Agama untuk Perdamaian
Dunia (1)
|
Ditulis oleh Prof Azyumardi Azra
MA
|
Kamis, 07 Agustus 2014 09:04
|
Agama untuk perdamaian dunia? Subjek ini telah
sering dibahas dalam berbagai forum nasional, regional, dan internasional,
tetapi masih saja tetap relevan dikaji dan diperbincangkan. Hal ini tidak
lain karena pada kenyataannya di berbagai bagian dunia masih terjadi konflik,
kekerasan, terorisme, dan perang atas nama agama.
Kenyataan yang terus berlanjut ini seolah
memperkuat wajah agama yang terkesan ambigu sehingga menimbulkan skeptisisme
sebagian orang pada agama. Pada satu pihak, ada wajah agama yang mengajarkan
perdamaian, harmoni, dan hidup berdampingan di antara umat beragama yang
berbeda. Inilah sebenarnya inti dan pokok ajaran agama.
Ajaran agama seperti inilah yang dipegangi
mayoritas terbesar umat beragama. Bagian terbesar umat beragama adalah orang-orang
pencinta damai yang ingin mengabdikan dirinya melalui penyerahan diri
sepenuhnya (submission) kepada Tuhan untuk kemaslahatan diri,
keluarga, masyarakat, dan bangsanya.
Tetapi, pada pihak lain, ada wajah agama yang ditampilkan sebagian kecil penganutnya sebagai wajah yang sangar yang menampilkan ketidakrukunan, tensi, konflik, dan bahkan perang. Hal ini karena perbedaan yang ada di antara berbagai aliran dalam satu agama dan apalagi di antara agama berbeda cenderung dijadikan sebagai sumber pertikaian yang sering tidak berujung.
Memandang kedua kenyataan bertolak belakang
itu, perbincangan tentang peran agama untuk perdamaian sekali lagi tetap
relevan. Kelihatan atas dasar kenyataan itu pula Institute for Cultural
Diplomacy (ICD) yang berpusat di Berlin, Jerman, menyelenggarakan
"Madrid Symposium of Peace Building and Conflict Resolution".
Diselenggarakan pada pekan ketiga Ramadhan 1435 (15-17 Juli 2014) di Madrid,
Spanyol, simposium ini mengangkat subtema "The Promotion of
World Peace through Interfaith Dialogue and Global Political Discourse".
Penulis Resonansi ini
beruntung mendapat tugas dari Dubes RI di Madrid, Yuli Mumpuni Widarso, untuk
menyampaikan keynote address dalam Simposium Madrid
tersebut. Selain itu, Wakil Ketua DPD RI La Ode Ida juga menyampaikan makalah
kunci dalam simposium yang diselenggarakan di kampus Nebrija Universidad
Madrid.
Dari sekian banyak pembicara, salah satu yang
amat penting dicatat adalah mantan perdana menteri Spanyol Jose Luis
Rodriguez Zapatero. Terpilih dalam pemilu pascapengeboman di stasiun kereta
api Madrid (11 Maret 2004), Zapatero memulai pembicaraannya dengan imbauan
agar Israel segera menghentikan penggunaan kekerasan di Gaza.
“Uni Eropa harus memberikan tekanan terhadap
Israel sehingga memungkinkan terciptanya perdamaian di antara kedua belah
pihak." Selain itu, dia mengimbau agar PBB, OKI, dan juga Amerika
Serikat mengusahakan perdamaian yang adil.
Zapatero menyatakan, kekerasan dan terorisme
yang dilakukan kelompok radikal atas nama agama sama sekali tidak bisa
diterima. Bagi dia, semua agama mengajarkan perdamaian dan karena itu, “Semua
kita bertanggung jawab untuk menciptakan perdamaian. Umat Kristiani, Muslim,
dan Yahudi harus sama-sama berusaha menciptakan perdamaian dengan memperkuat
sikap saling menghormati dan hidup berdampingan secara damai. Dan pada saat
yang sama mengisolasi orang-orang dan kelompok ekstremis."
Menurut Zapatero, agama hampir sama dengan
ideologi politik yang dapat menimbulkan fanatisme dan radikalisme.
“Orang-orang yang memiliki fanatisme agama memercayai bahwa hanya mereka yang
memegang kebenaran; dan mereka tidak mau menerima pendapat dan kebenaran
orang lain."
Di sinilah Zapatero melihat peran krusial para pemimpin agama. Mereka memainkan peran penting mengajar para pengikutnya untuk saling menghargai, menghormati nyawa manusia, menjunjung tinggi keragaman dan kebebasan beragama. Pada saat yang sama juga mengutuk segala bentuk kekerasan. Dalam pandangan Zapatero, dialog di antara umat beragama merupakan satu-satunya cara untuk menciptakan perdamaian. Seluruh agama dan budaya harus terbuka untuk dialog. “Jika hal ini bisa diciptakan, perdamaian di Timur Tengah, misalnya, tidak lagi utopia."
Zapatero mengakui sektarianisme keagamaan yang
kemudian berpadu dengan konflik politik terjadi tidak hanya di Timur Tengah,
tetapi juga di kawasan lain di muka bumi ini termasuk di Eropa. Bahkan, Eropa
memerlukan waktu berabad-abad untuk dapat menegakkan demokrasi dan
perdamaian.
Menyambut keynote speech Zapatero, Dubes RI Yuli Mumpuni mengangkat realitas Indonesia sebagai sebuah negara yang menghormati keberagaman melalui prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Selain itu, Indonesia memiliki pengalaman panjang dalam dialog intra dan antaragama.
Merespons pernyataan Dubes Yuli Mumpuni,
Zapatero yang sudah dua kali mengunjungi Indonesia menyatakan kekaguman dan
respeknya pada Indonesia. Dia sangat menghargai Indonesia dengan
keragamannya, kebebasan beragamanya, dan tingginya kedudukan perempuan.
“Indonesia memiliki budaya yang hebat dengan
segala keragamannya. Sedangkan Eropa pada dasarnya homogen yang ternyata
malah mudah mengalami fragmentasi. Padahal, masyarakatnya memeluk agama yang
pada dasarnya sama," ujar Zapatero.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar