PEREMPUAN DALAM MEDIA MASA
Persoalan
tentang perempuan merupakan persoalan yang senantiasa aktual dan seringkali
mengundang perdebatan panjang yang tak berujung. Apapun isu tentang perempuan
tidak terasa basi untuk menghiasi atmosfir pembicaraan publik, dan media massa
tentu saja merupakan pihak yang sangat berkepentingan terhadap dieksposnya
persoalan-persoalan yang menarik seputar persoalan perempuan untuk bisa di
konsumsi khalayak.
Media massa dan
perempuan ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa di pisahkan, keduanya
memiliki kaitan erat yang berjalin berkelindan saling melengkapi. Perempuan
banyak yang memanfaatkan jasa media massa demi untuk meningkatkan
popularitasnya, sebaliknya media massa butuh sebuah “nuansa khas” dari seorang
perempuan, mulai dari sisi keberhasilan karir dan jabatannya, ketegarannya
menyikapi sebuah persoalan besar, “kenekadannya” dalam melakukan sesuatu dan
terakhir adalah keberaniannya untuk memperlihatkan auratnya. Setiap perempuan
sebenarnya secara umum memiliki “rasa” yang sama dengan laki-laki yakni
keinginan untuk terkenal, untuk mendapatkan banyak uang serta untuk menjadi
terhormat.
Persoalannya kemudian,
apakah akan kita biarkan kondisi ini berjalan apa adanya, tanpa sebuah kontrol
dan garis batas yang tegas. Relakah kita mendiamkan kondisi ini dan sebaliknya
seolah menutup mata dan telinga kita serta sama sekali tidak peduli dengan hal
ini. Bagi seorang manusia yang masih memiliki nurani dan peduli pada
nasib generasi mudanya ke depan persoalan ini menjadi tidak sederhana. Ia
akan memandang dengan serius dan tentu saja tidak akan membiarkan kondisi ini
terus berlangsung. Orang yang punya nurani tentu tidak akan bisa dengan tenang
“menikmati” persoalan ini, Ia akan malu mengkonsumsi gambar-gambar seronok yang
tersaji di berbagai media massa.
Ada Empat alasan kenapa
kita harus peduli ditertibkannya media massa yang memuat dan menampilkan
gambar-gambar seronok dalam penerbitannya :
Pertama,
ketika masyarakat kita belum terdidik dan cerdas dalam memilah-milah informasi
yang sampai kepadanya apakah ini merupakan sebuah pembenaran bagi
pengusaha media massa untuk– karena alasan permintaan pasar yang sebenarnya
lebih berorientasi pada keuntungan yang akan diraih–menyajikan info-info serta
foto-foto vulgar seorang perempuan tanpa merasa sedikitpun membuat kesalahan.
Seandainya memang benar, lantas kemana pertimbangan moralitas mereka. Mengapa
kondisi masyarakat yang sebagian besarnya memang belum memiliki pendidikan yang
cukup terus dibodohi dan direndahkan martabatnya. Harusnya ada proses
pendidikan di tingkat wacana masyarakat untuk sedikit demi sedikit menuju
sebuah perbaikan. Apabila pembodohan ini dilakukan terus-menerus, bisa jadi
berjalannya waktu tidak akan berpengaruh sedikitpun terhadap perubahan cara
pandang dan cara berpikir masyarakat. Kemajuan berpikir kalau demikian caranya
hanya menjadi sebuah retorika semu semata, karena langkanya proses “pencerahan”
yang sampai ke masyarakat.
Apakah mereka yang
selama ini bergelut di berbagai media massa yang ada tidak memiliki
pertimbangan yang jauh ke depan, demi penyelamatan sebuah generasi. Kenapa
dengan mudah persoalan moralitas ini di tukar dengan nilai-nilai nominal
lembaran-lembaran uang tunai. “Sungguh hebat” orang-orang yang sengaja–bahkan
mungkin dengan senang hati–meracuni generasi muda bangsa hanya sekedar alasan
permintaan pasar. Siapapun mereka–mulai dari si artisnya sendiri,
fotografernya, pengusaha media yang bersangkutan serta seluruh yang terkait
dengan pembuatan dan penyebaran hal itu–memiliki andil yang sama dalam
melakukan demoralisasi anak bangsa. Kondisi ini akan lebih parah lagi manakala
pejabat-pejabat yang terkait dengan ijin dan pengontrolan media massa tidak
ambil pusing dengan persoalan ini. Apa jadinya kalau mereka yang punya otoritas
dalam pengambilan kebijakan ternyata justeru malah mendapatkan keuntungan dari
penerbitan yang berasal dari media massa tersebut.
Kedua,
apakah karena alasan popularitas seorang perempuan dengan senang hati
memamerkan auratnya di hadapan publik. Benarkah popularitas hanya bisa dicapai
dengan hal itu, tidak adakah hal lain yang bisa mendongkrak kepopuleran seorang
perempuan. Apabila benar, terlalu naif rasanya jika popularitas yang dicapai
tersebut hanya karena memiliki “keberanian” memamerkan kemolekan tubuh. Sungguh
rendah martabat seorang perempuan kalau seperti itu. Padahal seorang manusia
diciptakan Tuhannya dengan sejumlah bekal hidup dan potensi diri yang akan
memandu manusia menjadi terhormat diantara makhluk lainnya yang ada di bumi.
Salah satu yang sangat berharga bagi manusia adalah diberikannya manusia berupa
seperangkat bagian tubuh yang bernama akal dan pikiran demi untuk kelangsungan
hidupnya, yang akan menjadi penentu arah dari seluruh keinginan dalam pemenuhan
kebutuhan hidupnya. Dengan demikian jelas ukuran popularitas seorang perempuan
akan sangat rendah nilainya jika hanya disandarkan pada penilaian–penilaian
fisik semata. Siapapun orangnya, jika hanya mampu mengeskploitasi kemolekan
tubuhnya semata dalam mencapai popularitasnya maka ia harus rela disamakan
nilainya dengan binatang peliharaan, yang lebih banyak di nilai dengan
standar–standar yang rendah seperti itu.
Ketiga,
di kalangan beberapa artis serta foto model tercipta stigma yang salah tentang
arti profesionalisme kerja di bidang mereka. Mereka merasa bahwa semakin mereka
berani membuka tubuhnya maka mereka akan semakin banyak mendapatkan imbalan.
Tidak mengherankan jika kondisi ini memicu persaingan tidak sehat di kalangan
para artis, mereka beranggapan masalah pose-pose vulgar mereka bagian dari
dunia kerja mereka.
Keempat,
anggapan bahwa pose-pose vulgar perempuan yang ada di media massa merupakan
perwujudan nilai seni, rasanya terlalu dilebih-lebihkan. Menurut Rendra,
saat menghadiri peluncuran album “Bung Karno milik rakyat” apa yang terjadi
saat ini sudah mengarah ke pornografi. Ia mengatakan pornografi bukan
hasil karya seni tapi merupakan perbuatan pelecehan terhadap martabat perempuan
karena dalam pornografi selera murahan dikipas-kipas dengan mengeksploitasi
aurat kaum hawa. Ia menambahkan bahwa pornografi kebanyakan membangkitkan
selera rendah yang menjadikan perempuan sebagai obyek, padahal sensualitas
perempuan penuh dengan sensualitas kasih sayang bukan sensualitas yang
rendahan. Unsur keindahan di dalam bentuk tubuh wanita merupakan ciptaan Tuhan
yang tidak layak dan tidak patut dijadikan obyek untuk membangkitkan
selera murahan dan rendahan.
Logika mempertontonkan
aurat wanita karena alasana seni merupakan logika yang terasa dipaksakan
untuk tidak sekedar pengedepanan kepentingnan sang seniman saja dalam lebih
banyak menikmati dunianya saja, bukankah seni pada dasarnya berorientasi pada
penciptaan keindahan sejati yang tidak didasarkan pada pikiran-pikiran murahan.
Kalau memang alasan pengambilan gambar-gambar seronok itu demi alasan seni,
apakah tidak ada lagi obyek yang pantas untuk menunjukkan betapa banyak obyek
lain ciptaan Tuhan yang sebenarnya tak kalah indah jika dibanding dengan hanya
sekedar tubuh seorang wanita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar