Legitimasi
Agama
KETIKA AGAMA DIJADIKAN ALAT LEGITIMASI PENGUASA
A.
Pendahuluan
Agama untuk membius masyarakat, sebuah peryataan yang mungkin
asing ditelinga kita, tapi ini sebuah fenomena nyata yang dimana agama
dijaadikan instrumen oleh para penguasa untuk menindas rakyat atau pun
melangengkan kekuasaanya. Semasa orde baru fenomena serupa juga muncul, anehnya
lagi banyak mereka yang disebut ulama tanpa sadar dan tanpa penolakan telah
dijadikan tameng oleh penguasa untuk menjinakan umat islam agar tetap tenag
sekalipun berbagai tindakan kemungkaran telah terjadi.
Pertautan antar agama dengan Negara (kekuasaan) menjadi penting,
masalah ini terkait erat dengan enclave yang sebenarnya berbeda tapi
disatukan, diakomodasikan secara simultan. Agama yang secara doktrinal-dogmatis
memiliki otoritas pembenar akan ajaranya karena bersumber dari otoritas
wahyu sering kali terseret pada persoalan kekuasaan politik, ekonomi, dan
budaya. Sementara Negara yang secara doctrinal (dogmatis-politis)
memiliki otoritas untuk melakukn pembenaran terhadap kebijakan yang diambilnya,
berlaku “tidak adil” pada masyarakat. Hal tersebut terjadi karena Negara
mengangap bahwa kekuasaan atas kebijakan atau keputusanya perlu diakui
dan dijalankan oleh rakyat. Secara politis (kekuasaan), penguasa Negara akan
mendapat pengakuan secara wajar apabila penguasa memang memiliki “moral” yang
dapat dipertanggung jawabkan pantas dihormati, dn ditaati. Tetapi bila
kekuasannya tidak lagi dipercaya, diikuti, dan dilaksanakan oleh masyarakat,
penguasa biasanya berusaha sekalipun kadang dengan memaksa kehendak mencari
pembenaran atas kebijakan yang diputuskan untuk dapat dipercaya kembali.[1]
Menarik untuk dipesoalkan disini mengapa penguasa/pemerintah
kadang cenderung memakai agama sebagai pembenar terhadap kebijakannya, terlebih
agama mayoritas ?agama pun ahirnya dipolitisir demi kepentingan sesaat atas
nama kepentingan dan stabilitas.
B.
Rumusan Masalah
Agar makalah ini fokus pada topik yang diangkat maka penulis
merumuskan masalah sebgai berikut :
1.
Apa sebenarnya agama itu
dan apa funsinya?
2.
Apa yang dimaksud dengan
legitimasi?
3.
Bagai mana jadinya jika
agama dijadikan alat legitimasi penguasa?
C.
Pembahasan
1.
Pengertian agama dan
funsian agama bagi manusia dan masyarakat.
a.
Pengertia agama
Menurut kamus modern bahasa Indonesia dinyatakan bahwa agama
adalah kepercayan kepada kesaktian roh nenek moyang , dewa, dan tuhan.[2]
Menurut kamus umum bahasa Indonesia, agama adalah segenap kepercayaan kepaada
tuhan, dewa dengan kebaktian dan kuwajiban-kewajiban yang bertalian dengan
kepercayaan itu.[3]
Sedangkan ditinjau dari segi sosiologi, agama diartikan sebagai jenis sistem
sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berporos pada
kekuatan-kekuatan nonempiris yang dipecayainya dan didayagunakan untuk
keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat luas pada umumnya.[4]
Dari difinisi diatas yang dimana agama ditinjau dari segi
sosiologi dapat dijelaskan secara singkat dibawah ini.[5]
ØAgama disebut jenis sistem sosial.Ini hendak menjelaskan bahwa
agama adalah suatu fenomena sosial, suatu peristiwa kemasyarakatan suatu sistem
sosial dapat dianalisis, karena terdiri dari atas suatu kompleks kaidah dan
peraturan yang dibuat saling berkaitan dan terarahkan kepada tujuan tertentu.
ØAgama berporos pada kekuatan-kekuatan nonempiris, ungkapan ini
mau mengatakan bahwa agama itu khas berurusan dengan kekuatan-kekuatn dari
“dunia luar” yang di-“huni” oleh kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi dari pada
kekuatan –kekuatan yang lebih tinggi dari pada kekuatan maanusia dan yang
dipercayai sebagai arwah, roh-roh dan roh tertinggi.
ØManusia mendayagunakan kekuatan diatas untuk kepentingan sendiri
dan masyarakat sekitarnya.Yang dimaksud dengan kepentingan (keselamatan) ialah
keselamatan didalam dunia sekarang ini dan keselamatan di “dunia lain” yang
dimasuki manusia sesudah kematian.
b.
Fungsi agama bagi
manusia dan masyarakat
Pemahaman mengenai fungsi agama tidak dapat dilepas dari tantangan-tangan
yangdihadapi yang dihadapi manusia dan masyarakat.
Untuk mengatasi itu semua manusia lari kepada agama, karena manusia percaya
dengan keyakinan yang kuat bahwa agama memiliki kesanggupan yang definitive
dalam menolong manusia. Adapun fungsi agama sebagai berikut :[6]
1.
Fungsi edukatif
Manusia mempercayakan
fungsi edukatif kepada agama yang mencakup tugas mengajar dan tugas
bimbingan.Lain dari instasi (institusi profane) agama diangap sanggup
memberikan pengajaran dan otoritatif, bahkan dalam hal-hal yang “sakral” tidak
dapat salah. Agama menyampaikan ajarannya dengan perantara petugas-petugasnya
baik didalam upacara keagamaan, khotbah renungan (meditasi), pendalaman
rohani dll. Maupun diluar perayaan liturgis. Untuk melakukan tugas itu ditunjuk
sebuah fungsionaris seperti: syaman, dukun, kyai, pendadan, pendeta, iman,
nabi. Mengenai disebut nabi ini dipercayai bahwa penunjukan dilakukan oleh
tuhan sendiri. Kebenaran ajaran mereka yang harus diterima dan yang tak dapat
keliru., didasari ata kepercayaan penganut-penganutnya, bahwa mereka dapat
berhubungan langsung dengan “yang gaib” dan “yang sakral” dan mendapat ilham
khusus darinya.
Tugas bimbingan yang diberikan petugas agama juga dibenarkan dan
diterima berdasarkan pertimbaangan yang sama. Pengalaman dari masa ke masa
mengukuhkan dan membenarkan apa yang dikatakan diatas. Masyarakat mempercayakan
angota-angotanya kepada instansi agama dengan keyakinan bahwa mereka sbagai
manusia (dibawah bimbingan agama) akan berhasil menapai kedewasaan pribadinya
yang penuh melalui proses hidup yang telah ditentukan oleh hukum pertumbuhan
yang penuh ancaman dari situasi yang tidk menentu dan mara bahaya yang dapat
mengagalkannya melalui dari masa kelahiran dan kanak-kanak menuju kemasa remaja
dan masa dewasanya.
2.
Fungsi penyelamatan
Tanpa atau dengan
penelitian ilmiah, cukup berdasakan pengalaman sehari-hari, dapat dipastikan
bahwa setiap manusia menginginkan keselamatanna baik dalam hidup sekarang ini
mupun sesudah mati, usaha untuk mencapai cita-cita tertinggi (yang tumbuh dari
naluri manusia sendiri) tidak boleh dipandang ringan begitu saja.Jaminan untuk
itu mereka temukan dalam agama. Terutama agama mengajarkan dan memberika
jaminan dengan cara-cara yang yang khas untuk mencapai kebahagiaan yang
“terahir” yang pencapaiannya mengatasi kemampuan manusia secara mutlak, karena
kebahagiaan itu diluar batas kekuatan manusia (breaking points).Orang
berpendapat bahwa hanya manusia agama (home religiosus) dapat mencapai
titik itu, entah itu manusia yang hidup dalam masyarakat primitive, entah dalam
masyarakat modern.
3. Fungsi pengawasan sosial (social control)
Pada umumnya manusia,
pada zaman bahari entah dari zaman modern, mempuyai keyakinan yang sama, bahwa
kesejahteraan kelompok sosial khususnya dan masyarakat besar umumny tidak dapat
dipisahkan dari kesetiaan kelompok atau masyarakat itu kepada kaidah-kaidah
susila dan hukum-hukum rasional yang telah ada pada kelompok atau masyarakat
itu. Disadri pula (terkecuali kaum anarkis) bahwa penyelewengan terhadap
norma-norma susila dan peraturan yang berlaku mendatangkan mala petaka dan
kesusahan dan pada waktunya melemahkan fungsi masyarakat. Kenakalan remaja,
pembunuhan dari kualitas yang biasa hingga yang sadis, peperagan antar
bangsabdengan alat-alat penghancur yang mengerikan adalah beberapa
contoh yang membenarkan peryataan diatas. Maslahnya menjadi lebih sulit apabila
pelangaran kaidah moral itu dilakuakan oleh oknum atau instansi pemerintah yang
sah.Misalnya tindakan melanggar keadilan dan hak-hak azasi manusia, dalam
bentuk penindasan si lemah (baik dalam hal pengetahuan maupun kekayaan,
penahanan warga yang Negara yang salah kelewat batas, dlsb.
Oleh karena itu agama
merasa ikut bertanggung jawab atas adanya norma-norma susila yang baik yang
diberlakukan atas masyarakat manusia umumnya. Maka agama menyeleksi
kaidah-kaidah yang ada dan mengukuhkan yang bik dengan kaidah yag baik dan
menolak kaidah yag buruk untuk ditingalkan sebagai larangan atau tabu. Agama
memberi juga sangsi-sangsi yang harus dijatuhkan kepada orang yang melanggarnya
dan mengadakan pengawasan yang ketat atas pelaksanaanya.
2.
Legitimasi
Kata legitimasi menurut kamus ilmiah mempuyai arti
pembenaran/pengakuaan menurut hukum (atau perundang-undangan yang berlaku); hak
kekuasaan; bukti sah jati diri seseorag.[7]
Sedangkan menurut Bellah dalam buku “agama rakyat agama penguasa” menyatakan
bahwa legitimasi yakni sebagai suatu pengetahuan yang diobyektifasikan secara
sosial sehingga memungkinkan untuk menjelaskan dan menjustifikasi tertib sosial
yang ada, kemudian legitimasi (kekuasan dan otoritas politik) dikaitkan dengan
agama. Asumsi yang dipakai adalah bahwa meski agama bukan satu-satunya sumber
legitimasi , namun dalam sejarah ia merupakan instrument legitimasi yang
efektif dan menyebar.[8]
Oleh karena itu yang perlu diwaspadai kemudian adalah ketika agama itu hanya
sekedar dijadikan instrument legitimasi yang tidak menggambarkan realitas dan
kemaslahatan rakyat.
3.
Agama sebagai instrumen
legitimasi penguasa
Menarik untuk dikaji bersama ketika sebuah agama dijadikan
instrument legitimasi penguasa, terlebih agama mayoritas. Asumsi yang
mendasarinya adalah bahwa agama mayoritas secara defacto dapat
memberikan dukungan atas apa yang dipaksakan pada seluruh masyarakak. Hal
semacam ini akan terjadi ketika penguasa telah kehilangan kepercayaan diri
terhadap apa yang menjadi pijaan, sementara masyarakat menghedaki perubahan
sebuah tatanan yang lebih baik. Kecenderungan agama mayoritas dimanfaatkan oleh
penguasa politik karena dilihat masih memiliki potensi sebagai alat
justifikasi.Sehingga terdapat kekhawatiran dipihak penguasa politik ketika
masyarakat sudah tidak percaya terhadap kebijakan politiknya.[9]
Bila kita menoleh kebelakang/menengok sejarah, semisal kesultanan
pesisir jawa seperti yang diperlihatkan Amangkurat I, guna membunuh “daya
kritik” masyarakat berbasis religio politik santri di bawah penguasa nya,
beliau menempuh cara-cara kultural dan sekaligus dikawal dengan cara-cara
koersif.Penundukan atas kesultanan Jawa pesisir dengan pemakaian simbol-simbol
tradisional jawa lainya, adalah bukti penundukan mereka secara kultural.
Pemakaian simbol-simbol agama, sebagai sayidin panata gama kalifatullah,menyertai
simbol-simbol tradisional jawa lainya, adalah bukti penundukan merek secara
kultural. Pemakaian simbol-simbol agama tersebut tidak berkaitan dengan upaya
“pencerahan” bagi entitas rakyatnya yang distruktur oleh norma, nilai dan
ajaran islam. Kesan penundukan itu semakin kentara, setelah “pangeran-pangeran”
dari pendalaman jawa itu bersikap sensitif terhadap para pendakwa agama yang
mengorbarkan sikap kritis dalam memberi makna terhadap kekuasaan.Sikap kritis
itu yang ternyata dihadapi dan diselaisaikan degan jalan koersif.Pembunuhan
terhadap para pendakwah agamapun tak terelakkan, demi kelanggengan kuasa wibawa
mereka.
Waba’du, agama tetap muncul dalam ranah-ranah simbolik seperti yang
didefinisikan “sang pangeran”, namun agama disitu telah kehilangan daya kritis
dan kemampuannya dalam ispirasi dan jalan keluar menghadapi berbagai
penyimpangan dan praktek ketidak adila.Para pangeran itu lalu degan gampang
mengundang dan membawa para pendakwa ke “istana” nya.Pendakwah yang
mengkonstruksi agama tanpa daya kritis itu pun suka dengan undangan itu. Setiba
di “istana” tentu dengan berbagai bentuk halaqah atau forum, apakah
takbir akbar, pengajian akbar dan semisal lainya, mereka membacakan dalil-dalil
yang diambil dari sumber imperative agamanya, lalu berkhotbah, berfatwa
tentang segi-segi baik sambil mnyembunyikan sisa-sisa gelap dari langkag “sang
pangeran”. Dari kunjungan di istana itu tak jarang ditutup dengan doa pengharapan
demi tegaknya kuasa wibawa “sang pangeran”.[10]
Atas dasar kisah-kisah semacam itulah maka Robert Ackermann (1991)
berkesimpulan bahwa jika agama kehilangan daya kritisnya, pada hakikatnya agama
itu telah mati.[11]
Karena kisah-kisah semacam itulah pula makan Karl Marx (1818) bersikap
pesimistik terhadap agama. Agama dimata ilmuwan radikal asal trier jerman itu
kehilangan daya kritisnya, Karena dikonstrusi menjadi bagian dari superstruktur
masyarakat. Sebagai superstruktur, ia otonom, dengan menturutkan rasionalitas
dan kepentingannya sendir, dan biasnya tunduk kepada kemauan pemilik
kuasa wibawa, siapapun dia, apa pun namanya, klas feudal atau borjuasi. Dalam
kontek ini agama lalu digunakan sbagai sumber pembenaran tindakan, yang tidak
selalu berkaitan dengan upaya-upaya fungsionl meraih cita-cita bersama serta
pemecahan masalah-masalah kemasyarakatan dan kemanusiaan yang ada.[12]
Begitulah para pemegang kuasa wibawa itu, di mata marx agama
digunakan untuk membius masyarakat sehingga masyarakat tak sadarkan diri bahwa
kenyataan struktur telah membelenggu, mengendala, dan mengeksploitasi dirinya.[13]
Sehingga wajar kalau Karl Marx berujar agama adalah candu Rakyat. Sehingga
rakyat hanya dibawa dalan angan-angan dan cita-cita belaka.
Pada ahirnya agama hanya dihadirkan sebagai legitimasi dan
justifikasi kepentingan elit penguasa yang sedng memainkan suatu orde
politik.Agama-agama dihadirkan sebagai “kendaraan” aktor penguasa dan fungsi
agama sebagai sosial kontrol tak berlaku karena daya kritisnya telah hilang.
D.
Kesimpulan
Dari penjelasan makalah diatas, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut :
Þ agama diartikan sebagai
jenis system social yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berporos pada
kekuatan-kekuatan nonempiris yang dipecayainya dan didayagunakan untuk
keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat luas pada umumnya.
Þ Funsi agama bagi manusia
dan masyarakat ada tiga :
Ø Fungsi edukatif
Ø Fungsi penyelamat
Ø Fungsi pengawasan sosial
(social control)
Þ Menurut Bella legitimasi
yakni sebagai suatu pengetahuan yang diobyektifasikan secara sosial sehingga
memungkinkan untuk menjelaskan dan menjustifikasi tertib sosial yang ada,
kemudian legitimasi (kekuasan dan otoritas politik) dikaitkan dengan agama.
Asumsi yang dipakai adalah bahwa meski agama bukan satu-satunya sumber
legitimasi , namun dalam sejarah ia merupakan instrument legitimasi yang
efektif dan menyebar.
Þ Ketika agama menjdi alat
legitimasi penguasa, maka hakikat agama tersesebut telah mati, dan peran agama
sebagai pegawasan social tidak berlaku karena daya kritisnya telah hilang.
E.
Penutup
Demikian makalah yang dapat kami sajikan, sebagai manusia kami
tidak luput dari kesalahan, maka kritik dan saran konstruktif sangat kami
harapkan demi perbaikan makalah kedepan.Semoga bermanfaat bagi saya dan bgi
pembaca pada umumnya.Amiin.
F.
Daftar Pustaka
Abdullah, M. Amin, Studi Agama, pustaka pelajar,
Yogyakarta, 1997
Ahmad gausS, Melintasi Batas Agama, Gramedia, Jaakarta,
1998
Azzumardi Azra, Agama Dalam Intrepretasi Sosiologi,
Rajawali press, 1996
Fachry Ali, Golongan Agama dan Etika Kekuasaan, risalah
gusti, Surabaya,1996
Hendropuspito, sosiologi agama,gunung mulia: Yogyakarta,
1983
Muhaimin dkk, Kawasan dan Study Islam, kencana, Jakarta,
2005
Pius abdillah p, Kamus Ilmiah, arkola, Surabaya, 2005
WJS Poerwadinata, Kamus Umum Bahasa Indonsia, balai
pustaka, Jakarta. 1976
Zainudin maliki, agama rakyat agama penguasa, galang press,
Yogyakarta, 2000
Zuly Qodir, Agama Dalam Bayang-Bayang Kekuasaan, pustaka
pelajar, Yogyakarta, 2001