AGAMA JAIN
Makalah ini dibuat
untuk memenuhi tugas mingguan mata kuliah Agama Minor
Dosen Pembimbing
Ibu Hj. Siti Nadroh,
M.Ag
Disusun oleh:
Ahmad Khoirul Roziqin (
1110032100067 )
Kurniawan Nugraha (
1110032100060 )
JURUSAN PERBANDINGAN
AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN
FILSAFAT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Agama adalah sistem yang mengatur tata
keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata
kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta
lingkungannya.[1][1]
Mengetahui lebih lanjut tentang agama agama dunia, salah satunya yaitu
agama yang berasal dari india, sementara penduduk di india sendiri juga
memiliki perbedaan kepercayaan, seperti pemeluk agama hindu, agama budha, agama
jainisme, dll.
Dalam makalah ini hanya dibatasi untuk agama jainisme saja, yang mencakup
didalamnya. Banyak diantaranya membahas mengenai ajaran agama, kapan agama
jainisme lahir, singkatnya agama jainisme atau juga disebut kaum jain ini
terlahir di india dengan Vardhamana sebagai panutannya.
2.
Tujuan
Tujuan penulis membuat makalah berjudul “AGAMA JAIN” adalah:
Ø Memberikan pengetahuan kepada pembaca mengenai bagaimana sejarah dan
ajaran-ajaran Agama Jain.
Ø Sebagai pemenuhan terhadap tugas
makalah mingguan yang dibutuhkan sebagai syarat untuk menyelesaikan matakuliah
Agama Minor.
Ø Memberikan wawasan yang lebih
dalam mengenai Agama-Agama Minor kepada kami dan Mahasiswa yang lainnya
Ø
3.
METODE
Metode yang digunakan
penulis dalam mengumpulkan data penulisan makalah ini adalah metode studi
pustaka dari buku referensi yang terkait dan data dari internet.
4.
SISTEMATIKA PENULISAN
Peulisan makalah ini terdiri
dari 3 bab. Bab pertama yaitu pendahuluan yang terdiri dari latar belakang,
tujuan, metode, dan sistematika penulisan. Sedangkan bab kedua yaitu pembahasan
yang terdiri dari Sejarah dan Perkembangan Agama Jain, Ajaran dan Praktek
Kegamaannya. Bab terakhir yaitu bab penutup yang berisi kesimpulan dari isi
makalah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah dan Perkembangan Agama
Jain
Jain bermakna
penaklukan. Dimaksud penaklukan kodrat-kodrat syahwati di dalam tata hidup
manusiawi.[2][2] Salah satu filsuf
berkata “ Jain adalah gerakan rasionalisme yang bebas dari kekuasaan Weda kitab
suci umat Hindu dan terbentuk dari karakter umum masyarakat Hindu. Paham ini
terbentuk karena rasa takut terhadap reinkarnasi dan pelarian dari kesialan hidup.
Berawal dari asketisisme dalam hidup karena khawatir bahaya mengancam. Jainisme
berpegang pada latihan rohani yang melelahkan dan kontrol yang sulit. Poinnya
adalah tidak peduli pada kenikmatan dan penderitaan. Caranya dengan menjalani
hidup dalam kesengsaraan dan kekerasan. Selain itu, dengan menjadi seorang
rahib (pendeta) tetapi bukan Brahma.[3][3]
[1]
[1]
Jain muncul sebagai
reaksi atas sikap eksrem hindu dalam hal diskriminasi lapisan sosial (kasta).
Akibat sebagian ajaran hindu, masyarakat digeser kedalam medan konflik
antarlapisan sosial. Mereka terjebak diantara api kedengkian dan kebencian.
Jainisme menyangkal sebagian ajaran hindu, terutama dalam hal kasta yang
dinilai berbahaya bagi masyarakat. Seruan baru ini mendapat dukungan penuh dari
banyak pihak. Namun, meski sikap jainisme tanpa seperti gerakan reformasi,
pengaruhnya tidak banyak menyentu masyarakat. Mayoritas penduduk India masih
berpegang pada doktrin hindu. Jumlah pengikut jainismepun terbilang sedikit
yang menurut perkiraan hanya berjumlah sejuta orang.[4][4]
Dialah Vadharmana,
orang pertama yang mendirikan jainisme. Umat Jain biasa memanggilnya Mahavira
(599-527 SM). Mahavira lahir dari keturunan golongan Ksatria yang memegang
kendali politik dan ketentaraan. Mahavira dibesarkan dirumahnya yang penuh
dengan kebesaran, di tengah-tengah kemewahan dan kesenangan. Keluarganya
tinggal di Pisarah berdekatan dengan sebuah Bandar yang sekarang dinamakan
Patna di wilayah Bihar. Bapaknya, Sidartha adalah seorang anggota ketentaraan.
Sidartha telah menikah dengan anak perempuan ketua mejelis Tris Sala.
Kedudukan Sidartha menjadi semakin tinggi
hingga sebagian riwayat menyifatkannya sebgai Amir Bandar atau Rajanya.
Mahavira adalah anak laki-laki yang kedua. Rumah ayahnya dijadikan tempat
tujuan para pemuka agama dan para ahli ibadah. Sebab, di tempat itu mereka
menemukan jamuan paling enak dan penyambutan yang hangat.
Mahavira mulai senang mendengarkan cerita dan perbincangan mereka. Dia berharap bisa bergabung dengan mereka, tetapi kedua orang tuanya melarang. Mahavira pun mengubur harapannya itu karena mengetahui orang tuanya sangat menentag kerahiban. Setelah sang ayah meninggal dan kekuasaan kota diserahkan kepada kakaknya, mahavira meminta izin sang kakak agar merestui dirinya menapaki jalan kerahiban. Sang kakak pun mengizinkan. Setelah itu, Mahavira mulai melepas pakaian mewahnya dan menggantinya dengan pakaian orang-orang ahli badah dan pakaian pendeta.
Keesokan harinya,
mahavira melintasi semua bagian kota sambil merenung dan berfikir. Dia mulai mengurangi
makanan dan minuman serta hidup dari pemberian orang. Setelah menjalani masa
kerahiban selama 13 bulan, dia melepas
seluruh pakaiannya dan berjalan telanjang tanpa sehelai kain pun. Hal tersebut
dilakukannya karena telah mencapai tahap kecerahan spiritual. Dia tak lagi
memiliki rasa malu, sakit, senang, ataupun gembira.
Mahavira terus menjalani pelatihan nafsu dan rohani selama 12 tahun hingga menjadi sebagaimana yang diucapkan para penikutnya—seseorang yang tidak lagi peduli akan rintangan seberat apapun. Setelah sampai pada tingkat tersebut, mahavira lantas beranjak ke tingkat selanjutnya: mengajak manusia untuk mengikuti ajaran dan madzhabnya. Beruntung, masyarakat menyambut seruannya karena waktu itu mereka resah dengan paham Hindu yang berlebihan.
Kemudian, mahavira
mengajak keluarga, kerabatnya, serta penduduk kota. Mereka pun memenuhi
seruannya tersebut. Dia terus menyeru masyarakat hingga umurnya genap 72 tahun.
Selepas itu, dia singgah di kota Penaporedi wilayah Patna. Mahavira memberikan
55 khotbah kepada masyarakat dan menjawab 36 pertanyaan yang tidak ditanya.
Setelah itu, mahavira menghembuskan nafas terakhirnya pada tahun 527 SM. [5][5]
B. Ajaran dan Praktek Kegamaannya
Jainisme tidak lain adalah gerakan revolusioner terhadap sebagian ajaran Hindu yang pengaruhnya meresahkan masyarakat. Sistem kasta telah menciptakan benih permusuhan dan kebencian antar-golongan. Jiwa masyarakat yang tadinya bersatu, diguncang dengan kedenkian satu sama lain karena system pelapisan social yang ekstrem tersebut.
Ketika system kasta tersebut, menurut keyakinan Hindu dianggap sebagai kehendak dewa, mahavira menentangnya. Akibat penentangannya itu, Jainisme dianggap sebagai aliran atheis. Dari sini terjadilah kekosongan besar pada agama Jain karena sikap mahavira tidak mengakui dewa, padahal pengakuannya tersebut bisa menyempurnakan aliran baru yang diserukan itu. Hal inilah yang pada akhirnya menyebabkan pengikut mahavira dan aliran Jainisme mengambil 24 dewa sebagai tuhan mereka.
Para pengikut Jain berpendapat bahwa Agama Jain adalah suatu mazhab yang amat lama dan telah cukup sempurna tatkala berada pada tangan Jain yang ke 24. Jain yang pertama namanya RASABHA, lahir sejak zaman purbakala dan sejarah tidak menyebutkan sesuatu tentangnya, hanya sebagian kisah dongen saja yang menghubungkannya. Setelah itu timbullah Jain-Jain yang lain, seorang demi seorang, hingga lahir dua orang Jain terakhir dalam tingkat zaman sejarah. Yang pertama adalah Jain yang ke 23 namanya PARSUANATH yang dilahirkan pada abad ke 9 SM dan mati pada abad ke 8 SM.[6][6] Dia telah mendirikan suatu lembaga ketuhanan yang dikaitkan dengan keperluan latihan-latihan yang berat. Dia membagi pengikutnya menjadi dua bagian, yaitu golongan khusus dan golongan umum.
Lahirlah Mahavira dan dialah Jain yang ke 24. Dia menganut prinsip-prinsip Parsunath dan menambahkan lagi dengan pikiran-pikiran, pengalaman, dan ilhamnya. Kedudukan Mahavira menjadi tinggi dan aliran ini terkenal dengan namanya serta lembaga tersebut dikenal dengan gelarnya. Agama jain dikenal kecuali berpadu dengan namanya.
Diantara kepercayaan
Jainisme adalah tidak mengakui system kasta. Kala itu, setiap orang berusaha
untuk terbebas dari kasta yang kemungkinan kecil hanya didapat dengan bekerja.
Pada sisi lain, Jainisme melihat bahwa kemampuan manusia tentu berbeda dalam
menanggung dan menjalankan ajarannya. Karena itu, mereka membagi manusia
menjadi dua golongan sesuai kemampuan: golongan khusus dan golongan umum(awam).
Golongan khusus adalah pendeta-pendeta, orang-orang pertapa yang mengamalkan latihan-latihan berat dan pengharaman diri serta meninggalkan keluarga dan rumah karena menjelajahi negara-negara, kota-kota, dan kampung-kampung. Golongan ini adalah tulang punggung lembaga tersebut. Demi mendapatkan keselamatan sejati. Sehingga mereka rela berjalan keliling kota dengan tubuh telanjang, tanpa busana apapun dan alas kaki serta menderita, sakit, lapar, hina dan miskin.
Sementara golongan umum adalah mereka yang mengambil jalan yang dilalui oleh orang-orang khusus tadi. Mereka tidak melakukan latihan yang berat dan melelahkan, tetapi mereka berkewajiban menyanggupi semua ajaran Jainisme, seperti menjaga para arwah meski itu arwah seekor serangga sekalipun. Mereka beretika dengan akhlak dan perilaku orang-orang Jain dan harus bersedekah kepada para pedeta. Salah satu kepercayaan Jain yang sesuai dan sama dengan Hinduisme adalah pendapat tentang reinkarnasi dan adanya kelahiran berulang pada orang yang sama.[7][7]
Pokok ajaran agama jainisme Mahavira
mengajarkan bahwa kebebasan itu terpendam di dalam diri manusia sendiri. Yaitu
:
1. Kebebasan dari Karma
maksudnya adalah yakni sebab-akibat dari
tindak laku manusiawi. Dan kaum jain menganggap bahwa setiap orang terikat
dengan karma, atas perbuatan jahat yang dilakukan setiap manusia, berbeda
dengan agama hindi dan budha yang menganggap bahwa karma itu ada karma baik dan
karma buruk, yaitu apabial seseorang meloki perbuatan baik maka ia akan
mendapatkan karma yang baik dan sebaliknya. Sedangkan kaum jain, kaum jain
hanya memiliki satu karma saja yitu hanya karma buruk saja.
2. Kebebasan dari samsara
maksudnya adalah hidup berulang kali kedunia yang semua itu merupakan denta.
Kebebasan itu bukan dengan mempersembahkan korban sesewaktu, dan bukan pula
dengan mempersembahkan sesajen didepan berhala.[8][8]
v Kaum jain juga memiliki prinsip- prinsip,
yaitu diantaranya :
a. Ahimsa yaitu
melakukan tindakan yang merugikan mahluk hidup lainnya, seperti membunuh
binatang, tumbuhan dll. Memang kalau dipikir dengan logika, kita tidak
akan pernah bisa untuk tidak melakukan yang seperti itu, karena apabila kita
tidak memanfaatkan seperti tumbuhan dan binatang sebagai kebutuhan menusia
seperti untuk makan misalnya, apa kita bisa makan dengan tidak menggunakan
pokok makan dari tumbuhan dan hewan, Lalu bagaimana orang jain menanggapi
tentang konsep ini? Lalu muncul jawaban memang tidak bisa dan, tapi semua
itu dapat diminimalisirkan seperti dengan berpuasa, ada satu prinsip bahwa
seseorang berpuasa sampai dia meninggal, dan orang seperti ini dianggap
telah mencapai kebebasan dimana dia telah berengkarnasi.
b. Satia yaitu kebenaran
berbicara yang bermaksud tidak berbohong kapada sesama mahluk, karena juga kita
ketahui bahwa berbohong adalah merugikan orang lain.
c. Asetya yaitu mencuri,
dengan sesama manusia dalam faham kaum jain dilarang untuk mencuri, sama
seperti pada hukum hukum yang ada bahwa muncuri merugikan orang lain.[9][9]
Mahavira menyimpulkan
seluruh pokok ajarannya pada Tiga Ratna Jiwa (The Three Jewels of Soul), yaitu
:
1.
Pengetahuan yang benar
2.
Kepercayaan yang benar
3.
Tindakan yang benar
1.
Jangan membunuh sesuatu yang hidup
2.
Jangan mencuri
3.
Jangan berdusta
4.
Jangan hidup bejat
5.
Jangan menghasratkan apapun
C.
Sekte di dalam Agama
Jain
Sekitar tahun 310 SM. Terjadilah perpecahan paham dan pendirian dalam kalangan agama Jain itu, yakni lebih kurang 3 abad sepeninggalan Mahavira (599-527 SM). Perpecahan itu disebabkan musim paceklik di India utara. Sejumlah 12.000 orang dari jemaat Jain itu, di bawah pimpinan Bhadrabahu, melakukan perpindahan menuju belahan selatan India, berdiam dan menetap dalam wilayah Mysore. Dengan begitu jemaat Jain itu telah terpecah dua, yaitu belahan utara dan belahan selatan. Belahan utara itu beriklim dingin dan belahan selatan beriklim panas. Didalam wilayah yang beriklim panas itu pakaian tidaklah diperlukan. Sedangkan jemaat Jain bagian belahan utara lebih mengutamakan bertarak dan bertapa, yakni hidup secara asketik.
Sekitar tahun 82 M baharulah perpecahan itu menjadi resmi disebabkan masalah pakaian. Jemaat Jain yang mendiami wilayah pada belahan utara pegunungan Vindaya, yang bersuhu sejuk itu, selalu mengenakan pakain putih. Jemaat Jain itulah yang dipanggilkan dengan sekta Svetambara, yakni jemaat berpakain putih.
Tetapi jemaat Jain yang
mendiami wilayah pada belahan selatan pegunungan Vindhya itu, yang sepanjang
tahun beriklim panas, tidak mengenakan pakaian agak sehelai benangpun. Jemaat
Jain itulah yang dipanggilkan dengan sekta Digambara, yakni jemaat
bertelanjang bugil bagaikan langit.
Masalah pakain itu
lantas menjadi masalah keagamaan yang meruncing sangat tajam antara kedua
sekta. Sekta Digambara itu beralaskan sikap hidup Mahavira di dalam
pengembaraannya, yang tiada ambil mumet dan tiada ambil perduli terhadap
kebutuhan duniawi.
Tetapi semenjak abad ke
7 M, yakni semenjak anak benua India itu berada di bawah kekuasaan Islam,
demikian Robert E. Hume, Ph.D. di dalam bukunya Wordl’s Living Religions edisi
1930 halaman 52, maka anggota jemaat
Digambara itu mulai dipaksakan mengenakan pakaian, setidak-tidaknya mengenakan
cd.[11][11]
D.
Kitab Suci Agama Jain
Kitab suci di dalam agama Jain (Siddhanta) itu bermakna : pembahasan. Dan kitab suci Jain bisa disebut dengan nama Agamas yang bermakna : perintah, ajaran, dan bimbingan.[12][12]
Kitab suci Jain hanyalah sekumpulan 55 khotbah mahavra,
beberapa pidato dan wasiat yang berhubungan dengan para murid, pendeta, dan
ahli ibadah aliran tersebut. Warisan ini turun-temurun berpindah secara lisan
yang baru terkumpul pada abad ke-4. Pada waktu itu, para pemuka agama Jain
berkumpul di kota Paleopatra. Mereka berdiskusi perihal kodifikasi warisan
mahavira tersebut karena khawatir hilang dan tercampur dengan sesuatu yang
lain. Mereka mengumpulkan sebagian isi kitab dalam beberapa buku dan berselisih
tentang sebagian sumbernya. Namun, mereka belum berhasil menyatukan suara
masyarakat guna menyepakati rencana kodifikasi tersebut.
Oleh karena itu, penulisan undang-undang Jainisme ditunda sampai tahun 57 M. akhirnya, mereka membukukan sebagian naskah yang didapatkan setelah cukup banyak kehilangan warisan tersebut. Pada abad ke-5 M, mereka menyelenggarakan pertemuan lain di kota Welapehi yang menyepakati pendapat terakhir tentang warisan Jainisme yang mereka anggap suci. Kali pertama, buku tersebut ditulis dalam bahasa Ardaha Majdi,(bahasa kepustakaan sebelum masehi) kemudian ditulis dengan bahasa Sanskerta pada abad-abad Masehi. Selain itu orang Jain juga percaya dengan permata yakut yang tiga atau bisa disebut tiga ratna jiwa diantaranya yaitu,
1. Permata atau mutiara yang pertama adalah itikad yang sah, dialah puncak penyelamatan. Maksud mereka adalah percaya kepada para pemimpin Jain yang dua puluh empat itu. Itulah aturan yang dipuja dan jalan yang lurus. Itikad yang sah tidak ada kecuali setelah diri terlepas dari kotoran-kotoran dosa yang melekat padanya dan yang menghalangi sampainya ruh kepada itikad ini.
2. Permata atau mutiara
yang ke dua adalah ilmu yang benar, maksudnya adalah pengetahuan mengenai alam
dari kedua segi rohaninya dan kebendaan serta membedakan diantara keduanya.
Martabat pengetahuan ini berlainan menurut kekuatan penglihatan hati dan
kejernihan ruh. Seseorang yang memisahkan pengaruh dari kekuatan rohani serta
sinarnya dapat melihat alam dalam bentuk yang sebenarnya, segala hakikat
terbentang di depannya, tabir-tabir tebal tersingkap darinya yang
menyebabkannya dapat membedakan antara kebenaran dan kesalahan, antara sangkaan
dan keyakinan. Dia tidak diraguhkan oleh apapun . Ilmu pengetahuan yang benar
ada sesudah itikad yang sah.
3. Permata atau mutiara yang ketiga adalah akhlak yang benar, maksudnya adalah
bersifat dengan akhlak Jain seperti melakukan kebaikan meninggalkan keburukan,
tidak membunuh, tidak berbohong, tidak melakukan pencurian, tidak melakukan
kecurangan dan berzuhud dengan barang-barang kepunyaan sendiri.
Ketiga mutiara ini
saling berkaitan. Tatkala seorang manusia itu telah sempurna maka dia mendapati
suatu kenikmatan dan kebahagiaan yang tidak dapat ditandingi oleh kenikmatan
dan kebahagiaan manapun.
v Prinsip-prinsip Utama untuk Pembersihan Ruh
Parah pengikut Jain meletakan tujuh asas utama untuk membersihkan ruh. Asas-asa ini adalah dianggap puncak atau sumber prinsip-prinsip Agama Jain. Asas-asas ini adalah sebagai berikut.
1. Membuat pengakuan dan perjanjian kepada para pemimpin dan pendeta-pendeta bahwa hendaklah murid itu berbudi pekerti baik dan membuang segala kelakuan yang buruk.
2. Bertakwa, yaitu hendaklah senantiasa berhati-hati ketika berbicara dan
bekerja, dan pada segala gerak-gerik dan juga waktu berdiam. Tidak menyakiti
atau membahayakan makhluk apapun yang hidup walau hina sekalipun.
3.
Mengurangi gerakan badan, bicara, berfikir tentang hal-hal dunia yang
jasmani sehingga masa dan napas-napas yang berharga tidak terbuang pada
perkara-perkara yang kecil.
4. Menghiasi diri dengan sepuluh perkara yang menjadi puncak kebaikan dan
jalan kesempurnaan, yaitu pemaaf, benar, lurus, merendahkan diri, bersih,
menahan nafsu, berhemat lahir dan batin, berzuhud, meninggalkan perempuan, dan
tidak mementingkan diri sendiri.
5. Pemikiran terhadap hakikat utama mengenai alam dan jiwa. Sebagian masalah
alam dan masalah jiwa dapat dicapai dengan panca indra yang bersifat kebendaan,
dan sebagiannya dapat dicapai dengan kaca mata akal.
6. Mengatasi kesulitan
hidup dan segala kedukaannya yang timbul dari gejala-gejala jasmani atau
kebendaan, seperti rasa lapar, dahaga, sejuk, panas, dan segala hawa nafsu yang
bersifat kebendaan itu. Haruslah dia menegakkan suatu tembok yang kukuh disekelilingnya
agar terlepas dari gejala-gejala dan panca indra dan dari pengaruhnya.
Agama Jain beranggapan
bahwa prinsip-prinsip ini melepaskan manusia dari ikatan yang mengikatnya
dengan kehidupan serta merampas ketegangan pikiran dan hatinya. Seandainya
seseorang bersifat dengan sifat-sifat yang tujuh ini maka dia sikeluarkan dari
kegelapan yang menyelubunginya disebabkan kedukaan hidup di dunia.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Agama Jain adalah agama
yang termasuk tidak mengakui adanya system kasta. Sebab sistem kasta telah menciptakan benih
permusuhan dan kebencian antar golongan.
Dan orang Jain
mempercayai ajaran itu Tiga Ratna Jiwa (The Three Jewels of Soul), yaitu :
Pengetahuan yang benar, Kepercayaan yang benar, Tindakan yang benar. Sehingga
mereka akan mendapatkan suatu kesempurnaan dalam hidup serta dapat melawan kebebasan itu yang terpendam di dalam diri manusia sendiri.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Prof. Dr. Shalaby Ahmad, , Agama-Agama besar di India, PT Bumi Aksara Jakarta, 1998.
2. Sou’yb, Joesoep, agama-agama besar di dunia, PT Al- Husna Zikra, Jakarta,
1996.
4. Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI).
5. Abdullah al-Maghlaut, bin Sam, Atlas
Agama-agama.
Sumber :
www.facebook.com/groups/471605966225811/#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar