Ditulis oleh :
Ahmad Hujazi*
Jamiludin *
Samsul Hafidz*
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia
selalu berusaha menemukan kebenaran. Beberapa cara ditempuh untuk memperoleh
kebenaran, antara lain dengan menggunakan korespondensi, koherensi, pragmatis,
religious, dan sintaksis. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia
membuahkan prinsip-prinsip yang lewat penalaran rasional, sehingga
kejadian-kejadian yang berlaku di alam itu dianggap dapat dimengerti dan benar
hukumnya sesuai dengan teori yang dipakai.
Pengetahuan
inderawi merupakan struktur terendah dalam struktur tersebut. Tingkat
pengetahuan yang lebih tinggi adalah pengetahuan rasional dan intuitif. Tingkat
yang lebih rendah menangkap kebenaran secara tidak lengkap, tidak terstruktur,
dan pada umumnya kabur, khususnya pada pengetahuan inderawi dan naluri. Oleh
sebab itulah pengetahuan ini harus dilengkapi dengan pengetahuan yang lebih
tinggi.
Dalam
filsafat pengkajian tentang standar kebenaran amat penting sebab salah satu
definisi filsafat adalah cinta terhadap kebenaran. Aristoteles, filsafat Yunani
sangat kagum terhadap Plato yang memang gurunya namun dia lebih mencintai
kebenaran ketimbang mencntai plato. Begitu juga Al-Ghozali yang serius mencari
kebenaran hingga dia mengeluarkan pertanyaan dalam dirinya, aliran mana yang
paling benar dari semua aliran itu.
Dalam bahasan ini,
makna “kebenaran” dibatasi pada kekhususan makna “kebenaran keilmuan (ilmiah)”.
Kebenaran ini mutlak dan tidak sama atau pun langgeng, melainkan bersifat nisbi
(relatif), sementara (tentatif) dan hanya merupakan pendekatan namun guna
kepentingan keilmuan religious (dalam hal ini Islam) maka dalam pembahasan ini
juga dipadukan dengan teori kebenaran yang berifat illahiyyah.
Secara
historis, epistimologi bukanlah permasalahan pertama yang muncul dalam
pikiran manusia. Justru aktivitas filsafat dimulai dalam wilayah metafisika.
Apa itu dunia? apa itu jiwa? Dan sebagainya merupakan pertanyaan-pertanyaan
pertama yang mengganggu pikiran manusia yang selanjutnya mereka mencoba
menemukan jawabannya. Akan tetapi, mereka mendapati berbagai jawaban tentang
hal-hal tersebut beragam dan saling bertentangan. Berangkat dari fakta ini
mereka sampai pada dunia luar, tetapi justru mereka arahkan kepada dirinya
sendiri tentang apakah intelek manusia mampu menjawab permasalahan-permasalahan
tersebut. Pada titik inilah manusia masuk dalam kawasan epistimologi.
Dalam makalah ini, kami akan mencoba
memaparkan bagaimanakah konsep epistimologi dalam perspektif filsafat islam.
1.2 Rumusan Masalah
Setiap
penelitian pada awalnya karena adanya masalah. Masalah penelitian timbul
karena adanya tantangan, kesangsian, atau kebingngan terhadap sesuatu hal atau
permasalahan.
Penyusunan
makalah ini berusaha menjawab pertanyaan yang dirumuskan yaitu
Hal-hal apa sajakah yang berkaitan dengan
Epistemologi : Sumber kebenaran dan Kriteria Kebenaran?
1.3 Tujuan dan Kegunaan
Tujuan:
Seperti
yang tersirat pada rumusan masalah diatas, makalah ini bertujuan untuk :
Mengetahui
hal-hal apa sajakah yang berkaitan dengan Epistemologi : Sumber kebenaran dan
Kriteria kebenaran.
Kegunaan:
Diharapkan
makalah ini dapat meberikan manfaat bagi:
Mahasiswa khusunya, dan Dosen, hasil
makalah ini bisa menjadi masukan dan pengetahuan serta menambah wawasan bagi
mahasiswa khususnya dan dosen dalam memahami dan mempelajari Ilmu Filsafat
Agama.
Khazanah Ilmu pengetahuan , hasil dari makalah ini, diharapakan bisa menjadi
sumbangan i perkembangan
Ilmu
pengetahuan.
1.4 Metode Penyusunan
Landasan penulis dalam memperoleh
kesimpulan yang diharapkan, diperlukan
metode yang tepat dalam penyusunan makalah. Metode yang penulis gunakan dalam
penyusunan makalah ini adalah studi pustaka, yaitu “suatu usaha pengumpulan
data dan informasi dengan satuan
bemacam-macam material yang terdapat
diruang perpustakaan dan media internet”.
Tentunya
dengan harapan bahwa pengumpulan data melalui studi pustaka yang penulis
gunakan dapat memperoleh teori-teori
atau pendapat para ahli Filsafat Agama tentang pembahasan di atas.
1.5 Manfaat Penulisan
Adapun
manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Sebagai
salah satu bahan untuk menambah wawasan tentang
Ilmu Filsafat Agama
2. Sebagai
sumber Ilmu pengetahuan tentang mata kuliah Ilmu Filsafat Agama
BAB
II
PEMBAHASAN
Epistemologi : Sumber Kebenaran dan
Kriteria Kebenaran
2.1 Pengertian Epistemologi
Epistimologi berasal dari Bahasa Yunani
kuno, yaitu epistem yang berarti pengetahuan dan logos yang
berarti penjelasan atau ilmu. Jadi secara etimologis, epistimologi adalah ilmu
tentang pengetahuan.
Sedangkan secara terminologi epistimologi adalah cabang filsafat yang secara
khusus membicarakan teori ilmu pengetahuan, sumber pengetahuan dan bagaimana
cara memperoleh pengetahuan itu.
Epistimologi merupakan cabang filsafat
yang yang membicarakan mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah
usaha pemikiran yang sistematik dan metodik untuk menemukan prisip kebenaran
yang terdapat pada suatu obyek kajian ilmu. Apakah obyek kajian ilmu itu dan
seberapa jauhkah tingkat kebenaran yang bisa dicapainya, dan kebenaran yang
bagaimana yang bisa dicapai dalam kajian ilmu, kebenaran obyektif, subyektif,
absolut atau relatif. Subyek ilmu adalah manusia, dan manusia hidup dalam ruang
dan waktu yang terbatas, sehingga kajian ilmu pada realitasnya, selalu berada
pada batas-batas, baik batas-batas yang melingkupi hidup manusia sendiri,
maupun batas-batas obyek kajian yang menjadi fokusnya, dan setiap batas-batas
itu, dengan sendirinya selalu membawa konsekuensi-konsekuensi tertentu.
Jadi, epistimologi adalah suatu cabang
filsafat yang membahas sumber, proses, syarat, batas, validitas dan hakekat
pengetahuan. Epistimologi meliputi berbagai sarana dan tata cara menggunakan
sarana dan sumber pengetahuan untuk mencapai kebenaran dan kenyataan.
Perbedaaan dalam pemilihan asumsi ontologi dengan sendirinya akan mengakibatkan
perbedaan, yaitu akal, pengetahuan, intuisi dan lain-lain.
2.2 Teori Kebenaran (
Korespondensi, Koherensi, Pragmatisme, dan Hudhuri)
A. Kebenaran
Korespondensi
Teori
Korespondensi (The Correspondence Theory of Thruth) adalah teori yang
berpandangan bahwa pernyataan-pernyataan adalah benar jika berkorespondensi
terhadap fakta atau pernyataan yang ada di alam atau objek yang dituju
pernyataan tersebut. Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan benar jika ada
kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan fakta. Kebenaran
ini seutuhya berpangkal dari keadaan/kenyataan alam yang ada yang dapat
dibuktikan secara inderawi oleh responden.
Teori
kebenaran korespondensi adalah teori kebenaran yang paling awal, sehingga dapat
digolongkan ke dalam teori kebenaran tradisional karena sejak awal (sebelum
abad Modern) mensyaratkan kebenaran pengetahuan harus sesuai dengan kenyataan
yang diketahuinya. Hal ini dapat diartikan bahwa teori yang diterapkan atau
dikemukakan tidak boleh bersimpangan/bersebrangan dengan kenyataan yang menjadi
objek.
Dalam
teori kebenaran korespondensi tidak berlaku pada objek/bidang non-empiris atau
objek yang tidak dapat diinderai. Kebenaran dalam ilmu adalah kebenaran yang
sifatnya objektif, ia harus didukung oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan
dalam pembentukan objektivanya. Kebenaran yang benar-benar lepas dari kenyataan
subjek.
Dalam
teori ini terdapat tiga kesukaran dalam menentukan kebenaran yang disebabkan
karena :
1.
Teori korespondensi memberikan gambaran yang menyesatkan dan yang terlalu
sederhana mengenai bagaimana kita menentukan suatu kebenaran atau kekeliruan
dari suatu pernyataan. Bahkan seseorang dapat menolak pernyataan sebagai
sesuatu yang benar didasarkan dari suatu latar belakang kepercayaannya
masing-masing.
2.
Teori korespondensi bekerja dengan idea, “bahwa dalam mengukur suatu kebenaran
kita harus melihat setiap pernyataan satu-per-satu, apakah pernyataan tersebut
berhubungan dengan realitasnya atau tidak.” Lalu bagaimana jika kita tidak
mengetahui realitasnya? Bagaimanapun hal itu sulit untuk dilakukan.
3.
Kelemahan teori kebenaran korespondensi ialah munculnya kekhilafan karena
kurang cermatnya penginderaan, atau indera tidak normal lagi sehingga apa yang
dijadikan sebagai sebuah kebenaran tidak sesuai dengan apa yang ada di alam.
Sebuah
ketelitian dan kesigapan dalam menentukan sebuah kebenaran dalam menentukan
teori kebenaran koresponensi sangat diutamakan sebab untuk menghindari
kesalahan yang terjadi atas tiga hal tersebut. Maka faktor inderawi yang
menjadi alat untuk mengungkap kenyataan alam harus dapat menyatakan yang
sebenarnya, mengetahui/menguasai realitas yang ada dan cermat.
B. Kebenaran
Koherensi
Koherensi
merupakan pengaturan secara rapi kenyataan dan gagasan, fakta, dan ide menjadi
suatu untaian yang logis sehingga mudah memahami pesan yang dihubungkannya.
Teori
kebenaran koherensi ini digunagan sebagai sebuah pesan / penarik kepada umum
supaya perhatiannya tertuju pada satu titik atau dengar arti lain, teori
kebenaran koherensi merupakan teori kebenaran yang didasarkan kepada kriteria
koheren atau konsistensi. Suatu pernyataan disebut benar bila sesuai dengan
jaringan komprehensif dari pernyataan-pernyataan yang berhubungan secara logis.
Pernyataan-pernyataan ini mengikuti atau membawa kepada pernyataan yang lain.
Seorang
sarjana Barat A.C Ewing (1951:62) menulis tentang teori koherensi, ia
mengatakan bahwa koherensi yang sempurna merupakan suatu idel yang tak dapat
dicapai, akan tetapi pendapat-pendapat dapat dipertimbangkan menurut jaraknya
dari ideal tersebut. Sebagaimana pendekatan dalam aritmatik, dimana
pernyataan-pernyataan terjalin sangat teratur sehingga tiap pernyataan timbul
dengan sendirinya dari pernyataan tanpa berkontradiksi dengan
pernyataan-pernyataan lainnya. Jika kita menganggap bahwa 2+2=5, maka tanpa
melakukan kesalahan lebih lanjut, dapat ditarik kesimpulan yang menyalahi tiap
kebenaran aritmatik tentang angka apa saja.
Teori
ini punya banyak kelemahan dan mulai ditinggalkan. Misalnya, astrologi
mempunyai sistem yang sangat koheren, tetapi kita tidak menganggap astrologi
benar. Kebenaran tidak hanya terbentuk oleh hubungan antara fakta atau realitas
saja, tetapi juga hubungan antara pernyataan-pernyataan itu sendiri. Dengan
kata lain, suatu pernyataan adalah benar apabila konsisten dengan
pernyataan-pernyataan yang terlebih dahulu kita terima dan kita ketahui
kebenarannya.
Dua
masalah yang didapatkan dari teori koherensi adalah:
a.
Pernyataan yang tidak koheren (melekat satu sama lain) secara otomatis tidak
tergolong kepada suatu kebenaran, namun pernyataan yang koheren juga tidak
otomatis tergolong kepada suatu kebenaran. Misalnya saja diantara pernyataan “anakku
mengacak-acak pekerjaanku” dan “anjingku mengacak-acak pekerjaanku” adalah
sesuatu yang sulit untuk diputuskan mana yang merupakan kebenaran, jika hanya
dipertimbangkan dari teori koherensi saja. Misalnya lagi, seseorang yang
berkata, “ Sundel Bolong telah mengacak-acak pekerjaan saya!”, akan dianggap
salah oleh saya karena tidak konsisten dengan kepercayaan saya.
b.
Sama halnya dalam mengecek apakah setiap pernyataan berhubungan dengan
realitasnya, kita juga tidak akan mampu mengecek apakah ada koherensi diantara
semua pernyataan yang benar.
Dua
masalah ini lahir karena adanya pertentangan keyakinan, moral maupun ketidak
sanggupan untuk mengecek sebuah pernyataan yang sudah dilontarkan dengan
keadaan lapangan atau hal yang dialami sehingga tingkat konsistensinya rendah
bahkan berat untuk dipertanggungjawabkan.
C. Kebenaran
Pragmatis
Teori
pragmatisme tentang kebenaran, the pragmatic [pramatist] theory of truth. Kata
Pragmatisme berasal dari bahasa Yunani yaitu pragma, artinya yang
dikerjakan, yang dapat dilaksanakan, dilakukan, tindakan atau perbuatan.
Falsafah ini dikembangan oleh seorang bernama William James di Amerika Serikat.
Menurut
filsafat ini dinyatakan bahwa sesuatu ucapan, hukum, atau sebuah teori
semata-mata bergantung kepada asas manfaat. Sesuatu dianggap benar jika
mendatangkan manfaat. Suatu kebenaran atau suatu pernyataan diukur dengan
kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan
manusia.
Pragmatisme
menantang segala otoritanianisme, intelektualisme dan rasionalisme. Bagi mereka
ujian kebenaran adalah manfaat (utility), kemungkinan dikerjakan (workability)
atau akibat yang memuaskan sehingga dapat dikatakan bahwa pragmatisme adalah
suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan
dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat
secara praktis.
Teori
ini pada dasarnya mengatakan bahwa suatu proposisi benar dilihat dari realisasi
proposisi itu. Jadi, benar-tidaknya tergantung pada konsekuensi, kebenaran suatu
pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat
fungsional dalam kehidupan praktis, sepanjang proposisi itu berlaku atau
memuaskan.
Satu-satunya
yang dijadikan acuan bagi kaum pragmatis ini untuk menyebut sesuatu sebagai
kebenaran ialah jika sesuatu itu bermanfaat atau memuaskan. Apa yang diartikan
dengan benar adalah yang berguna (useful) dan yang diartikan salah adalah yang
tidak berguna (useless). Karena istilah “berguna” atau “fungsional” itu sendiri
masih samar-samar, teori ini tidak mengakui adanya kebenaran yang tetap atau
mutlak.
D. Kebenaran Hudhuri
Berpendirian
bahwa kebenaran ialah kebenaran Ilahi = divine truth, kebenaran yang bersumber
dari tuhan, kebenaran ini disampaikan melalui wahyu. Manusia bukan semata
makhluk jasmani yang ditentukan oleh hukum alam dan kehidupan saja. Ia juga
makhluk rohaniah sekaligus, pendukung nilai. Kebenaran tidak cukup diukur
dengan interes dan rasio individu, akan tetapi harus bisa menjawab kebutuhan
dan memberi keyakinan pada seluruh umat. Karena itu kebenaran haruslah mutlak,
berlaku sepanjang sejarah manusia.
Dalam
teori tentang kebenaran religious ini, penulis mempersempit pambahasan hanya
pada agama yang penulis anut, yaitu Islam. Pemahaman tentang kebenaran
dalam pandangan Islam adalah percaya dan meyakini terhadap apa yang diNashkan
oleh Allah dalam Kitab sucinya dan mempercayai terhadap sada Rosulullah untuk
dijadikan sebagai pegangan hidup dengan tujuan selamat dunia dan akhirat.
Kebenaran
hudhuri menjadi sebagai sebuah kebenaran yang mutlak untuk tiap penganutnya
sekalipun dalam tiap kitab suci dan sabda yang dijadikan pedoman dalam teori
kebenaran memiliki perbedaan pemahaman, tafsir, pendapat sebab kebenaran disini
tidak hanya diperuntukan untuk kepentingan kelompok (bersifat universal) maka
perlu adanya mujtahidin untuk membahasakannya supaya tidak menjadikan kebenaran
sebagai sumber konflik.
Dr.
M.J. Langeveld dalam bukunya berjudul” Menuju ke Pemikiran Filsafat”
mengemukakan bahwa kebenaran ialah hubungan antara pemikiran subyek dengan
obyek yang dijurusi . Olehnya kemudian diuraikan beberapa teori yag
menginterpretasikan “hubungan” itu:
1.
Realisme Naïf (Naïve Realism) : hubungan itu ialah persesuaian antara pemikiran
dan obyek.
2.
Imanen (Immanent) : hubungan itu sebagai gambaran-gambaran jiwa yang terbentuk
oleh pemikiran, sedangkan subjek tidak mengetahui apa-apa tentang hubunganya
dengan obyek yang sebenarnya.
3.
Transenden (Trancendent) : hubungan itu ialah perhubungan erat antara gambaran
pemikiran dengan “benda yang sebenarnya.”
4.
Transcendental (Transecendental) : hubungan itu ialah persesuaian pemikiran
dengan bentuk-bentuk transendental dan sekunder .
2.3 Hakikat Pengetahuan ( Idealisme
dan Realisme )
Epistemologi
pada hakikatnya membahas tentang pengetahuan, yang berkaitan dengan apa itu
pengetahuan dan bagaimana memperoleh pengetahuan tersebut. Pengetahuan pada
dasarnya adalah keadaan mental (mental state). Mengetahui sesuatu adalah
menyusun pendapat tentang sesuatu objek. Dengan kata lain, menyusun gambaran
dalam akal tentang fakta yang ada di luar akal. Persoalanya kemudian adalah
apakah gambaran itu sesuai denhgan fakta atau tidak? Apakah gambaran itu benar?
Atau apakah gambaran itu dekat pada kebenaran atau jah dari kebenaran?
Ada
dua teori untuk mengetahui hakikat kebenaran itu. Pertama realisme, yang
mempunyai pandangan realistis terhadap alam. Pengetahuan menurut realisme,
adalah gambaran atau kopi yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata
(dari fakta atau hakikat). Pengetahuan atau gambaran yang ada dalam akal adalah
kopi dari yang asli yang ada di luar akal. Hal ini tidak ubahnya seperti
gambaran yang terdapat dalam foto. Dengan demikian, realisme berpendapat bahwa
pengetahuan adalah benar dan tepat bila sesuai dengan kenyataan.
Ajaran
realisme percaya bahwa dengan sesuatu atau lain cara, ada hal-hal yang
hanya terdapat di dalam dan tentang
dirinya sendiri, serta yang hakikatnya tidak terpengaruh oleh sesorang.
Contohnya, fakta menunjukan, suatu meja tetap sebagaimana adanya kendati tidak
ada orang di dalam ruangan itu yang menangkapnya. Jadi, meja itu tidak
tergantung kepada gagasan kita mengenainya, tetapi tergantung pada meja
tersebut.
Para
penganut realisme mengakui bahwa seseorang salah lihat pada benda-benda atau
dia melihat terpengaruh oleh keadaan sekelilingnya. Namun, mereka paham ada
benda yang di anggap mempunyai wujud tersendiri, ada benda yang tetap kendati
tidak di amati. Menurut Prof. Dr. Rasjidi, penganut agama perlu sekali dalam
mempelajari realsime dengan alasan:
1. Dengan
menjelaskan kesulitan-kesulitan yang terdapat dalam pikiran. Kesulitan pikiran
tersebut adalah pendapat yang mengatakan bahwa tiap-tiap kejadian dapat di
ketahui hanya di ketahui hanya dari segi subyektif. Menurut Rasjidi, pernyataan
itu tidak benar sebab adanya factor subjektif bukan berarti menolak factor
objektif. Kalau seseorang melihat sebatang pohon, tentu pohon itu memang pohon
yang di lihat oleh si subjek. Namun, hal ini tidak berarti meniadakan pohon
yang mempunyai wujud tersendiri. Begitu juga ketika orang berdoa kepada Tuhan,
bukan berarti Tuhan mitu hanya ada dalam pikiran, tetapi Tuhan punya wujud
tersendiri.
2. Dengan jalan memberi pertimbangan-pertimbangan
yang positif, menurut Rasjidi, umumnya orang beranggapan bahwa tiap-tiap benda
mempunyai satu sebab. Contohnya, apa yang menyebabkan Ahamad sakit. Biasanya
kita puas ketika di jawab karena kuman. Sebenarnya, sebab sakit itu banyak
sekali karena ada orang yang bersarang kuman dalam tubuhnya, tetapi dia tidak
sakit. Dengan demikian, penyakit si Ahmad itu di sebabkan keadaan badannya,
iklim, dan sebagainya. Prinsip semacam ini, menurut Rasjidi, bisa di gunakan untuk mempelajari agama
karena adanya perasaan yang subyektif tidak berarti tidak hanya keadaan yang
objektif.
Teori
kedua tentang hakikat pengetahuan adalah idelaisme. Ajaran idealisme
menandaskan bahwa untuk mendapatkan pengetahuan yang benar-benar sesuai dengan
kenyataan adalah mustahil. Pengetahuan adalah proses-proses mental atau proses
psikologis yang bersifat subjektif. Oleh karena itu, pengetahuan bagi seorang
idealis hanya merupakan gambaran subjektif dan bukan gambaran objektif tentang
realitas. Subjektif di pandang sebagai suatu yang mengetahui, yaitu dari orang
yang membuat gambaran tersebut. Oleh karena itu, pengetahuan menurut teori ini,
jam tidak menggambarkan kebenaran yang sebenarnya. Yang diberikan pengetahuan
hanyalah gambaran menurut pendapat atau penglihatan orang yang mengetahui.
Kalau
pada realisme mempertajam perebdaan antara yang mengetahui dan yang di ketahui,
maka idealisme adalah sebaiknya. Bagi idelisme, dunia dan bagian-bagianya harus
di pandang sebagai hal-hal yang memunyai hubungan, seperti organism dengan bagian-bagianya.
Dunia merupakan satu kebulatan bukan kesatuan mekanik, tetapi kebulatan organic
sesngguhnya yang sedemikian rupa, sehingga suatu bagian darinya di pandang
sebagai kebulatan logis, dengan makna sebagai inti yang terdalam.
Premis
pokok yang di ajukan oleh idealism adalah jiwa mempunyai kedudukan yang utama
dalam alam semesta. Sebenarnya, idelisme tidak mengingkari materi. Namun,
materi adalah suatu gagasan yang tidak jelas dan bukan hakikat. Sebab,
seseorang yang akan memikirkan roh atau akal. Jika seseorang ingin mengetahui
apa sesungguhnya materi itu, dia harus meneliti apakah pikiran itu, apakah
nilai itu, dan apakah akal budi itu; bukanya apakah materi itu.
H.M Rasjidi menganggap bahwa
subjektivitas idealism ii berbahaya bagi agama. Subjekitivitas berarti angapan
bahw kebenaran sesuatu hal di tentukan oleh si subjek. Oleh karena itu, menurut
Rajsidi bisa saja dikatakan bahwa Tuhan itu mungkin ada untuk si A, tetapi si B
tidak mengakuinya.
Rasjidi tampaknya lebih cenderung
pada realism ketimbang idelaisme. Realism, menurutnya keyakinan bahwa benda itu
ada tersendiri dan terpisah daripada pikiran orang yang mengetahuinya. Benda
itu bisa merupakan benda fisik, seperti pohon dan batu, tetapi juga mungkin
meruapakan hal hal yang bersifat ide universal.
Sebenarnya, realism dan idelaisme
memiliki kelemahan-kelemahan tertentu. Realism ekstrem bisa sampai pada monism
matrealistik atau dualism. Seorang pengikut matrelaisme mengatakan jika
demikian hanya, sudah barang tentu dapat juga dikatakan bahwa jiwa dan materi
sepenuhnya sama. Lebih lanjut, realism tidak tidak terlalu mementingkan subjek
sebagai penilai, tetapi hanya memfokuskan pada objek yang dinilai. Padahal,
subjek yang menilai memiliki peran penting dalam me nghubungkan antara objek
dengan ungkapan tentang objek tersebut.
Idealisme subjektif juga akan
rmenimbulkan kebenaran yang relative karena setiap individu berhak untuk
menolak kebenaran yang datang dari luar dirinya. Akibatnya, kebenaran yang
bersidat universal tidak diakui. Kalau demikian jadinya, maka aturan-aturan
agama dan kemasyarakatan hanya bisa benar untuk kelompok tertentu dan tidak
berlaku bagi kelompok yang lain. Selain itu, idelaisme terlalu mengutamakan
subjek sebagi si penilai, dengan merendahkan objek yang di nilai. Sebab, subjek
yang menilai kadangkala berada pada keadaan yang berubah-ubah, seperti sedang
marah atau gembira.
2.4 Sumber Pengetahuan (Empirisme,
Rasionalisme, dan Iluminasionisme)
Kalau ada dua teori mengenai hakikat
pengetahuan, maka ada tiga teori tentang jalan memperoleh pengetahuan atau
sumber pengetahuan. Yaitu empirisme, rasionlisme, dan
iluminasinisme/intuisionisme. Menurut empirisme pengetahuan diperoleh dengan
perantaraan pancaindera. Pancaindera mendapatkan kesan-kesan dari apa yang ada
di alam nyata dan kesan-kesan itu berkumpul dalam diri manusia. Pengetahuan
tersusun dari pengaturan kesan-kesan yang semacam itu.
Seorang empirisme berpendirian bahwa
kita dapat memperoleh pengetahuan melalui pengalaman. Cirri yang menojol dari
jawaban ini dapat di lihat bila di perhatikan pertanyaan seperti, “Bagaimana
orang mengetahui es dingin?” jawaban seorang empiris akan berbunyi, “Karena
saya merasakan hal itu atau karena seorang ilmuan telah merasakan seperti itu.”
Dalam pernyataan tersebut ada tiga unsure, yaitu yang mengetahui (subjek), yang
di ketahui (objek), dan cara dia mengetahui bahwa e situ dingin. Bagaimana dia
mengetahui es itu dingin? Dengan menyentuh langsung lewat alat peraba. Dengan
kata lain, seorang empiris akan mengatakan bahwa pengetahuan itu di peroleh
lewat pengalaman-pengalaman inderawai yang sesuai.
John Locke, bapak empirisme
Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia di lahirkan akal nya merupakan
sejenis buku catatan kosong (tabula rasa), dan di dalam buku catatan itulah di
tulis pengalaman-pengalaman indrawi. Menurutnya, seluruh sisa pengetahuan kita
di peroleh dengan jalan menggunakan serta membandingkan ide-ide yang di peroleh
dari penginderaan serta refleksi yang pertama dan sederhana.
Dia memandang akal sebagai sejenis
tempat penampungan yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan
tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita, betapapun rumitnya, dapat di
lacak kembali sampai pada pengalaman-pengalaman indrawi yang pertama-tama dapat
di ibaratkan sebagai atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa yang
tidak dapat atau tidak perlu di lacak kembali
secara demikian itu bukanlah pengetahuan, atau setidak-tidaknya bukan
pengetahuan mengenai hal-hal yang faktual.
Setelah John Locke, David Hume,
tokoh empirisme yang melanjutkan gagasan Locke. Menurutnya, manusia tidak
membawa pengetahuan bawaan dalam hidupnya. Sumber pengetahuan adalah
pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal, kesan-kesan (impressions) dan
pengertian-pengertian atau ide-ide (ideas). Yang di maksud dengan kesan-kesan
adalah pengalaman langsung yang di terima dari pengalaman, baik pengalaman
lahiriah maupun pengalaman batiniah, yang menampakan diri dengan jelas, hidup
dan kuat seperti, merasakan tangan terbakar. Yang di maksud dengan ide adalah
gambaran tentang pengamatan yang redup, samar-samar, yang dihasilkan dengan
merenungkan kembali atau mereflesikan dalam kesadaran kesan-kesan yang di
terima dari pengalaman. Ide kurang jelas, kurang hidup, jika di banding dengan
kesan-kesan.
David Hume menegaskan bahwa pengalaman
lebih memberi keyakinan dibanding kesimpulan logika atau kemestiaan sebab
akibat. Sebab dan akibat hanya hubungan yang saling berurutan saja dan secara
konstan terjadi seperti api yang membuat air mendidih. Padahal dalam api tidak
dapat di amati adanya “daya aktif” yang medidihkan air. Jadi, “daya aktif” yang
disebut “hukum kasualitas” itu bukanalah hal yang dapat di amati, bukan hal
yang dapat dilihat dengan mata sebagai berada dalam “air” yang direbus. Dengan
demikian, kasulaitas tidak bisa digunakan untuk menetapkan peristiwa yang akan
datang brdasarkan peristiwa yang akan datang berdasarkan peristiwa-peristiwa
yang terdahulu.
Menurut Hume pengalamanlah yang memberikan
informasi yang langsung dan pasti terhadap objek yang di mati sesuai dengan
waktu dan tempat. Roti yang telah saya makan, kata Hume, mengenyangkan saya,
artinya bahwa tubuh dengan bahan ini dan pada waktu itu memiliki rahasia
kekuatan untuk mengenyangkan. Namun, roti tersebut belum tentu bisa menjadi
jaminan yang pasti mengenyangkan saya pada waktu lain karena roti itu unsurnya
telah berubah kena polusi atau tercemar dan situasi pun tidak sama lagi dengan
makan roti yang pertama. Jadi, pengalaman adalah sumber informasi bahwa roti
itu mengenyangkan, sedangkan roti itu mengenyangkan untuk selanjutnya hanya
kemungkinan belaka, bukan kepastian.
Para filosof, menurut Hume,
berpendapat bahwa akal berfungsi untuk memastikan hubungan urutan-urutan peristiwa
tersebut. Padahal hubugan yang demikian itu bersifat kemungkinan belaka dan
pengetahuan kita tentang hubungan peristiwa tersebut sesungguhnya berasal dari
pengalaman. Karena itu, semua kesimpulan eksperimen selanjutn ya seharusnya
berdasarkan pada perkiraan bukan kepastiaan bahwa peristiwa yang akan datang
kemungkinan cocok dengan yang lewat.
Akala tidak bisa bekerja tanpa
bantuan pengalaman. Sebagai contoh ada seseorang dari planet lain yang di
anugerahi kemampuan akal yang sangat kuat kemudian di bawa ke bumi . tentu saja
dia secara langsung mampu mengobservasi peristiwa-peristiwa yang berurutan,
namun dia tidak mampu menemukan sesuatu yang lebih dari itu. Untuk pertama kali
dia tidak mungkin menangkap ide sebab akibat karen akekuatan-kekuatan particular
yang berjalan secara alami belumtertangkap oleh indranya. Begitu juga akan
tidak mampu sekaligus menyimpulkan berdasarkan satu peristiwa bahwa suatu sebab
menimbulkan akibat tertentu karena hubungan itu bisa berubah-ubah dan
kasuistis.
Jadi, dalam empirisme sumber utama
untuk memperoleh pengetahuan adalah data empiris yang di peroleh dari panca
indra. Akal tidak berfungsi banyak, kalau ada, itu pun sebatas ide yang kabur.
Teori kedua tentang cara memperoleh
pengetahuan adalah rasionalisme. Tidaklah mudah membuat defenisi tentang
rasionalisme sebagai suatu metode memperoleh pengetahuan. Rasinalisme
berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Betul dalam hal ini
akal berhajat pada bantuan pancaindra untuk memperoleh data dari dalam nyata,
tetapi akallah yang menghubungkan data ini satu sama lainya, sehingga
terdapatlah apa yang di namakan pengetahuan. Dalam penyusunan ini akal mempergunakan konsep-konsep rasional
atau idea-idea universal. Kosnep
tersebut mempunyai wujud dalam alam nyata dan bersifat universal. Yang di
maksud dengan prinsip-prisnip universal adalah abstraksi dari benda-benda
konkret, seperti hukum kasualitas atau gambaran umum tentang kursi. Sebaliknya,
bagi empirisisme hukum tersebut tidak diakui.
Para penganut rasionalisme yakin
bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide dan bukan di dalam diri
sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna ide yang sesuai dengan atau yang
menunjuk pada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran
seseorang dan hanya bisa diperoleh dengan akal budi saja.
Descartes, salah seorang pelopor
rasionalisme, berusaha menemukan suatu kebenaran yang tidak dapat di ragukan
lagi. Kebenaran itu, menurutnya adalah dia tidak ragu bahwa dia ragu.
Pernyataan tersebut terkenal dengan semboyanya cogito ergo sum (saya ragu maka
saya ada). Ia yakin, kebenaran-kebenaran semacam itu adan dan
kebenaran-kebanaran tersebut dikenal dengan cahaya yang terang dari akal budi.
Dengan demikian, kebenaran itu bisa dipahami lewat sejenis khusus, yang dengan
perantara itu dapat di kenal kebenaran dan deengan suatu teknik deduktif, yang
dengan memakai teknik tersebut dapat ditemukan kebenaran.
Spinoza memberi penjelasan yang
lebih mudah dengan menyusun sistem rasionalsime atas dasar sistem ilmu ukur. Menurutnya,
dalil ilmu ukur merupakan dalil kebenaran yang tidak perlu di buktikan lagi.
Artinya, Spinoza yakin jika seseorang
memahami makna yang terkandung oleh pernyataan, “Sebuah garis lurus
merupakan jarak terdekat di antara dua buah titik,” maka seseorang mau tidak
mau mengakui kebenaran pernyataan itu. Menurutnya, tidak perlu ada bahan-bahan
bukti yang lain kecuali makna yang di kandung oleh kata-kata yang digunakan.
Metode ilmiah pada dasarnya tidak
mempertentangkan dua aliran yang berbeda tersebut, baik dari segi hakikat
pengetahuan maupun sumbernya. Metode ilmiah lebih menjurus pada penggabungan
antara paham realisme dan rasionalisme. Pancaindera mengumpukan data-data,
sedangkan akal menyimpulkan berdasarkan pada prisnip-prinsip universal, yang kemudian
di sebut pengetahuan. Kebenaran dengan penggabungan ini pun bukan kebenaran
mutlak, tetapi kebenaran yang dekat pada hakikat, yaitu menurut kesanggupan
tertinggi dari akal dalam mendekati hakikat itu.
Ada kesulitan juga dalam teori ini
karena tidak semua data yang ada dalam alam dapat di kumpulkan. Alam terlalu
besar sedangkan masa berajalan terus. Yang dapat di kimpulkan hanyalah sebagian
dari data dan itu pun data yang telah terjadi data yang belum terjadi tidak
dapat di buat bahan observasi. Karena itu, pengetahuan yang di peroleh bukanlah
pengetahuan yang lengkap, tetapi pengetahuan yang belum sempurna. Dengan
demikian, seorang ilmuan hanya mengadakan hipotesis dari hipotesis ini dianggap
benar selama data yang datang kemudain memperkuat kebenaraanya. Namun, kalau
ada data yang datang kemudian memberikan gambaran lain dari data sebelumnya
maka hipotesis harus diubah. Menurut Harun Nasution, semua teori ini tidak
membawa pada pengetahuan yang benar-benar membawa keyakinan bahwa apa yang di
ketahui benar-benar sesuai dengan fakta-fakta yang ada dalam kenyataan.
Pengetahuan tentang materi, kendati pengetahuan itu diuraikan secara ilmiah,
belumlah tentu dan pasti kebenarannya. Karena itu, sebagian filosof bersikap
skeptic, ragu bahwa kebenaran yang sebenarnya bisa dicapai oleh manusia.
Kalau demikian halnya, menurutnya,
jika ada orang yang tidak percaya pada kebenaran agama dengan alasan bahwa
keyakinan agama tidak menimbulkan keyakin mereka, maka pengetahuan yang di
peroleh secara ilmiah pun sebenaranya tidak membawa kepada keyakinan yang kuat.
Kebenaran yang di hasilkan pemikiran di luar lapangan agama, bahkan yang
dihasilkan dalam lapangan ilmiah sekalipun, belum tentu benar.
Immanuel Kant berpendapat bahwa
untuk mendapatkan pengetahuan yang benar, seorang harus membedakan empat macam
pengetahuan, yaitu analitis a priori, sintesis a priori, analitis a posteriori,
dan sitesis a posteriori. Pengetahuan a priori adalah pengetahuan yang tidak
tergantung pada adanya pengalaman atau yang ada sebelum pengalaman, sedangkan
pengetahuan a posteriori terjadi akibat pengalaman. Pengetyahuan analitis
merupakan hasil analitis, sedangkan sintesis merupakan hasil keadaan yang mempersatukan dua hal yang
bisanya terpisah.
Menurut Kant, analitis a priori
adalah pengetahuan yang tidak mendatangkan sesuatu yang baru kepada subjeknya
dan diperloeh tanpa pengalaman, contoh liongkaran itu bulat. Bulat sebagai
predikat tidak memberikan hal yang baru pada subjek lingkaran. Sintesis a
posteriori adalah kebalikan dari sintesis a priori, bahwa pengetahuan yang
diperoleh mendatangkan hal yang baru akibat dari pengalaman, seperti meja itu
bundar. Bundar adalah predikat yang memebrikan arti baru bagi subjek meja sebab
tidak semua meja bundar. Pengetahuan sintesis a priori adalah pengetahuan yang
kendati bersifat a priori, tetapi sintetsis juga seperti segala kejadian ada
sebabnya.
Ilmu pasti, demikian menurut Kant,
sebenarnya disusun atas dasar a priori yang bersifat sintesis ini. ilmu
mengandaikan adanya putusan-putusan yang memberi pengertian baru (sintesis) dan
yang mutlak serta bersifat umum (s priori). Maka ilmu menuntut adanya putusan a priori yang bersifat sintesis.
Dengan teori ini, Kant ingin
mempertahankan sifat objektivitas ilmu. Agar maksud itu tercapai, seseorang
harus menghindarkan diri dari sifat sepihak rasionalisme dan dari sifat sepihak
empirsime. Menurut Kant, rasionalisme mengira telah menemukan kunci bagi
pembukaan realitas pada subjeknya, lepas dari segala pengalaman, sedangkan
empirisme mengira hanya dapat memperoleh pengetahuan dari pengalaman saja.
Ternayata bahwa empirisme sekali pun mulai dengan ajaran yang murni tentang
pengalaman, tetapi melalui idealism subjektif yang bermuara pada suatu
skeptisisme yang radikal.
Menurut Kant, syarat dasar suatu ilmu
adalah, a) bersifat umum dan mutlak serta b) memberi pengetahuan baru.
Empirisme, menurutnya, memberikan pengetahuan yang bersfiat baru, sedangkan
rasionalisme memberikan putusan-putusan yang bersifat umum dan mutlak. Dengan
demikian, baik empirisme maupun rasionalisme tidak memenuhi syarat yang di
tuntut oleh suatu ilmu. Karena itu, perlu diselidiki putusan yang bersifat
sintesis a priori, yaitu gabungan antara empirisme dan rasionalisme.
Untuk menghubungkan teori empirisme
dengan rasionalisme, Kant berusaha menjelaskan dnegan tingkat-tingkat
pengenalan roh, dari tingkat yang terendah sampai menuju yang tertinggi.
Pengenalan yang terendah adalah pengamatan indrawi kemudian akal, akhirnya
budi. Kerja akal mengatur data-data indrawi, yaitu dengan mengemukakan
putusan-putusan lewat sintesis yang teratur. Budi adalah semacam penghubung
batin yang trasenden antara cerapan indrawi dan akal. Budi ini, menurut Kant,
adalah daya pencipta pengertian murni atau mutlak, yang tidak diberikan oleh
pengalaman.
Pengertian yang di peroleh oleh budi
ini tidak lewat pengalaman, contohnya pengertian atau ide tentang Tuhan. Karena
itu, pengetahuan yang semacam ini juga disebut dengan intusionisme. Pengertian
budi memiliki daya mengatur, artinya ide tidak memperbanyak pengetahuan dan
mendatangkan pengetahuan yang baru.
Henry Bergson membedakan antara
pengetahuan diskursif dan intuitif. Menurutnya, pengetahuan diskursif diperoleh
melalui penggunaan simbol-simbol yang mencoba mengatakann kepada kita mengenal
sesuatu. Hal ini tergantung pada sudut pandang mana suatu kejaidan di pahami.
Dengan cara ini, seseorang hanya memperoleh pengetahuan mengenai suatu bagian
atau beberapa bagian dari kejaidan tersebut, tetapi tidak pernah mengenai
kejadian itu seluruhnya.
Pelukis sebuah kejaidan, kata
Bergson hanya menijau dari sudut pandang tertentu, berhubungan dengan suatu
penglihatan tertentu. Atas dasar itulah, Bergson tidak dapat merasakan dirinya
berada didalamnya dan mengalaminya sebagai suatu keselurhan dan mutlak. Menurutnya,
hanya dengan menggunakan intiuisi, seorang dapat memperoleh pengetahuan
“tentang” kejaidan itu, yakni suatu pengetahuan yang langsung, yang mutlak, dan
bukan pengetahuan yang nisbi.
Menurutnya, intuisi mengatasi sifat
lahirnya pengetahuan simbolis, yang pada dasarnya bersifat analitis,
menyeluruh, mutlak, dan tanpa di bantu oleh penggambaran secara simbolis.
Karena itu, intuisi adalah sarana untuk mengetahu secara langsung dan seketika.
Analisis, atau pengetahuan yang di peroleh lewat pelukisan tidak dapat
menggantikan hasil pengenalan intuisi.
Dalam tasawuf, intuisi disebut
dengan makrifah, yaitu pengetahuan yang datang dari Tuhan melalui pencerahan
dan penyinaran. Istilah ini juga sering disebut dengan iluminasi. Intuisi dalam
filsafat barat diperoleh lewat usaha perenungan dan pemikiran yang konsisten,
sedangkan dalam Islam makrifah diperoleh lewat perenungan dasn penyinaran dari
Tuahn. Jalaluddin Al Rumi pernah mengatakan, “Berjalanlah kamu ke sebuah tempat
dasn tunggulah disana penyinaran dari Tuhan.” Al Rumi juga menggambarakan bahwa
penyinaran atau anugerah itu bagaikan seorang penyelam mencari mutiara. Untuk
sampai ke dasar laut, seseorang, menurut Al Rumi harus memiliki keterampilan
berenang dan menyelam, dia harus memakai alat khusus. Dan ketika sampai di
dasar lautan dia mulai memilih kerang. Ada kerang yang berisi mutiara dan ada
yang tidak. Anugerah atau keberuntunganlah yang menetukan seseroang memperoleh
mutiara, bukan lagi keterampilan dan alat. Jadi, menurut Al Rumi, untuk
memperoleh Makrifah atau penyinaran, sesoerang di samping berusaha juga
meyakini anugerah Tuhan.
Dalil seperti ini sebenarnya sudash
pernah juga di kemukakan oleh Al Ghazali dalam bukunya Al Mungqdz min al dhalal
(Jalan selamat dari kesesatan). Dia berendapat bahwa pengetahuan yang paling
benar adalah pengetahuan ituisi/makrifah yang disinarkan oleh Allah langsung
kepada seseorang. Pengetahuan mistiklah yang membuat dia yakin dan merasa
tenang setelah dia dilanda oleh keraguan yang hebat.
Al Ghazali membagi pengetahuan itu
kepada tiga tingkat, yaitu pengetahuan orang awam, pengetahuan kaumi
itelektual, dan pengetahuan kaum sufi. Orang awam menerima pengetahuan/berita
tanpa mau menyelidiki. Contohnya, ada orang yang mengatakan, “Dirumah itu ada
orang” orang awam, tanpa menyelidiki kebenarannya langsung percaya saja.beda
halnya dengan kaum intelektual, mereka akan menyelidiki kebenaran mereka
tersebut dengan mengadakan analisis data-data yang ada. Apakah benar ada orang
disekitar rumah itu. Setelah meneliti sandal, suara percakapan, dan lain-lain,
mereka mengambil kesimpulan bahwa memang benar ada orang didalam rumah
tersebut.
Para sufi mendapatkan berita yang
seperti itu, tidak menerima saja dan tidak meneliti data-data yang mebenarkan
berita tersebut, tetapi langsung membuka pintu rumah, sehingga mereka dapat
melihat langsung orang didalamnya. Makrifah, dalam pengeertian Al Ghazali, adalah seperti pengetahuan yang
ketiga ini. lagi pula pengetahuan yang ketiga ini, menurut Al Ghazali, lebih
membawa keyakinan dan kepuasan ketimbang pengetahuan yang pertama dan kedua.
Pengetahuan indrawi dan akal,
menurut Al Ghazali, tidak bisa diyakini kebenaranya. Pancaindra sering
berbohong karena bayangan pohon yang dianggap oleh mata tidak bergerak,
ternyata dalam waktu tertentu berpindah tempat. Akal juga demikian, ketika
seorang bermimpi tentang sesuatu, dia merasakan bahwa kejaidan itu benar-benar
ada dan terjadi. Namun, ketika dia bangun hal itu tidak ada sama sekali. Karena
itu, Al Ghazali menggambarkan keidupam dunia ini bagaikan orang tidur, nanti
kalau di akhirat atau setelah mati mereka baru bangun dan sadar bahwa apa yang
di dunia ini semuanya berupa mimpi.
Pengetahuan intuisi ini banyak
mendaspat tantangan, terutama dari sifat objektivitasnya. Namun, perlu juga
diketahui pengetahuan ini terjadi pada beberapa orang terntenu dnegan pola yang
sama, sehingga bisa di anggap sebagai pengetahuan intersubjektivitas.
Pengethuan yang berdasarkan intersubjektivitas bisa dikategorikan sebagai pengetahuan ilmiah.
Menurut Mehdi Ha ‘iri yazdi,
pengetahuan dengan pencerahan itu dapat dianggap sebagi ebuah pengetahuan.
Sebab, pengetahuan korespondensi melibtakan objek diluar dirinya, sedangkan
pengetahuan dengan pencerahan menyadarkan bahwa pengetahuan tentang yang diluar
harus didahului dengan pengetahuantentang dirinya sendiri. tidak mungkin
seseorang mengetahui suatu objek diluar dirinya, tanpa mengethau terlebih
dahulu pengethauan ada dalam dirinya.
Pengetahuan dalama dirinya ini diperoleh berkat anugrah Tuhan, baik
sejak lahir amupun setelah dewasa. Kalau semua orang, demikian Ha ‘iri yazdi,
mengakui adanya pengetahuan tentang dirinya ‘mengetahui’ sebelum mengethaui
yang lain, maka pengetahuan iluminasi adalah
objek dan bisa diterima secara ilmiah.
Masalahnya kemudian adalah semua
bentuk pengetahuan itu – empirisisme, rasionalisme, dan iluminasionisme-
bersumber dari manusia yan g bersfiat relative. Relativitas itu tidak saja dari
pemikiran, tetapi juga perangkat yang di miliki manusia dalam memperloeh
pengetahuan, seperti daya pancaindra, akal, dan hati. Karena itu, tidak
mustahil ada zat yang lebih memiliki pengetahuan yang hakiki daripada manusia,
dan dia merupakan hakikat dan sekaligus sumber pengetahuan.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kebenaran
pertama-tama berkedudukan dalam diri si pengenal. Kebenaran di beri
batasan-batasan sebagai penyamaan akal dengan kenyataan, yang terjadi pada
taraf inderawi maupun akal budi tanpa pernah sampai kesamaan sempurna yang
dituju kebenaran dalam pengalaman manusia. Ilmu-ikmu empiris memegang
peranannya dalam usaha memegang kesamaannya itu. Dalm bidang ilmu-ilmu itu
sendiri pun kebenaran selalu bersifat sementara . Ilmu-ilmu pasti tidak
langsung berkecimpung dalam usaha manusia menuju kebenaran, tepatnya perjalanan
ilmu-ilmu itu merupakan suati sumbangan agar pengetahuan diluar ilmu-ilmu itu
makin lancar mendekati kebenaran.
Bahwa
subtansi kebenaran adalah di dalam interaksi kepribadian manusia dengan alam
semesta. Tingkat Wujud kebenaran dutentukan potensi subyek yang menjangkaunya.
Artinya fungsi-fungsi potensi subyek apriori tersedia sesuai dengan materi dan
tingkat kebenaran yang ada di dalam alam semesta dan metafisis.
3.2 Penutup
Demikianlah
makalah ini kami susun. Semoga dapat menambah pengetahuan dan bermanfaat bagi
kita semua. Kami menyadari
bahwa masih banyak kekurangan baik dalam penyusunan maupun penyampaian. Kritik
dan saran yang konstruktif sangat kami butuhkan untuk kesempurnaan makalah selanjutnya.
3.3 Daftar Pustaka
DAFTAR
PUSTAKA
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Agama Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia, Jakarta:
PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2012.
Kartanegara, Mulyadhi, Fenomena Filsafat Islam, Bandung: Mizan, 2005.
Rasjidi,
H.M., Filsafat Agama, Jakarta: Bulan
Bintang, 1994
http://www.ilmufilsafat.com/