenderung dikalahkan oleh api kedengkian dan permusuhan.
Walaupun secara radikal Qasim menentang praktek poligami, namun ia masih memberikan “pengecualian”. Menurutnya, poligami “diperbolehkan” untuk beberapa kasus, misalnya seorang istri tidak bisa memberikan keturunan kepada sang suami. Namun—menurut Qasim—dalam kondisi seperti ini, sang suami harus bersabar, karena istrinya tiada bersalah dan berdosa, jika sang suami tetap bersikeras untuk menihak lagi, maka harus sepengetahuan istrinya, jika sang istri minta cerai, maka sang suami harus menceraikannya. Selain tujuan-tujuan di atas, poligami adalah bentuk dari pemuasan nafsu binatang dan tanda-tanda dari dekadensi moral.[10]
Pemberdayaan Perempuan melalui Pendidikan
Dalam hal pendidikan, Qasim mengklasifikasikan jenis pendidikan menjadi tiga tingkatan secara berurutan. Pertama, adalah pendidikan yang wajib bagi setiap orang demi menjaga kehidupannya sendiri dan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pribadinya (kebutuhan primer setiap individu). Kedua, adalah pendidikan yang bermanfaat bagi keluarganya. Ketiga, pendidikan yang bermanfaat bagi lingkungan dan masyarakat sekelilingnya.[11]Nah,pendidikan kaum perempuan yang diperjuangkan oleh Qasim pada waktu itu lebih ditekankan kepada jenis pendidikan yang pertama dan kedua. Karena pendidikan jenis ketiga masih terlalu jauh jangkauannya jika diterapkan bagi kaum perempuan Mesir. Alasan yang lain, kondisi psikologis kaum perempuan dan kondisi sosiologis masyarakat yang masih memprihatinkan dan belum siap. Namun walaupun begitu ia tetap menekankan bahwa ketiga jenis pendidikan tersebut merupakan kewajiban dan kebutuhan hidup bagi setap individu tanpa terkecuali.
Dalam memperjuangkan hak pendidikan perempuan ini, Qasim menemui banyak kendala yang justru timbul akibat dari asumsi-asumsi negatif tentang tabiat perempuan. Asumsi-asumsi ini berasal dari teks-teks agama dipandang kebenaran mutlak, seperti, asumsi masyarakat bahwa perempuan adalah makhluk yang akal dan agamanya lemah (Nâqishah al-Dîn wa al-‘Aql).[12]Pada hakikatnya asumsi ini terpengaruh oleh keadaan sosiologis bangsa Arab dulu, di mana perang menjadi kebiasaan. Tidak sedikit penghasilan yang mereka peroleh dari barang-barang rampasan perang-perang ini. Dengan keadaan yang seperti ini maka peran kaum perempuan tidak banyak diperhitungkan, sehingga keadaan yang berlangsung lama ini akhirnya menjadikan perempuan dipandang sebelah mata oleh masyarakat, bahkan perempuan dinggap sama seperti harta rampasan perang lainnya. Ironisnya, asumsi ini terbawa sampai pada masa saat perang sudah tidak menjadi kebanggaan masyarakat Arab.
Menghadapi adat istiadat masyarakat Arab ini, Qasim tetap bersikukuh pada prinsip dan perjuangannya dalam membela hak pendidikan bagi kaum perempuan, karena baginya pendidikan adalah hak setiap manusia, kaya atau miskin, lemah atau kuat, bodoh atau pandai karena ia adalah kebutuhan untuk mempertahankan hidup dan menjadi kebutuhan bagi mereka semua tanpa pandang bulu.
Menurut sebagian ulama kala itu, kewajiban perempuan dalam menuntut ilmu itu hanya berkutat pada masalah ibadah-ibadah ritual, atau berkisar pada mengatur rumah tangga dan tetek bengeknya. Karena kewajiban mencari nafkah secara mutlak ditanggung laki-laki, maka dalam pemahaman ini, pendidikan bukan hal yang mendesak bagi perempuan. Qasim Amien kembali mempertanyakan asumsi-asumsi di atas. Kalau sejenak kita melihat realitas kehidupan masyarakat, kita sering menyaksikan fenomena yang bertolak belakang dengan fenomena dan asumsi tersebut.
Tidak sedikit kita mendapatkan kepala rumah tangga (suami atau ayah) yang penghasilannya tidak mencukupi kebutuhan-kebutuhan rumah tangga mereka. Dan tidak sedikit kaum perempuan hidup tanpa sistem herarki kepala keluarga seperti ini, karena beberapa hal, misalnya perceraian ataupun meninggalnya suami dan ayah. Maka bagaimana dengan nasib kaum perempuan dalam keadaan yang seperti itu? Bagaimana caranya ia mampu mencukupi kebutuhan pribadi dan anak-anaknya, sedangkan bekal pengetahuan untuk itu tidak sedikitpun ia dapatkan? Bagaimana ia dapat mempertahankan hidupnya dan keluarganya jika ia sendiri adalah seorang yang lemah, miskin dan bodoh tanpa mengetahui apa yang musti dia lakukan? Fenomena-fenomena tersebut yang terjadi dalam masyarakat kala itu dan sangat menyentuh hati nurani Qasim Amien. Dari sinilah, beliau melihat pentingnya pembekalan kaum perempuan dengan pendidikan yang layak dan memadai agar mereka dapat hidup mandiri tanpa ketergantungan dari ayah atau suami mereka dan dapat mempertahakan kelangsungan hidupnya sendiri dan keluarga.[13]
Kemudian, jika kita tengok posisi kaum perempuan yang menjadi pengasuh dan pendidik bagi anak-anaknya, maka pembekalan kaum perempuan dengan pendidikan dalam konteks ini sangat urgen bahkan menjadi kewajiban, karena nantinya, kepribadian umat dan bangsa ditentukan anak-anak mereka. Maka, pendidikan tunas-tunas bangsa ini dimulai dari proses pendidikan mental dan pembentukan kepribadian dalam keluarga. Selanjutnya, mempersiapkan mereka menjadi sumber daya manusia yang unggul dan sempurna. Nah, agenda-agenda dan harapan-harapan di atas akan sulit terkabul, kecuali melalui tangan-tangan dan nurani ibu-ibu pendidik yang berpendidikan tinggi dan memiliki bekal yang memadai. Bagaiamana kita akan membentuk dan membina generasi yang unggul dan tangguh jika kaum ibu saja masih terbelakangan tanpa pendidikan? Bagaimana bangsa dan umat akan maju jika mereka masih terseret fenomena-fenomena ini?

Dari Konservatifisme Menuju Liberalisme
Jika kita runtut dan cermati lebih lanjut pemikiran Qasim Amien dalam memperjuangkan agenda-agenda kaum perempuan di Mesir, ada satu hal yang menarik sekali untuk kita kaji berkaitan dengan metaformosa (perubahan) pola pikirnya sangat mencolok dan dahsyat.
Dalam karya perdananya “Les Egyptiens” (Mashriyyûn), Qasim termasuk pemikir dari kelompok konservatif. Ketika itu, kondisi sosial masyarakat Mesir digambarkan secara negatif oleh Duc D’harcouri—dalam sebuah tulisannya—masyarakat Mesir terbelakang, terisolir, dari kemodernan dan kemajuan. Sebagai seorang yang cukup memiliki jiwa nasionalisme tinggi, Qasim merasa “tidak rela” jika sisi-sisi negatif dari keadaan masyarakat di negerinya harus dibeberkan kepada masyarakat luas, apalagi kepada masyarakat asing (Perancis). Dan demi mengembalikan nama baik masyarakatnya yang sempat tercemari itu, ia menuliskan sebuah tanggapan yang cenderung bersifat membela diri. Dalam tulisan inilah, Qasim dengan konservatifisme-nya mencoba menjadikan sisi-sisi negatif tersebut menjadi nilai-nilai yang positif.[14] Misalnya, ketika D’harcouri memandang tradisi hijab—dalam makna majazi, yaitu masyarakat yang benar-benar memisahkan antara kelompok perempuan dan laki-laki—sebagai sebuah tradisi yang negatif dan penghambat kemajuan masyarakat, Qasim justru menganggapnya sebagai tradisi yang sangat positif. Dengan dalih, tradisi hijab ini merupakan identitas masyarakat yang beretika, lebih terjaga dan lebih sesuai dengan ajaran agama.[15]
Lima Tahun kemudian, 1899, Qasim Amien menelurkan salah satu karyanya yang sederhana dan—dalam prediksinya—tidak terlalu berharga, namun ternyata berhasil menimbulkan ledakan besar bagi masyarakat Mesir dengan gerakan pembaruan dan revolusi sosial. Subtansi buku ini; Tahrîr al-Mar’ahini sangat bertolak belakang dengan pemikiran sebelumnya. Jika dalamMashriyyûn beliau sangat konservatif, anti barat dan membabi buta, dalam karya ini, ia menjadi seorang yang sangat liberal, dan bahkan cenderung berkiblat pada masyarakat barat untuk melakukan kritik terhadap situasi dan kondisi masyarakatnya pada waktu itu. Misalnya saja ketika mengangkat masalah disinteraksi antara kaum perempuan dan kaum lelaki karena dibatasi hijab. Awalnya, beliau menganggap tradisi ini memiliki nilai-nilai positif. Namun pada buku Tahrîr al-Mar’ah ini, Qasim Amien malah mengkritik tradisi hijab ini dan meminta tradisi tersebut “ditinggalkan” karena tidak ada lagi kemaslahatan di sana. Pendapat ini dipertegas dan diperkuat dengan karyanya yang ketiga, al-Mar’ah al-Jadîdah, (Perempuan Modern) sebagai “terminal akhir” dari pikiran-pikirannya.
Kita bisa bertanya-tanya, dalam tempo yang relatif singkat (lima tahun), Qasim Amien merubah cara pandangnya secara frontal. Apa sebab-sebab yang melatar belakangi ini semua? Benarkan ini pemikiran orisinil Qasim Amien? Kalau kita lihat latar belakang lahirnya buku yang pertama itu, adalah refleksi dari pembelaan diri ketika masyarakatnya “ditelajangi” orang lain, dengan serta merta Qasim Amien melakukan pembelaan diri dan bisa dikatakan berapologi. Kala itu ia sangat subjektif, egois, “grusa-grusu” dan tanpa melakukan introspeksi. Jadi, dengan kata lain, pemikirannya dalamMashriyyûn ini belum bisa dikatakan orisinil, karena terlahir dari tuntutan-tuntutan psikologis yang mendesak.
Sedangkan nafas-nafas pembaruan dalam karyanya yang kedua, Tahrîr Al-Mar’ah, beliau lebih menekankan pada sisi reinterpretasi syariat agama Islam yang menjadi sebab subordinasi kaum lelaki terhadap kaum perempuan. Padahal, Qasim bukanlah seorang pemerhati, pakar agama dan ahli syariat. Apakah dalam waktu yang relatif singkat itu, beliau benar-benar mendalami syariat Islam dengan membaca buku-buku referensi utama(ummahât al-kutb) yang berjilid-jilid sehingga dapat menerbitkan karya sehebat itu? Adakah indikasi terjadi plagiasi dalam karya-karya ini?
Menurut Muhammad ‘Imarah, Muhammad ‘Abduh—sebagai guru dan sparing partner Qasim— memiliki kontribusi dalam penulisan karya ini, karena pemikiran dan pembaruan yang menjadi subtansi buku ini sejalan nafas-nafas pembaruan yang dihembuskan Muhammad ‘Abduh. Buku Tahrîr Al-Mar’ah ini bukan seratus persen buah pemikiran Qasim Amien, namun bisa dikatakan karya berdua bersama Muhammad Abduh. Seperti yang dijelaskan buku Tahrîr Al-Mar’ah ini mengandung dua dimensi; agama dan sosial. Muhammad Abduh menulis separo isi buku ini yang berkaitan dengan masalah-masalah keagamaan, sedangkan Qasim Amien menulis dimensi sosial budaya yang menjadi keahliannya.

           
            Gagasan Qasim Amin tentang emansipasi menyulut kontroversi diskursus di kalangan ulama Mesir pada waktu itu. Meskipun ide Qasim Amin ini mendapat banyak sorotan dari para ulama Al-Azhar, ia tidak pernah surut untuk menyuarakannya. Ide emansipasi bertujuan untuk membebaskan kaum wanita sehingga mereka memiliki keleluasaan dalam berpikir, berkehendak, dan beraktivitas sebatas yang dibenarkan oleh ajaran Islam dan mampu memelihara standar moral masyarakat. Kebebasan dapat menggiring manusia untuk maju dan berjejak pada kebahagiaan. Tidak seorang pun dapat menyerahkan kehendaknya kepada orang lain, kecuali dalam keadaan sakit jiwa dan masih anak-anak.23 Karena itulah ia menyarankan adanya perubahan, karena menurutnya tanpa perubahan mustahil kemajuan dapat dicapai.
Qasim Amin melihat wanita pada waktu itu bagaikan budak dan hidup di penjara yang kehilangan kebebasan untuk berbuat dan beraktivitas. Banyak kaum pria yang masih menganggap bahwa mengurung wanita di rumahnya merupakan jalan agar wanita menjadi manusia yang terbaik. Bagi Qasim Amin, memberikan hak kepada lelaki untuk mengurung isterinya jelas bertentangan dengan hak kebebasan wanita yang tidak bisa dicabut dan sekaligus merupakan hak natural.[11]
Menurut Qasim Amin, syari’ah menempatkan wanita sederajat dengan pria dalam hal tanggung jawabnya di muka bumi dan di kehidupan selanjutnya. Jika wanita melakukan tindak kriminal, bagaimana pun juga, hukum tidak begitu saja membebaskannya atau merekomendasikan pengurangan hukuman padanya. Qasim meyakini, tidaklah masuk akal menganggap wanita memiliki rasionalitas yang sempurna, bebas, dan berhak mendapat hukuman jika ia melakukan pembunuhan, sementara di saat yang sama tidak ada tanggapan apa pun atas wanita ketika kebebasannya dirampas.
Kebebasan umum bahwa kebebasan kaum wanita akan membahayakan kesucian mereka, menurut Qasim Amin, tidak berdasarkan pada kenyataan yang kuat. Pengalaman mengindikasikan bahwa kebebasan wanita bisa menambah pengertian akan tanggung jawab dan kehormatan dirinya, dan mendorong orang-orang untuk menghormatinya. Untuk memperkuat analisisnya, Qasim Amin menyajikan data statistik bahwa kaum

Jika dalam masyarakat Barat terdapat sikap merendahkan derajat perempuan sehingga menimbulkan gerakan feminisme dan persamaan gender, maka berlainan dengan agama Islam yang sangat memuliakan perempuan. Kitab suci al-Quran memberikan hak-hak perempuan dan menempatkan perempuan pada kedudukan terhormat yang sama dengan hak dan kedudukan lelaki.

Ketegangan bertentangan nilai-nilai tradisional dan modern juga mempengaruhi hubungan sosial di luar keluarga . Media massa dan pendidikan modern mempopulerkan ide-ide seperti kesetaraan sosial , keterbukaan antara pasangan , cinta romantis , dan persahabatan platonis antara kedua jenis kelamin , konsep bahwa pria dan wanita dengan nilai-nilai tradisional menemukan keberatan namun anak-anak remaja mereka mungkin menemukan menarik . Selain itu , sedangkan beberapa wanita muda telah readopting jilbab dan pakaian sederhana untuk menunjukkan komitmen mereka terhadap Islam , orang lain telah tertarik pada mode Barat terbaru dalam pakaian dan kosmetik , yang tradisionalis anggap sebagai bukti penurunan umum dalam moralitas perempuan .

Pria dan wanita umumnya merupakan subsocieties sebagian besar terpisah , masing-masing dengan nilai-nilai sendiri , sikap , dan persepsi dari yang lain . Bahkan di antara urban modern , peran gender membatasi hubungan sosial . Misalnya , persahabatan antara laki-laki dan perempuan yang tidak terkait pada umumnya tidak dapat diterima . Di antara kaum muda elit , laki-laki dan perempuan bertemu secara sosial dan kencan modis , tapi orang tua mencoba untuk memantau hubungan tersebut dan mencegah anak-anak perempuan mereka dari terlibat dengan pria manapun kecuali pernikahan dimaksud . Di antara keluarga yang lebih tradisional , kencan akan merusak reputasi seorang wanita muda dan tidak menghormati keluarganya


Kesimpulan

Dua karya besar yang menjadi magnum opus Qasim Amin adalah Tahrîr al-Mar’ah dan al-Mar’ah al-Jadîdah. Dalam Tahrîr al-Mar’ah (Pembebasan Perempuan) Qasim lebih menekankan pada ide-ide pembebasan perempuan dari belenggu diskriminasi dan kungkungan subordinasi. Qasim mencoba membuka “kran-kran” penyumbat kemajuan ummat dengan menghilangkan tradisi subordinasi kaum lelaki. Dan metode yang digunakannya pun lebih menitikberatkan pada reinterpretasi al-Quran dan Hadist yang seakan selalu melegitimasi adanya sistem patriarkhi dalam masyarakat.
Sedangkan dalam al-Mar’ah al-Jadîdah (Perempuan Modern) Qasim mengembangkan dan memperkuat ide-ide pokok dalam karya sebelumnya. Ketika kaum perempuan telah sedikit banyak tercerahkan dengan ide-ide pembebasan (liberalisasi), maka Qasim Amien memulai memperjuangkan pemberdayaan perempuan. Di sini Qasim terlihat sangat getol menyerukan urgensi pendidikan kaum perempuan. Menurutnya, perempuan harus bisa bersikap mandiri sepenuhnya tanpa harus ada ketergantungan pada kaum laki-laki. Dari dua karya Qasim Amien ini, kita menemukan relefansi pemikiran-pemikirannya, dari pembebasan perempuan melalui kritik tradisi sosial agama dan budaya, menuju perempuan modern yang “berdaya” dan tidak bisa “dipercaya”. Pemikiran Qasim Amien yang pertama masih berbau teks-teks agama, maka pada karya kedua, Qasim Amien ingin merekonstruksi sosial, setelah mendekonstruksinya.
Namun, di zaman modern ini, model-model usaha Qasim Amien kelihatannya sudah tidak begitu menemukan relevansinya lagi, sebab bagi kita yang hidup pada era globalisasi ini, pembebasan perempuan dari “penjara” rumah dan perjuangan kaum perempuan untuk menikmati pendidikan bukalah hal yang sulit untuk didapat. Di segala lini kehidupan, perempuan sudah mulai diperhitungkan. Artinya, diskriminasi kaum perempuan dan subordinasi kaum lelaki yang mencolok dan dirasakan oleh masyarakat semasa hidup Qasim Amin, saat ini sudah berangsur-angsur punah. Walaupun tidak menutup kemungkinan kita masih menjumpai tradisi-tradisi tersebut dalam kehidupan sosial. Nah, agenda yang mungkin masih relevan saat ini adalah “pemberdayaan kaum perempuan” bukan lagi “pembebasan kaum perempuan” seperti perjuangan Qasim Amien dan tokoh-tokoh feminis yang lain pada zamannya.
Jadi, yang bisa kita ambil dari ide-ide pembaruan Qasim Amien bukanlah model-model materialistis usahanya, namun spirit pembaruan dan pencerahan masyarakat yang senantiasa diperjuangkannya. Kita harus bisa menghidupkan kembali ruh perjuangan itu sesuai dengan konteks yang ada. Semoga semangat dan jasa-jasa Qasim Amien dalam ijtihad dan perjuangannya dalam merekonstruksi masyarakat selalu menjadi tauladan bagi generasi selanjutnya. Wa’l lahu a‘lam bi Al-Shawâb


           

                                         Daftar Pustaka :
§  Ahmed Leila, Wanita dan Gender dalam Islam, Lentera Jakarta : 2000.
§  Chakim Sulkhan, Interkoneksitas Feminisme Muslim dan gerakan Pembaharuan di Timur Tengah, Di ambil dari Tesis Sulkhan Chakim.
§  El-Tahawy, Kantor berita Commound Ground (CG.News) 6 Juli 2012.
§  Patrick Kirk, Partisipasi Kaum Wanita, Jurnal Universitas Brawijaya, PT Danur Wijaya Press, Surabaya : 1994.
§  Sadli Saparinah, Pengantar tentang kajian Wanita, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta : 1995.
§  Republika.co.id, Yogyakarta, Kamis, (15/12).



[1] Ahmed Leila, Wanita dan Gender dalam Islam, Lentera Jakarta : 2000.
[2] Randa El-Tahawy, Kantor Berita Common Ground (CG.News), 6 Juli 2012, www.commongroundnews.org
[3] Chakim Sulkhan, Interkoneksitas Feminisme Muslim dan gerakan Pembaharuan di Timur Tengah, Di ambil dari Tesis Sulkhan Chakim.

[4] Saparinah Sadli, Pengantar Tentang Kajian Wanita, dalam T.O Ihromi (ed.) Kajian Wanita dalam Pembangunan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1995, hal.14
[5] Saparinah Sadli, Pengantar Tentang Kajian Wanita, dalam T.O Ihromi (ed.) Kajian Wanita dalam Pembangunan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1995, hal.23
[6]  Republika.co.id, Yogyakarta, Kamis, (15/12).

[7] E- book,  Penulisan Tesis dari Sulkhan Chakim (Dosen STAIN Purwokerto) “Interkoneksitas Feminisme Muslim dan gerakan Pembaharuan di Timur Tengah “hal. 1-2

[8] Patrick Kirk, Partisipasi Kaum Wanita, Jurnal Universitas Brawijaya, PT Danur Wijaya Press, Surabaya : 1994
[9] Sadli Saparinah, Pengantar tentang kajian Wanita, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta : 1995
[10] Muhammad Imarah, Qasim Amîn wa Tahrîr al-Mar’ah, Kairo: Kitâb Al-Hilâl, th. 1980, hlm,
[11] Ahmed Leila, Wanita dan Gender dalam Islam, Lentera Jakarta : 2000.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar