MAKALAH
AGAMA DILIHAT DARI PENDEKATAN ANTROPOLOGI
Makalah ini diajukan untuk memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester UAS
pada Mata Kuliah Pengantar Studi Agama
Dosen:
Dr. Syaiful
Azmi, MA
Oleh:
NAMA: Jamiludin
NIM : 1112032100023
JURUSAN ILMU
PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS
USHULUDDIN
Universitas
Islam Negri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2013
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR…………………………………………………………………………………...….
i
DAFTAR
ISI……………………………………………………………………………………………....… ii
BAB
I PENDAHULUAN
1.1
Latar
belakang……………………………………………………………………………………...…..
3
1.2
Rumusan
Masalah………………………………………………………………………………..……. 4
1.3
Signifikasi
Studi…………………………………………………………………………………...…… 4
BAB
II PEMBAHASAN
2.1
Catatan-catatan Mengenai Studi Agama…………………………………………………..………… 5
2.2
Defenisi Agama........................................................................................................................................ 6
2.3 Ranah
Kajian Antropologi Agama........................................................................................................ 6
2.4 Pendekatan
Antropologis terhadap Agama……………………………………………………….… 7
BAB III
SIMPULAN
3.1
Simpulan……………………………………………………………………………….………………..... 8
3.2 Daftar
Pustaka………………………………………………………………………………………...…
8
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Berbagai
pertanyaan mengenai agama menjadi fokus di dalam antropologi sejak periode
awalnya, apakah kita meletakanya di abad ke-19 M dengan para pemkikir seperti
E.B Tylor, atau abad ke 18 M dengan Vico. Tentnya, hl itu adalah diatara
pertanyaan-pertayaan antropologis yang
paling besar dan sulit seperti pertanyaan mengenai peredaan, rasionalitas,
komunitas, modernitas, simbolisasi, makna, relativisme, mimesis, proyeksi,
mediasi, kekuasaan, tatanan, hierarki, harmoni, konflik, alienasi, cinta,
kemakmuran, martabat, koherensi estetika, kreatifitas, kesengan, reproduksi,
fertilitas, kedewasaan, kematian, motivasi, kesengsaraan dan penebusan.
Antropologi agama menunjuk kepada suatu penghubung yang unik atas moralitas, hasrat, dan kekuatan, dengan
jedikendalikan dan kemerdekaan, dengan duniawi
dan asketisme, dengan idealitas dan kekerasan, dengan imajinasi dan
penjelmaan, dengan imanensi dan transendensi yang merupakan sisi dunia
manusia yang berbeda dengan dunia makhluk lain.
Antropologi agama kontemporer bersumber
dari sejumlah sumber. Dari tradisi Amerika (Mahzab Boas), antropologi
menggambarkan sebuah pemahaman akan hubunngan yang erat antara agama, bahasa
dan sajak, dan pentingnya mengkonsultasikan dan memahami pengalaman para para
praktisi berbakat. Dari Durkheim, antropologi merupakan pemahaman atas fenomena
keagamaan sebagai sosial, begitu juga kaitan yang erat antara funsi dan makna
di dalam ritual dan representasi keagamaan, dan antara agama dan tatanan
sosial. Dari mazhab evolusionisme, antropologi meramu pertayaan akan
rasionalitas pemikira masyarakat primitive, sebuah pertanyaan yang berlanjut
menghidangkan diskusi tentang logika dan legitimasi dari bentuk tertentu
deklarasi atau praktek keagamaan. Dari mazhab evolusionis juga, dan secara
beragam di mediasikan oleh para ahli fenomenologis dan psikoanalisa, antropologi mengajukan pertanyaan berkenaan
dengan bobot relative pemikiran pengalaman inntelektual dan praktekny, rasional
dan irasionalnya, kesadaran dan ketidaksadaran didalam ranah keagamaan. Dari
Marx, antropologi focus kepada kekuasaan, alienasi, fetihisism, dan
mistifikasi. Dari Weber, antropolgi menjadi alat pemerhati aspek-aspek
agama-agama berbaisi kitab suci secara
kompertif, poisi agama dalam transisinya kearah modernitas, jaringn-jarinngan
antara agama dan basis-basinya dalam
tidakan ekonomi dan politik, dan akhirnya pertanyaan atas teodisi, teka-teki
dalam meletakan makna atau penganugrahan
dunia, kesengsaraan dan kematian. Semua pemikiran masa silam, yaitu dalam Plato
antara mimesis dan filsafat dalam diskusi aristoteles antara etika (etichs) dan
puisi (poetics) dan pada gambaran di dalam teks seperti Oedipus Job
mengenai takdir dan keadilan.[1]
Kebanyakan aspek vitalnya menjadi suatu
aliran gagasan bersumber dari beragam
tradisi keagamaan yang para antropologi pelajari selama ini. Tradisi tersebut
bukan hanya menyuplai beberapa istilah kunci yang kita selalu berkutat denganya
mislanya, totem, tabo, mana, karma nnamun juga pengalaman-pengalaman kita
dilapangan dan pelajaran-pelajran yang telah kita terima dari kawan berbicara kita yang telah
membentuk model kita bertanya dan menjawab berbagai masalah, dan telah member
pengaruh besar bagi karaktersitik resepsi kita atas berbagai teori yang telah disebutkan diatas.[2]
1.2 Rumusan
Masalah
Setiap penelitian pada awalnya karena adanya
masalah. Masalah penelitian timbul karena adanya tantangan, kesangsian, atau
kebingungan terhadap sesuatu hal ata permasalahan.
Penyusunan makalah ini berusaha menjawab pertanyaan yang dirumuskan
sebagai berikut atau terkait mengenai:
1.
Catatan-catatan Mengenai Studi Agama
2.
Defenisi Agama
3.
Ranah Kajian Antropologi Agama dan
4.
Pendekatan Antropologis terhadap
Agama
1.3 Signifikansi
Studi
Ilmu Antropologi sebagai
bagian dari ilmu-ilmu sosial telah mengalami perkembangan yang cukup signifikan
dengan adanya kontribusi berbagai penelitian yang dilakukan para Antropolog dan
para ahli ilmu sosial yang lain, khususnya sejak paruh kedua abad ke-20 M. Hal
ini tentunya membuat focus kajian Antropologi semakin kompleks dan mendalam
sehingga, seiring dengan perkembangan ilmu sosial yang lain, beberapa ilmu yang
menjadi cabang Antropologi semakin mengkokohkan urgensinya sebagai alat kaji
atas berbagai fenomena sosial dan budaya didalam masyarakat. Salah satu cabang
ilmu yang banyak mendapatkan perhatian para pakar ilmu sosial adalah
Antropologi Agama.
Cabang ilmu Antropologi Agama ini diyakini
oleh banyak pakar sebagai salah satu alat studi yang akurat dalam melihat relasi antara
agama, budaya, dan lingkungan sekitar sebuah masyarakat. Pasca-tragedi
penabrakan dua pesawat komersial American Airlines terhadap gedung World Trade
(WTC), senbuah pesawat komersial atas Gedung Departemen Pertahanan Amlerika
Serikat Pentagon, dan sebuah pesawat komersial yang jatuh disebuah dataran
kosong Amerika yang menyebabkan lebih dari 3000 orang tewas pada tanggal 11
September 2001, banyak orang,m baik para pakar ilmu sosial, agamawan,
politikus, dan masyarakat umum percaya bahwa abad ke-21 M ini adalah abad yang
akan menemmpatkan kembali agama sebagai salah satu sumber kekuatan yang akan
banyak memengaruhi kehidupan global. Berrbagai aksi kekerasan dan terror yang
mengatasnamakan agama telah memberikan indikasi bahwa paham radikalisme agama
sebagai akibat dari kebijakan ekonomi dan politik global yang tidak adil telah menjadi perhatian para
ahli ilmu sosial, bahwa pemahaman dan corak keagamaan sebuah kelompok atau
masyarakat sangat dipengaruhi oleh kondisi ideologi, politik, sosial, dan
budaya yang berkembang di dalamnya, tambahan juga latar historis awal mula
berkembangnya agama di tempat itu.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Catatan-catatan
Mengenai Studi Agama
Eropa
abad pertengahan bisa jadi menjadi
sebuah arena konflik dengan adanya ragam kepentingan politik dan keagamaan. Namun
tentunya, disana terdapat kesatuan keyakinan akan eksistensi Tuhan dan ,
lawanya, klaim-klaim sekuler. Pada zaman pencerahan (Enlightenment),
keyakinan-keyakinan dasar yang telah mengakar mengalami banyak gugatan. David
Hume (1711-76), mislanya berpendapat bahwa observasi empiric bisa menciptakan
basis ilmu etika (moral siences). Gugatan lebih mendasar diajukan oleh Ludwig
Feurbach (1804-1872). Baginya, agama Kristen hanyalah sebuah ilusi dan menjadi
objek kajian teologi dan filsafat ketimbang spekulasi metafisik berkenaan
dengan sifat-sifat Tuhan.[3]
Sementara
itu, meskipun ide-ide baru terkait dengan teologi ini lebih berani
diperdebatkan di kalangan intelektual, bahkan ide seperti deklarasi “kematian
Tuhan” yang dikemukakan oleh Friderich Nietzche (1844-1900), mayoritas penduduk
Eropa masih memepertahankan keyakinan dan nilai-nilai ajaran Kristen (atau
Yahudi) tradisional. Fenomena ini memperlihatkan bahwa ide-ide inovatif berkait
dengan sifat dasar agama yang dikemukakan oleh para sarjana abad ke-19 dan
ke-20 M hanya bisa dipahami bersebrangan dengan latar belakang agama formal.[4]
Charles
Darwin (1809-82) misalnya membublikasikan laporan kontroversialnya mengenai
evolusi manusia, The Descent of Man, tahun 1871. Laporan ini secara
terang-terangan membuyarkan ajararan dan doktrin agama tentang penciptaan
manusia. Di situ, Darwin secara tegas mengklaim bahwa manusia merupakan
keturunan apes dank arena itu tidak menyaksikan ruang bagi Tuhan dalam laporan
seleksi alam dan adaptasi spesies. Sementara gagasan Darwin tampaknya dianggap
sebagai penyebab konflik antara agama
dengan sains waktu itu, teori evolusi sosial (yang dikenal dengan
Sosial-Darwinisme) telah dan semkain dikembanglan secara mapan hingga tahun
1870an. Herbert nSpencer (1820-1903), mislanya, kemudian mengemukakan teori
bahwa segala sesuatu, benda hidup atau mati, bergerak dari bentuk yang paling
sederhana kepada bentuk kompleks yang lebihh beragam, dari homogeny menjadi
heterogen. Dalam The Principles of Sociology (187) Spencer mengembangkan
tesisnya mengenai evolusi universal.[5]
Spencer,
lebih jauh lagi, secara tegas berpendapat bahwa semua manusia, bagaimanapun
sederhananya teknologi yang dikembangkan, adalah makhluk rasional. Menurut
Spencer, agama berkembang dari observasi bahwa didalam mimpi jiwa bisa
meninggalkan raga. Mansuia karena itu memiliki aspek ganda, dan stelah matinnya
jiwa berlanjut muncul menjadi living descendents didalam mimpi-mimpi.
Hantu-hantu dari tokoh pendahulu tersebut pada akhirnya memperoleh status dewa.
Praktek menyajikan sesajen yang menyebar luas di gua-gua nenek moyang dan
member mereka makanan berkembangmenjadi ritual pengorbanan bagi dewa. Ritual nenek
moyang karena itu diangap akr dari setap agma.[6]
Antropologi
Inggris, Edward Brunett Tylor, yang menyumbangkan terminologi kuncinya bagi
antropologi agama, sepakat dengan teori evolusi sosial dan gagasan asal usul
agama dari mimpi tersebut, Namun, Tylor lebih suka menekankan peran jiwa (soul)
dalam catatan asal usul agamanya, yang akhirnya mengembangkan istilah animisme
untuk mendeskripsikan keyakian bahwa objek-objek berupa benda hidup atau
mati, begitu juga manusia, bisa memiliki sebuah jiwa.[7]
2.2 Defenisi Agama
Kebanyakan
defenisi agama sangat bergantung kepada konsep ketuhanan (divinity) atau hal
supranatural atau spiritual.[8]
Tylor, misalnya, berpendapat bahwa defenisi minimal agama adalah “kepercayaan
kepada wujud spiritual” (the belief in
Spiritual Beings).[9]
Di lain pihak, sebuah defensisi yang agak berbeda namun berpengaruh adalah
defenisi yang disodorkan oleh Antropolog Amerika kontemporer, Clifford Geertz,
yang sering dianggap mewakili pendekatan simbolik atas agama. Sarjana simbolis
melihat cara-cara dimana simbol-simbol dan ritual-ritual sebagai metafor bagi
kehgidupan sosial, ketimbang apa yang agama berusaha untuk menjelaskan. Geertz
mendefinisikan agama sebagai berikut:
“a system of symbol which acts to (2)
establish powerful, pervasive, and long-lasting moods and motivations in men by
(3) formulating conceptions of a general order of exsistence and (4) clhoting
these conceptions with such an aura of factuality thatbn(5) the moods and
motivations seem uniquely realistic.[10]
Di dalam
defenisi Geertz tersebut, kita tidak melihat adanya Tuhan atau dewa, begitu
juga tidak ada kekuatan-0kekuatan supernatural. Kita melihat bahwa Geertz
menggunakan model system. Layaknya budaya diamana agama menjadi salah satu
unsurnya, agama sendirinya adalah sebuah system. Namun dalam kasus ini, system
tersebut berisi simbol-simbol simbol-simbol. Simbola adalah sesuatua yang
membuat sesuatau menjadi penting ketimbang dirinya sendiri . Misalnya, dalam
sebuah kartun, awan hitam yang menyelimuti kepala sesorang adalah sebuah
coretan tangan, namun bermakna simbolik yang memberitahu kita bahwa orang itu
sedang tidak bersemangat.
2.3 Ranah
Kajian Antrpologi Agama
Jika ditelitik secara mendalam, sesungguhnya litreratur Antropologi
mengenai agama sangat beragam dan berjilid-jilid. Namun disana ada sebuah
prespektif umum yang menaungi keseluruhan literature tersebut, dan itu adalah
keyakinan bahwa prinsip-prinsip epistimologi dari metode ilmiah tidak bisa tau
seharusnya tidak boleh diaplikasikan pada kandungan keyakinan-keyakinan agama,
dengan landasan bhwa fenomena non-empiris pada divaarnya melampaui ruang
lingkup ilmu pengetahuan empirik.[11]
Evans-Pritchard menyodorkan sebuah formulasi dari posisi tersebut dalam
Theories of Primitive Religion:
He [the Antropologist] is
not concered, qua anthropologist, with the truth or falsity of religious
thought. As I understand the matter there is no possibility of his knowing
whether the spiritual beings of primitive religions or of any other have any
exsistence or not, and sience that is the case he cannot take the questions
into consideration.[12]
Mayoritas Antropolog sependapat dengan pernyataan Evans-Pritchard
bahwa, sebagai Antropolog, mereka tidak bisa atau tidak sehararusnya
menginvestigasi kebenaran atau kesalahan keyakinan-keyakinan keagamaan.
Tampaknya kebanyakan karya-karya Antropologis mengenai agama, jika tidak semua
dalam buku-buku teks Antropologi Kultural, pertanyaan akan kebenaran atau
kesalahan keyakinan agama diabaikan, sebagai gantinya mendukung
pernyataan-pernyataan yang berkait dengan fungsi dan dimensi sosial,
psikologis, ekologis, simbolis, estetis dan etik dari agama.[13]
2.4 Pendekatan
Antropologis terhadap Agama
Para
Antropolog generasi awal, seperti juga hampir semua sarjana abad ke-19, umumnya
adalah penganut mazhab evolusionis. Mereka mengaggap semua masyarakat manusia
bisa disusun secara berjenjang, seakan-akan seperti tangga escalator historis
yang besar. Menurut mereka, beberapa masyarakat, khususnya masyarakat para
sarjana itu, berada di tingkatan atas; yang lain berbagai peradaban bangsa
Eropa dan Asia yang “kurang maju” berada di posisi tengah; dan masyarakat
bersekala kecil yang primitive berada pada tingkatan bawah.[14]
Simak saja apa yang di kemukakan oleh
Sir James Frazer. Frazer menyodorkan sebuah
skema evolusi yangs sederhana, yaitu bahwa sejarah manusia melewati tiga
fase yang didominsai secara berurut oleh magic, agama dan ilmu.
Sementara itu, bersebrangan dengan Frazer,
Emile Durkheim menyadari bahwa pengambilan sampel-sampel dari seluruh dunia
tanpa memberikan pertimbangan yang cukup atas konteks orosionalnya adalah sebuah kesalahan dalam metode antropologis. Pengumpulan sampel-sampel atas
apa yang diperkirakanya memiliki fenomena yang sama, yakni hanya berfungsi
member suatu keyakinan selama orang menganggap bahwa semua itu adalah fenomena
yang sama. Kemudian, bertentangan dengan Frazer lagi, Durkheim menekankan studi
kasus tunggal dengan eksperimen yang dalam untuk menguak kebenaran universal.
Pendirianya ini, seperti dinyatakan oleh Conoly, telah membuat Durkehim
beranjak melampaui perhatian para sarjana eolusionis yang hanya focus pada
tingkatan dan mekanisme perkembangan historis.[15]
Di luar ini, ada juga Malinowski, salah
satu pendiri mazhab fungsionalisme dalam antropologi sosial. Malinowski meyakini
bahwa masyarakat harus dilihat dalam keseluruhan fungsinya. Pandanganya ini
ingin memberikan penegsan bahwa semua tradisi dan prakteknya harus dipahami
dalam konteks utuhnya manusia, anggota masyarakat tersebut. Bagi Malinowski,
adalah manusia tidak relevan menekankan gagsan evolusionis atas masyarkat
manusia yang mampu bertahan (survivals)
untuk menjelsakan segala hal. Karena itu, kata Malinowski, segala sesuatu yang
telah dilakukan manusia yang harus dijelaskan melalui perananya pada masa
sekrang; bahkan tradisi-tradisi yang tampaknya seperi sekedar sampah dari
peridoe yang lebih awal pasti memiliki sebuah fungsi dan fungsi tersebut adalah
penjelasan sebenar-benarnya bagi eksistensi mereka.
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Simpulan
Para ahli ilmu sosial memiliki
beragam cara dalam menganalsia agama dan fenomenanya yang berkembangdi dalam
masyarakat. Hal ini tentunya harus disikapi
dengganpemahaman historis yang memadai. Pada abad ke-19 M, misalnya,
masyarakat dan kebudayaanya memilki hirarki dan berkebang dari tingkatan
kebudayaan yang paling sederhana hingga kepada tatanan masyarakat yang lebih
kompleks. Pandnagan umum seperti ini
tentunya berakar pada paradigm
evolusionis yang tumbuh di kalangan masyrakat Barat yang “diklaim”
sebagai masyarakat yang telah mencapai tingkatan tertinggi. Teori besar ini
secara otomatids memengaruhi perkembangan teori-teori dalam hampir semua
analisa terhadaps semua aspek universal dari suatu kebudayaan masyarakat di
dunia. Aspek agama juga turut dipahami berdasarkan bingkai besar pandangan
evolusionis. Karena itu pengkajian terhadap
budaya, termasuk juga agama didalamnya, selalu bersifat general dengan
mengumpulkan data sebanyak mungkin dari berbagai masyarakat.
3.2 Daftar
Pustaka
·
Razak,Yusron, Nurtawaban,Ervan, “Antropologi
Agama” UIN Jakarta Press, Jakarta; Desember 2007
·
Kh,Maman, Ridwan,Deden, “Metodologi
Penelitian Agama” PT RAJAGRAFINDO PERSADA, Jakarta; Januri 2006
·
Ali,Abdullah, “Agama Dalam Ilmu
Perbandingan” Nuansa Aulia, Bandung; Mei 2007
[1] Drs. Yusron Razak, MA, Antropologi Agama. Hal.2
[2] Drs. Yusron Razak, MA, Antropologi Agama. Hal.2
[3] Drs. Yusron Razak, MA, Antropologi Agama. Hal.10
[4] Drs. Yusron Razak, MA, Antropologi Agama. Hal.2
[5] Drs. Yusron Razak, MA, Antropologi Agama. Hal.11
[6] Drs. Yusron Razak, MA, Antropologi Agama. Hal.11
[7]Drs.
U. Maman Kh., M.Si. Metodologi Penelitian Agama, Hal.93
[8] Drs. Yusron Razak, MA, Antropologi Agama. Hal.13
[9] Drs. Yusron Razak, MA, Antropologi Agama. Hal.13
[10]
Drs. U. Maman Kh., M.Si. Metodologi Penelitian agama, Hal.94
[11] Drs. Yusron Razak, MA, Antropologi Agama. Hal.14
[12]
(Evans-Pritchard 1965:17), Drs. Yusron Razak, MA,
Antropologi Agama. Hal.14
[13] Drs. Yusron Razak, MA, Antropologi Agama. Hal.15
[14] Drs. Yusron Razak, MA, Antropologi Agama. Hal.20s
[15] Drs. Yusron Razak, MA, Antropologi Agama. Hal.20