BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Sejarah
telah mencatat puncak kejayaan peradaban Islam dicapai pada masa Daulah
Abbasiyyah, namun sesudah itu, yakni setelah keruntuhan Daulah
Abbasiyyah akibat serangan tentara Mongol ke Baghdad, secara perlahan
peradaban Islam terus mengalami kemunduran. Puncaknya, menjelang abad 18 M,
peradaban Islam benar-benar mengalami kemunduran dan kemerosotan secara universal.
Bersamaan dengan itu, umat Islam di dunia mengalami nasib yang sangat buruk,
sebagai bangsa-bangsa yang terjajah oleh bangsa-bangsa Barat (Eropa).
Negara-negara yang dulunya merupakan wilayah kekuasaan Islam, pada saat itu
telah menjadi daerah jajahan bangsa-bangsa Eropa.
Kenyataan
bahwa ummat Islam sebagai bangsa-bangsa yang tertindas semakin diperburuk oleh eksploitasi
kekayaan Islam oleh bangsa-bangsa Eropa itu, sehingga umat Islam benar-benar
terpuruk pada posisi yang sangat lemah dalam segala aspek kehidupan. Kenyataan
semacam inilah yang barangkali telah mendorong para politisi, pemimpin dan
ilmuwan Islam pada masa itu, untuk mulai memperhatikan dan menyelidiki rahasia
keunggulan bangsa-bangsa Barat. Hal ini dibuktikan dengan pengiriman para
pelajar ke Eropa, penterjemahan buku-buku ilmu pengetahuan barat, dan
usaha-usaha penerapan konsep-konsep pemikiran barat ke dalam dunia Islam.
Usaha untuk
membangun kembali peradaban Islam dengan mengadopsi pemikiran barat tanpa
seleksi dan tanpa koreksi, ternyata tidak membuahkan hasil, bahkan membuat
ummat Islam semakin terpuruk dan terperosok di bawah kekuasaan bangsa-bangsa
Barat itu. Selain itu tentu saja ada faktor-faktor internal yang mempengaruhi
kemunduran ummat Islam. Para tokoh kebangkitan Islam menyebutkan empat sebab
utama kemunduran kaum muslimin. Pertama, erosi nilai-nilai Islam dan
tidak pedulinya pemerintah untuk menerapkan peraturan sosio-ekonomi dan etika
Islam. Kedua, sikap diam dan kerja sama lembaga ulama dengan pemerintah
yang pada hakikatnya tidak Islami. Ketiga, korupsi dan sikap zhalim
kelas penguasa dan keluarganya. Keempat, kerja sama kelas penguasa
dengan, dan ketergantungan pada, kekuatan-kekuatan imperialis yang tidak Islami
(Rahnema, 1998: 11). Kesadaran terhadap kenyataan tersebut medorong para tokoh
pembaharuan untuk mengobarkan semangat kaum muslimin, berjuang meraih kembali
kejayaannya.
Makalah ini
akan mengemukakan salah satu figur dan tokoh pembaharu dari Mesir, yakni
Al-Syaikh Muhammad Abduh. Selain riwayat hidup dan perjuangannya, akan dibahas
tentang ide-ide pembaharuan dan pemikirannya dalam berbagai aspek kehidupan,
dalam upayanya membangkitkan ghirah dan semangat kaum muslimin, untuk
merintis kembali kejayaan dan membebaskan diri dari penindasan bangsa-bangsa
Eropa.
1.2 Rumusan Masalah
Setiap penelitian pada awalnya karena adanya
masalah. Masalah penelitian timbul karena adanya tantangan, kesangsian, atau
kebingngan terhadap sesuatu hal atau permasalahan.
Penyusunan
makalah ini berusaha menjawab pertanyaan yang dirumuskan sebagai berikut:
1. Riwayat hidup dan perjuangan Muhammad Abduh
2. Ide-ide Pembaharuan dan Pemikiran Muhammad
1.3 Tujuan dan Penggunaan
Tujuan:
Seperti yang
tersirat pada rumusan masalah diatas, makalah ini bertujuan untuk :
Mengetahui
1. Riwayat hidup dan perjuangan Muhammad Abduh
2. Ide-ide Pembaharuan dan Pemikiran Muhammad
Kegunaan:
Diharapkan
makalah ini dapat meberikan manfaat bagi:
Mahasiswa khusunya, dan Dosen, hasil makalah
ini bisa menjadi masukan dan pengetahuan serta menambah wawasan bagi mahasiswa
khususnya dan dosen dalam memahami dan mempelajari Pemikiran Modern Dalam
Islam.
Khazanah Ilmu pengetahuan , hasil dari makalah ini, diharapakan bisa menjadi
sumbangan pemikiran bagi perkembangan
Ilmu pengetahuan.
1.4 Metode Penyusunan
Landasan
penulis dalam memperoleh kesimpulan yang
diharapkan, diperlukan metode yang tepat dalam penyusunan makalah. Metode yang
penulis gunakan dalam penyusunan makalah ini adalah studi pustaka, yaitu “suatu
usaha pengumpulan data dan informasi dengan
satuan bemacam-macam material
yang terdapat diruang perpustakaan dan media internet”.
Tentunya dengan harapan bahwa pengumpulan
data melalui studi pustaka yang penulis gunakan
dapat memperoleh teori-teori atau pendapat para ahli ilmu Pemikiran
Modern Dalam Islam tentang pembahasan di atas.
1.4 Manfaat Penulisan
Adapun
manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Sebagai salah satu bahan untuk menambah
wawasan tentang Ilmu pengetahuan
2.
Sebagai sumber Ilmu pengetahuan tentang
mata kuliah Pemikiran Modern Dalam Islam
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Riwayat hidup dan perjuangan
Muhammad Abduh
Muhammad Abduh lahir
pada Tahun 1849, tetapi ada yang mengatakan ia lahir sebelum tahun itu, yaitu
disekitar tahun 1845, di desa Mahillah (Mesir) dan wafat pada tahun 1905.
Ayahnya bernama Abduh Ibn Hasan Khairillah, mempunyai silsilah keturunan dengan
bangsa turki, dan ibunya mempunyai keturunan dengan Umar Ibn Khatab, khalifah
kedua ( Khulafaurasyidin).[1]
Bapak Muhammad Abduh menikah dengan Ibunya sewaktu merantau
dari desa ke desa itu dan ketika ia menetap di Mahallah Nasr, Muhammad Abduh
masih dalam ayunan dan gendongan ibunya, Muhammad Abduh lahir dan menjadi dewasa dalam lingkungan desa dibawah asuhan ibu bapak
yang tak adan hubunganya dengan didikan sekolah, teteapi mempunyai jiwa
keagamaan yang teguh. Muhammad Abduh disuruh belajar menulis dasn membaca agar
kemudaian dapat membaca dan mengahafalkan Al Quran. Setelah mahir membaca dan
menulis ia pun disaerahkan kepada satu guru untuk dilatih menghafal Al Quran ia
dapat menghafalnya dalam masa 2 tahun. Kemudian ia dikirim ke tanta untuk
belajar agama di masjid Syekh Ahmad di tahun 1862. Setelah 2 tahun belajar
bahasa arab, Nahwu, Sorof, Fiqh dan sebagainya, ia merasa tak mengerti apa-apa
tentang pemahaman ini, Muhammad Abduh mengatakan :
“Satu setengah tahun
saya belajar di masjid Syekh Ahmad dengan tak mengerti suatu apapun. Ini adalah
karena metodenya yang salah, guru-guru mulai mengajak kita dengan menghafal
istilah-istilah tentang nahwu dan fiqh yang tidak ketahui artinya. Guru-guru
tak merasa penting apa kita mengerti atau tidak mengerti arti-arti istilah
itu.”[2]
Metode yang di pakai
pada waktu itu ialah metode menghafal luar kepala. Pengaruh metode ini masih
terdapat dalam zaman kita sekarang terutama di sekolah-sekolah agama. Karena
tidak puas dengan metode menghafal luar kepala ini, Muhammad Abduh akhirnya lari
dan meninggalkan pelajarannya di Tanta. Ia pergi bersembunyi di rumah salah
satu pamannya tetapi setelah tiga bulan di sana di paksa kembali pergi ke
tanta. Karena yakin bahwa belajar itu tidak akan membawa hasil baginya, ia
pulang ke kampungnya dan berniat akan bekerja sebagai petani di tahun 1865
sewaktu ia baru berumur 16 tahun ia pun menikah.
Tapi nasibnya rupanya akan menjadi orang besar. Niatnya untuk
menjadi petani itu tak dapat diteruskanya. Baru saja 40 hari menikah, ia
dipaksa orang tuanya kembali belajar ke Tanta. Ia pun meninggalkan kampungnya,
tapi bukan pergi ke Tanta malah bersembunyi lagi di rumah salah satu pamanya.
Dan disini ia bertemu dengan seorang yang mengubah jalan riwayat hidupnya.
Orang itu bernama Syekh Darwisy Khadr, paman dari ayah Muhammad Abduh. Syekh
Darwisy Khadr telah pergi merantau keluar Mesir dan belajar agama Islam dan
Tasawuf (Tarekat Syadli) di Libia dan Tripoli. Setelah selesai pelajaranya ia
kembali ke kampung. Syekh Darwisy kelihatanya tahu akan keengganan Muhammad
Abduh untuk belajar, maka ia selalu membujuk pemuda itu supaya membaca buku
bersama-sama.[3]
Dengn bimbingan pamannya Muhammad Abduh kembali mencintai ilmu
pengetahuan dan kembali ke perguruan Tanta. Setelah belajar di tanta pada tahun
1866 ia meneruskan ke perguruan tinggi Al Azhar di Kairo, dan disinilah dia
bertemu dan berkenalan dengan Sayid Jamaluddin Al Afgani. Ketika Jamaluddin Al
Afgani datang ke Mesir pada tahun 1871 M. Untuk menetap di Mesir, Muhammad
Abduh menjadi muridnya yang paling setia. Ia belajar filsafat dibawah bimbingan
Al Afgani dasn dimasa inilah ia mulai membuat karangan untuk harian Al Ahram
yang pada saat itu baru didirikan. Pada tahun 1877 studinya di Al Azhar dengan
hasil yang sangat baik dan mendapat gelar alim. Kemudian ia diangkat menjadi
dosen Al Azhar di samping itu ia mengajar di Universitas Darul’Ulum. Karena
hubungannya dengan Jamaluddin Al Afgani yang di tuduh mengadakan gerakan
menentang Khadewi Taufik, maka Muhammad Abduh yang juka dipandang turut ikut
campur dalam persoalan ini dibuang keluar kota Kairo, tetapi setahun kemudian
di tahun 1880 M ia dibolehkan kembali ke ibu kota dan kemudian di angkat
menjadi redaktur surat kabar resmi pemerintah Mesir yang bernama Al Waqa’il
Mishriyah, yang dibantu oleh Sa’ad
Zaglul Pasya, yang kemudian ternyata menjadi pemimpin Mesir yang termasyhur.
Dengan majalah ini Muhammad Abduh mendapat kesempatan yang lebih luas menyampaikan ide-idenya,
melalui artikel-artikelnya yang hangat dan tinggi nilainya tentang ilmu agama,
filsaaafat, kesusastraan, dll. Ia juga mempunyai kesempatan mengadakan kritikan
terhadap pemerintah tentang nasib rakyat, dan pengjaran di mesir.[4]
2.2
Ide-ide Pembaharuan dan Pemikiran Muhammad Abduh
Pertama, aspek Kebebaasan, antara
lain: dalam usaha memperjuangkan cita-cita pembaharuannya, Muhammad Abduh
berbeda dengan gurunya Jamaluddin al- Afghanibyang menghendaki Pan- Islamisme
bahkan secara revolusi, akan tetapi Muhammad Abduh memperkecil ruang
lingkupnya, yaitu Nasionalisme Arab saja dan dititikberatkan pada pendidikan.
Kesadaran rakyat bernegara dapat di sadarkan melalui pendidikan, surat kabar,
majalah, dan sebagainya.
Kedua, aspek Kemasyarakatan, antara
lain, usaha-usaha pendidikan perlu diarahkan untuk mencintai dirinya,
masyarakat dan negaranya. Dasar-dasar pendidikan yang demikian akan membawa
kepada seseorang untuk mngetahui siapa dia dan siapa yang menyertainya. Dalam
hal perkawinan Muhammad Abduh pada dasarnya Monogami, sedangkan ayat 3 surat
an-Nisa membolehkan poligami di ikat dengan syarat adil yang tidak mungkin
dilaksanakan oleh seorang manusia.[5]
Ketiga, aspek Keagamaan, dalam
persoalan ini Muhammad Abduh tidak menghendaki adanya Taqlid, guna memenuhi
tuntutan ini pintu ijtihad selalu dibuka. Oleh karena itu tujuan pembaharuan
Muhammad Abduh disamping membebaskan dari taqlid adalah membuka kembali pintu
ijtihad, dengan bersemangat sehingga sampai berpendapat, bahwa zahir nash yang
bertentangan dengan akal manusia yang sehat. Dan wajarlah dari pendapat
tersebut, maka ia mengatakan bahwa agama dan ilmu tidak ada pertentangan,
al-quran bukan saja sesuai dengan ilmu pengetahuan tapi bahkan mendorong
semangat umat islam untuk mengembangkannya.
Keempat, aspek Pendidikan, antara
lain, Al- Azhar mendapat perhatian perbaikan, demikian juga Bahasa Arab dan
pendidikan pada umumnya cukup mendapat perhatiannya.
Menurut Muhammad Abduh Bahasa Arab
perlu di hidupkan dan untuk itu metodenya perlu diperbaiki dan ini ada
kaitannya dengan metode pendidikan. System menghafal di luar kepala perlu
diganti dengan system penguasaan dan penghayatan materi yang dipelajari. System
madrasah yang lama akan mengeluarkan ulama-ulama tanpa memiliki pengetahuan
modern dan sekolah-sekolah pemerintah yang tidak memiliki
pengetahuan-pengetahuan agama yang cukup. Untuk itu Muhammad Abduh menyarankan
menambah pengetahuan umum pada madrasah-madrasah dan menambah pengetahuan agama
pada sekolah-sekolah umum, sehingga jurang pemisah yang mungkin timbul antara dua
lembaga pendidikan itu akan dapat ditanggulangi.[6]
Disisi lain
tujuan pendidikan yang ingin dicapai Muhammad Abduh adalah tujuan pendidikan
yang luas, yang mencakup aspek akal (kognitif) dan aspek spiritual (afektif).
Aspek kognitif untuk menanamkan kebiasaan berfikir, dan dapat membedakan
antara yang baik dengan yang buruk, antara yang berguna dan yang membawa
mudharat. Aspek afektif untuk menanamkan akhlak yang mulia dan jiwa yang
bersih. Dengan pendidikan spiritual diharapkan moral yang tinggi akan
terbentuk, sehingga sikap-sikap yang mencermnkan kerendahan moral dapat
terhapuskan. Dengan tujuan pendidikan yang demikian, Muhammad Abduh
menginginkan terbentuknya pribadi-pribadi yang utuh, yang mempunyai struktur
jiwa yang seimbang, yang tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual tetapi
juga memiliki kecerdasan spiritual. Ia berkeyakinan jika akal dicerdaskan dan
jiwa dididik dengan akhlak agama, maka ummat Islam akan dapat berpacu dengan
Barat dalam menemukan ilmu pengetahuan baru dan dapat mengimbangi mereka dalam
kebudayaan (Lubis, 1993: 156).[7]
Kelima aspek Politik,
Pada usia 23 tahun, Muhammad Abduh
berkenalan dengan Al-Afghani, dan darinya ia belajar melihat agama dan ajaran
Islam dengan pandangan baru yang berbeda dari apa yang telah dipahami
sebelumnya. Oleh Al-Afghani ia dperkenalkan dengan karya-karya penulis barat
yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dan diperkenalkan pula dengan
masalah-masalah sosial dan politik yang tengah dihadapi oleh masyarakat Mesir
serta ummat Islam pada umumnya. Pada tahun 1880 Muhammad Abduh diangkat menjadi
pemimpin majalah resmi Al-Waqa’i Al-Mishriyyah, yang di bawah
pimpinannya berubah menjadi corong Partai Liberal (Sjadzali, 1993: 120).
Keterlibatannya dalam pemberontakan ‘Urabi Pasya menyebabkan dia diasingkan
dari Mesir pada tahun 1882. Pengasingan itu menyebabkan terhentinya karir
sebagai guru, tetapi dari tempat pengasingannya di Paris, semangatnya
melancarkan kegiatan politik dan dakwah kian bertambah, bukan hanya ditujukan
kepada masyarakat Mesir tetapi kepada penganut Islam di dunia. Bersama-sama
dengan Al-Afghani ia menerbitkan majalah dan membentuk gerakan yang disebut
dengan Al-‘Urwat Al-Wutsqa. Ide yang di sebarkan gerakan tersebut tetap
sama, yaitu mengobarkan semangat ummat
Islam untuk bangkit melawan kekuasaan Barat (Lubis, 1993: 116).[8]
|
BAB III
KESIMPULAN
3.1
Kesimpulan
Muhammad
Abduh kecil tumbuh sebagai anak yang cerdas tetapi terkesan agak malas belajar.
Hal ini karena rasa tidak puasnya terhadap metode pembelajaran pada masa itu,
yang pada umumnya hanya mengutamakan hapalan tanpa memperhatikan aspek
pemahaman. Pertemuannya dengan Syaikh Darwisy dan Jamal Al-Din
Al-Afghani dapat membangkitkannya
kembali semangatnya untuk belajar. Setelah menamatkan pendidikannya di Al-Azhar
pada tahun 1877, ia segera mengawali karirnya sebagai guru di almamaternya dan
di Dar Al-‘Ulum, lembaga pendidikan yang baru didirikan pada waktu itu.
Karena sikap politiknya yang dianggap terlalu keras oleh pemerintah Mesir, pada
tahun 1879 ia diberhentikan dari jabatan guru. Namun pada tahun 1880 segera diaktifkan
kembali oleh perdana menteri dan diangkat sebagai editor kepala pada surat
kabar resmi pemerintah Mesir Al-Waqai’u Al-Mishriyyah.
Keterlibatannya
dalam politik praktis (pemberontakan ‘urabi Pasya) menyebabkan ia diasingkan
dari Mesir pada tahun 1882. Dalam pengasingan semangat jihadnya semakin
membara, kegiatan politik dan dakwahnya tidak hanya ditujukan kepada rakyat
Mesir, bahkan kepada penganut Islam di seluruh dunia. Di Paris, bersama
Al-Afghani ia menerbitkan majalah Al-‘Urwat Al-Wustsqa. Ide dan semangat
gerakannya adalah, membangkitkan semangat ummat Islam di seluruh dunia untuk
melawan kekuasaan Barat. Ketika Majalah ini berikut organisasinya bubar, ia
segera kembali ke Bairut. Di sana ia menghentikan segala kegiatan politiknya
dan memusatkan perhatian dalam kegiatan mengajar. Setelah selesai masa
pembuangannya pada tahun 1888 ia segera kembali ke Kairo (Mesir), dan di sini
semangat jihadnya diwujudkan dengan memanfaatkan jabatan-jabatan yang
diterimanya untuk melakukan upaya-upaya pembaharuan dalam berbagai bidang
kehidupan. Jabatan terakhir yang diterimaya adalah sebagai Mufti Agung
di Mesir,dan dia menduduki jabatan ini higga akhir hayatnya pada tahun 1905.
Ide-ide
pembaharuan Muhammad Abduh pada dasarnya dilatarbelakangi oleh semangat
memerangi paham jumud yang mewabah dalam lingkngan kehidupan ummat Islam pada
waktu itu, dan semangat untuk melawan hegemoni Barat yang dianggapnya mengancam
eksistensi Islam di seluruh dunia. Menurutnya kedua hal itulah yang menjadi
penyebab kemunduran ummat Islam, dan jalan bagi kebangkitan Islam adalah
melawan kejumudan, meninggalkan taklid yang membabi buta, dan melawan kekuasaan
Barat dengan mendasarkan pada ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan
Sunnah RasulNya. Rasionalitas (penonjolan akal), menjadi ciri utama dalam
karya-karyanya, baik dalam penafsiran Al-Qur’an maupun ijtihad-nya dalam
berbagai lapangan kehidupan. Dia berpendapat bahwa ajaran agama (Islam) hanya
dapat dipahami melalui pembuktian akal (logika), dan kalaupun ada yang sulit
dipahami dengan akal tetapi tidak bertentangan dengan akal.
3.1
Daftar Pustaka
Asuni, H.M. Yusran, Drs., Pengantar Study Pemikiran Dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1995.
Nasution, Prof. Dr., Harun, Pembaharuan Dalam Islam (Sejarah Pemikiran Dan Gerakan), Bulan
Bintang, Jakarta, 2011.
[1] Drs.
Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran
dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 1995, hlm. 78.
[2] Prof.
Dr. Harun Nasution, Pembaharuan Dalam
Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta : Bulan Bintang, 2011) hlm 50.
Mengutip dari T. al-Tanahi, ed, Mudzakirat al- Imam Muhammad Abduh
(Kairo : Darrr al-Hilal, t.t.),hlm. 29.
[3] Prof. Dr. Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta :
Bulan Bintang, 2011) hlm 50. Mengutip
dari T. al-Tanahi, ed, Mudzakirat
al- Imam Muhammad Abduh (Kairo : Darrr al-Hilal, t.t.),hlm. 29.
[4] Drs. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 79.
[5]
Drs. Yusran Asmuni, Pengantar Studi
Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 1995, hlm. 80. Mengutip dari Syekh Muhammad Abduh, Tafsir al- Manar, IV, Darul Manar,
Mesir, 1373, hlm. 349.
[6]
Drs. Yusran Asmuni, Pengantar Studi
Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 1995, hlm. 82. Mengutip dari Dr. Harun Nasution, op. cit, hlm. 66.
[7] Mengutip dari artikel, Ribut Purwo Juono S.Ag., M.Pd.I, dengan
alamat blog : http://pembaharuan.islamidn.wordpress.com.
[8] Mengutip dari artikel, Ribut Purwo Juono S.Ag., M.Pd.I, dengan
alamat blog : http://pembaharuan.islamidn.wordpress.com.