Oleh: Prof. Dr. Dede Rosyada, MA
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Pendahuluan
Indonesia adalah sebuah negara besar dengan jumlah penduduk hasil sensus tahun 2010 mencapai 236 728 379 orang[1], menghuni lima (5) pulau besar Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua, yang terletak di antara jajaran 17504 pulau yang termasuk dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejak awal Indonesia merdeka melepaskan diri dari penjajahan Belanda tahun 1945, para pendiri bangsa sudah menyadari akan keragaman bangsa Indonesia yang terdiri dari 30 etnik, dan merupakan penganut lima (5) agama besar kini sudah menjadi enam (6) agama besar yang dianut bangsa Indonesia, yakni Islam dianut oleh 87.18 % penduduk, Kristen dianut oleh 6.96 %, katholik dianut oleh 2.91 %, Hindu dianut oleh 1.69 %, Budha dianut oleh 0.72 % dan Khong Hu Chu dianut oleh 0.05 %[2]. Selebihnya adalah penganut agama-agama lain yang belum terdaftar sebagai agama resmi bangsa Indonesia.
Para pendiri bangsa sudah meletakkan kesepakatan di awal, bahwa mereka berbeda dari segi etnik, agama dan budaya, tapi mereka memiliki satu tujuan bersama menjadi bangsa merdeka yang bisa mengatur sendiri negara dalam rangka mewujudkan cita-cita bersama menjadi masyarakat maju mandiri, adil dan makmur. Untuk menjadi negara maju yang mampu berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia, dan menjadi negara yang mandiri dan mampu mengelola seluruh potensi bangsa, diperlukan stabilitas politik, partisipasi publik dan kekuatan sumber daya manusia yang handal. Untuk kepentingan stabilitas politik tersebut, maka keragaman etnik, budaya dan agama harus menjadi modal pembangunan dan jangan menjadi sumber perpecahan yang akan menjadi penghalang lajunya roda pembangunan bangsa. Untuk itulah, negara hadir mengurusi kehiduan umat beragama dengan meregulasi pola-pola tata hubungan antar umat beragama, internal umat beragama, dan antar umat beragama dengan pemerintah. Dan negara pun hadir dalam penyiapan sumber daya manusia untukmelakukan pembinaan kehidupan keagamaan terhadap umat beragama. Dengan demikian, konflik horisontal bisa diminimalisasi, sehingga lebih menonjol harmonisme dan kebersamaannya dibanding konflik dan ketegangannya.
Bagaimana negara meregulasi kehidupan keagamaan yang pada umumnya masyarakat dunia memandang bahwa agama adalah urusan privat dan negara tidak boleh ikut campur dalam kehidupan yang sangat personal tersebut. Dan bagaimana negara hadir dalam proses pembinaan keagamaan di masing-masing umat beragama serta komunikasi antar dan inter umat beragama agar potensi-potensi bangsa ini bisa disatukan dengan baik dan menjadi kekuatan modal pembangunan bangsa menuju masyarakat maju, mandiri, adil dan makmur.
Regulasi Kerukunan
Perhatian terhadap pembinaan harmony in diversity sudah ditunjukkan sejak awal negara ini berdiri dengan mendirikan kementerian Agama di tahun 1947, dengan salah satu tugas mengurusi pembinaan masyarakat, baik masyarakat Islam, Kristen, Katholik, Hindu maupun Budha. Pada tahun 1967, diadakan musyawarah antara umat beragama, dan Presiden Soeharto menegaskan “bahwa pemerintah tidak akan menghalangi penyebaran satu agama dengan syarat penyebaran tersebut ditujukan bagi mereka yang belum beragama di Indonesia. Kepada semua pemuka agama dan masyarakat agar melakukan jiwa toleransi terhadap sesama umat beragama”[3]. Presiden Soeharto menegaskan bahwa penyebaran agama hanya dimungkinkan bagi kelompok masyarakat yang belum beragama, sementara mereka yang sudah menjadi pemeluk agama, dibina kualitas pelaksanaan ajaran agamanya.
Pesan kepala negara tersebut kemudian diikuti dengan lahirnya Surat Keputusan Menteri Agama RI no. 70 tahun 1978 tentang Pedoman Penyiaran Agama[4], dan diatur, bahwa:
Pertama; Untuk menjaga stabilitas nasional dan demi tegaknya kerukunan antar umat beragama, pengembangan dan penyiaran agama supaya dilaksanakan dengan semangat kerukunan, tenggang rasa, teposeliro, saling menghargai, hormat menghormati antar umat beragama sesuai jiwa Pancasila.
Kedua; Penyiaran agama tidak dibenarkan untuk:
a. Ditujukan terhadap orang dan atau orang-orang yang telah memeluk sesuatu agama lain;
b.Dilakukan dengan menggunakan bujukan/pemberian material, uang, pakaian, makanan/minuman, obat-obatan, dan lain-lain agar supaya orang tertarik untuk memeluk sesuatu agama;
c. Dilakukan dengan cara-cara penyebaran pamflet, buletin, majalah, buku-buku, dan sebagainya di daerah-daerah/ di rumah-rumah kediaman umat/orang yang beragama lain;
d. Dilakukan dengan cara-cara masuk ke luar dari rumah ke rumah orang yang telah memeluk agama lain dengan dalih apapun,
Ketiga; Bilamana ternyata pelaksanaan pengembangan dan penyiaran agama sebagaimana yang dimaksud Diktum Kedua, menimbulkan terganggunya kerukunan hidup antar umat beragama, akan diambil tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Surat Keputusan Menteri Agama ini dikeluarkan dalam rangka:
Menjaga stabilitas nasional untuk proses pembangunan bangsa, baik dalam sektor perekonomian, politik maupun kehidupan sosial lainnya, karena agama merupakan faktor yang sangat sensitif di masyarakat dan akan sangat mudah tersulut emosi hanya oleh faktor-faktor yang amat sepele. Jika terjadi ketegangan sosial, apalagi diikuti dengan aksi kekerasan, maka akan sangat sulit bagi pemerintah untuk membangun kohesifitas sosial dalam proses penguatan pembangunan bangsa.
Terbangunnya kerukunan internal dan antar umat beragama, karena aksi penyebaran agama pada mereka yang sudah beragama, apalagi dengan pendekatan pemberian hadiah, akan sangat mengganggu kenyamanan sosial, dan akan menyulut emosi salah satu pihak yang akan menimbulkan konflik sosial.
Surat keputusan Menteri Agama ini juga dikeluarkan sebagai salah satu strategi agar pemerintah bisa hadir dalam kehidupan keagamaan masyarakat, khususnya dalam kontek penyiaran agama, pembinaan kerukunan internal dan antar umat beragama, dan juga pemerintah bisa hadir saat terjadi konflik sosial yang dipicu oleh persoalan keagamaan.
Pada akhirnya SK tersebut dikeluarkan agar para tokoh umat beragama menghormati penganut agama lain, tidak saling mengganggu dan bahkan bisa saling menghormati, agar terjadi kerukunan dan tidak terjadi pertentangan satu sama lain, mereka semua bisa menyatu secara kohesif untuk bersama-sama membangun bangsa. Potensi yang ada pada masing-masing agama diharapkan secara optimal berkontribusi terhadap pemajuan bangsa, dan jangan terkendala oleh ketegangan komunikasi sosial. Kemudian, penyebaran agama pada mereka yang sudah beragama juga akan mengganggu ketenagnan dan kenyamanan mereka yang sudah mengamalkan praktik-praktik keagamaan yang mereka yakini, sehingga aktifitas penyebaran agama justru mengganggu hak-hak asasi masyarakat untuk beragama sesuai keyakinannya.
Kemudian, pada tahun yang sama Menteri Agama mengeluarkan Surat Keputusan No. 77 tahun 1978, tentang bantuan luar negeri kepada lembaga keagamaan, yakni segala bentuk bantuan berasal dari luar negeri yang berwujud bantuan tenaga, materiil, dan atau finansial yang diberikan oleh pemerintah negara asing. Sedangkan lembaga keagamaan adalah organisasi perkumpulan badan yayasan dan lain-lain bentuk lembaga keagamaan yang usahanya bertujuan membina mengembangkan, dan menyiarkan agama[5]. Pada pasal 2 SK tersebut diatur bahwa bantuan luar negeri baik berupa bantuan tenaga, material maupun finansial dapat dilaksanakan setelah memperoleh persetujuan atau rekomendasi dari Menteri Agama[6]. Bahkan termasuk tenaga profesional asing yang sedang bertugas di Indonesia, jika ingin membantu melakukan pembinaan keagamaan pada umat beragama, harus memperoleh persetujuan atau rekomendasi dari kementrian Agama. Pengaturan ini dilakukan agar proses pembinaan keagamaan terpantau benar oleh pemerintah, sehingga masyarakat tidak akan termasuki isme-isme yang akan merugikan bangsa dan negara. Dan bahkan, pemantauan ini juga dilakukan agar proses pemberian bantuan dapat dilakukan dengan tertib, rapi, sesuai dengan standar operating procedure yang bisa memberikan jaminan keterbukaan, akuntabilitas, dan yang terpenting semua agama yang ada merasa terpenuhi seluruh kebutuhannya untuk tetap dibina dan diperhatikan oleh negara.
Regulasi tentang kerukunan yang mengatur pola pembinaan umat beragama oleh para pembina seagama, diatur sedemikian rupa sehingga tidak ada benturan sosiologis di masyarakat. bahkan bantuan asing berupa bantuan finansial, bantuan tenaga atau bentuk apapun harus memperoleh izin dan rekomendasi dari Kementrian Agama, sehingga bantuan tersebut digunakan secara benar untuk pembinaan umat beragamanya dan tidak menjadi pemicu keretakan sosial antar umat beragama. Kondisi ini berjalan terus selama hampir dua dekade lebih, dan terus bergulir di masyarakat berkat jasa besar para penyuluh agama dari kementerian, para penda’wah profesional yang tidak terikat dengan jadwal pemerintah, dan bahkan para mahasiswa dari seluruh bidang kajian keilmuan juga juga mempelajari berbagai regulasi tentang harmony in diversity ini, sehingga mereka menjadi pelopor dalam pengembangan dan pelaksanaan dari semangat kesatuan dan persatuan yang direkatkan dengan konsep dan regulasi kerukunan.
Tiga sasaran kerukunan yang menjadi tugas para penyuluh serta para penyampai agama pada masyarakat, yakni
Kerukunan internal umat beragama
Kerukunan antar umat beragama
Kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah
Kerukunan internal umat beragama adalah saling menghormati antar pemeluk agama yang berbeda aliran akibat perbedaan dalam praktik-praktik ritual atau dalam aspek-aspek pelaksanaan keagamaan lainnya. Kerukunan internal umat beragama menjadi sangat penting untuk mengembangkan kerukunan antar umat beragama yang berbeda dalam sistem ritual dan bahkan berbeda dalam sistem kepercayaannya. Dan terakhir kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah. Mereka para penyuluh kementrian dari seluruh agama berusaha menjelaskan kepada jemaatnya masing-masing bahwa kerukunan adalah bagian dari ajaran keagamaan yang perlu dikembangkan oleh semua jemaat. Dengan demikian, masyarakat Indonesia secara umum mampu mempertahankan kesatuan dan persatuan dalam bingkai kerukunan dengan menjadikan kebijakan politik tersebut sebagai ajaran atau pemikiran keagamaan.
Kemudian pada tahun 2006, pemerintah mengeluarkan regulasi baru yang melengkapi regulasi-regulasi sebelumnya, yakni sebuah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 8 tahun 2006, dan nomor 9 tahun 2006, tentang “Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat”. Dalam peraturan bersama ini diatur tugas Gubernur dengan Kakanwil Kementrian Agama serra Bupati/walikota yang dibantu oleh Kepala kantor Kementrian Agama Kabupaten/kota, untuk menjaga dan mengembangkan kerukunan, memberdayakan forum kerukunan umat beragama, serta pengaturan pendirian rumah ibadah bagi seluruh umat beragama, selama terdapat sejumlah penganut agama di kabupaten /kota tersebut.
Sesuai struktur pemerintahan di Indonesia, Gubernur berperan melakukan koordinasi antar Bupati, mendorong para Bupati untuk melaksanakan tugas-tugas mereka sesuai undang-undang, dan mengatasi masalah yang terkait dengan berbagai urusan antar kabupaten/kota.Dengan demikian, tugas pembinaan masyarakat berada di bawah Bupati/walikota. Tugas-tugas Bupati/Walikota dalam kontek pembinaan kerukunan, sebagaimana dikemukakan dalam peraturan bersama Menteri dalam negeri dengan Menteri Agama pasal 6 ayat 1, yang dikeluarkan tahun 2006 adalah sebagai berikut. adalah sebagai berikut[7].
Tugas dan kewajiban bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi:
a. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat termasuk memfasilitasi
terwujudnya kerukunan umat beragama di kabupaten/kota;
b. mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal di kabupaten/kota dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama;
c. menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling
menghormati, dan saling percaya di antara umat beragama;
d. membina dan mengoordinasikan camat, lurch, atau kepala desa dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang ketenteraman dan ketertiban
masyarakat dalam kehidupan beragama;
e. menerbitkan IMB rumah ibadat.
Pelaksanaan kewajiban tersebut, sebagaimana diatur dalam peraturan NO. 8 dan 9 tahun 2006 ini, didelegasikan pada wakil bupati/wakil walikota, dan untuk tingkat kecamatan didelegasikan pada camat, untuk tingkat kelurahan didelegasikan pada lurah/kepala desa melalui camat[8].
Peraturan ini menegaskan, bahwa pemerintah daerah, dari tingkat gubernur di wilayah provinsi, kemudian bupati/walikota di wilayah kabupaten atau kota, dan juga serta lurah atau kepala desa memiliki tugas untuk melakukan tiga hal:
Mendorong terus berkembangnya kerukunan umat beragama, baik di internal umat beragama, antar umat beragama maupun antar umat beragama dengan pemerintah.
Memelihara kerukunan, saling menghormati dan saling menjaga di kalangan umat beragama, internal umat beragama, antar umat beragama dan bahkan antar umat beragama dengan pemerintah.
memfasilitasi umat beragama dengan rumah ibadah, setidaknya dengan mengeluarkan izin pendirian rumah ibadah, sejauh di tempat tersebut terdapat umat beragama tertentu sejumlah minimal 90 orang, dan mendapat persetujuan umat lain bukan pengguna rumah ibadah tersebut, minimal 60 orang[9].
Peraturan bersama ini semakin memperjelas peran dan posisi pemerintah dalam membina kerukunan umat beragama di Indonesia. Pemerintah hadir untuk mengurusi persoalan keagamaan masyarakat, bukan sekedar untuk menyelesaikan konflik di antara mereka, tapi justru untuk membina dan mengarahkan seluruh umat beragama di Indonesia untuk supaya bisa menghargai mereka yang berbeda keyakinan, untuk menghormati mereka yang berbeda dalam praktik peribadatan. Akan tetapi, kerukunan yang merupakan implementasi amanah UU Dasar Negara Republik Indoensia, kerukunan yang dikembangkan untuk menjaga kohesfifits bangsa Indonesia dalam rangka memajukan bangsa agar sejajar dengan bangsa-bangsa besar lain di dunia. maju sebagaimana negara-negara lain.
Pembinaan
Regulasi untuk memperkuat kerukunan dan pembinaan harmonisme kehidupan bangsa Indonesia sudah sangat memadai, hanya saja proses pembinaanya yang masih terus didinamisasi agar terus mampu berkontribusi membangun dan membentuk kehidupan harmonis di kalangan bangsa Indonesia. Gunaryo mencoba mengelaborasi langkah-langkah yang produktif untuk membina kerukunan, antara lain[10]:
Pendidikan dan pembinaan multikulturalisme di kalangan para penyuluh dan penyiar agama, untuk para siswa madrasah dan pesantren, dan juga untuk para mahasiswa yang akan menjadi penggiat dalam pembinaan keagamaan bagi masyarakat. Pendidikan multikulturalisme pada hakikatnya membiasakan para tokoh agama ntuk bisa menghargai keragaman, termasuk menghargai penganut agama yang berbeda dengan dirinya, dengan menekankan bahwa menghargai keragaman adalah bagian dari ajaran agama.
Memberdayakan Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) yang sudah terbentuk di setiap provinsi, dan dibentuk oleh gubernur, hanya saja penggeraknya adalah pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB). Dengan demikian, PKUB harus mengagendakan secara rutin untuk memperbanyak dialog antara tokoh-tokoh agama melalui forum FKUB yang sudah tersedia di setiap provinsi.
Melakukan dialog terhadap mereka yang sudah terindikasi memiliki faham radikalisme, mereka yang selalu cenderung egois dan bersikap takfiri, mengkafirkan orang yang tidak sependapat dengan mereka, sering kali ekslusif dan harus diajak berdialog oleh forum-forum yang dibentuk pemerintah ini, karena forum tersebut memiliki keweangan untuk menjangkau seluruh kelompok sosial.
Optimalisasi media dengan menjadikan media elektronik yang menjangkau banyak orang dengan program-program yang menjelaskan tentang kerukunan, signifikansi kerukunan, multikulturalisme dan berbagai pandangan yang konstruktif untuk membangun harmony in diversity.
Interfaith dialogue sebagai sebuah agenda rutin dengan menyentuh aspek-aspek sosial kebangsaan, karena kebangsaan tidak semata mengurusi soal teologi, tapi justru soal ekonomi, peradaban, pengembangan sains dan teknologi yang alan membawa bangsa ini maju.
Program pembinaan kini masih sanggat didominasi oleh pemerintah melalui kementrian agama, dan masih belum variatif dengan hanya mengembangkan program layanan pembinaan kehidupan keagamaan melalui para penyuluh agama pada masyarakat, dan salah satu agenda penyuluhan adalah memahamkan masyarakat akan perlunya menghargai perbedaan, dan menghargai perbedaan menjadi bagian dari ajaran agama. Gerakan ini dilakukan serempak dari seluruh umat beragama, Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan bahkan Khong Hu Chu. Untuk kepentingan tersebut, kementrian Agama mengembangkan program pendidikan tinggi keagamaan, untuk mendidik mereka yang akan menjadi penyuluh agama, serta profesi-profesi lain yang bisa dikembangkan di masyarakat.
Kemudian bersamaan dengan itu, kegiatan penyuluhan juga dilakukan oleh para pembina rohani keagamaan di mesjid, di gereja, di pure dan vihara dan juga di kelenteng, para tokoh agama melakukan pembinaan keagamaan bagi para jemaatnya, dan salah satu dari tema pembinaannya adalah tentang kerukunan yang dipersiapkan oleh kementrian untuk mereka sampaikan pada para jemaatnya itu. Pemerintah sangat serius melakukan pembinaan masyarakat untuk menjaga keharmonisan sosial dengan memelihara kerukunan antar umat beragama, dengan meningkatkan saling menghargai satu sama lain, sehingga mereka bisa menyatu secara kohesif dalam membangun bangsa agar menjadi bangsa yang besar yang dihargai oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Hanya saja, program-program lain berupa pemberdayaan FKUB, penggunaan media telivisi untuk program-program ini belum sebagaimana diharapkan.
Bacaan
Gunaryo, Ahmad, Kebijakan Kementerian Agama Dalam Pembinaan Kerukunan Umat, antarasultra.com, 2012
Masjkuri, A Qahar, dkk., Pendidikan Agama Islam, Universitas Gunadarma, Jakarta, 2003.
Naim, Akhsan, dan Hendri Saputra, Kewarganegaraan, Suku Bangsa Agama, Dan Bahasa sehar-hari Penduduk Indonesia, Hasil Sensus tahun 2010, Badan Pusat Statistik, Jakarta, 2010.
Peraturan Bersama Menteri Agama dengan Kementrian dalam Negeri No. 8 dan 9, tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas kepala daerah pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan FKUB dan pendirian rumah ibadah, tahun 2006, pasal 6 ayat 1, 2 dan 3.
Surat Keputusan Menteri Agama No. 70 tahun 1978, tentang Pedoman Penyiaran Agama.
Surat Keputusan Menteri Agama RI No. 77 tahun 1978 tentang Bantuan Luar Negeri pada Lembaga Keagamaan, pasal 1 ayat 1 dan 2.
[1] Akhsan Naim dan Hendri Saputra, Kewarganegaraan, Suku Bangsa Agama, Dan Bahasa sehar-hari Penduduk Indonesia, Hasil Sensus tahun 2010, Badan Pusat Statistik, Jakarta, 2010, h. 7.
[2] Ibid. h. 10.
[3] A Qahar Masjkuri dkk., Pendidikan Agama Islam, Universitas Gunadarma, Jakarta, 2003, hal. 149.
[4] Surat Keputusan Menteri Agama No. 70 tahun 1978, tentang Pedoman Penyiaran Agama.
[5] Surat Keputusan Menteri Agama RI No. 77 tahun 1978 tentang Bantuan Luar Negeri pada Lembaga Keagamaan, pasal 1 ayat 1 dan 2.
[6] SK Menteri Agama No. 77 tahun 1978, tentang Bantuan Luar Negeri …. pasal 2
[7] Peraturan Bersama Menteri Agama dengan Kementrian dalam Negeri No. 8 dan 9, tahun 2006, pasal 6 ayat 1, 2 dan 3.
[8] Peraturan Bersama No. 8 dan 9 tahun 2006, pasal 6 ayat 2 dan 3.
[9] Peraturan bersama antara wamenlu dan Kementrian Agama, pasal 6 ayat 1 dan 2.
[10] Ahmad Gunaryo, Kebijakan Kementerian Agama Dalam Pembinaan Kerukunan Umat, antarasultra.com, 2012.
15655 Total Views 893 Views Today
Ditulis oleh Luthfy Rijalul Fikri 18/11/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar