Politik Perempuan Dalam Perspektif Islam
Oleh:
Hanif Ahmad Ansharullah (108034000004 | TH 2008)
“Kesempatan kita mengubah sistem yang ada saat ini melalui jalur politik. Jalan inilah satu-satunya yang bisa mengembalikan republik ke tangan rakyat. Bukan dengan melulu berceloteh, berkeluh kesah, atau menangisi nasib saja.”
“Memang kan tidak ada perjuangan yang mudah, kalau mudah bukan perjuangan namanya, tetapi dibalik perjuangan pasti ada hasil yang baik, apalagi yang ingin kita rubah adalah sistem, kita kan mau mengembalikan kekuasaan kerakyatan dan menentang kekuasaan yang tamak”
Demikian
seruan yang diungkapkan oleh Rieke Diah Pitaloka[1],
Melalui surat terbukanya, ia menyerukan bahwa Hari Perempuan
Sedunia ini merupakan momentum perjuangan perempuan Indonesia, ia mengajak kaum
perempuan untuk bangkit dan berjuang, terutama di ranah politik. Karena
menurutnya keterlibatan perempuan dalam penentuan kebijakan di pemerintahan
amatlah minim, tidak hanya di Indonesia tapi di dunia. “Kita masih
terjebak dalam stigma bahwasannya perempuan memiliki keterbatasan ini dan itu,
bukan hanya di Indonesia tapi juga dunia. Padahal dalam berbagai peristiwa
banyak tokoh perempuan yang berhasil mematahkan stigma tersebut.”
Benar
bahwa sistem yang diterapkan saat ini, yaitu sistem kapitalis adalah sistem
yang rusak, coba kita lihat, secara fakta yang ada; pemerkosaan, pelecehan,
dsb., dan tentu saja harus dirubah, tapi diganti dengan sistem yang benar,
yaitu Islam. Dan perjuangan untuk mengubahnya harus dilakukan bersama-sama oleh
laki-laki dan perempuan dengan beraktivitas politik. Hanya saja yang
harus dicermati adalah apakah ketika hendak menyelesaikan masalah yang ada
sekarang, jalan yang harus ditempuh adalah dengan menduduki posisi di
pemerintahan atau kekuasaan ? Inilah yang akan kita bahas, bagaimana sebenarnya
peran perempuan dalam menyelesaikan permasalahan umat seharusnya.
Sebagaimana
telah kita pahami bersama bahwa perempuan—disamping sebagai hamba Allah, ibu
dari anak-anaknya, istri dari seorang suami, serta anak dari
ayah-bundanya—adalah bagian dari masyarakat sebagaimana halnya laki-laki.
Keberadaan keduanya di tengah-tengah masyarakat tidak dapat dipisahkan satu
sama lain, tetapi merupakan satu kesatuan yang utuh, karena keduanya
bertanggung jawab mengantarkan kaum Muslim untuk menjadi umat terbaik di dunia
ini. Ini merupakan salah satu aktivitas politik yang harus dilaksanakan baik
oleh laki-laki maupun perempuan secara bersama-sama dan berkesinambungan.
Tidak
dapat dipungkiri, bahwa selama ini terdapat kesalahpahaman terhadap aktivitas
politik perempuan. Sebagian memandang bahwa keterlibatan perempuan dalam dunia
politik dianggap tidak layak dan melanggar fitrah, seakan-akan politik bukan
milik dan bagian perempuan. Pasalnya, dalam kacamata mereka, politik identik
dengan kekerasan, kekuasaan, kelicikan atau tipu daya yang hanya pantas menjadi
milik laki-laki saja atau bahkan dianggap tidak ada hubungannya dengan Islam.
Pandangan seperti inilah yang akhirnya membuat Muslimah tidak mau berpolitik.
Alih-alih melakukan aktivitas politik, memikirkannya pun mereka tidak mau.
Akhirnya, kaum perempuan hanya mencukupkan diri untuk memikirkan dan
beraktivitas dalam urusan dirinya, anak-anaknya, dan keluarganya. Pada saat
yang sama, mereka tidak mau peduli dengan apa yang terjadi di lingkungan
sekitarnya.
Sebaliknya,
sebagian yang lain berpendapat bahwa justru perempuan harus berkiprah dan
berperan aktif di segala bidang, sama dengan laki-laki tanpa pengecualian,
termasuk dalam bidang politik. Hanya saja, politik yang mereka maksud terbatas
pada aspek kekuasaan dan legislasi saja. Artinya, aktivitas politik mereka
senantiasa diarahkan pada upaya untuk meraih peluang sebesar-besarnya untuk
duduk di jabatan kekuasaan atau legislasi. Hal ini didukung oleh asumsi, bahwa
jika kekuasaan ataupun penentu kebijakan bukan perempuan atau minoritas
perempuan, suara perempuan tidak akan didengar dan diperjuangkan. Akibatnya,
wajar jika akhirnya perempuan dipandang harus menguasai suara di legislatif
ataupun langsung menduduki jabatan sebagai penentu kebijakan.
Kiprah Politik Perempuan Dalam
(Logika) Sistem Demokrasi (baca; sekarang ini)
Berdasarkan
pandangan terhadap fakta tersebut, para aktivis perempuan telah menjadikan isu
sentral perjuangan politik mereka terfokus pada tiga hal, yakni seputar masalah
kepemimpinan wanita dalam kekuasaan, masalah tuntutan kuota perempuan di dalam
parlemen, serta masalah tuntutan independensi hak suara perempuan dalam pemilu.
Tiga isu tersebut dianggap sangat strategis, karena dalam logika mereka, besarnya
aksesibilitas ke dalam lingkaran kekuasaan dan legislasi inilah yang akan
menjadi jalan bagi munculnya perubahan struktur masyarakat ke arah yang
lebih equal dan egaliter, dimana aspirasi
perempuan dipastikan akan senantiasa mewarnai setiap kebijakan publik yang
diterapkan. Dengan demikian diharapkan pada akhirnya persoalan-persoalan
krusial yang selama ini dihadapi perempuan pun akan secara otomatis
terselesaikan.
Jika
dicermati, terkristalnya keyakinan bahwa persoalan-persoalan perempuan akan terselesaikan
manakala perempuan terjun langsung ke tataran kebijakan publik dan politis,
sangat dipengaruhi oleh wacana pemikiran demokrasi kapitalistik yang kini
mendominasi kultur masyarakat kita. Sebagaimana diketahui, sistem
demokrasi kapitalistik dengan kebebasan individu sebagai intinya dipercaya
sebagai sistem politik yang paling ideal dan progresif sekaligus menjadi versus
bagi sistem politik lain yang dianggap absolut, otoriter dan kuno. Karena
secara teoritis, dengan jargon vox populi vox dei (suara
rakyat adalah suara tuhan) yang kemudian melahirkan prinsip ‘kedaulatan di
tangan rakyat’, sistem ini memberi peluang sebesar-besarnya bagi seluruh
individu masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, untuk berpartisipasi dan
terlibat secara penuh dalam proses pengambilan kebijakan yang menyangkut diri
mereka. Sementara itu, lembaga pemerintah, dalam hal ini bertindak sebagai
implementasi dari kedaulatan rakyat tadi, yakni sebagai institusi resmi
yang akan melaksanakan volontĕ gĕnĕralĕ (keinginan rakyat),
dimana mereka diangkat dengan kontrak oleh rakyat untuk melaksanakan apapun
yang menjadi kehendak rakyat. Dan pada kondisi sekarang, demokrasi
mengharuskan adanya sistem perwakilan, dimana aspirasi individu-individu rakyat
dalam masyarakat ditampung dan direpresentasikan oleh wakil-wakil mereka di
Parlemen.
Dari
sini nampak, bahwa logika pemikiran demokrasi memiliki pemahaman politik
melulu diartikan sebagai kekuasaan dan legislasi. Sehingga, ide
pemberdayaan peran politik perempuan dalam kacamata demokrasi selalu diarahkan
untuk menjadikan kaum perempuan mampu menempatkan diri dan berkiprah di
elit kekuasaan, lembaga legislasi, atau minimal berani memperjuangkan
aspirasinya sendiri secara independen tanpa pengaruh maupun tekanan pihak
manapun. Padahal kenyataannya, masalah ada tidaknya hubungan antara
kiprah politik perempuan seperti itu dengan tuntasnya persoalan perempuan masih
sangat debatable. Lalu, sebenarnya seperti apa seharusnya ?
Kiprah Politik Perempuan Dalam
Sistem Islam
Sebagai diin yang
menyeluruh dan purna, Islam memiliki pandangan yang khas dan berbeda secara
diametral dengan pandangan demokrasi dalam melihat dan menyelesaikan
persoalan perempuan, termasuk dalam memandang bagaimana hakikat politik dan
kiprah politik perempuan di dalam masyarakat. Hal ini terkait dengan bagaimana
pandangan mendasar Islam tentang keberadaan laki-laki dan perempuan di dalam
kehidupan masyarakat. Sebagaimana diketahui, Islam memandang bahwa perempuan
hakikatnya sama dengan laki-laki, yakni sama-sama sebagai manusia, yang
memiliki potensi dasar yang sama berupa akal, naluri dan kebutuhan fisik.
Sedangkan dalam konteks masyarakat, Islam juga memandang bahwa keberadaan
perempuan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan laki-laki, dimana
keduanya diciptakan dengan mengemban tanggungjawab yang sama dalam mengatur dan
memelihara kehidupan ini sesuai kehendak Allah SWT sebagai Pencipta dan
Pengatur makhluq-Nya. (QS.9:71,51:56).
Mengenai
peran politik, Islam memandang bahwa keberadaan perempuan sebagai bagian dari
masyarakat menjadikan mereka juga memiliki kewajiban yang sama untuk mewujudkan
kesadaran politik pada diri mereka dan masyarakat secara umum. Hanya saja
harus diluruskan, bahwa pengertian politik dalam konsep Islam tidak terbatasi
pada masalah kekuasaan dan legislasi saja, melainkan meliputi pemeliharaan
seluruh urusan umat di dalam negeri maupun luar negeri, baik menyangkut aspek
negara maupun umat. Dalam hal ini negara bertindak secara langsung
mengatur dan memelihara umat, sedangkan umat bertindak sebagai pengawas dan
pengoreksi pelaksanaan pengaturan tadi oleh negara. Ketika kaum muslimin
berupaya memfungsikan segenap potensi insaniahnya untuk menyelesaikan
permasalahan umat, maka pada dasarnya dia sudah melakukan aktivitas politik.
Dalam
konteks Islam, secara bahasa (lughah), politik (as-siyâsah)
sebenarnya berasal dari kata sâsa-yasûsu-siyâsatan, yang
berarti mengurus kepentingan sesorang. Dalam kamus al-Muhîth dikatakan, “Sustu ar-ra’iyata siyasatan”,
yang berarti, “Saya memerintah dan melarangnya.”[2]
Dekat dengan pengertian ini, Ahmad ‘Athiyah menyatakan politik bermakna memelihara
dan memperhatikan urusan rakyat. Secara lebih jelas, Syaikh Hasan al-Banna
menyatakan bahwa politik adalah memperhatikan urusan umat, luar dan
dalam negeri, intern dan ekstern, secara individu dan masyarakat
keseluruhannya; bukan terbatas pada kepentingan golongan semata. Beliau
juga berpendapat, bahwa politik tidak hanya menyangkut penyelenggaraan
pemerintah, tetapi juga mencakup upaya menciptakan sistem yang bersih dan
berkeadilan, dimana mekanisme kontrol berperan besar.
Senada
dengan beliau, Syaikh Abdul Qadim Zallum, dalam bukunya, Al-Afkâr
as-siyasiy[3] mendefinisikan
bahwa politik atau as-siyâsah adalah mengatur urusan umat,
dengan negara sebagai institusi yang mengatur urusan tersebut secara praktis,
sedangkan umat mengoreksi—melakukan muhâsabahterhadap—pemerintah
dalam melakukan tugasnya.
Definisi
politik sebagai pemeliharaan urusan umat (ri’âyah syu’ûn al-ummah) ini
sesungguhnya dapat diambil dari hadis-hadis yang menunjukkan aktivitas
penguasa, kewajiban untuk mengoreksinya, serta pentingnya mengurus kepentingan
kaum Muslim. Rasulullah saw., sebagaimana dituturkan Ma’qil bin Yasar, pernah
bersabda:
Seseorang yang ditetapkan Allah (dalam kedudukan) mengurus
kepentingan umat, sementara dia tidak memberikan nasihat kepada mereka (umat),
tidak akan mencium bau surga (HR al-Bukhari).
Siapa saja bangun di pagi hari dan tidak memperhatikan urusan
kaum Muslim, ia tidak termasuk golongan mereka. (HR
al-Hakim dan al-Khatib).
Bertolak
dari pengertian bahwa politik adalah tanggung jawab pengaturan dan pemeliharaan
urusan umat/masyarakat secara keseluruhan, maka dalam konteks Islam tidak
terlihat di dalamnya unsur perebutan kekuasaan, kekejaman, ketidakadilan, dan
sebagainya. Apalagi, Islam meletakkan dasar pengaturan dan pemeliharaan urusan
umat ini di atas landasan hukum-hukum Allah, bukan pada kediktatoran para
penguasa atau keinginan sekelompok orang. Islam memandang bahwa penguasa hanya
merupakan pelaksana politik yang bersumber dari hukum-hukum Allah SWT. semata,
sedangkan masyarakat berperan sebagai pengawas dan pengoreksi kehidupan
politik. Koreksi masyarakat terhadap penguasa inilah yang akan menjaga para
pelaku politik agar senantiasa berada dalam rel hukum-hukum syariat.
Dari
pengertian poltik di atas pun sesungguhya kita dapat mengambil kesimpulan bahwa
aktivitas politik ternyata tidak hanya dibebankan kepada laki-laki saja, karena
perempuan pun merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari masyarakat secara
umum. Apalagi jika kita memperhatikan nash-nash berikut ini:
Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan
kebaikan (Islam); memerintahkan kemakrufan dan mencegah kemungkaran. Mereka
itulah oarang-orang yang beruntung. (QS Ali Imran [3]: 104).
Rasulullah SAW., sebagaimana
dituturkan Hudzayfah r.a.. juga bersabda (yang artinya):
Siapa saja yang tidak
memperhatikan kepentingan kaum Muslim, berarti ia bukanlah termasuk di antara
mereka. Siapa saja yang tidak berada di waktu pagi dan petang selaku pemberi
nasihat bagi Allah dan Rasulnya, bagi kitab-Nya, bagi pemimpinnya, dan bagi
umumnya kaumMuslim, berarti ia bukanlah termasuk di antara mereka. (HR
ath-Thabrani).
Nash-nash
di atas menjelaskan bahwa Allah dan Rasul-Nya memerintah kaum Muslim, baik
laki-laki maupun perempuan untuk memperhatikan atau memikirkan urusan umatnya,
termasuk memperjuangkan agar upaya pemeliharaan urusan umat terlaksana. Dengan
demikian, politik merupakan bagian yang inheren di dalam
ajaran Islam. Upaya pemisahannya jelas-jelas merupakan upaya sekularisasi Islam
yang tidak saja akan menjauhkan umat dari Islam, tetapi lebih jauh akan
menjatuhkan mereka pada kehinaan. Di sisi lain, kata man dan ummah menunjukkan
bahwa perintah tersebut berlaku umum bagi laki-laki maupun perempuan. Artinya,
ketika Allah dan Rasul-Nya memerintahkan sesuatu kepada kaum Muslim seluruhnya,
dapat dipastikan bahwa seluruh kaum Muslim baik laki-laki maupun perempuan
sanggup melakukannya. Sebab, Allah tidak akan membebani seorang hamba di luar
kesanggupannya, sebagaimana janji Allah SWT QS al-Baqarah [2]: 286 yang
artinya : Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. Ia mendapatkan pahala dari kebajikan yang diusahakannya dan
mendapat siksa dari kejahatan yang dikerjakannya.
Pada
dasarnya, ketika kaum Muslim—termasuk kaum Muslimahnya—berupaya memfungsikan
potensi kemanusiaannya untuk turut menyelesaikan urusan umat, maka pada saat
itulah tampak keterlibatannya dalam aktivitas politik. Jika keterlibatan
perempuan dalam masalah politik dianggap melanggar fitrah, fitrah mana yang
dilanggar? Bukankah secara fitrah perempuan adalah bagian dari masyarakat, yang
di dalamnya terdapat kepentingan yang berkaitan dengan kehidupannya yang perlu
diatur? Dari sini jelas bahwa politik pun merupakan bagian dari kehidupan
Muslimah, bahkan menjadi bagian dari kehidupan kaum Muslim seluruhnya. Dalam
tataran praktis, sesungguhnya pelaksanaan kewajiban berpolitik ini dibebankan
kepada seluruh komponen masyarakat, baik penyelenggara negara (penguasa),
jamaah (kelompok), maupun individu).
Hanya
saja untuk merealisasikan kewajibannya berkiprah dalam aktivitas politik, maka
ada beberapa aturan yang harus diperhatikan oleh seorang muslimah,
diantaranya Pertama, harus disadari bahwa
terjunnya mereka ke kancah politik hanyalah semata-mata untuk melaksanakan
perintah dari Allah SWT. Kedua, bahwa Allah
telah menetapkan bentuk-bentuk aktivitas politik yang boleh dilakukan dan tidak
boleh dilakukan oleh seorang muslimah.
Kiprah Politik Muslimah; Yang Boleh
dan Yang Terlarang
Setelah
kita mengkaji nash-nash yang ada, baik al-Quran maupun hadis-hadis Rasulullah,
jelas bahwa berpolitik merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh
seluruh kaum Muslim, laki-laki dan perempuan tanpa pengecualian. Mereka harus
saling bahu membahu dan bekerja sama dalam memperhatikan dan memajukan
masyarakat kaum Muslim.
Allah telah menciptakan manusia
dua jenis, laki-laki dan perempuan, untuk hidup bersama dalam suatu masyarakat.
Keduanya diberi potensi yang sama dari sisi insaniahnya, yakni berupa potensi
akal dan potensi hidup (naluri dan kebutuhan jasmani). Potensi-potensi inilah
yang akan mendorong manusia untuk terjun dalam kancah kehidupan. Keduanya
diciptakan oleh Allah tidak lain untuk saling bekerjasama dalam menyelesaikan
urusan dan permasalahan bersama di antara mereka, sebagaimana firman-Nya:
Orang-orang Mukmin laki-laki dan perempuan, sebagian mereka
menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka memerintahkan kemakrufan dan
mencegah kemungkaran. (QS at-Taubah [9]: 71).
Ayat
ini menjelaskan secara lebih spesifik dengan penyebutan laki-laki
Mukmin dan perempuan Mukmin untuk melakukan salah
satu bentuk aktivitas politik, yaitu amal makruf nahi mungkar. Ayat ini lebih
mempertegas lagi bahwa sebagai bagian dari masyarakat, laki-laki dan perempuan
memilki kewajiban untuk berpolitik, keduanya menjadi bagian dari
masyarakat/umat yang memiliki tanggung jawab yang sama untuk ikut menentukan
arah, warna, dan pola generasi kini dan masa depan.
Namun,
haruslah dipahami pula, keterlibatan kaum perempuan dalam aktivitas politik
bukanlah agar mereka dapat menguasai posisi tertentu dalam masyarakat atau agar
suara mereka didengar oleh umat/masyarakat. Akan tetapi, harus dipahami bahwa
esensi kiprah politik perempuan adalah sebagai bagian dari kewajibannya yang
datang dari Allah SWT. sebagai suatu bentuk tanggung jawabnya terhadap
masyarakat yang terdiri atas perempuan dan laki-laki; bukan masyarakat
laki-laki ataupun masyarakat perempuan secara terpisah. Artinya, dalam aktivitas
politik ini, tentu saja perjuangan yang dilakukan oleh kaum perempuan tidak
boleh terpisah ataupun memisahkan diri dari laki-laki. Sebab, di samping
masyarakat terdiri atas laki-laki dan perempuan, Islam pun tidak pernah
memisahkan suatu permasalahan sebagai permasalahan laki-laki atau permasalahan
perempuan yang harus dipecahkan oleh masing-masing; tetapi memandangnya sebagai
permasalahan manusia yang harus diselesaikan oleh keduanya, baik laki-laki
maupun perempuan, sebagai tanggung jawabnya terhadap masyarakat.
Disamping
itu,seorang Muslim harus menyadari bahwa Islam sangat menjaga kemuliaan dan
ketinggian martabat perempuan. Semua itu semata-mata karena Allah Swt., Sang
Pembuat hukum dan Pencipta manusia, sangat memahami apa yang terbaik bagi
manusia, laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, Allah telah
menetapkan bahwa secara politis, peran utama dan strategis bagi perempuan
adalah sebagai ummu wa rabbatul bait, sebagai pencetak generasi,
sehingga terlahir generasi yang berkualitas prima, sebagai pejuang-pejuang
Islam yang ikhlas Islam juga telah memberikan batasan
dengan jelas dan tuntas terkait aktivitas perempuan, demikian pula dengan
aktivitas politiknya. berikut ini beberapa aktivitas politik yang boleh
atau wajib diterjuni oleh perempuan :
1. Kewajiban
amar makruf nahi munkar
Aktivitas ini merupakan kewajiban
bagi laki-laki maupun perempuan, karena nash-nash yang berkaitan dengan masalah
ini bersifat umum, berlaku baik bagi laki-laki maupun perempuan. Allah
berfirman dalam QS Al-Imran ayat 104 yang artinya : “Hendaklah (wajib) ada
segolongan umat yang menyerukan kepada kebaikan (Islam); memerintahkan
kemakrufan dan mencegah kemungkaran. Mereka itulah orang-orang yang
beruntung”
Juga dalam QS At-Taubah ayat 71,
yang artinya :” Orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, sebagian mereka
menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka melakukan amar makruf
nahi munkar.”
2.
Hak dan Kewajiban baiat
Dalam Islam, sahnya pengangkatan
aeorang khalifah itu adalah dengan baiat, yaitu pernyataan dari kaum muslimin
kepada seorang muslim bahwa mereka rela mengangkat dan taat kepada orang
tersebut untuk memimpin mereka memberlakukan hukum-hukum Allah di muka bumi
ini. Apabila ada sekelompok kaum muslim yang telah mewakili mereka melakukan
baiat maka sahlah seseorang yang dibaiat itu menjadi khalifah yang harus
ditaati oleh seluruh kaum muslimin. Dalam hal ini Islam memberikan hak
dan kewajiban untuk melakukan baiat khalifah kepada perempuan sebagaimana
kepada laki-laki. Ummu Athiyah berkata :
“Kami berbaiat kepada Rasulullah saw lalu beliau membacakan
kepada kami agar jangan menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun dan melarang
kami untuk niyahah (meratapi mayat). Karena itulah salah seorang
perempuan dari kami menarik tangannya (dari berjabat tangan), lalu ia berkata,
“ Seseorang telah membuatku bahagia dan aku ingin membalas jasanya.” Rasulullah
tidak berkata apa-apa, lalu perempuan itu pergi kemudian kembali lagi.” (HR
Bukhori)
3.
Hak Memilih dan dipilih Menjadi
Anggota Majelis Umat
Majelis
Umat adalah suatu badan Negara Islam yang terdiri atas wakil-wakil rakyat yang
bertugas memberikan nasihat dari umat kepada khalifah. Wakil-wakil rakyat
ini mengajukan apa saja yang dibutuhkan rakyat dan memberikan saran bagaimana
kebutuhan rakyat tersebut terpenuhi. Disamping itu mereka juga harus mengoreksi
dan menasihati penguasa apabila cara pemenuhan yang ditetapkan oleh khalifah
bertentangan dengan apa yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Dalam
riwayat shahih, Ibnu Hisyam[4]
dari Ka’ab bin Malik disebutkan bahwa setelah 73 orang laki-laki dan 2 orang
perempuan (Nasibah binti Ka’ab dan Asma binti Amr bin Adi) melakukan baiat
aqobah 2, Rasul bersabda kepada mereka :
“Datangkanlah 12 wakil dari kalian yang pada mereka ada tanggung
jawab ras kabilahnya masing-masing.” (HR Ahmad)
4.
Kewajiban Menasihati dan
Mengoreksi penguasa
Jika penguasa menetapkan suatu
aturan yang melanggar hukum syariat atau ada kebutuhan rakyat yang luput dari
penguasa, maka wajib bagi setiap muslim untuk menasihati penguasa agar ia dapat
memperbaiki kesalahan tersebut. Pernah terjadi di masa kepemimpinan khalifah
Umar bin Khaththab, ketika seorang perempuan, Khaulah binti Hakim bin Tsa’labah
memprotes Umar, ketika beliau menetapkan jumlah mahar tertentu bagi perempuan
karena tingginya mahar yang diminta kaum perempuan pada waktu itu.
Kemudian Umar menyadari kekeliruannya dan segera mencabut keputusannya, ia
berkata : “Perempuan ini benar dan Umar salah”.
5.
Kewajiban menjadi Anggota Partai
Politik
Keberadaan
partai politik merupakan pemenuhan kewajiban dari Allah swt, sebagaimana Allah
berfirman dalam QS Al-Imran ayat 104 yang artinya : “Hendaklah (wajib) ada
segolongan umat yang menyerukan kepada kebaikan (Islam); memerintahkan
kemakrufan dan mencegah kemungkaran. Mereka itulah orang-orang yang
beruntung”.
Partai
politik ada untuk menjaga agar semua hukum-hukum Allah tetap diterapkan secara
keseluruhan oleh manusia dalam kehidupannya sepanjang masa. Keberadaannya
wajib bagi kaum muslim, baik di dunia ini diterapkan sistem Islam atau
tidak. Hanya saja perbedaannya adalah jika ada sistem Islam, kewajiban
untuk beraktivitas di dalamnya adalah fardhu kifayah.
Disamping itu Islam juga
telah memberikan penjelasan tentang aktivitas politik yang tidak diperkenankan
bagi perempuan, yaitu aktivitas-aktivitas yang termasuk dalam wilayah
kekuasaan/pemerintahan. Dalam hal ini yang dimaksud dengan wilayah
kekuasaan/pemerintahan adalah wilayah pengaturan urusan umat yang
dilakukan secara langsung dan menyeluruh, misalnya menjadi penguasa atau kepala
Negara. Penguasa dipandang sebagai orang yang bertanggung jawab penuh
secara langsung dalam mengurusi urusan umat. Dalam sistem Islam, jabatan
penguasa mencakup khalifah (kepala Negara), muawwin tafwidh (pembantu khalifah
dalam urusan pemerintahan), wali (kepala wilayah) dan amil (kepala
daerah). Rasulullah saw telah bersabda dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Abi Bakrah : “Tidak akan pernah menang suatu kaum
yang menyerehkan urusan (kekuasaannya) kepada perempuan” (HR Bukhori).
Islam
telah mengharamkan jabatan kekuasaan bagi perempuan dan mengkhususkannya bagi
laki-laki. Hanya saja pengkhususan ini bukan berarti menjadikan
perempuan sebagai warga Negara kelas dua atau merendahkan perempuan sebagaimana
yang dituduhkan sebagian kalangan, karena Islam memandang bahwa peran penguasa
dan rakyat dalam politik sama pentingnya. Penguasa adalah pelaksana
politik yang bersumber dari hukum-hukum Allah SWT, sedangkan rakyat berperan
sebagai pengawas dan pengoreksi kehidupan politik berdasarkan hukum-hukum
Allah. Karena itu keberhasilan pengaturan urusan umat demi tercapainya
kesejahteraan dan kemajuan masyarakat bergantung tidak hanya kepada pemimpinnya
tetapi kepada seluruh warga masyarakat tersebut. Dengan demikian,
Islam tidak memandang orang yang menjabat kepala Negara lebih mulia derajatnya
karena yang menentukan kemuliaan itu adalah ketaatannya menjalankan
aturan-aturan Allah dan Rasul-Nya.[5]
Berkaca Kepada Para Shahabiyat
Sejarah
telah mencatat bagaimana para wanita di masa Rasulullah (para shahabiyat)
melakukan aktivitas dan perjuangan politik bersama-sama Rasulullah saw dan para
shahabat lainnya tanpa memisahkan barisan mereka dari barisan Rasul dan
shahabatnya. Begitu pun dengan peran isteri-isteri Rasulullah dalam perjuangan
menegakkan Islam di muka bumi ini serta dukungan mereka kepada perjuangan
Rasul saw, sesungguhnya merupakan bukti nyata bahwa mereka melakukan aktivitas
politik.
Asma
binti Abu Bakar, wanita yang dijuluki dengan perempuan pemilik dua ikat
pinggang (dzatunnithaqain) adalah seorang muhajirah yang agung, yang
mengorbankan jiwa, raga dan hartanya hanya untuk Islam. Asmalah yang
mengirim makanan untuk Rasulullah dan ayahnya di Gua Tsur ketika suasana sedang
genting, dimana orang-orang kafir Quraisy yang sangat benci kepada kaum
muslimin saat itu memburu Rasulullah untuk dibunuh.
Siapa
tidak mengenal Fathimah binti Khaththab, adik shahabat Rasulullah Umar Bin
Khaththab, yang dengan keberanian, ketegaran dan kesabarannya mengenalkan dan
menyampaikan Islam kepada Umar hingga beliau masuk ke dalam Islam dan menjadi
Muslim dan pembela Islam yang tangguh. Demikian pula Sumayyah binti Hubath,
Isteri Yasir ra, yang demi mempertahankan keimanannya dia menyatakan
penentangannya terhadap orang-orang kafir yang menyiksanya, beserta suami dan
anaknya, hingga beliau dan suaminya menemui syahid. Mereka merupakan orang yang
pertama-tama masuk Islam.
Selain
itu, Shafiyyah Binti Abdul Muthalib, seorang wanita yang dikenal dengan
kesabarannya tetapi ia juga sangat tangkas dan gesit. Beliau berperan
aktif di medan Perang Uhud dan menyaksikan jasad saudaranya yang rusak –Hamzah
Bin Abdul Muthalib- dengan penuh ridha dan sabar. Demikian pula ketika
perang Khandak, beliau tidak gentar sedikitpun menghadapi seorang Yahudi
yang menyusup ke benteng kaum muslimin seraya membunuhnya hanya dengan tiang
kemah.
Lalu
bagaimana dengan amar ma’ruf nahi munkar? Tidak sedikit para wanita, baik
di masa Rasul maupun shahabat yang melakukannya tanpa ada keraguan sedikitpun,
sekalipun yang dikoreksi adalah seorang kepala negara. Adalah Khaulah
binti Malik bin Tsa’labah, beliau mengajukan gugatan kepada suaminya atas
perlakuan suaminya kepadanya hingga turun QS. Al-Mujadilah ayat 1-4 untuk
menyelesaikan permasalahannya.
Kesimpulan
Demikianlah
Islam telah memberikan penjelasan dengan secara rinci tentang kewajiban
berpolitik dan bagaimana seharusnya seorang perempuan melakukan aktivitas
politiknya. Laki-laki dan perempuan harus bersama-sama melangkah,
mengemban tanggung jawab politik. Keduanya sudah seharusnya saling
menghargai keberadaan dan perannya masing-masing demi terwujudnya masyarakat
yang damai, tentram dan sejahtera berdasarkan syariat Islam. Di sinilah
pentingnya masyarakat memiliki kesadaran politik yang tinggi, termasuk kaum
perempuan. Karenanya harus ada upaya yang maksimal untuk membentuk dan
menumbuhkan kesadaran politik di tengah-tengah umat, baik laki-laki maupun
perempuan. Tentu saja yang dimaksud adalah kesadaran politik Islam.
Karena itu yang menjadi agenda perjuangan hari ini adalah bagaimana
menghadirkan perspektif Islam dalam pengaturan kehidupan ummat secara riil
melalui wadah Daulah Khilafah, sehingga kaum muslimin bisa segera keluar dari
keterpurukannya dan sekaligus bangkit kembali sebagai khairul ummah.
Inilah hakekat pemberdayaan politik sesungguhnya, yang harus dilakukan tidak
hanya kepada perempuan, tetapi juga kepada masyarakat secara keseluruhan.
Wallahu a’lam Bisshowab
Daftar Pustaka
-
Al-Qur’an dan Hadis Rasulullah
SAW
-
Rieke
Diah Pitaloka, di bunderan HI pada tanggal 8
Maret 2013 dalam rangka menyambut hari Perempuan Dunia.
-
Syaikh Abdul Qadim Zallum, Al-Afkâr
as-siyasiy, Beirut, 1997.
-
Syekh
Taqiuddin Annabhani, Ajhizah fi Daulah Khilafah Islamiyyah, Beirut, 1953
M – 1472 H
-
Sirah Ibnu Hisyam, Turas
al-Islami Ibnu Hisyam., DArul Kitab al-Arabi, Beirut, 1990.
-
Abu
al-Thahir,Kamus Al-Muhith wa al-Qabus al-Wasith,817 H- 1414 M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar