Kamis, 30 Oktober 2014
Minggu, 05 Oktober 2014
Zham Al Muzzammil - Manisnya Membaca Buku
MANISNYA
MEMBACA BUKU
Oleh : Zham Al Muzzammil
Kita
tahu bahwa mendengar yang namanya buku, pasti yang tergambar dalam benak pikiran kita sebelumnya adalah
tumpukan kertas yang didalamnya berisikan berbagai macam ilmu, atau ada
sebagian orang yang bila mendengar kata benda itu yaitu buku, malah mereka
seolah jijik, saking fanatiknya terhadap buku itu sendiri, disisi lain seolah kita dihadapkan dengan yang namanya berbagai
macam ilmu. Yang pada awalnya kita
melihat buku hanya sebatas bahan bacaan biasa saja, tanpa melihat dan merasakan
sesuatu yang beda setelah kita betul-betul mendalami bahan bacaan apa yang kita
baca itu, ternyata bila kita renungkan dan pahami lebih dalam lagi, didalam
buku itu sendiri banyak sekali menyimpan berbagai keajaiban, keajaiban yang
seperti apa? salah satu keajaibannya yaitu tahu atau mengetahui.
Banyak dari sebagian kita masih begitu tadi, yaitu jijik mendengar kata yang namanya buku karena apa, karena memang betul kalau kita
mau melihat isi dari buku itu sendiri terutama bagi masyarakat awam yang bisa
dikatakan jenjang pendidikanya tidak terlalu atas, yang tergambar oleh dirinya
yaitu hanya kerunyaman-kerunyaman yang ada dalam isi buku itu sendiri, tanpa
ditelaah lebih dalam lagi. Disisi lain budaya atau tradisi di Negara kita
Indonesia ini terutama tradisi membaca buku kurang begitu mentradisi, kita bisa
membandingkanya dengan Negara-negara tetangga seperti Malasyia, Singaphore,
Thailand dan Negara-negara tetangga lainya, begitu pula sangat jauh bila
diabndingkan dengan Negara-negara lain di dunia, Indonseia sangat tertinggal jauh
dalam tradisi membaca buku, mengapa demikian? Padahal kalau kita mau melirik
Negara kita tericnta ini yaitu Indoneisa, bisa dilihat luasnya wilayah Negara kita
yang total luasanya yaitu mencapai 5.193.250
km² (mencakup daratan dan lautan). Hal ini menempatkan Indonesia sebagai
negara terluas ke-7 didunia setelah Rusia, Kanada, Amerika Serikat, China,
Brasil dan Australia. Jika dibandingkan dengan luas negara-negara di Asia, Indonesia berada diperingkat ke-2. Dan jika dibandingkan dengan
negara-negara di Asia Tenggara, Indonesia menempatkan dirinya sebagai negara
terluas di Asia Tenggara. Bisa kita bayangakan, inilah negeri kita, negeri Indonesia,
Tapi apalah arti luas Negara bila penghuninya sendiri masih jauh dari tradisi
membaca.
Kenapa
Harus Membaca Buku?
Tentu, karena Nabi saja pada waktu oleh Allah Swt melaui perantara Malaikat
Jibril itu diperintahkan untuk membaca,
dengan membaca buku kita akan tahu bahkan mengetahui segala hal yang ada
didunia ini, mulai dari kehidupan manusia, hewan, tumbuhan bahkan dengan
membaca buku kita bisa mengeal lebih dekat siapa yang menciptakan alam jagad
raya ini, luar biasa bukan pentingnya membaca? Nah sekarang tunggu apalagi
setidaknya mari kita mulai membiasakan diri dalam hal membaca, dimulai dari
buku-buku yang ringan untuk dibaca aatau bisa koran-koran, majalah bahan bacaan
apapun itu, terlebih didalamnya berisiskan ilmu, intinya baca, baca dan baca.
Mereka saja yang sekrang bergelar sarjana, baik sarjana starta 1, 2 dan 3
bahakan sampai menjadi guru besar di masing-masing bidangnya atau menjadi
seorang Profesor tak lepas karena keuletan, kerajinan mereka dalam mebaca buku,
tidak ujug-ujung jadi seorang guru besar atau bahkan menjadi seorang professor
tanpa membaca buku, kembali lagi tugas kita pun yaitu usahakan sebisa mungkin
kita terbisasa dalam membaca buku, membaca buku bukan hanya khusus bagi
kalangan akademisi saja, tapi siapaun dan dari kalangan apapun berhak untuk
menjadi pembaca buku, yang denganya kita akan merasakan apa yang namanya
manisnya membacca buku.
Di
tulis : Senin, 06 Oktober 2014
Oleh : Zham
Al Muzammil ( Jamiluddin )
Rabu, 01 Oktober 2014
ZHAM SASTERA ( SEMANGAT JADI PENULIS! )
Ini bukan kali pertama saya
merasa bersemangat menulis kembali, tapi, kali ini terasa lebih dari biasanya.
Betapa pengaruh seseorang itu luar biasa dalam hidup. Bagaimana kita bisa
bangkit dari keterpurukan hanya karena kita masih ingat ada orang yang menyuruh
kita bangun, jangan menyerah! Hal seperti itu sama sulitnya seperti mencari
jarum di tumpukan jerami. Istilah yang nggak pas tapi saya pake juga.. He..
he..
Saya menangis. Entah
kenapa, saat sujud itu sempurna, butiran air mata melebur sudah membasahi
sajadah. Allah sudah sangat baik pada saya, karena telah mempertemukan saya
dengan orang-orang yang hebat. Mereka luar biasa, saya tak bilang satu orang,
tapi banyak orang di sekeliling saya. Saya bukan orang baik, sehingga merasa
tak pantas ketika bertatap muka dengan orang-orang cerdas dan berakhlak mulia
di luar sana. Bersyukurnya saya, karena semua ini sungguh bukan kebetulan. Ini
pengalaman luar biasa.
Saya memang mau jadi
penulis, ingin punya buku solo, tapi, jujur saja, setelah masuk, saya tak lagi
terburu-buru. Sangat menikmati proses. Saya belum bisa apa-apa. Masih pemula
yang dulu hanya senang menulis diary dan kini mulai lebih serius lagi. Dan,
pintu itu terbuka tanpa saya duga. Entah, saya merasa senang atau bingung
menanggapinya. Yang jelas, hati saya tak terlalu mempermasalahkan peluang itu,
tapi sedang bahagia dipertemukan dengan mereka. Semoga mereka menjadi jalan
untuk saya, supaya saya bisa berproses menjadi orang yang lebih baik.
"Menulis dari pagi,
siang bahkan sampai malam nggak tidur ketika semua orang di rumahmu sudah
terlelap. Sebenarnya apa yang sedang kamu perjuangkan?" kalimat serupa
yang dulu pernah saya baca, intinya begitu. Lho, anehnya saya merasa tak bisa
menjawabnya.
Padahal sejak dulu saya
tahu, saya mau menulis, saya mau punya buku, tapi pertanyaan itu seperti tak
bisa hanya dijawab sesederhana itu.
Saya merasa jadi orang
paling aneh di dunia. Kenapa juga bisa merasa bersalah saat membaca pertanyaan
itu, cerita-cerita saya yang penuh dengan bid'ah, kadang jelas nggak bermanfaat
tapi masih lanjut juga. Ah, bukan itu yang sedang saya perjuangkan. Bukan!
Buku
"Writerpreneurship!" milik pak Dwi Suwiknyo
benar-benar menyentak. Sempurna sudah saya menjawab pertanyaan yang sejujurnya
membuat sesak. Kenapa saya sampai sekeras ini berjuang? Demi apa? Kadang kalau
dipikir, uang pun tak pernah dirasa. Kalau hanya karena uang, mending
tinggalkan saja, capek-capek belum ada hasilnya.
Masih mending selonjoran
di rumah, santai daripada kebut pagi mengerjakan pekerjaan rumah, membereskan
semua dengan tergesa supaya saya bisa punya celah setelahnya, mengerjakan
tulisan yang masih biasa-biasa saja. Nggak mungkinkan karena satu alasan itu
yang bahkan bila ditinggal justru lebih terlihat.
Jadi karena apa? Karena
menulis itu berjuang. Bukan main-main. Bukan sekadar cerita romance, bukan pula
hanya komedi tak berarti. Ada banyak pesan yang hendak disampaikan, semata-mata
untuk perbaikan, semoga bermanfaat untuk orang lain. Bukankah menyenangkan
ketika buku yang kita tulis ternyata membuat seseorang lebih giat belajar,
lebih giat beribadah. Bukankah itu tak ternilai? bahkan menjadi amal akhirat yang
akan menolong kita kelak.
Saya banyak belajar dari
buku ini. Luar biasa menyentak. Tak banyak buku panduan menulis yang bisa
membangunkan saya, menyadarkan saya akan arti sebuah perjuangan. Saya tak ingin
mengkhianati mimpi sendiri. Saya harus terus berjuang.
Seperti kata pak Dwi
dalam buku beliau, "Sekali kau terlantarkan naskah novelmu, mendiamkannya,
tak 'menyentuhnya' selama berhari-hari. maka jangan menyesal jika kau tak akan
mampu lagi merampungkan ceritanya. Kau khianati sendiri impianmu!"
Mak jleb! Nelan ludah.
Saya kembali menulis di blog, apa pun ini. Setelah membaca buku itu, saya jadi
merasa perlu melakukannya.
Saya sudah tahu apa yang
saya perjuangkan, kalau kamu?
Di kutip dari : www.pesantrenpenulis.com
[] Oleh: Muyassaroh dari
sini.
*Buat kamu yang ingin pesan buku 'Writerpreneurship!' bisa pesan SMS / WA ke 0878 3291 2011 atau BBM 7E6636BF hanya Rp 65 ribu + tanda tangan penulis + free ongkos kirim ke seluruh wilayah Indonesia!
DIN SASTERA ( SAYA MENYESAL MENULIS )
Pembaca yang budiman, tidak ada yang salah pada mata
anda. Apa yang tertera di atas adalah rangkaian huruf yang tertata dengan benar
dan jelas. Anda pikir saya salah ketik. Tidak juga. Atau anda berpendapat itu
adalah judul yang provokatif. Bisa saja benar. Dan memang saya sengaja
memberikan judul seperti itu. Tujuannya agar anda tertarik untuk membaca
tulisan saya berikut ini.
Saya memang sangat menyesal menulis tidak dari
dulu. Karena manfaat menulis sangatlah besar. Dulu sekali saat saya masih duduk
di bangku sekolah, antara SD dan SMP. Saya adalah penggemar fanatik dari puisi.
Semua puisi yang ada di koran langganan ayah, saya gunting satu-persatu dan
untuk bahan koleksi. Saking cintanya pada puisi saya juga sering iseng-iseng
untuk menulis puisi di dalam buku tulis sekolah.
Menginjak bangku SMA kebiasaan mengoleksi dan
menulis puisi itu berhenti total. Saya tidak tahu apa penyebab utamanya,
sehingga kebiasaan itu berhenti. Bertahun-tahun saya tak lagi berkutat dunia
literasi. Membaca buku pun sangat jarang. Saya hanya membaca buku ketika
berhubungan dengan urusan akedemik di kampus. Bisa dibilang itu adalah sebuah
keterpaksaan atau sebuah tuntutan.
Hingga pada awal 2013 saya telah disadarkan oleh
sebuah buku yang sangat inspiratif yang berjudul “9 Summers 10 Autumns” buku
karya Iwan Setiawan. Di dalam buku itu berkisah tentang seorang pemuda miskin
berasal dari kota Batu Malang yang memiliki mimpi besar untuk membebaskan
keluarganya dari jerat kemiskinan melalui jalan pendidikan. Dari buku itu saya
belajar bahwa menulis adalah salah satu cara untuk melawan lupa. Dengan menulis
kita bisa menjadi pelaku sejarah. Melalui menulis kita bisa mengisahkan masa
lalu kepada orang lain tanpa harus berkoar-koar tidak jelas di depan mereka.
Simple saja, mereka akan mengetahui keberadaan kita dalam bentuk tulisan.
Tahu Andrea Hirata? Dia adalah penulis buku mega bestseller
Laskar Pelangi yang penjualan bukunya mampu menembus pasar mancanegara dan
diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa. Di dalam buku Andrea Hirata itu
mengisahkan 10 siswa miskin di daerah Belitong yang jatuh bangun dalam mengejar
mimpi melalui bangku pendidikan. Jika ingin diteliti lebih dalam, pasti masih
banyak kisah yang serupa yang dialami oleh orang lain di pelosok Indonesia
lainnya.
Bahkan bisa saja lebih parah dari yang dialami
oleh Andrea sendiri. Tapi yang membuatnya menjadi fenomenal, karena Andrea
Hirata menuliskan kisahnya itu. Sehingga banyak orang yang tergugah setelah
membacanya. Apa jadinya kalau Andrea Hirata tak menuliskan kisahnya itu. Maka
perjalanan hidupnya itu hanya akan menjadi sejarah yang dinikmati oleh Andrea
Hirata sendiri. Tapi menjadi berbeda ketika dia menuliskannya.
Masih kurang contoh orang yang sukses melalui
tulisan? Saya kasih sample lagi. Kenal Ahmad Fuadi? Dia adalah salah penulis
favorit saya yang bergenre islami. Dia adalah penulis buku Trilogi 5 Menara
(Negeri 5 Menara, Ranah 3 Warna, Rantau 1 Muara). Awalnya dia hijrah ke tanah
Jawa untuk masuk ke salah satu pesantren di sana.
Setelah berhasil melewati masa-masa jatuh
bangunnya di pesantren, dia melanjutkan kuliahnya hingga lulus. Kemudian
mendapatkan beasiswa untuk study ke Amerika Serikat. Padahal jika ingin
diselidik lebih dalam. Pasti banyak orang yang kisahnya jauh lebih hebat dari
beliau. Namun lagi-lagi yang kemudian menjadi faktor pembeda yakni Ahmad Fuadi
menuliskannya sementara orang lain tidak.
Karena hati dan pikiran telah terbuka kembali bahwa menulis itu
sangat penting. Maka sejak 2013 lalu saya putuskan untuk belajar menulis lagi.
Walaupun kualitas karya masih di bawah standard. Paling tidak saya telah
kembali ke jalan yang benar untuk mulai menulis lagi. Karena saya yakin menulis
itu bukan masalah bakat tapi itu karena faktor kemauan. Ketika niat telah kuat
untuk menulis. Apa pun hambatannya tak ada alasan untuk menelurkan karya.
Sebagai penutup saya akan mengisahkan sebuah
cerita based on true story. Bukan bermaksud riya’ atau apa ini hanya sebagai
pelecut semangat saja dalam berkarya. Begitu seringnya saya menulis dan
kadang-kadang mempostingnya di social media. Ada seorang teman yang mengatakan
saya adalah laki-laki lebay yang terlalu mendayu-dayu memposting sesuatu di
akun Facebook.
Saya pun tak menanggapi serius komentar teman
itu. Saya anggap itu adalah sebuah pembakar semangat agar terus berkarya.
Karena dia berkomentar seperti itu pastinya dia telah membaca karya-karya yang
saya posting sebelumnya.
Dan suatu ketika saya mendapatkan kiriman pulsa
dan juga paket dari pos yang isinya sebuah VCD berisikan lantunan puisi. Dan
teman bertanya “dapat dari mana?” Dengan bangga aku menjawab “Ini aku dapat
karena ikut lomba puisi di Facebook.” Kemudian dia hanya diam dan tak mampu
berkata-kata lagi. Walaupun hadiahnya tak seberapa. Paling tidak ada orang yang
telah mengapresiasi karya yang telah saya buat.
Maka dari itu menulislah. Karena sejarah tak
pernah tercipta jika penulis tak pernah ada!
Di Kutip dari : www.pesantrenpenulis.com
[] Oleh: RahmatSuardi
DIN SASTERA ( AGAR ANAK GEMAR MENULIS )
Kini,
dunia tulis-menulis menjadi lebih gegap gempita setelah dimasuki oleh
anak-anak. Publik pun mengapresiasi kehadirannya. Pemerintah, penerbit dan
media massa sudah banyak menerbitkan karyanya dan memberikan penghargaan atas
prestasinya. “Penulis Cilik” menjadi salah satu sebutan yang lumayan
membanggakan dan mulai impikan anak.
Lalu, bagaimana agar anak-anak bisa gemar menulis?
Suatu ketika saya dan istri menerawang jauh ke masa depan
anak-anak. Ketika itu kami sedang memikirkan profesi apa yang cocok bagi si
kembar cewek (Qonita dan Salma). Profesi yang baik bagi kehidupan dan
agamanya. Waktu itu kami belum kenal penulis cilik. Generasi awal penulis cilik
seperti Sri Izzati dan Faiz mungkin sudah ada, tetapi tidak setenar sekarang.
Lalu, saya dan istri mengaca pada diri sendiri. Kami
sama-sama lulusan perguruan tinggi, namun tidak bisa berbuat apa-apa untuk
mandiri. Kami tidak memiliki keterampilan dan pengalaman. Beberapa kali
berwiraswasta tidak menemui keberhasilan. Beberapa macam perkerjaan telah saya
jalani, dan umumnya hanya betah tiga tahun. Sedikit banyak akhirnya saya
memiliki pengetahuan mengenai lingkungan hidup, perikanan, akuntasi, agama
(pesantren), perdagangan dan penulisan-penerbitan. Sepanjang itulah saya mulai
mencoba-coba menulis. Satu-dua tulisan artikel dan buku berhasil diterbitkan.
Maka, muncullah ide untuk membekali si kembar dengan
keterampilan menulis. Ya, menulis. Menurut saya, menulis dapat menjadi sebuah
mainan, sarana belajar, dan sekaligus sarana untuk meniti kariernya. Betapa
tidak?
1. Menulis adalah sebuah mainan
Sejak kelas 2 SD (2004) si kembar mulai bermain dengan
peralatan menulis (pensil, buku, kertas, dll). Mereka juga menulis cerita di
salinan dokumen AMDAL untuk memanfaatkan halaman yang kosong. Menjelang kelas 3
mereka mulai menggunakan komputer. Pikir saya, bila rusak ya itulah mainannya
rusak, tak mengapa. Si kembar rupanya semakin senang menulis.
Mereka bermain (baca: berlatih) menyusun kata, kalimat dan
paragraf. Agar tidak terganggu, saya sengaja tidak memperkenalkan game. Sedangkan
facebook, multiply ataupun internert juga belum kenal. Mereka asyik dengan
permainan tulis-menulis. Mereka mendapatkan kebahagiaan tatkala dapat
menyelesaikan tulisan-tulisannya.
Bahkan, kegembiraan-kegembiraan yang dirasakan oleh penulis
dewasa, juga dirasakan oleh mereka. Seperti perasaan lega setelah berhasil
menumpahkan semua beban dan unek-uneknya ke dalam tulisan. Serta, perasaan
berharga bila dirinya mampu menghasilkan tulisan yang bermanfaat bagi umat
manusia atau teman-teman sebaya.
2. Menulis adalah sarana belajar
Bukan hanya bagi penulis cilik, menulis juga berguna sebagai
sarana belajar bagi penulis dewasa. Penulis belajar untuk menyelami dirinya
sendiri dan mengembangkan kepribadiannya, meluaskan wawasannya, melembutkan
hatinya, serta bisa belajar dari semua hikmah yang terpancar dari proses
baca-tulis dan hasil tulisannya.
3. Menulis adalah sarana untuk meniti karier
Setidak-tidaknya ada dua keuntungan bagi karier anak yang
gemar menulis, yaitu:
a) Sebagai penunjang profesinya
Tidak semua penulis cilik secara otomatis ingin mendalami
dunia kepenulisan. Mantan penulis cilik, Sri Izzati kini kuliah di psikologi
UI. Mantan penulis remaja, Hilmy kini kuliah di TI Telkom University, setelah
menolak tawaran saya untuk kuliah di Jurnalistik atau Sastra.
Namun yang jelas, kemampuan menulis anak akan menunjang
statusnya baik sebagai mahasiswa atau kelak bagi profesinya. Sebab, tak ada
satu bidang pun yang tidak memerlukan peran kepenulisan. Bahkan, kepakaran
seseorang lebih (tampak) terukur ketika dia mampu menuliskan bidang
kemampuannya dalam sebuah buku.
b) Sebagai penunjang profesinya
Kini, sudah tidak sepantasnya meragukan profesi penulis.
Sudah banyak orang memilih jalan menulis sebagai profesi. Kita patut ragu
apabila kita menjalaninya tidak serius. Kata pepatah Man jadda wa jadda
(siapa yang serius, dia yang jadi). Karena, memang tidak ada jaminan –gaji,
apalagi uang pensiunan—ketika kita bertekad memilih menulis sebagai profesi.
Dengan demikian, tidak perlu diragukan lagi
kelebihan-kelebihan anak yang gemar menulis. Apakah anak kita akan berprofesi
sebagi penulis atau tidak, yang jelas dunia tulis-menulis bisa dijadikan
sebagai dunia bermain, sarana belajar dan penunjang karier apabila mereka suka,
dan tanpa paksaan. Ini sebuah ikhtiar saya. Semoga bermanfaat. Salam.
Di Kutip dari :
www.pesantrenpenulis.com
[] Oleh: Hanjaeli
ZHAM SASTERA (MENULIS UNTUK BERDAKWAH)
Karenanya
menulis adalah sebuah proses panjang menuju goresan tinta yang tajam. Semakin
diasah, ia akan semakin tajam. Hingga bisa menghunus siapa saja lewat rangkaian
katanya. Maka sejatinya menulis bukan hanya sekedar merangkai kata tanpa makna.
Akan tetapi ada makna disetiap kata-kata yang akan merubah peradaban dunia.
***
“Tidak ada resep bagi
seorang penulis selain menulis sekarang juga!”
Itulah satu kalimat yang
saya temui dalam buku inspiring words for writer. Kalimat yang selalu
membuat kobaran api semangat dalam diri saya untuk selalu menuangkan apa yang
ada dalam pikiran saya. Gagasan, ide yang menggeliat-geliat dalam pikiran itu
seakan tumpah ruah dalam tulisan saya.
Saya sendiri juga tidak
tahu, kapan tepatnya saya mulai menyukai dunia literer. Yang jelas, seingat
saya, kala itu saya yang masih duduk dibangku SMP sedang gandrung dengan
buku-bukunya bunda Asma Nadia, bang Gol a Gong, bunda Afifah Afrah, bunda
Izzatul Janna dan sederet punulis ternama lainnya yang tergabung dalam Forum
Lingkar Pena.
Gaya bahasa yang ringan
segmen remaja, dengan muatan dakwah yang terselip didalamnya membuat saya
mengidolakan mereka. Dari situlah saya terinspirasi untuk menjadi seorang
penulis. Saya ingin berdakwah lewat tulisan saya. Karena saya tahu, saya orang
yang paling susah untuk berdialog didepan umum.
Namun perjalanan menjadi
seorang penulis tak semudah yang dibayangkan. Butuh waktu, butuh perjuangan
untuk bisa merangkai sebuah kata menjadi sebuah kalimat, paragraf hingga
menjadi sebuah karya tulis yang indah, penuh makna dan bisa diterima oleh
pembaca.
Awalnya saya hanya bisa menuliskan isi hati
saya dalam buku harian saya. Lambat laun akhirnya saya memberanikan diri
menulis artikel, cerpen yang sengaja saya tulis dibuku tulis. Karena pada saat
itu saya belum mempunyai laptop ataupun komputer terjelek sekalipun.
Tulisan yang tak pernah
jadi itu kemudian terbuang sia-sia. Karena ketidak beranian saya untuk mendapat
komentar atas tulisan yang saya buat. Pernah beberapa kali saya kirimkan ke
majalah sekolah (MIFTAH – media informasi MTs N Gresik) dan majalah Annida.
Namun tak pernah dimuat. Sekali lagi tak pernah dimuat!
Saya mulai putus asa!
Perlahan hoby membaca dan menulis saya mulai pudar seiring dengan kesibukan
saya di pesantren saat saya SMA. Akan tetapi saya teringat kembali sebuah kata
yang saya tulis dalam biodata singkat almamater smp saya dulu, be teacher,
writer and painter. Kata-kata yang akhirnya saya tuliskan kembali dalam
biodata alamamater sma saya, saya ingin menjadi seorang penulis buku best
seller!
Aah... apakah mungkin? Dari
mana jalannya? Bathin saya selalu bertanya-tanya. Entah dari mana datangnya,
tiba-tiba saya menemukan sebuah buku kumal yang terselip diantara tumpukan buku
mata pelajaran perpustakaan pondok. Buku inspiring words for writer
karya ustadz Fauzul Adzim inilah yang akhirnya membuat saya banyak termotivasi.
Di buku
itu diceritakan tentang bang Jhoni Ariadinata, seorang tukang becak yang biasa
mangkal di Malioboro yang hampir 500 kali tulisannya ditolak oleh media. Dan
berkat kegigihannya kini beliau menjadi penulis yang tak diragukan lagi
karyanya. Saya masih ingat, saya sering menemui tulisannya di majalah Annida,
dikolom dapur penulis.
Di
buku
itu saya diajari bagaimana seorang penulis pemula seperti saya ini, agar gigih
dan tidak pantang menyerah. Dan dibuku itu pula saya akhirnya tahu, bahwa
menulis bukan hanya persoalan merangkai sebuah kata menjadi kalimat yang indah
tanpa makna. Akan tetapi, saya diajarkan bahwa menulis adalah goresan tinta
yang tajam. Karena Ada makna disetiap rangkaian kata-kata yang mudah dipahami
oleh pembacanya.
Lewat buku itu Allah
memberikan ruh semangat yang tak pernah habis. Saya mulai kembali menulis.
Artikel perjalanan, cerpen, dan apapun yang berkeliaran dalam pikiran saya.
Tapi sayang, karena tidak berani mengirimkan kemedia, akhirnya tulisan itu
hanya memenuhi folder laptop saya dan sebagian hilang bersama rusaknya hard
disk laptop saya.
Alhamdulillah, dipetengahan
tahun 2013 silam Allah membukakan jalan untuk saya. Lewat sebuah pelatihan blog
yang diisi oleh ustadz Muclisin, owner blog bersamadakwa.com akhirnya tulisan
saya muncul dimedia. Dibaca banyak orang. Meskipun awalnya saya ragu, karena
yang saya setorkan kala itu hanya sebuah catatan perjalan. Namun berkat tips
dari ustadz Muchlisin, tulisan itu kemudian saya edit dan dimuat di bersama
dakwah.
Hingga kini, saya masih
terus menulis. Meski kadang dalam satu bulan saya hanya bisa menyetorkan satu
artikel lepas. Itupun kadang dimuat, kadang tidak. Dan sejak saat bertekad saya
akan terus menulis. Apapun profesi dan kesibukan saya, saya ingin melanjutkan
cita-cita saya menjadi seorang penulis.
Dari pengalaman saya itu,
ada satu hal yang saya selalu saya ingat! Dalam menulis kita harus berani
mencoba. Entah itu mengirim kemedia, ikut event kepenulisan atau sekedar meminta
teman untuk dibaca. Karena dari situ kita akan tahu letak kekurangan dan
kelebihan tulisan kita.
Alhamdulillah, karena
kenekatan saya, beberapa pekan lalu saya dihubungi oleh redaksi majalah pondok
alumni saya dulu. Tulisan saya dimuat dalam buku “indahnya hidup di
pesantren”
dengan beberapa alumni lain. semoga kedepannya bukan hanya di bersama dakwah,
akan tetapi akan ada artikel atau tulisan-tulisan saya lainnya yang nongkrong
disetiap kolom media lainnya. Hingga bertebaranlah dakwah saya ini. Karena
cita-cita saya adalah menjadi seorang da’iyyah yang berdakwah lewat
goresan tintanya.
Di Kutip dari :
www.pesantrenpenulis.com
[]
Oleh: Sri Hidayati Nur
ZHAM SASTERA (MENSTIMULUS HASRAT MENULIS)
Tidak ada orang yang ujug-ujug gemar menulis. Seseorang
pasti melaui proses panjang/pendek agar cinta menulis. Bila kita menginginkan
anak, teman, istri atau kita sendiri agar suka menulis maka kita harus tahu
bagaimana cara menstimulus hasrat menulisnya. Tanpa melakukan ikhtiar
ini, tapi langsung meminta atau bahkan memaksa anak/orang lain untuk gemar
menulis maka itu sebuah ‘penyiksaan’ yang bisa berdampak buruk.
Lantas, bagaimanakah cara menstimulus hasrat menulis yang
efektif?
Hasrat (menulis) amat berbeda dengan makan, tidur, dan
kebutuhan fisik lainnya. Kebutuhan fisik (hajatul-udhawiyah) muncul dari
internal tubuh. Manusia merasakan kebutuhan makan saat ia lapar sebab adanya
kebutuhan organ tubuhnya pada zat-zat yang terkandung di dalam makanan. Ia juga
merasakan kebutuhan akan tidur atau istirahat setelah iamengantuk, terlalu
lelah, dan organ tubuhnya tidak mampu berfungsi (baik) bila ia tidak tidur atau
istirahat.
Pemenuhan kebutuhan jasmani adalah sebuah keharusan. Kalau
tidak terpenuhi, akan mengantarkan manusia pada kerusakan dan bahkan berakhir
pada kematian. Orang yang lapar, misalnya, bila ia tidak makan terus-menerus
akan menyebabkan ia lemas, tidak bertenaga, dan lama kelamaan ia mati
kelaparan.
Adapun hasrat adalah naluri (gharizah), yang muncul
dari faktor eksternal. Misalnya, saat seorang pemuda melihat gadis cantik maka
bangkitlah rasa cinta terhadap lawan jenisnya, salah satu penampakan naluri
seksualnya. Ketika ia melihat mayat maka bangkitlah pemikirannya tentang
kelemahannya, salah satu penampakan naluri beragama. Begitu pula, ketika ia
melihat seorang penulis sukses dan mendapatkan harta yang banyak maka
bangkitlah rasa ingin untuk bisa meneladaninya, sebagai salah satu penampakan
naluri mempertahankan diri.
Pemenuhan kebutuhan naluri bukanlah suatu keharusan. Apabila
hal itu tidak terpenuhi, tidak menyebabkan manusia binasa atau mati. Kebutuhan
naluri (saat muncul) hanya akan bikin galau atau risau. Bahkan, kebutuhan
naluri bisa dialihkan dengan cara melupakannya atau sibuk dengan hal-hal lain.
Begitu pula, hasrat menulis bisa hilang bila kita mampu move on.
Sehingga, tidak menyebabkan apa-apa, tidak bikin pathek’en apalagi
binasa.
Karena itu, hasrat menulis bisa dibangkitkan dengan
menghadirkan rangsangannya. Semakin kuat rangsangannya akan menyebabkan semakin
tinggi hasrat menulis dan tingkat kegalauannya sehingga semakin besar
dorongannya untuk menulis dan terus berkarya.
Bila rangsangannya melemah atau menghilang, maka membuat
hasrat menulis kecil dan hilang pula. Tidak bikin galau ataupun loyo. Betapa
banyak orang berminat menulis, tapi ya sekadar minat. Tak lama kemudian mereka
dengan ‘bahagia’ melupakannya. Karenanya, menurut Arswendo,
seseorang tidak cukup sekadar kepingin menulis untuk dapat menghasilkan karya
(buku) tapi harus B3, yaitu Butuh Banget Berprestasi (need for achievement).
Dengan begitu, kita harus berikhtiar untuk terus menstimulus
hasrat menulis (bagi diri sendiri, istri/suami, anak, dsb) bila kesuksesan
melahirkan tulisan yang diinginkan. Ikhtiar yang bisa ditempuh di antaranya
adalah:
Pertama, suka ketemu penulis, baik secara personal maupun di
komunitas penulis. Stimulus paling efektif bagi anak agar gemar menulis adalah
teladan orangtua atau orang dekat lainnya. Selain kesukaannya meniru, seorang
anak juga akan mendapatkan bimbingan yang lebih baik dari mereka yang sudah
menulis. Bergaul dengan penulis dan segala interaksi di komunitas penulis juga
cukup efektif untuk menjaga kestabilan hasrat menulis, selain untuk memunculkan
isnpirasi dan mempertajam teknik menulis.
Kedua,
suka ke toko buku, perpustakaan dan bazar buku. Hasrat
menulis seseorang bisa tumbuh dari intensitas interaksinya dengan buku hingga
ia mencintainya dan ingin menciptakannya pula. Penulis sukses umumnya seorang
pembaca yang baik. Cintanya terhadap buku pada akhirnya diartikulasikan pada
buku pula melalui tulisan-tulisannya.
Ketiga, suka menghadiri momentum literasi seperti bedah buku,
penganugerahan hadiah kepada penulis terbaik (misalnya Khatulistiwa Literary
Award), konferensi penulis (cilik), Indonesia book fair ataupun Islamic
book fair. Faktor ini juga dapat memacu gairah menulis.
Keempat, menghadirkan segala sesuatu
lainnya yang dapat merangsang hasrat menulis, seperti tersedianya sarana
menulis yang menarik, pelatihan menulis yang mengasyikkan, adanya lomba atau tantangan menulis yang
menggiurkan, dan gemar membaca yang memberdayakan.
Demikianlah poin-poinnya. Tentunya masih ada hal-hal lain
yang senantiasa kita gali untuk menumbuhkan hasrat menulis. Bahkan yang
sifatnya ‘kebetulan’ juga ada, seperti kebetulan dapat pekerjaan di penerbitan
yang lama-kelamaan menjadi penulis (senang menulis). Kebetulan dapat istri/suami
penulis yang pada gilirannya ikutan menulis. Dan, kebetulan-kebetulan lainnya.
Namun, bilakah kita menunggu kebetulan? Sementara kita merasa jalan ini baik
bagi kita atau anak kita. Inilah sebuah ikhtiar menstimulus hasrat menulis.
Semoga bermanfaat. Salam.
Di kutip dari Web : www.pesantrenpenulis.com
[] Oleh: Hanjaeli
Langganan:
Postingan (Atom)