Pembaca yang budiman, tidak ada yang salah pada mata
anda. Apa yang tertera di atas adalah rangkaian huruf yang tertata dengan benar
dan jelas. Anda pikir saya salah ketik. Tidak juga. Atau anda berpendapat itu
adalah judul yang provokatif. Bisa saja benar. Dan memang saya sengaja
memberikan judul seperti itu. Tujuannya agar anda tertarik untuk membaca
tulisan saya berikut ini.
Saya memang sangat menyesal menulis tidak dari
dulu. Karena manfaat menulis sangatlah besar. Dulu sekali saat saya masih duduk
di bangku sekolah, antara SD dan SMP. Saya adalah penggemar fanatik dari puisi.
Semua puisi yang ada di koran langganan ayah, saya gunting satu-persatu dan
untuk bahan koleksi. Saking cintanya pada puisi saya juga sering iseng-iseng
untuk menulis puisi di dalam buku tulis sekolah.
Menginjak bangku SMA kebiasaan mengoleksi dan
menulis puisi itu berhenti total. Saya tidak tahu apa penyebab utamanya,
sehingga kebiasaan itu berhenti. Bertahun-tahun saya tak lagi berkutat dunia
literasi. Membaca buku pun sangat jarang. Saya hanya membaca buku ketika
berhubungan dengan urusan akedemik di kampus. Bisa dibilang itu adalah sebuah
keterpaksaan atau sebuah tuntutan.
Hingga pada awal 2013 saya telah disadarkan oleh
sebuah buku yang sangat inspiratif yang berjudul “9 Summers 10 Autumns” buku
karya Iwan Setiawan. Di dalam buku itu berkisah tentang seorang pemuda miskin
berasal dari kota Batu Malang yang memiliki mimpi besar untuk membebaskan
keluarganya dari jerat kemiskinan melalui jalan pendidikan. Dari buku itu saya
belajar bahwa menulis adalah salah satu cara untuk melawan lupa. Dengan menulis
kita bisa menjadi pelaku sejarah. Melalui menulis kita bisa mengisahkan masa
lalu kepada orang lain tanpa harus berkoar-koar tidak jelas di depan mereka.
Simple saja, mereka akan mengetahui keberadaan kita dalam bentuk tulisan.
Tahu Andrea Hirata? Dia adalah penulis buku mega bestseller
Laskar Pelangi yang penjualan bukunya mampu menembus pasar mancanegara dan
diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa. Di dalam buku Andrea Hirata itu
mengisahkan 10 siswa miskin di daerah Belitong yang jatuh bangun dalam mengejar
mimpi melalui bangku pendidikan. Jika ingin diteliti lebih dalam, pasti masih
banyak kisah yang serupa yang dialami oleh orang lain di pelosok Indonesia
lainnya.
Bahkan bisa saja lebih parah dari yang dialami
oleh Andrea sendiri. Tapi yang membuatnya menjadi fenomenal, karena Andrea
Hirata menuliskan kisahnya itu. Sehingga banyak orang yang tergugah setelah
membacanya. Apa jadinya kalau Andrea Hirata tak menuliskan kisahnya itu. Maka
perjalanan hidupnya itu hanya akan menjadi sejarah yang dinikmati oleh Andrea
Hirata sendiri. Tapi menjadi berbeda ketika dia menuliskannya.
Masih kurang contoh orang yang sukses melalui
tulisan? Saya kasih sample lagi. Kenal Ahmad Fuadi? Dia adalah salah penulis
favorit saya yang bergenre islami. Dia adalah penulis buku Trilogi 5 Menara
(Negeri 5 Menara, Ranah 3 Warna, Rantau 1 Muara). Awalnya dia hijrah ke tanah
Jawa untuk masuk ke salah satu pesantren di sana.
Setelah berhasil melewati masa-masa jatuh
bangunnya di pesantren, dia melanjutkan kuliahnya hingga lulus. Kemudian
mendapatkan beasiswa untuk study ke Amerika Serikat. Padahal jika ingin
diselidik lebih dalam. Pasti banyak orang yang kisahnya jauh lebih hebat dari
beliau. Namun lagi-lagi yang kemudian menjadi faktor pembeda yakni Ahmad Fuadi
menuliskannya sementara orang lain tidak.
Karena hati dan pikiran telah terbuka kembali bahwa menulis itu
sangat penting. Maka sejak 2013 lalu saya putuskan untuk belajar menulis lagi.
Walaupun kualitas karya masih di bawah standard. Paling tidak saya telah
kembali ke jalan yang benar untuk mulai menulis lagi. Karena saya yakin menulis
itu bukan masalah bakat tapi itu karena faktor kemauan. Ketika niat telah kuat
untuk menulis. Apa pun hambatannya tak ada alasan untuk menelurkan karya.
Sebagai penutup saya akan mengisahkan sebuah
cerita based on true story. Bukan bermaksud riya’ atau apa ini hanya sebagai
pelecut semangat saja dalam berkarya. Begitu seringnya saya menulis dan
kadang-kadang mempostingnya di social media. Ada seorang teman yang mengatakan
saya adalah laki-laki lebay yang terlalu mendayu-dayu memposting sesuatu di
akun Facebook.
Saya pun tak menanggapi serius komentar teman
itu. Saya anggap itu adalah sebuah pembakar semangat agar terus berkarya.
Karena dia berkomentar seperti itu pastinya dia telah membaca karya-karya yang
saya posting sebelumnya.
Dan suatu ketika saya mendapatkan kiriman pulsa
dan juga paket dari pos yang isinya sebuah VCD berisikan lantunan puisi. Dan
teman bertanya “dapat dari mana?” Dengan bangga aku menjawab “Ini aku dapat
karena ikut lomba puisi di Facebook.” Kemudian dia hanya diam dan tak mampu
berkata-kata lagi. Walaupun hadiahnya tak seberapa. Paling tidak ada orang yang
telah mengapresiasi karya yang telah saya buat.
Maka dari itu menulislah. Karena sejarah tak
pernah tercipta jika penulis tak pernah ada!
Di Kutip dari : www.pesantrenpenulis.com
[] Oleh: RahmatSuardi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar