MUSIK
DALAM PERSPEKTIF ISLAM
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi
robbil alamin, wassholatuwassalamuala asrofil anbiya wal mursalin wa ala alihi
waashabihi ajmain.
Dengan
mengucap puji syukur kepada Allah swt.yang atas limpahan rahmat dan karunia-Nya
makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya, serta sholawat serta salam
semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita kita Rasulullah saw, beserta
para keluarga dan sahabat-sahabat beliau.
Dalam
penyelesaian makalah ini kami tidak lepas dari pihak-pihak yang telah membantu
baik secara moril maupun spiritual sehingga kami mampu me-nyelesaikan makalah
ini dengan cukup baik.Jadi, kami mengucapkan terima kasih kepada Dosen
pembimbing Pendidikan Agama Islam Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember serta teman-teman
angkatan 2009 serta pihak-pihak lain yang telah membantu.
Kami
menyadari adanya banyak kekurangan pada makalah ini.Oleh karena itu kami
mengharap kritik dan saran yang membangun dari para pembaca, agar kami dapat
memperbaiki kesalahan yang mungkin ada dalam makalah kami ini.Dan kami berharap
agar makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, terutama bagi pihak-pihak
yang mungkin memerlukan keterengan yang ada dalam makalah ini.
Akhir
Oktober 2009
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Dewasa
ini, kemajuan zaman dan teknologi telah menyerang semua aspek kehidupan manusia
salah satunya dalam hal seni musik. Musik telah berkembang dengan begitu pesatnya,
radio dan televisi merupakan alat penyebar seni musik bahkan media massa pun
banyak yang membahas masalah musik. Masalah yang akhirnya muncul adalah
pengidolan penyanyi atau grup band secara secara berlebihan bahkan pengidolaan
tak jarang diikuti dengan perilaku-perilaku yang bertentangan dengan syariat
Islam karena hanya mengikuti tren dan mengidentifikasikan diri kepada sang
penyanyi idola. Padahal di Indonesia sendiri jumlah umat muslim yang ada
sangatlah dominan.
Padahal
seharusnya sebagai seorang muslim yang kita ikuti adalah perilaku Rasulullah
Saw. Bukanlah lagu/nyanyian/musik yang dilantunkan oleh biduan dan biduanita
disana. Dan lagu ataupun musik adakalanya membuat kita lupa akan kesusahan yang
sedang kita alami sehingga diri terasa terhibur, bahkan ada kalanya juga
membuat kita lupa akan Allah Azza wa Jalla. Sehingga ada sebagian kaum
muslim yang mengharamkan.
Dari
berbagai masalah tadi bagaimana sebenarnya pandangan Islam (Al-Qur’an dan
Assunnah) terhadap Musik? Benarkah musik/nyanyian itu haram?. Itulah masalah
yang akan kita bahas dalam makalah ini. Makalah ini akan berusaha untuk
mengupas masalah itu dengan merujuk kepada pendapat para ulma’.
1.2
Rumusan Masalah
Adapun
masalah-masalah yang akan kami bahas antara lain:
- Pandangan Islam terhadap musik/nyanyian.
- Dalil-dalil kaum yang mengharamkan dan yang membolehkan musik/ nyanyian.
1.3
Tujuan penulisan
Adapun
tujuan penulisan kami antara lain:
- Menjelaskan pandangan Islam yang sebenarnya terhadap musik/nyanyian.
- memaparkan dalil-dalil yang digunakan oleh kaum yang mengharamkan maupun yang menghalalkan musik/nyanyian.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengantar
Masalah
musik atau nyanyian memang masih mengalami perdebatan dalam
menghukuminya.Masyarakat pada umumnya terbagi atas tiga golongan untuk
menyikapinya.Ada yang mendengarkan dengan seksama bahkan ikut berdendang
(golongan inilah yang terbanyak). Yang kedua, ada yang menutup telinga, atau
setidaknya mengacuhkan nyanyian yang ia dengar karena beranggapan bahwa
nyanyian itu adalah seruling setan. Sedangkan ada pula golongan yang oportunis,
suatu saat condong kepada golongan yang satu, sedangkan pada saat yang lain
justru condong kepada golongan yang lainnya.
2.2
Pada asalnya segala sesuatu itu mubah (boleh)
Firman
Allah:
“Dia-lah
Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu…” (Al-Baqarah: 29)
Tidak
ada sesuatu yang diharamkan kecuali dengan nash (ketetapan) yang sahih dan
jelas dari Al-Qur’an atau Hadis atau ijma’ yang sah dan meyakinkan. Jadi, jika
terdapat nash yang jelas namun tidak sahih maka hukum sesuatu tersebut masih
dalam batasan kemaafan yang luas. Allah berfirman:
“….Sesungguhnya
Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa
yang terpaksa kamu memakannya (melakukannya)…” (Al-An’am:119)
Dan
Rasulullah Saw. Bersabada:
“Apa
yang dihalalkan Allah dalam kitab-Nya adalah halal, dan apa yang diharamkan-Nya
adalah haram, dan apa yang didiamkan-Nya adalah dimaafkan; maka terimalah
kemaafan dari Allah, karena sesungguhnya Allah itu tidak lupa terhadap sesuatu
pun.” Kemudian beliau membaca ayat (Maryam: 64): “dan tidak sekali-kali Rabb-mu
lupa” (HR Hakim dari Abu Ad-Darda’)
2.3
Dalil Kaum yang Mengharamkan
2.3.1
mereka mengaharamkan dengan menggunakan argumentasi firman Allah;
“Dan
di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan Perkataan yang tidak
berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan
menjadikan jalan Allah itu olok-olokan.mereka itu akan memperoleh azab yang
menghinakan.” (Luqman: 6)
Mereka
menafsirkanÏ lahwul hadis atau perkataan yang tidak berguna, sebagai
nyanyian, namun menurut Yusuf Qardhawi’ argumentasi ini tidak benar
karena: dalam ayat ini desebutkan bahwa lahwul hadis yang mendapat azab
yang menghinakan adalah lahwul hadis yang digunakan untuk mengolok-olok Islam.
Jadi, jika lahwul hadis digunakan untuk hiburan tanpa maksud mencela dan
menyesatkan maka tidak dicela oleh Allah.
2.3.2
mereka mengaharamkan dengan firman Allah yang memuji sifat orang-orang mukmin.
“Dan
apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling
daripadanya…” (Al Qashash: 55)
Menurut
mereka, nyanyian/musik termasuk perkataan yang tidak bermanfaat, karena itu
wajib dijauhi.
Namun
alasan ini dapat disanggah oleh lanjutan dari ayat itu sendiri. Bahwa yang
dimaksud dengan perkataan yang tidak bermanfaat adalah caci maki, firman Allah:
“Dan
apabila mereka mendengar Perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling
daripadanya dan mereka berkata: ‘Bagi Kami amal-amal Kami dan bagimu
amal-amalmu, Kesejahteraan atas dirimu, Kami tidak ingin bergaul dengan
orang-orang jahil’’ (Al Qashash: 55)
Jadi,
yang dimaksud perkataan yang tidak bermanfaat bukan semata-mata berupa
nyanyian.Tidak semua nyanyian tidak berguna, dan hukumnya sesuai dengan niat
pelakunya.Jika niatnya baik, maka permainan atau hiburan itu berubah menjadi qurbah
(pendekatan diri kepada Allah), dan gurau menjadi ketaatan.Sedangkan niat buruk
menggugurkan amalan yang lahirnya ibadah tetapi batinnya riya’. Rasulullah
bersabda:
ان الله لا ينظرالى صواركم. ولكن ينظرالى
قلوبكم واعما لكم (رواه مسلم عن ابى هريرة)
“Sesungguhnya
Allah tidak melihat (menilai) rupamu dan hartamu, tetapi Ia melihat (menilai)
hatimu dan amalmu.”
2.3.3
mereka mengharamkan seruling (musik) berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh
Nafi’
Bahwa
Ibnu Umar pernah mendengar suara seruling seorang penggembala, lalu ia
menutupkan kedua telinganya dengan jari tangan dan membelokkan kendaraannya
dari jalan seraya bertanya, “wahai Nafi’, apakah engkau masih mendengarnya?”
saya jawab, “ya” maka ia terus berjalan sehingga saya memberikan jawaban bahwa
saya sudah tidak mendengarnya lagi. Setelah itu barulah ia melepaskan tangannya
dan membelokkan kendaraanya ke jalan lagi, kemudian berkata, “Saya pernah
melihat Rasulullah Saw. mendengar seruling penggembala, lalu beliau berbuat
seperti ini.” (HR Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah)
Hadis
ini oleh Abu Daud dikomentari sebagai “hadis munkar”.
Andaikata
hadis ini benar (sahih), maka ia menjadi hujjah untuk menyanggah golongan yang
mengharamkan seruling (musik), bukan untuk mendukung pendapat pengaharaman.
Karena, kalau mendengar seuling itu haram, niscaya Nabi Saw.tidak akan
memperbolehkan Ibnu Umar untuk mendengarkannya, dan jika menurut pendapat Ibnu
Umar haram maka dia tidak akan memperbolehkan Nafi’ mendengarnya. Dan sudah
barang tentu Nabi Saw.menyuruh mencegah dan mengubah kemungkaran ini. Maka
pengakuan Nabi Saw.terhadap Ibnu Umar ini menjadi dalil yang menunjukkan
kehalalannya.
Sesungguhnya,
Nabi Saw. menjauhi mendengarkan seruling ini adalah seperti sikap beliau
menjauhi kebanyakan perkara yang mubah dalam urusan duniawi, seperti
beliau menjauhi makan sambil bersandar, tidak mau membiarkan dinar atau
dirham menginap di rumah beliau dan sebagainya.
2.3.4
mereka mengharamkan nyanyian/musik karena banyak penyanyi perempuan.
Mereka
berdalil dengan persepsi sebagian masyarakat bahwa suara wanita itu
aurat.Padahal tidak ada dalil dari Dinullah yang menunjukkan bahwa suara
perempuan itu aurat. Bahkan pad zaman Rasulullah Saw. kaum perempuan biasanya
bertanya kepada beliau di hadapan para sahabat laki-laki. Selain itu, para
sahabat juga biasa menemui Ummahatul Mu’minin (istri-istri Nabi) untuk
meminta fatwa kepada mereka, dan mereka menjawabnya serta berkata-kata dengan
para sahabat itu, tetapi tidak ada seorangpun yang berkata, “Dengan berbicara
ini berarti Aisyah atau lainnya telah membuka aurat yang wajib
ditutupinya”.
Jika
mereka (yang mengharamkan) bahwa kejadian-kejadian di atas adalah pembicaraan
biasa, bukan nyanyian, maka Yusuf Qardhawi berpendapat: Imam Bukhari dan Imam
Muslim meriwayatkan bahwasanya Nabi Saw. pernah mendengarkan dua orang wanita
budak sedang menyanyi dan beliau tidak mengingkarinya, bahkan beliau berkata
kepada Abu Bakar, “Biarkanlah mereka.” Begitu juga Ibnu Ja’far dan lainnya dari
kalangan sahabat dan tabi’in mendengarkan budak-budak wanita bernyanyi.
2.4
Dalil Kaum yang Memperbolehkan
2.4.1
Dari Segi Nash
Kaum
yang memperbolehkan nyanyian berdalil dengan beberapa hadis yang sahih,
diantaranya, hadis yang menceritakan menyanyinya dua budak perempuan di rumah
Nabi Saw. di sisi Aisyah, lantas Abu Bakar menghardiknya dan mengatakan,
“Nyanyian setan di rumah Nabi Saw.” hal ini menunjukkan bahwa kedua penyanyi
itu bukan anak-anak lagi sebagaimana anggapan sebagian orang, sebab; kalau
masih anak-anak Abu Bakar tidak akan semarah itu.
Yang
menjadi pegangan di sini adalah penolakan Nabi Saw.terhadap sikap keras Abu
Bakar, serta alasan beliau yang menginginkan agar orang-orang Yahudi mengetahui
bahwa dalam Ad Din kita terdapat kelapangan.
Imam
Bukhari dan Imam Ahmad meriwayatkan dari Aisyah bahwa dia pernah membawa
pengantin perempuan kepada pengantin laki-laki dari Anshor, lalu Nabi
Saw.bersabda:
يا عا ئشة، ماكان معهم من لهو؟ فان الانصاريعجبهم اللهوز
“Hai
Aisyah, tidakkah mereka ini disertai dengan hiburan? Sebab prang-orang Anshor
itu gemar sekali terhadap hiburan.”
2.4.2
Dari Segi Ruh Islam
A.
tidak ada sesuatu pun dalam nyanyian melainkan bahwa ia termasuk
kesenangan dunia yang dapat dinikmati oleh hati dan pikiran, dirasakan baik
oleh naluri, dan disukai oleh pendengaran. Ia adalah kelezatan telinga,
sebagaiman makanan yang baik merupakan kelezatan pencernaan, pemandangan yang
indah merupakan kelezatan bagi mata, bau yang sedap merupakan kelezatan bagi
hidung, dan sebagainya.
Dalam
Islam sesuatu yang baik yang dianggap baik oleh hari dan akal yang sehat,
melainkan dihalalkan oleh Allah sebagi Rahmat bagi umat ini karena keumuman
(universalitas) risalah-Nya dan keabadian-Nya. Allah berfirman:
“Mereka
menanyakan kepadamu:’Apakah yang Dihalalkan bagi mereka?’ Katakanlah:
‘Dihalalkan bagimu yang baik-baik ….” (Al Maidah: 4)
Allah
tidak memperkenankan seorang pun manusia untuk mengharamkan atas dirinya atau
atas orang lain akan sesuatu yang baik yang telah diberikan oleh Allah, meski
bagaimanapun baik dan niatnya atau karena hendak mencari ridho Allah. Karena
menghalalakan dan mengharamkan itu merupakan hak prerogatif Allah semata, tidak
ada hak sama sekali bagi manusia untuk ikut campur. Allah berfirma:
Katakanlah:
“Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu
jadikan sebagiannya Haram dan (sebagiannya) halal”. Katakanlah: “Apakah Allah
telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja
terhadap Allah ?” (QS. Yunus: 59)
Allah
menganggap perbuatan mengharamkan rezeki yang baik yang telah dihalalkan itu
sama halnya dengan menghalalkan kemungkaran yang telah diharmkan. Kedua macam
perbuatan ini akan mendatangkan kemurkaan dan azab Allah, dan mencampakkan
pelakunya ke lembah kerugian yang terang dan kesesatan yang jauh.
B.
Kalau kita renungkan, niscaya kita dapati bahwa mencintai nyanyian dan menyukai
suara musik yang merdu itu hampir sudah menjadi insting dan fitrah manusia,
sehingga jika ada anak kecil (bayi) yang menangis dapat ditenangkan dengan
lantunan nada-nada merdu.
Bahkan
dapat kita katakana bahwasanya burung-burung dan binatang pun terkesan oleh
suara dan irama yang merdu, sehingga Imam Ghazali mengatakan al-Ihya’, “Barang
siapa yang tidak tetarik mendengarkan suara yang merdu maka dia memiliki
kelainan, menyimpang dari keseimbangan, jauh dari hal-hal yang bersifat
kerohanian, lebih keras perasaannya dari pada unta, burung, dan semua jenis
binatang, karena unta dengan tabiatnya yang tolol itu merasa terpengaruh oleh
ladam yang dikenakan orang kepadanya sehingga ia merasa rigan membawa beban
yang berat. Bahkan –karena asyiknya mendengarkan suara (ladam) tersebut- ia
merasakan sebentar meski jauh jarak yang ia tempuh, dan timbullah rasa iba dan
rindu.”
Apabila
nyanyian atau musik tergolong dalam jenis permainan atau hiburan, maka hiburan
dan permainan itu tidaklah haram, sesungguhnya manusia tidak sabar terhadap
keserasian yang mutlak dan kekerasan yang abadi.
Nabi
Saw. bersabda kepada Hanzhalah, ketika Hanzhalah mengira dirinya telah menjadi
munafik karena ia bersenang-senang dengan istri dan anak-anaknya serta karena
sikapnya yang berbeda ketika ia di rumah dan kerika berda di sisi Rasulullah
Swa. :
يا حنظلة، ساعة وساعة. (رواه مسلم)
“Hai
Hanzhalah, suatu saat begini dan suatu saat begitu.” (HR Muslim)
Apabila
permainan atau hiburan (dalam hal ini adalah musik dan atau nyanyian) dilakukan
dengan niat untuk menyegarkan pikiran untuk bisa kembali bekerja dengan baik dan
melakukan kebenaran serta digunakan untuk menghilangkan kejenuhan, maka dinilai
sebagai qurbah (mendekatkan diri kepada Allah). Bagi orang yang belum
dapat menggerakkan sirat terpuji dari harinya dengan mendengarkan musik
–padahal perlu untuk digerakkan- bahkan ia hanya meraskan kelezatan dan
istirahat semata-mata, maka sangat disukai baginya untuk mencapai maksud
seperti yang disebutkan tadi (refreshing).
Memang,
hal ini menunjukkan kekurangan orang yang bersangkutan dari puncak kesempurnaan
sebab orang sempurna ialah orang yang tidak perlu menyenangkan hatinya dengan
selain kebenaran.Tetapi perlu diingat bahwa kebaikan orang-orang yang baik itu
masih merupakan kejelekan orang yang muqarrabin (dekat dengan Allah).
Dan orang yang menguasai ilmu mengobati hati (psikiater) –dengan dengan
menggunakan terapi lemah lembut terhadap pasiennya kemudian membawanya secara
perlahan kepada kebenaran- ia tahu dengan pasti bahwa menyenangkan dan
melapangkan hati dengan cara seperti itu merupakan obat yang sangat berguna dan
amat dipelihara.
2.5
Ketentuan dan Syarat yang Harus Dipelihara
Meskipun
secara umum mendengarkan musik/nyanyian diperbolehkan namun, juga harus ada
ketentuan yang layak dipenuhi di antaranya:
2.5.1
tema harus sesuai dengan adab Islam,
Musik
yang boleh didengarkan atau dimainkan tidak boleh yang mengagungkan
kemaksiatan, misal minuman keras, rokok dan perzinahan.Tidak boleh memuji
penguasa zalim. Demikian juga dengan yang memuji wanita atau lelaki mata
keranjang (tema cinta dan mesum)
“Katakanlah
kepada laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya…!” (QS.
An Nur: 30)
“Dan
katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan
pandangannya…!” (An Nur: 31)
2.5.2
gaya dan penampilan harus sopan.
Kadangkala
musik dan nyanyiannya tidak melanggar hukum Islam namun penampilan
penyanyi/pemusik dalam membawakannya dengan nada dan gaya sedemikian rupa,
sengaja mempengaruhi dan membangkitkan syahwat dan hati yang berpenyaikit. Maka
musik/nyanyian yang demikian ini hukumnya menjadi haram, syubhat atau makruh.
2.5.3
pementasan musik jangan disertai sesuatu yang haram
Sesuatu
yang haram yang biasanya mengikuti nyanyian atau musik adalah minuman keras
(khamr) dan menunjukkan aurat, atau membaur antara pria dan wanita tanpa
batas. Inilah yang menyebabkan acara musik dan nyanyi-nyanyian menjadi haram.
Yang
perlu untuk diingat adalah, pada zaman dulu, lantunan musik hanya bisa didengarkan
dengan cara mendatangi tempat penyanyi dan pemusik secara langsung (sebelum
adanya teknologi audio) acara seperti ini yang sering disertai dengan maksiat.
Namun sekarang musik bisa dedengarkan di rumah sendiri-sendiri.
Jadi,
yang haram bukan musiknya secara mutlak tapi bagaimana cara kita mendengarkan
musik itu sendiri.
2.5.4
kita harus menyeimbangkan agama dan duniawi
Karena
manusia tidak hanya terdiri dari perasaan, dan perasaan itu bukan cuma
cinta semata-mata, cinta itu sendiri bukan khusus untuk wanita saja, dan wanita
tidak hanya terdiri dari tubuh dan syahwat. Hendaknya kita melakukan
pembagian yang adil di antara nyanyian/musik, program, dan seluruh dimensi
kehidupan.
Setiap
individu bisa menjadi ahli fiqih dan mufti (penetap hukum) bagi dirinya
sendiri.Apabila musik yang didengarkan lebih banyak mudharat bahkan maksiat
hendaklah dia menjauhinya.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Pada
dasarnya segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah boleh kecuali yang telah
telah ditentukan keharamannya oleh Allah.Begitu pula dengan musik atau
nyanyian.
Pada
dasarnya hukum dari musik adalah boleh karena alasan yang diberikan oleh kaum
yang mengharamkan masih memiliki cacat sehingga bisa terbantahkan.Namun, hukum
boleh yang melekat pada musik tidaklah mutlak karena musik bisa berubah menjadi
haram ketika diikuti dengan tindakan-tindakan maksiat yang barang tentu sudah
dilarang oleh Islam sejak dulu.
3.2
Kritik dan Saran
Hendaknya
bagi siapapun (baik pendengar maupun pemain musik) tetap menjaga syariat Islam
yang harus ditaati sebagai seorang muslim yang berkepribadian muslim sejati.
Jika ingin bermain musik (bagi pemusik) tetaplah menjaga keimanan sehingga
musik yang dihasilkan tidak melanggar syariat, baik dari segi tema dan lirik
ataupun dari segi penampilan.
Begitu
pula dengan pendengar, jika ada pertunjukan musik secara langsung yang disana
pria dan wanita campur aduk hendaklah dihindari karena hukum musik disitu
menjadi maksiat.Begitu juga ketika mendengarkan musik yang bertemakan
kemungkaran hendaklah cepat-cepat tutup telinga dan matikan musik tersebut.
Daftar
Pustaka
Qardhawi,
Yusuf. 1996.Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid I. Jakarta: Gema Insani.
Qardhawi,
Yusuf. 1996.Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid II. Jakarta: Gema Insani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar