a.
Bias Gender di dalam Talmud
Talmud secara literal berarti “pelajaran”,
menjadi istilah bagi koleksi rekaman diskusi-diskusi dan administrasi hukum
Yahudi oleh para ulama dan ahli hukum Yahudi dari berbagai disiplin ilmu, dari
tahun 200 sampai 500 SM. Dalam sejarah Yahudi dikenal dua macam Talmud, yaitu
Talmud Babilonia dan Talmud Palestina atau Yerusalem. Kedua Talmud ini
mempunyai banyak persamaan, antara lain terdiri atas dua bagian pokok, yakni Mishnah,
berisi hukum-hukum secara lisan atau semacam hukum adat yang mengikat
kepada umat yahudi, dan Gemara yang merupakan penafsiran dan penjelasan
tambahan terhadap Mishnah. Talmud Babilonia ini memuat berbagai cerita
rakyat, dan Talmud inilah yang paling banyak tersebar di berbagi wilayah.
Dalam Talmud ini seringkali diceritakan
tradisi orang-orang Yahudi serta hukum-hukum yang ada, termasuk cerita
penciptaan perempuan dan penyebab keluarnya Adam dari surge karena godaan Hawa.
Cerita-cerita seperti inilah yang melahirkan faham missoginis (pembencian
perempuan oleh laki-laki). Riffat Hasan pun berkomentar bahwa ajaran Yahudi
memberikan citra negative terhadap perempuan, karena menganggap perempuan
sebagai penyebab utama terjadinya dosa warisan Keberadaan
perempuan dalam kehidupan masyarakat Yahudi sejak dahulu selalu direndahkan.
Hal ini karena isi dari kitab Talmud sangatlah bias gender. Dalam kitab ini,
perempuan dianggap sebagai pendosa besar, karena telah menggoda Adam untuk
memakan buah yang sudah dilarang untuk dimakan hingga ia tergoda dan membuat
Adam diturunkan dari surga. Hal ini yang menjadi anggapan dari orang-orang
Yahudi untuk mewariskan dosa turunan ini pada perempuan. Perempuan selalu
menjadi jenis kelamin kedua (the second sex) dalam setiap literature-literatur
Yahudi. Perempuan dalam agama Yahudi direndahkan dan dihina luar biasa.
Laki-laki akan selalu mendapat tempat sebagai penguasa, mereka pun berhak dalam
menentukan nasib anak-anak perempuan, saudara perempuan, bahkan isteri ayahnya
pun akan ada ditangan anak laki-laki. Ayah bahkan diperbolehkan untuk menjual anak
perempuannya untuk dijadikan sebagai pelayan atau budak jika dalam keadaan
mendesak seperti kesulitan ekonomi. Disini amatlah jelas bahwa agama yang
paling merendahkan perempuan adalah Yahudi.
Anehnya
hal ini pun terdapat pula dalam pandangan para penafsir al-Qur’an yang
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan pandangan missoginis, entah karena para
penafsir ini sangat patriarki atau karena hal lainnya. Padahal Allah sendiri
tidak pernah membeda-bedakan kedudukan perempuan dan laki-laki dalam kitab
al-Qur’an.
b.
Citra
Perempuan dalam Tradisi Yahudi
Perempuan dalam
agama Yahudi kedudukannya sebagai makhluk sosial tidak pernah dianggap
keberadaannya. Hal ini bisa kita lihat dlebih jelas lagi dari sejarah. Perempuan
akibat dosa turunan yang melekat padanya turut pula melekat pada masyarakat
modern sampai sekarang. Tradisi yang menyebutkan bahwa perempuan saat masa
haidnya sangatlah kotor, sampai-sampai fasilitas yang ada padanya dibedakan
dengan orang lain. Mereka yang sedang haid tidak boleh disentuh atau pun
didekati sedikit pun, apa pun yang disentuh olehnya akan dianggap najis.
Bahkan hak-hak perempuan dalam agama Yahudi tidak
memiliki hak sama sekali, bahkan hak untuk hidup. Keberadaan mereka tidak
pernah diinginkan sama sekali, karena dianggap sebagai penggoda saja. Dalam
tradisi Yahudi perempuan bisa dan bahkan boleh untuk diperjualbelikan sebagai
budak oleh ayahnya sendiri. Apabila suaminya telah meninggal pun ia boleh
diwariskan kepada saudara laki-laki suaminya, dan akan menjadi pelayan dari
saudara laki-laki suaminya tersebut.
Dalam Exodus disebutkan, ‘Jika seorang laki-laki
menjual anak perempuannya untuk dijadikan budak, maka anak tersebut tidak dapat
diperlakukan seperti budak-budak lainnya.’ Artinya, anak perempuan tersebut
tidak bisa ditebus kembali maupun dibebaskan, tapi harus tetap menjadi budak
selamanya. Dia tidak hanya dijual, tapi juga dipastikan menjalani perbudakan
selamanya.Begitulah realitas yang terjadi dalam agama Yahudi, perempuan dihina,
dicaci, bahkan dianggap najis.
c.
Teologi Feminis dan Rekonstruksi
Peran Perempuan dalam Kehidupan Masyarakat
Yahudi
Dalam
pemahaman para feminis Yahudi, mereka bisa saja menganggap Talmud memanglah
sangat bias gender. Tapi mereka juga tidak bisa menolak hal tersebut, karena
penyusun dan penafsir-penafsir Talmud sendiri merupakan laki-laki yang sangat
berpaham patriarkhi. Perempuan-perempuan Yahudi pun tidak dapat menolak
penafsiran-penafsiran patriarki tersebut. Karena mereka sendiri tidak
diperbolehkan untuk mempelajari Perjanjian Lama. Terbukti dengan masih
berlakunya penindasan terhadap perempuan dalam Yahudi, dan perempuan akan
selalu dianggap sebagai jenis kelamin kedua setelah laki-laki.
Hukum
Yahudi yang berhubungan dengan perempuan tetap tidak berubah hingga sekarang,
dan memasukkan peraturan dan ketetapan berikut ini mengenai perempuan: “Seorang
perempuan harus dianggap kotor begitu dia merasa bahwa masa dating bulannya
hamper mulai, meskipun tidak ada tanda-tanda yang jelas. Bahkan suaminya tidak
dibolehkan untuk menyentuh barang-barang yang disentuh isterinya ketika
isterinya sedang haid.”
“Seorang
perempuan yang melahirkan anak dijauhkan karena dianggap kotor. Jika dia
melahirkan anak laki-laki, dai akan tetap kotor selama 7 hari. Di lain pihak
jika dia melahirkan seorang anak perempuan, dia akan tetap kotor selama 14
hari. Jika anaknya laki-laki, dia tidak boleh mandi selama 40 hari dan 80 hari
jika anaknya perempuan.”
Peraturan-peraturan
ini sangatlah jelas menunjukkan betapa hinanya kaum perempuan dalam agama
Yahudi. Mereka menganggap kaum perempuan sebagai sumber dosa dan cabul serta
busuk. Hal ini juga menunjukkan sejauh mana agama Yahudi telah berubah dan
menyimpang selama berabad-abad untuk mendapat “persetujuan” masyarakat modern
Kesimpulan
Dari
pembahasan ini kita dapat mengetahui tradisi asal kenapa perempuan selalu
dianggap rendah, karena sebelum datangnya Islam, ada agama Yahudi yang
diturunkan kepada Bani Israel yang terkenal dengan tradisi patriarkinya.
Cerita-cerita tentang penciptaan perempuan dan dosa yang dilakukan Hawa
terhadap Adam ini terdapat dalam Perjanjian Lama (Talmud). Hal ini juga melekat
dalam ajaran agama Kristen dalam Perjanjian Baru yang sekarang disebut Injil.
Hal tersebut melekat dalam kultur sosial masyarakat yang terpengaruh kedua
agama itu. Kemudian terus berkembang hingga datangnya Islam, tapi cerita ini
pun tak kunjung hilang, justru dipakai juga dalam menafsirkan ayat-ayat
penciptaan manusia dalam al-Qur’an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar