Pendahuluan
Berbicara Politik di era modern dewasa ini
dalam lingkup Ilmu Hubungan Internasional, tidak lagi hanya membicarakan aspek power dalam
kaitan pendominasian suatu negara terhadap negara lain. Aktor atau pelaku
politik juga tidak lagi terbatas dilakukan oleh negara/state saja.
Menariknya pula, politik juga telah memberikan ruang, bukan hanya kepada
kaum laki-laki, tetapi juga kepada kaum perempuan. Pencapaian ini bukan
berarti tanpa perjuangan, melainkan melalui pergerakan-pergerakan politik yang
pada akhirnya dapat diterima oleh pemerintah.
Perjuangan
politik kaum perempuan di berbagai negara melalui proses yang berbeda-beda
dan mendapatkan respon yang berbeda-beda pula. Hal ini tergantung dari
ideologi negara tersebut. Negara-negara Barat atau negara maju cenderung lebih
cepat menerima perjuangan perempuan dibandingkan negara-negara miskin, terlebih
lagi negara-negara Islam yang sangat kaku terhadap memberikan peraturan
terhadap keberadaan kaum perempuan. Negara Iran menjadi salah satu negara Islam
yang cukup berbeda dari negara-negara Islam lainnya dalam memandang perempuan.[1]
Kaum perempuan adalah salah satu kekuatan masyarakat yang
mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam mengisi kemerdekaan bangsa untuk
mewujudkan sistem kehidupan dalam internal suatu negara itu sendiri maupun
secara global, yang semakin memberikan penekanan pada aspek demokratisasi,
perlindungan hak asasi manusia, lingkungan hidup, serta supremasi sipil.[2]
Gerakan perempuan
atau lebih dikenal sebagai gerakan gender sebagai gerakan politik sebenarnya
berakar pada suatu gerakan yang dalam akhir abad ke-19 di berbagai negara Barat
dikenal sebagai gerakan “suffrage”, yaitu suatu gerakan untuk
memajukan perempuan baik di sisi kondisi kehidupannya maupun mengenai status
dan perannya. Inti dari perjuangan mereka adalah bahwa mereka menyadari bahwa
di dalam masyarakat ada satu golongan manusia yang belum banyak terpikirkan
nasibnya. Golongan tersebut adalah kaum perempuan[1]
Stereotipe peran seksual yang ada, mengatakan bahwa politik adalah dunia laki-laki.
Politik selamanya selalu dikaitkan dengan maskulinitas, sesuatu yang
bertentangan dengan feminitas[2]
Rumusan Masalah
a. Mengetahui Islam
dan Kesetaraan Gender
b. Mengetahui Gerakan
Perempuan Islam dan Perjuangan Ketiak adilan Kesetaraan Gender di Mesir
Pembahasan
Islam dan Kesetaraan Gender
Gerakan feminis muslim di dunia Islam, terutama di Timur Tengah atau di dunia
Arabia selaluterkait dengan kebangkitan Islam. Hal ini ditandai dengan
pertentangan antara intelektual ekstrem kanandan ekstrem kiri yang melibatkan
rezim/pemerintah yang berafiliasi dengan imperium. Oleh karenanya, pembahasan
feminis muslim ini harus dikaji dari sisi historis, framework feminis
muslim, dan isu-isu yang diperdebatkannya.[3]
Penetrasi Barat ke pusat dunia Islam di Timur Tengah
Pertama–tama dilakukan oleh dua bangsa Eropa, yaitu Inggris dan Perancis, yang
keduanya sedang bersaing sebagai imperium. Inggris terlebih dahulu menguasai di
India. Adapun Perancis, untuk masuk ke India, terlebih dahulu harus menguasai
Mesir (tahun 1798 M) sebagai pintu gerbang masuk ke India. Motif lain Perancis
menaklukkan Mesir,adalah politik ekonomi terkait dengan pemasaran dan
penyediaan bahan-bahan baku dan menjadikan pusat kegiatan pendistribusian hasil
industrinya ke wilayah Timur Tengah, serta keinginan yang kuat ekspedisi
Napoleon Bonaparte untuk mengikuti jejak Alexander the great dari
Macedonia yang pernah menguasai Eropa, Asia, sampai dengan India. Persaingan
antara Inggris dan Perancis di Timur Tengah terjadi sudah lama dan terus
berlangsung, dan faktor utama yang menarik kehadiran kekuatan-kekuatan Eropa ke
dunia muslim, adalah ekonomi dan politik. Namun persoalan tersebut melibatkan
agama dalam proses politik penjajahan Barat atas dunia Islam.
Pertarungan antara Islam dan kekuatan Eropa telah
menyadarkan umat Islam bahwa umat Islam tertinggal jauh dari Eropa. Usaha-usaha
yang dilakukan oleh umat Islam adalah gerakan pembaharuan,yang didorong oleh
faktor yang saling mendukung, yaitu pemurnian ajaran Islam dari unsur asing
yang dipandang sebagai penyebab kemunduran umat Islam, dan menimba gagasan ilmu
pengetahuan dari Barat. Gerakan ini melibatkan gerakan Wahabiyah (1703-1787 M)
di Arabia, Syah Waliyullah (1703-1762 M) di India, dan Gerakan Sanusiah di
Afrika Utara yang dipimpin Muhammad Sanusi dari al-jazair. Selanjutnya,
pergerakan ini memasuki ranah politik. Gagasan politik yang pertama kali adalah
gagasan Pan-Islamisme sebagai gagasan persatuan Islam sedunia yang
disuarakan secara lantang oleh Jamaludin al-Afghani (1839-1897 M).[4]
Berkenaan dengan konteks gerakan gagasan persatuan Islam
sedunia ini, seperti yang dikemukakan Bernard Lewis, memahami Islam yang
terjadi dewasa ini dibutuhkan penghargaan/penghormatan karakter universal dan
posisi sentral agama dalam kehidupan umat Islam. Oleh karena itu,
gerakan-gerakan sosial dan politik yang paling menonjol dalam lintas sejarah
Islam modern telah menempatkan Islam sebagai kekuatan dan gagasan persatuan
dalam perjuangannya.
Pada tahun 1928, Hasan al-Banna adalah seorang pengikut
al-Afghani dan Abduh mendirikan Ikhwanul Muslimin (Jam’iyah al-ikhwan
al-Muslimin). Tujuan didirikannya untuk mendidik rakyat,meningkatkan
kesejahteraan, dan memperkuat pranata Islam (al Nizam al-Islam). Gerakan
ini menolakpengaruh budaya, politik dan ekonomi Barat, dan dalam waktu yang
bersamaan berkolaborasi dengangerakan perjuangan kemerdekaan untuk
menggulingkan monarki-Mesir pro-Inggris. Ikhwanul Muslimin merupakan fenomena
baru sebagai gerakan yang didukung oleh massa, gerakan terorganisir, dan
berorientasi pada masyarakat urban untuk mengatasi kemunduran Islam di dunia
modern. Meskipun
Demikian, hal itu mendapat respon berbeda di luar negeri
dianggap sebagai gerakan fundamentalis yang ingin mendirikan kembali Negara Islam.6
Komunitas Ikhwanul Muslimin saat itu hendak mendirikan devisi Muslim
Sisters, dan Hasan al-Banna meminta Zaenab al-Gazali memimpinnya dan
menggabungkan dengan Muslim Women’s Association, tetapi ditolaknya
dan tetap menjalin kerja sama dalam perjuangan untuk mendirikan Negara Islam
dan bergerak di bawah tanah selama rezim ‘Abd anNasser pada tahun 1950-1960.7
Kajian pergerakan perempuan di Mesir (Egypt)
dimulai tahun 1919 ditandai dengan munculnya aktivis feminis yang tergabung
dengan the Egyptian Feminist Union (EFU) dipimpin oleh Huda
Sha’rawi.[5]
Fokus perjuangannya adalah hak-hak politik perempuan,
perubahan hukum status perseorangan yang mencakup pengendalian perceraian,
poligami (the personal satus law), persamaan akses pendidikan baik
ditingkat lanjutan maupun perguruan tinggi, dan berbagai pengembangan tentang
kesempatan profesional bagi perempuan. Namun demikian, aktivitas pergerakan
perempuan tersebut diwarnai ketegangan dengan gerakan nasionalisme.
Awal perjuangan pergerakan perempuan dalam pengembangan
intelektual dan prinsip-prinsip ideologinya hampir diilhami oleh reformer
modernis laki-laki seperti Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afghani, dan yang
paling luar biasa adalah Qosim Amin yang pada saat tahun 1919 berkaitan dengan
perlawanan Inggris dan masa keberlangsungan dan perluasan berbagai aktivitas
perempuan. Di samping itu, beberapa kontribusi perempuan dalam publikasi jurnal
sebagaimana mainstream pers yang memunculkan debat tentang
isu-isu sosial seperti pendidikan, peran perempuan dalam keluarga, dan hak-hak
perempuan.[6]
Sementara itu, pada periode 1945-1959 muncul organisasi
perempuan, yaitu Bint el-Nile(Daughter of the Nile) yang
dipimpin oleh Doria Shafik. Pergerakan ini sebagai suatu yang baru dan
menyegarkangerakan feminis, bertujuan untuk memproklamirkan hak-hak
politik secara penuh bagi perempuan.
Kegiatan ini juga mempromosikan berbagai programnya,
berkampanye perbaikan budaya, perbaikan kesehatan dan pelayanan sosial bagi
masyarakat miskin, mempertinggi pelayanan ibu, dan perawatan anak (chaildcare).
Menurut Khater dan Nelson bahwa hak-hak politik perempuan dipertautkan kampanye
reformasi sosial. Proses reformasi sosial ini oleh para feminis seperti Inji
Aflatoun, Soraya Adham, dan Latifa Zayyad di adopsinya ideologi sosial atau komunis
dengan memperlihatkan pada perjuangan pembebasan perempuan dan hukum (sosial
equality and justice). Namun demikian, pergerakan perempuan mulai menyusut
terjadi pada masa pemerintahan Gamal Abdul Nasser (1952-1970) ditandai dengan
pengendalian ruang gerak organisasi perempuan.[1]
Sub ordinasi atas wanita di Timur tengah kuno tampaknya
telah dilembagakan seiring dengan kebangitan, masyarakat perkotaan dan
dengan kebangkitan negara kuno khususnya. Bertolak belakang dengan
teori-teori androsentris yang mengemukakan bahwa status sosial inferior wanita
didasarkan pada biologi dan “alam ” dan dengan demikan, sudah ada selma
dimiliki manusia, bukti arkeologi menunjukan bahwa wanita di hormati sebelum
bangkitnya masyarakat perkotaan dan statusnya merosot seiring dengan munculnya
pusat-pusat perkotaan dan negara kota. Para sering kali mengutip catal huyuk,
sebuah pemukiman zaman Neolitik di Asia kecil yang berasal dari sekitar
tahun 6000 S.M., untuk membenarkan posisi dominan dan tertinggi wanita (
sebagian orang berargumen demikian). Di dalam pemukiman ini, bagian lebih besar
dari panggung pemakaman yang di temukan dalam rumah-rumah berisi wanita, dan
berbagai lukisan dan dekorasi di dinding banyak pemakaman dengan jelas
menggambarkan sosok wanita. Catal Huyuk Bukan satu-satunya kebudayaan
awal di kawasan itu yang memberikan bukti tentang posisi luhur dan
mungkin terhormat yang dimiliki wanita.temuan temuan arkeologis menunjukkan
bahwa berbagai kebudayaan diseluruh Timur Tengah menghormati dewi Ibu
dalam Zaman Neolirtik, hingga milenium kedua sebelum Masehi di beberapa
kawasan. Juga, kajian tentang berbagai kebudayaan kuno di kawasan itu
menunjukkan bahwa supremasi sosok dewi dan status tinggi bagi
wanita adalah aturan alih-alih kekecualian di Mesopotamia, Elam, Mesir, Kreta,
misalnya, dan di kalangan bangsa yunani, phoenicia, dan lain-lainya. [7]
Gerakan Perempuan Islam dan Perjuangan
Ketidakadilan Kesetaraan Gender di Mesir
Pada
abad ke-6 Masehi, boleh di katakan Arabia adalah sebuah pulau di Timur
Tengah, kawasaan terakhir yang tersisa di mana perkawinan patrialineal,
patriarkal belum dilembagakan sebagai satu-satunya bentuk perkawinan yang sah;
sekalipun bahkan di sana hal itupun mungkin jenis-jenis perkawinan yang di
praktekkan adalah perkawinan matrilineal, uksorilokal (sangat
menggandrungi wanita wanita), yang dijumpai di Arabia, termasuk
Makkah, sekitar masa kelahiran Muhammad (kira kira pada abad 570 M)
wanita tetap tinggal bersamanya, dan anak-anak yang di lahirkan menjadi
suku Ibunya serta perkawinan bersifat poliandri dan poligami.
Keberagama
berbagai praktek perkawinan di Arabia pra-Islam dan adanya adat istiadat
matrilineal, termasuk bergabungnya anak-anak bersama suku sang ibu, tidak
mesti bahwa wanita mempunyai kekuatan yang lebih besar dalam masyarakat atau
akses lebih besar pada sumber-sumber ekonomi. Praktek-praktek ini juga tidak
berkorelasi dengan adanya misogini. Sesungguhnyalah, ada bukti yang jelas bagi
yang sebaliknya. Praktek pembunuhan bayi yang agaknya terbatas anak-anak
perempuan, mengesankan sauatu keyakinan bahwa kaum perempuan adalah cacat dan
bisa di korbankan. Ayat-ayat al- Qur’an yang mengutuk pembunuhan bayi
mengesankan perasaan malu dan sikap negatif yang di asosiasikan oleh
orang-orang Arab Jahiliyah dengan jenis kelamin.[8][1]
Kairo
adalah Salah satu potret ikonik revolusi Mesir adalah potret para
lelaki dan perempuan yang berdiri bersama, bersatu untuk perubahan positif.
Namun setelah itu, perempuan bergulat dengan masalah pelecehan seksual dan
dipinggirkan dalam transisi politik. Akan tetapi, para perempuan Mesir tidak
pernah berhenti berjuang – dan kini mereka tengah menemukan banyak sekutu.
Sebagian orang berpandangan bahwa demokrasi perlu dicapai lebih dulu
sebelum memperhatikan hak-hak perempuan. Namun, mengatasi marginalisasi
perempuan lebih dulu sebenarnya sangat penting untuk menciptakan Mesir yang
benar-benar demokratis. Masalah intinya bukan saja tentang kesetaraan perempuan
dengan laki-laki, namun juga tentang ketidakadilan. Terlampau sering, perempuan
diperlakukan sebagai warga negara kelas dua dan mendapatkan ketidak adilan –
mereka menghadapi pelecehan di jalanan, menjadi korban tes keperawanan oleh
militer, dan tidak diberi banyak kesempatan untuk terlibat dalam politik.
Misalnya, para aktivis hak perempuan tidak diajak musyawarah dalam proses
perancangan konstitusi. Meskipun perempuan bisa secara hukum memegang posisi
seperti hakim atau jabatan tinggi politik, tekanan sosial sering kali membuat
perempuan tak bisa memperolehnya.
Namun, para aktivis hak perempuan tidak berdiam diri di tengah berbagai rintangan seperti ini. Ambil contoh Bothaina Kamel, yang mencoba menggunakan haknya untuk maju menjadi calon presiden, dan merupakan kandidat presiden perempuan pertama di Mesir. Sekalipun ia akhirnya gagal mengumpulkan cukup tanda tangan untuk bisa masuk daftar calon yang dipilih, ia memperlihatkan kepada perempuan Mesir lainnya bahwa mereka juga semestinya bisa berpartisipasi dalam politik.[9]
Namun, para aktivis hak perempuan tidak berdiam diri di tengah berbagai rintangan seperti ini. Ambil contoh Bothaina Kamel, yang mencoba menggunakan haknya untuk maju menjadi calon presiden, dan merupakan kandidat presiden perempuan pertama di Mesir. Sekalipun ia akhirnya gagal mengumpulkan cukup tanda tangan untuk bisa masuk daftar calon yang dipilih, ia memperlihatkan kepada perempuan Mesir lainnya bahwa mereka juga semestinya bisa berpartisipasi dalam politik.[9]
Selain berbagai contoh
aktivis perempuan ini, ada juga berbagai cerita tentang para lelaki yang
mendukung perempuan. Banyak anggota parlemen liberal, seperti Amr Hamzawy,
telah bicara tentang pentingnya membuat isu perempuan sebagai sebuah prioritas.
Dukungan laki-laki telah meluas hingga tingkat akar rumput juga. Selama setahun
terakhir, laki-laki telah berpartisipasi dalam aksi-aksi pawai yang digelar
oleh para perempuan, dan melindungi perempuan dari pelecehan selama aksi.
Selain itu, berbagai proyek seperti Harassmap, yang mencatat dan mengadvokasi
pelecehan di jalanan, dan organisasi-organisasi lainnya seperti itu, memiliki
banyak relawan pria.
Satu-satunya
cara untuk benar-benar mewujudkan hak-hak perempuan dalam jangka panjang adalah
menyertakan perempuan dalam semua proses pembuatan keputusan – termasuk dalam
merevisi konstitusi. Konstitusi baru Mesir harus menyerukan dihilangkannya
diskriminasi berbasis gender bagaimana pun bentuknya. Tahun lalu bahkan,
berbagai kelompok feminis yang bekerja untuk PBB merancang Piagam Perempuan
Mesir, yang bisa menjadi sebuah model bagi konstitusi yang lebih peka Gender.
Selain
itu, para aktivis hak-hak perempuan harus terlibat dalam negara – dan
berpartisipasi baik di oposisi maupun pemerintahan baru Mohamed Morsi. Satu
langkah yang bisa negara ambil untuk mendorong hak-hak perempuan adalah
mensponsori program-program yang dilakukan oleh berbagai organisasi perempuan,
dan melibatkan perempuan dari organisasi-organisasi ini dalam kabinet baru yang
sedang dibentuk. Dalam pemerintahan Prancis, Najat Vallaud-Belkacem menjadi
Menteri Hak-hak Perempuan – sebuah posisi yang mungkin patut ditiru di Mesir.
Penting
juga mengingat bahwa al-Ikhwan al-Muslimun menyertakan banyak anggota
perempuan. Bahkan, banyak perempuan dalam al-Ikhwan al-Muslimun menduduki
peran-peran penting dalam partai dan organisasi mereka, seperti Hoda Abdel
Moneim, seorang pengacara dan Ketua Komite Urusan Perempuan Partai Kebebasan
dan Keadilan. Banyak perempuan di al-Ikhwan al-Muslimun juga mengelola berbagai
program sosial. Dari percakapan saya sendiri dengan para perempuan di al-Ikhwan
al-Muslimun, tampak jelas bahwa mereka memiliki hasrat tulus untuk menduduki
posisi-posisi kepemimpinan dan secara aktif berusaha ,memperbaiki kondisi para
perempuan Mesir.
Para aktivis hak perempuan dari semua latar belakang perlu terus
merapatkan barisan dan secara aktif berpartisipasi dalam transisi politik
Mesir. Dalam suatu wawancara pribadi, Abdel Moneim menekankan perlunya para
perempuan al-Ikhwan al-Muslimun berusaha mereformasi ruang politik dan sosial
Mesir, bersama para perempuan di luar gerakan ini. Kemitraan seperti inilah
yang sangat diperlukan – para aktivis dari semua perspektif, religius dan
sekuler, bergabung menghadapi tantangan-tantangan di depan.
Jadi perempuan di Mesir tidak di rendahkan derajat kemanusiaannya seperti
terjadi pada kaum perempuan dalam peradaban kuno lainnya. Di dalam risalahnya
as-Sayyed menulis dalam judul Kewajiban perempuan terhadap suaminya bahwa
perempuan Mesir adalah istri yang patuh, Ibu rumah tangganya yang sempurna dan
Ibu yang ideal. Jadi meskipun kedudukannya tinggi dalam Masyarakat, dia tetap
berkhidmat terhadap suaminya. Walupun status perempuan itu tinggi dalam
peradaban Mesir, namun kaumn laki-laki mempunyai prioritas dalam hal warisan
dan peluang naik tahta, walaupun kaum perempuan mempunyai peluang untuk naik
tahta, namun hak ini hanya di peroleh jika ahli waris laki-laki tidak ada.
Walupun derajatnya tinggi, namun hukum juga mengharuskan perempuan tunduk
terhadap peraturan-peraturan yang berlaku. Hukum menetapkan bahwa tidak boleh
menyentuh perempuan selama periode nifas. Ia di kurung di tempat khusus yang di
sebut Hariri. Selain itu, hubungan seksual di luar nikah di anggap sebagai dosa
besar dan perempuan yang melakukan hubungan seksual haram itu akan di hukum
mati. Pada kenyataanya hukum pidana tidak berlaku adil karena perempuan di
hukum mati begitu kesetiaan terhadap suaminya di ragukan. Satus perempuan yang
tinggi dalam perdaban Mesir berlangsung selama berabad-abad, tetapi mulai
memburuk setelah di bawah pengaruh peradaban Yunani, setelah runtuhnya
kekaisaran romawi. Selain itu, kezaliman bangsa Romawi menyebabkan banyak
bangsa Mesir meninggalkan kesia-siaan dunia ini dan memulai kehidupan biara.
Maka hukum dan perundang-undangan bangsa Mesir tamat riwayatnya sebelum masa
Islam. Umar Kahaleh menjelaskan bahwa demikianlah status perempuan sebelum
berkuasanya kaum batavian di Mesir yang menyerahkan kaum perempuan kepada
otoritas kaum laki-laki dan mencabut hak-haknya.[2]
Qasim
Amien di antara Pergumulan Pemikiran Islam di Mesir
Dalam kajian
sosiologiA pemikiran, kita akan dikenalkan dua macam varian dari
pergerakan-pergerakan pemikiran. Pertama, gerakan
yang menjaga usul-usul (fundamen), tradisi dan agama secara rigid dan tertutup, varian ini biasanya dikenal
dengan Front Tradisionalis-konservatif. Kedua, Front
Reformis-liberal adalah gerakan yang mengkaji agama dan tradisi secara kritis,
rasional dan liberal. Begitu juga halnya dengan permasalahan relasi gender, di
satu sisi terdapat kelompok yang berusaha keras mempertahankan warisan kaum
terdahulu (al-Sâbiqûn al-Awwalûn). Terlepas
apakah warisan tersebut merupakan syariat murni atau hasil ijtihad manusia
terhadap masalah-masalah kontekstual. Di tepi lain, suatu golongan berusaha
mencari terobosan-terobosan baru, guna menyelesaikan problem kontekstual dengan
mengkaji tradisi agama dan sosial secara kritis tanpa mengenyampingkan tradisi
dan pengalaman hidup leluhurnya.
Jika kita mencoba mengklasifikasikan posisi para feminis
ke dalam dua golongan tersebut, yaitu Tradisionalis-konservatif dan
Reformis-liberal, maka Qasim Amien masuk pada kelompok kedua. Ketika Qasim
Amien mengadakan pembaruan di bidang sosial,—di antaranya permasalahan kaum
perempuan— beliau menafsirkan kembali (reinterpretasi), dengan jalan mengkritisi,
“dekonstruksi” dan rekonstruksi terhadap syariat-syariat Islam yang menjadi
pemicu timbulnya diskriminasi dan subordinasi terhadap perempuan.
Dalam menyikapi
pemikiran Qasim Amien, masyarakat Mesir pecah menjadi dua kubu. Pertama, kubu yang sangat mendukung
pemikiran-pemikiran dan agenda pergerakan Qasim, secara penuh dan total yang
akhirnya menimbulkan fanatisme terhadap pemikiran Qasim Amien. Menurut mereka,
pemikiran Qasim Amien merupakan hasil ijtihad yang benar-benar positif,
mengentaskan umat manusia dari Zaman Kegelapan (‘Ashr
al-Dlalâm)menuju Zaman Terang-benderang (‘Ashr Tanwîr). Zaman ini memiliki beberapa
identitas, di antaranya kebebasan kaum perempuan dari kekangan-kekangan dan
terlepas dari pandangan negatif dan nyinyir dari
kaum laki-laki.
Kedua, kubu yang menyikapi pemikiran dan gerakan Qasim
Amien dengan sikap skeptis, apatis bahkan antipati. Bagi mereka, pemikiran dan
pergerakan tersebut tidak lain hanyalah bentuk lain dari westernalisasi
terhadap budaya-budaya Timur, yang akan mengikis habis identitas budaya Timur
itu sendiri.
Sedangkan penulis sendiri tidak mau terjebak di dua sisi
ini, karena, akan melahirkan pemikiran yang memihak, tidak objektif dan
ekstrim. Seyogyanya pemikiran seorang tokoh diapresiasi sedemikian rupa, dengan
“pisau analisis” yang “steril” terbebas dari “karat-karat” ideologi dan
kepentingan kelompok.
Dari Analisa Sosial Menuju
Pembebasan dan Pemberdayaan Perempuan
Dalam menyusun tesa-tesa pemikirannya hingga sampai pada
suatu hipotesa yang siap disuguhkan, Qasim Amien lebih cenderung menyimpulkan
suatu permasalahan menggunakan piranti-piranti analisa sosial dan data empirik
dari interaksi beliau dengan masyarakat luas. Bagi beliau, teori-teori sosial
dan hipotesa-hipotesa yang hanya lahir dari “atas meja” akan melahirkan teori
dan kesimpulan yang cenderung “mengira-ngira”, tidak realistis, dan bahkan jauh
dari nilai kebenaran. Kita bisa melihat, ketika beliau memberikan kritik pedas
terhadap tulisan D’Harcouri tentang kondisi sosial masyarakat Mesir sebagai masyarakat
Muslim yang terpuruk. Menurutnya, tesa-tesa dalam tulisan D’Harcouri itu—dapat
dikatakan— sama sekali tidak mendekati kebenaran, karena ia (D’Harcouri) tidak
berinteraksi langsung dengan masyarakat Mesir sehingga tidak tahu persis
keadaan masyarakat Mesir sebenarnya. Jika realitanya demikian, bagaimana
mungkin tesa-tesa D’Harcouri bisa “dicap” objektif? Jadi, bisa kita katakan
bahwa pemikiran-pemikiran seseorang bermula dari analisa sosial yang tajam dan
kritis dengan tetap melihat fenomena-fenomena sosial yang nampak. Selanjutnya,
ia boleh “berijtihad” untuk menyusun tesa-tesa demi memberikan solusi bagi
permasalahan-permasalahan sosial yang dianggap wajib untuk diperbarui.[10]
Posisi Qasim sebagai hakim dan tokoh masyarakat pada
waktu itu nampaknya lebih memberikan kesempatan baginya untuk mengadakan
pembaruan di bidang sosial kemasyarakatan. Qasim juga merupakan salah seorang
yang memberikan kontribusi besar terhadap teori-teori sosial. Namun, syarat
utama suatu teori sosial, adalah, teori tersebut harus sesuai dengan
kemaslahatan umat manusia. Artinya, teori-teori sosial tersebut harus
fleksibel, elastis, dan nisbi, jika suatu teori bisa direlisasikan pada suatu
masa dan tempat tertentu, maka bisa jadi teori tersebut tidak dapat
direalisasikan kembali pada masa dan tempat yang lain, karena tergantung pada
kemaslahatan dan kebutuhan masyarakat yang plural, berbeda, dan bertentangan.
Dengan kata lain, teori sosial-sosial tersebut—termasuk di dalamnya
norma-norma agama— tidak boleh absolut, statis dan “otoriter”.
Norma-norma agama
yang bersifat tekstual, harus dicari “celah-celah” kontekstualnya. Misalnya,
kewajiban hijâb bagi kaum perempuan yang
termaktub dalam teks al-Quran, bukanlah semata-mata syariat agama Islam, namun
bagi Qasim, hijâb lebih merupakan bentuk
adat istiadat yang diwarisi bangsa-bangsa Arab kuno. Nah, dalam Islam, teori hijâb ini menjadi syariat karena sesuai dengan
kondisi sosial-kultural masyarakat pada saat itu. Jika kondisi berubah, maka,
tradisi ini boleh jadi tidak sesuai lagi. Dan ini berarti, jika hijab sudah
tidak lagi mengandung unsur kemaslahatan sosial, maka kita bisa menggantikannya
dengan solusi lain yang sesuai dengan zaman kita sekarang ini.[5]
Qasim Amien juga
memberikan perhatian yang serius terhadap kondisi ekonomi masyarakat. Baginya,
kondisi ekonomi sangat mempengaruhi keadaan suatu masyarakat, lebih jauh lagi,
ekonomi memiliki faktor dominan yang mempengaruhi kondisi masyarakat dari pada
faktor-faktor lain, seperti; pendidikan, agama dan budaya. Dari kondisi
ekonomi, kita bisa melacak sebab-sebab terjadinya diskriminasi perempuan.
Misalnya, dalam skup permasalahan yang lebih sempit, yaitu, poligami. Komunitas
masyarakat pada tataran ekonominya menengah ke atas akan lebih termotivasi
melakukan poligami. Realita ini terjadi pada masyarakat Mesir. Masyarakat
pedesaan yang kondisi ekonominya lemah dan pas-pasan, akan
mengurangi kemungkinan menjamurnya tradisi poligami. Berbeda dengan masyarakat
kota yang mempunyai pendapatan perkapita lebih besar. Premis ini dapat
dibenarkan, pasalnya, masyarakat dengan pendapatan perkapita yang hanya bisa
untuk mencukupi kebutuhan primernya, tidak akan terlalu ngoyo untuk memenuhi kebutuhan sekunder. Jangankan
untuk kebutuhan yang sekunder, untuk kebutuhan primer saja mereka harus
berjuang dan bekerja keras. Berbeda dengan masyarakat yang telah mencukupi
kebutuhan primernya, mereka memiliki kesempatan lebih banyak memikirkan
kebutuhan-kebutuhan sekunder.
Namun, premis ini
tidak selamanya dapat dibenarkan, karena, faktor ekonomi bukanlah satu-satunya faktor
penentu bagi yang mengkonstruksi bentuk sosial masyarakat, tetapi, di samping
itu masih banyak lagi terdapat variabel-veriabel yang lain, seperti tingkat
pendidikan, ideologi masyarakat, dan budaya.[6]
Pada masa Qasim
Amien, posisi kaum perempuan dalam keluarga dan masyarakat tidak lebih hanya
sebagai konco wingking-nya laki-laki, artinya, tugas sosialnya
hanyalah “sekedar” pelayan bagi seorang suami, seorang istri hanya bertugas
menghidangkan makanan bagi sang suami, mengandung dan melahirkan anaknya, dan
bahkan tidak jarang istri tidak mengetahui banyak hal tentang suaminya. Ia juga
“hanya” ibu bagi anak-anaknya, tugasnya melahirkan, menyusui dan menyediakan
kebutuhan-kebutuhan materi anak, tanpa ada bekal pengetahuan sedikitpun tentang
pengasuhan dan pendidikan anak. Padahal, kualitas generasi umat sangat
tergantung pada pendidikan anak, khususnya pendidikan yang ditanamkan ibu pada
masa-masa perkembangan awal.
Sedangkan nasib perempuan pada saat itu dalam kondisi
yang terpuruk dan mengenaskan. Pendidikan sekolah hampir tidak pernah dirasakan
kaum perempuan, pendidikan nonformal dari pihak keluarga dan lingkungan mereka
hanya sekedar pembekalan untuk mengatur urusan dapur dan rumah tangga saja.
Interaksi sosial bagi kaum perempuan pada saat itu dengan masyarakat luas
hampir menjadi suatu hal yang mustahil, karena ia “terpenjara” di antara
dinding-dinding rumah mereka sendiri. Keadaan yang ironis tersebut memasung
kebebasan kaum perempuan, baik kebebasan berkehendak, berpikir dan berbuat yang
semestinya menjadi hak asasi setiap insan. Perempuan terkekang dan tunduk di
bawah kekuasaan kaum lelaki. Kondisi inilah yang menyentuh hati Qasim dan
mendorongnya untuk berjuang demi melakukan pembaruan sosial ke arah yang lebih
“memanusiakan” manusia. Qasim sadar bahwa fenomena seperti ini merupakan salah
satu sebab utama keterbelakangan dan kejumudan masyarakat Islam di Arab.
Menurut Qasim,
kebebasan kaum perempuan adalah masalah pertama yang harus diperjuangkan.
Karena bagaimanapun, kebebasan merupakan kekayaan termahal bagi setiap manusia
yang memiliki hak untuk merdeka dan bebas. Namun perlu menjadi catatan,
kebebasan yang ditekankan Qasim bukanlah kebebasan mutlak tanpa batas,
melainkan kebebasan yang dibatasi dengan kerangka syariat agama dan etika
sosial.[7]Kondisi kaum
perempuan pada waktu itu bisa disamakan dengan budak, karena budak adalah orang
yang terampas kemerdekaan dan hak-haknya. Jangankan hak untuk memperoleh
pendidikan, kebebasan untuk berkehendak saja sudah sedemikian terkekang.
Sehingga ia tidak mempunyai kebebasan untuk berbuat lebih banyak, baik untuk
dirinya sendiri, keluarga dan masyarakatnya.
Pembebasan Perempuan melalui
Tradisi “Kritik Teks”
Seperti diketahui,
pembebasan adalah agenda terdepan sebelum pemberdayaan. Jauh-jauh hari Qasim
Amien telah membidik teks-teks agama yang menjadi “momok” perempuan lewat
karyanya Tahrîr Al-Mar’ah. Seperti permasalahan hijab dan
poligami.
Sebelum terlalu jauh
membicarakan masalah hijab, mungkin ada baiknya jika kita mencoba mengetahui
terlebih dahulu pemahaman Qasim tentang makna hijab ini. Menurut Qasim Amien
hijab mempunyai dua makna.Pertama, hijab
secara makna hakiki, berfungsi menutup aurat perempuan hingga wajah dan telapak
tangan (penutup wajah disebut niqâb [cadar]).
Bagi masyarakat Mesir pada waktu itu, hijab dalam makna di atas dianggap
sebagai syariat Islam. Kedua, adalah hijab
dalam makna majazi, yaitu “penjara” kaum perempuan dalam rumahnya sendiri.
Selain memaparkan makna hijab sesuai dengan “idelogi” masyarakat Mesir di atas,
Qasim juga mencoba membuat analisa dan studi kritik tentang hijab ini dari dua
sudut pandang; agama dan sosial.
Dalam perjalanan sejarah masyarakat Timur, hijab bagi
kaum perempuan sangat memainkan peranan penting dalam membentuk sistem sosial
yang ada. Bahkan sebenarnya hijab bukan saja merupakan ciri khas masyarakat
Timur saja. Sejarah telah mencatat, kaum perempuan pada masyarakat Yunani waktu
itu juga memakai busana tersebut jika keluar dari rumahnya. Adat ini berlanjut
sampai pada abad pertengahan, khususnya abad ke-IX, dan sampai pada abad
ke-XIII. Namun, karena keadaan sosiologis yang terus berubah menuju kemajuan
dan kemodernan maka adat ini-pun di daerah Yunani dan wilayah Barat lainnya
menjadi punah.
Menurut Qasim Amien
masyarakat Arab mempunyai pandangan yang “salah kaprah” terhadap hijab ini,
sehingga mereka bersikeras mempertahankan tradisi ini. Hijab hanya dianggap
sebagai pesan syariat agama an sich. Sehingga
agama dijadikan legitimasi atas kewajiban memakai hijab. Padahal—menurut
Qasim—tidak ada satupun nash-nash sharîh yang
mewajibkan pemakaian hijab ini. Dalam Surat Al-Nûr ayat 30, difirmankan secara
jelas, bahwa kaum perempuan yang beriman diperintahkan untuk menjaga
kehormatannya dan tiada memperlihatkan perhiasannya (tubuhnya) selain dari yang
nyata (mesti terbuka). Para ulama telah bersepakat bahwa yang dimaksud dengan
anggota tubuh yang mesti terbuka di sini adalah anggota tubuh yang diperlukan
dalam kehidupan dan interaksi sehari-hari, yaitu wajah dan telapak tangan. Jika
pemakaian hijab bertujuan menghindari fitnah, maka menurut Qasim, justru
hijab—dalam makna masyarakat Mesir di atas lengkap dengan antribut
cadarnya—yang berpotensi menimbulkan fitnah, sebab, seorang yang memakai hijab
cenderung lebih bebas untuk bertindak melanggar sosial tanpa ada rasa khawatir
untuk diketahui oleh khalayak ramai. Berbeda dengan seorang perempuan yang
tidak menutupi wajahnya, ia akan cenderung menjaga kehormatan pribadi dan
keluarganya sehingga lebih berhati-hati dalam bertindak.[8]
Jadi, etika dan perilaku sosial yang terpuji tidak ada
hubungannya dengan pemakaian hijab, karena yang lebih menentukan baik atau
tidaknya moral seseorang adalah dari nurani dan hatinya, bukanlah dari
penampilan lahiriyah.
Pada sisi sosial,
Qasim melihat bahwa hijab dalam beberapa hal justru menjadi kendala bagi pemakainya
untuk bisa berinteraksi dengan masyarakat luas. Misalnya, dalam hal
kriminalitas dan kesaksian dalam pengadilan, kemungkinan untuk melakukan
bentuk-bentuk manipulasi terbuka lebar. Ujung-ujungnya akan merugikan salah
satu pihak dari kedua puhak yang beselisih. Begitu juga dalam bentuk interaksi
sosial lainnya, seperti perdagangan dan pertanian. Masyarakatpertanian di
pedesaan di mana kaum perempuan sedikit banyak ikut berperan dalam cocok tanam,
akan lebih banyak menemukan kesulitan dari pada perempuan yang tidak berhijab.
Bahkan secara lebih radikal lagi, Qasim menyatakan bahwa kaum perempuan yang
berhijab akan lebih terisolir dari pada kaum perempuan yang menanggalkan
hijabnya.[9]
Dalam masalah poligami, Qasim bisa digolongkan ke dalam
kelompok yang paling menentang adanya poligami dengan alasan etika kemanusiaan.
Poligami menurut Qasim adalah bentuk penghinaan bagi kaum perempuan. Sudah
menjadi tabiat asli manusia, seorang perempuan tidak akan pernah rela jika
suaminya membagi cinta kepada perempuan lain, demikian halnya sang suami, tidak
akan rela jika ada lelaki lain yang ikut mendapatkan bagian cinta istrinya.
Sisi negatif yang disorot Qasim akibat dari poligami ini
adalah permusuhan batin antara istri yang satu dengan yang lain, sehingga tidak
jarang permusuhan antara mereka diwariskan kepada anak-anak mereka. Karena bisa
jadi seorang ibu—secara tidak sadar— menyulut api permusuhan dan kedengkian
antara anak-anak dan keluarganya kepada keluarga dari istri yang lain. Seorang
istri yang dimadu dan tidak rela, namun ia berusaha untuk memendam perasaannya
akan mengakibatkan akumulasi kekecewaan di bawah alam sadar, dan sewaktu-waktu
bisa meledak dan menyulut konflik besar. Persaingan yang terjadi antara mereka
adalah persaingan yang tidak sportif, nilai-nilai persaudaraan dan etika
kemanusiaan yang seharusnya dipupuk antara sesama manusia,—karena poligami
ini—akan cenderung dikalahkan oleh api kedengkian dan permusuhan.
Walaupun secara
radikal Qasim menentang praktek poligami, namun ia masih memberikan “pengecualian”.
Menurutnya, poligami “diperbolehkan” untuk beberapa kasus, misalnya seorang
istri tidak bisa memberikan keturunan kepada sang suami. Namun—menurut
Qasim—dalam kondisi seperti ini, sang suami harus bersabar, karena istrinya
tiada bersalah dan berdosa, jika sang suami tetap bersikeras untuk menihak
lagi, maka harus sepengetahuan istrinya, jika sang istri minta cerai, maka sang
suami harus menceraikannya. Selain tujuan-tujuan di atas, poligami adalah
bentuk dari pemuasan nafsu binatang dan tanda-tanda dari dekadensi moral.[10]
Pemberdayaan Perempuan melalui
Pendidikan
Dalam hal pendidikan,
Qasim mengklasifikasikan jenis pendidikan menjadi tiga tingkatan secara
berurutan. Pertama, adalah pendidikan yang wajib bagi setiap orang demi menjaga
kehidupannya sendiri dan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pribadinya
(kebutuhan primer setiap individu). Kedua, adalah pendidikan yang bermanfaat
bagi keluarganya. Ketiga, pendidikan yang bermanfaat bagi lingkungan dan
masyarakat sekelilingnya.[11]Nah,pendidikan kaum perempuan yang diperjuangkan oleh Qasim
pada waktu itu lebih ditekankan kepada jenis pendidikan yang pertama dan kedua.
Karena pendidikan jenis ketiga masih terlalu jauh jangkauannya jika diterapkan
bagi kaum perempuan Mesir. Alasan yang lain, kondisi psikologis kaum perempuan dan
kondisi sosiologis masyarakat yang masih memprihatinkan dan belum siap. Namun
walaupun begitu ia tetap menekankan bahwa ketiga jenis pendidikan tersebut
merupakan kewajiban dan kebutuhan hidup bagi setap individu tanpa terkecuali.
Dalam memperjuangkan
hak pendidikan perempuan ini, Qasim menemui banyak kendala yang justru timbul
akibat dari asumsi-asumsi negatif tentang tabiat perempuan. Asumsi-asumsi ini
berasal dari teks-teks agama dipandang kebenaran mutlak, seperti, asumsi
masyarakat bahwa perempuan adalah makhluk yang akal dan agamanya lemah (Nâqishah al-Dîn wa al-‘Aql).[12]Pada hakikatnya
asumsi ini terpengaruh oleh keadaan sosiologis bangsa Arab dulu, di mana perang
menjadi kebiasaan. Tidak sedikit penghasilan yang mereka peroleh dari
barang-barang rampasan perang-perang ini. Dengan keadaan yang seperti ini maka
peran kaum perempuan tidak banyak diperhitungkan, sehingga keadaan yang
berlangsung lama ini akhirnya menjadikan perempuan dipandang sebelah mata oleh
masyarakat, bahkan perempuan dinggap sama seperti harta rampasan perang
lainnya. Ironisnya, asumsi ini terbawa sampai pada masa saat perang sudah tidak
menjadi kebanggaan masyarakat Arab.
Menghadapi adat istiadat masyarakat Arab ini, Qasim tetap
bersikukuh pada prinsip dan perjuangannya dalam membela hak pendidikan bagi
kaum perempuan, karena baginya pendidikan adalah hak setiap manusia, kaya atau
miskin, lemah atau kuat, bodoh atau pandai karena ia adalah kebutuhan untuk
mempertahankan hidup dan menjadi kebutuhan bagi mereka semua tanpa pandang
bulu.
Menurut sebagian
ulama kala itu, kewajiban perempuan dalam menuntut ilmu itu hanya berkutat pada
masalah ibadah-ibadah ritual, atau berkisar pada mengatur rumah tangga
dan tetek bengeknya. Karena kewajiban mencari nafkah secara
mutlak ditanggung laki-laki, maka dalam pemahaman ini, pendidikan bukan hal
yang mendesak bagi perempuan. Qasim Amien kembali mempertanyakan asumsi-asumsi
di atas. Kalau sejenak kita melihat realitas kehidupan masyarakat, kita sering
menyaksikan fenomena yang bertolak belakang dengan fenomena dan asumsi
tersebut.
Tidak sedikit kita
mendapatkan kepala rumah tangga (suami atau ayah) yang penghasilannya tidak
mencukupi kebutuhan-kebutuhan rumah tangga mereka. Dan tidak sedikit kaum
perempuan hidup tanpa sistem herarki kepala keluarga seperti ini, karena
beberapa hal, misalnya perceraian ataupun meninggalnya suami dan ayah. Maka
bagaimana dengan nasib kaum perempuan dalam keadaan yang seperti itu? Bagaimana
caranya ia mampu mencukupi kebutuhan pribadi dan anak-anaknya, sedangkan bekal
pengetahuan untuk itu tidak sedikitpun ia dapatkan? Bagaimana ia dapat
mempertahankan hidupnya dan keluarganya jika ia sendiri adalah seorang yang
lemah, miskin dan bodoh tanpa mengetahui apa yang musti dia lakukan?
Fenomena-fenomena tersebut yang terjadi dalam masyarakat kala itu dan sangat
menyentuh hati nurani Qasim Amien. Dari sinilah, beliau melihat pentingnya
pembekalan kaum perempuan dengan pendidikan yang layak dan memadai agar mereka
dapat hidup mandiri tanpa ketergantungan dari ayah atau suami mereka dan dapat
mempertahakan kelangsungan hidupnya sendiri dan keluarga.[13]
Kemudian, jika kita
tengok posisi kaum perempuan yang menjadi pengasuh dan pendidik bagi
anak-anaknya, maka pembekalan kaum perempuan dengan pendidikan dalam konteks
ini sangat urgen bahkan menjadi kewajiban, karena nantinya, kepribadian umat
dan bangsa ditentukan anak-anak mereka. Maka, pendidikan tunas-tunas bangsa ini
dimulai dari proses pendidikan mental dan pembentukan kepribadian dalam
keluarga. Selanjutnya, mempersiapkan mereka menjadi sumber daya manusia yang
unggul dan sempurna. Nah, agenda-agenda
dan harapan-harapan di atas akan sulit terkabul, kecuali melalui tangan-tangan
dan nurani ibu-ibu pendidik yang berpendidikan tinggi dan memiliki bekal yang
memadai. Bagaiamana kita akan membentuk dan membina generasi yang unggul dan
tangguh jika kaum ibu saja masih terbelakangan tanpa pendidikan? Bagaimana
bangsa dan umat akan maju jika mereka masih terseret fenomena-fenomena ini?
Dari Konservatifisme Menuju
Liberalisme
Jika kita runtut dan cermati lebih lanjut pemikiran Qasim
Amien dalam memperjuangkan agenda-agenda kaum perempuan di Mesir, ada satu hal
yang menarik sekali untuk kita kaji berkaitan dengan metaformosa (perubahan)
pola pikirnya sangat mencolok dan dahsyat.
Dalam karya
perdananya “Les Egyptiens” (Mashriyyûn),
Qasim termasuk pemikir dari kelompok konservatif. Ketika itu, kondisi sosial
masyarakat Mesir digambarkan secara negatif oleh Duc D’harcouri—dalam sebuah
tulisannya—masyarakat Mesir terbelakang, terisolir, dari kemodernan dan kemajuan.
Sebagai seorang yang cukup memiliki jiwa nasionalisme tinggi, Qasim merasa
“tidak rela” jika sisi-sisi negatif dari keadaan masyarakat di negerinya harus
dibeberkan kepada masyarakat luas, apalagi kepada masyarakat asing (Perancis).
Dan demi mengembalikan nama baik masyarakatnya yang sempat tercemari itu, ia
menuliskan sebuah tanggapan yang cenderung bersifat membela diri. Dalam tulisan
inilah, Qasim dengan konservatifisme-nya mencoba menjadikan sisi-sisi negatif
tersebut menjadi nilai-nilai yang positif.[14] Misalnya,
ketika D’harcouri memandang tradisi hijab—dalam makna majazi, yaitu masyarakat
yang benar-benar memisahkan antara kelompok perempuan dan laki-laki—sebagai
sebuah tradisi yang negatif dan penghambat kemajuan masyarakat, Qasim justru
menganggapnya sebagai tradisi yang sangat positif. Dengan dalih, tradisi hijab
ini merupakan identitas masyarakat yang beretika, lebih terjaga dan lebih
sesuai dengan ajaran agama.[15]
Lima Tahun kemudian,
1899, Qasim Amien menelurkan salah satu karyanya yang sederhana dan—dalam
prediksinya—tidak terlalu berharga, namun ternyata berhasil menimbulkan ledakan
besar bagi masyarakat Mesir dengan gerakan pembaruan dan revolusi sosial.
Subtansi buku ini; Tahrîr al-Mar’ahini
sangat bertolak belakang dengan pemikiran sebelumnya. Jika dalamMashriyyûn beliau sangat konservatif, anti barat
dan membabi buta, dalam karya ini, ia menjadi seorang yang sangat liberal, dan
bahkan cenderung berkiblat pada masyarakat barat untuk melakukan kritik
terhadap situasi dan kondisi masyarakatnya pada waktu itu. Misalnya saja ketika
mengangkat masalah disinteraksi antara kaum perempuan dan kaum lelaki karena
dibatasi hijab. Awalnya, beliau menganggap tradisi ini memiliki nilai-nilai
positif. Namun pada buku Tahrîr al-Mar’ah ini,
Qasim Amien malah mengkritik tradisi hijab ini dan meminta tradisi tersebut
“ditinggalkan” karena tidak ada lagi kemaslahatan di sana. Pendapat ini
dipertegas dan diperkuat dengan karyanya yang ketiga, al-Mar’ah al-Jadîdah, (Perempuan Modern) sebagai
“terminal akhir” dari pikiran-pikirannya.
Kita bisa
bertanya-tanya, dalam tempo yang relatif singkat (lima tahun), Qasim Amien
merubah cara pandangnya secara frontal. Apa sebab-sebab yang melatar belakangi
ini semua? Benarkan ini pemikiran orisinil Qasim Amien? Kalau kita lihat latar
belakang lahirnya buku yang pertama itu, adalah refleksi dari pembelaan diri
ketika masyarakatnya “ditelajangi” orang lain, dengan serta merta Qasim Amien
melakukan pembelaan diri dan bisa dikatakan berapologi. Kala itu ia sangat
subjektif, egois, “grusa-grusu” dan tanpa melakukan introspeksi. Jadi, dengan
kata lain, pemikirannya dalamMashriyyûn ini
belum bisa dikatakan orisinil, karena terlahir dari tuntutan-tuntutan
psikologis yang mendesak.
Sedangkan nafas-nafas
pembaruan dalam karyanya yang kedua, Tahrîr Al-Mar’ah, beliau
lebih menekankan pada sisi reinterpretasi syariat agama Islam yang menjadi
sebab subordinasi kaum lelaki terhadap kaum perempuan. Padahal, Qasim bukanlah
seorang pemerhati, pakar agama dan ahli syariat. Apakah dalam waktu yang
relatif singkat itu, beliau benar-benar mendalami syariat Islam dengan membaca
buku-buku referensi utama(ummahât al-kutb) yang
berjilid-jilid sehingga dapat menerbitkan karya sehebat itu? Adakah indikasi
terjadi plagiasi dalam karya-karya ini?
Menurut Muhammad
‘Imarah, Muhammad ‘Abduh—sebagai guru dan sparing partner Qasim—
memiliki kontribusi dalam penulisan karya ini, karena pemikiran dan pembaruan
yang menjadi subtansi buku ini sejalan nafas-nafas pembaruan yang dihembuskan
Muhammad ‘Abduh. Buku Tahrîr Al-Mar’ah ini
bukan seratus persen buah pemikiran Qasim Amien, namun bisa dikatakan karya
berdua bersama Muhammad Abduh. Seperti yang dijelaskan buku Tahrîr Al-Mar’ah ini mengandung dua dimensi; agama
dan sosial. Muhammad Abduh menulis separo isi buku ini yang berkaitan dengan masalah-masalah
keagamaan, sedangkan Qasim Amien menulis dimensi sosial budaya yang menjadi
keahliannya.
Gagasan Qasim
Amin tentang emansipasi menyulut kontroversi diskursus di kalangan ulama Mesir
pada waktu itu. Meskipun ide Qasim Amin ini mendapat banyak sorotan dari para
ulama Al-Azhar, ia tidak pernah surut untuk menyuarakannya. Ide emansipasi
bertujuan untuk membebaskan kaum wanita sehingga mereka memiliki keleluasaan
dalam berpikir, berkehendak, dan beraktivitas sebatas yang dibenarkan oleh ajaran
Islam dan mampu memelihara standar moral masyarakat. Kebebasan dapat menggiring
manusia untuk maju dan berjejak pada kebahagiaan. Tidak seorang pun dapat
menyerahkan kehendaknya kepada orang lain, kecuali dalam keadaan sakit jiwa dan
masih anak-anak.23 Karena itulah ia menyarankan adanya perubahan, karena
menurutnya tanpa perubahan mustahil kemajuan dapat dicapai.
Qasim Amin melihat wanita pada waktu itu bagaikan budak dan
hidup di penjara yang kehilangan kebebasan untuk berbuat dan beraktivitas.
Banyak kaum pria yang masih menganggap bahwa mengurung wanita di rumahnya
merupakan jalan agar wanita menjadi manusia yang terbaik. Bagi Qasim Amin,
memberikan hak kepada lelaki untuk mengurung isterinya jelas bertentangan
dengan hak kebebasan wanita yang tidak bisa dicabut dan sekaligus merupakan hak
natural.[11]
Menurut Qasim Amin, syari’ah menempatkan wanita sederajat dengan
pria dalam hal tanggung jawabnya di muka bumi dan di kehidupan selanjutnya.
Jika wanita melakukan tindak kriminal, bagaimana pun juga, hukum tidak begitu
saja membebaskannya atau merekomendasikan pengurangan hukuman padanya. Qasim
meyakini, tidaklah masuk akal menganggap wanita memiliki rasionalitas yang
sempurna, bebas, dan berhak mendapat hukuman jika ia melakukan pembunuhan,
sementara di saat yang sama tidak ada tanggapan apa pun atas wanita ketika
kebebasannya dirampas.
Kebebasan umum bahwa kebebasan kaum wanita akan membahayakan
kesucian mereka, menurut Qasim Amin, tidak berdasarkan pada kenyataan yang
kuat. Pengalaman mengindikasikan bahwa kebebasan wanita bisa menambah
pengertian akan tanggung jawab dan kehormatan dirinya, dan mendorong
orang-orang untuk menghormatinya. Untuk memperkuat analisisnya, Qasim Amin
menyajikan data statistik bahwa kaum
Jika
dalam masyarakat Barat terdapat sikap merendahkan derajat perempuan sehingga
menimbulkan gerakan feminisme dan persamaan gender, maka berlainan dengan agama
Islam yang sangat memuliakan perempuan. Kitab suci al-Quran memberikan hak-hak
perempuan dan menempatkan perempuan pada kedudukan terhormat yang sama dengan
hak dan kedudukan lelaki.
Ketegangan
bertentangan nilai-nilai tradisional dan modern juga mempengaruhi hubungan
sosial di luar keluarga . Media massa dan pendidikan modern mempopulerkan
ide-ide seperti kesetaraan sosial , keterbukaan antara pasangan , cinta
romantis , dan persahabatan platonis antara kedua jenis kelamin , konsep bahwa
pria dan wanita dengan nilai-nilai tradisional menemukan keberatan namun
anak-anak remaja mereka mungkin menemukan menarik . Selain itu , sedangkan beberapa
wanita muda telah readopting jilbab dan pakaian sederhana untuk menunjukkan
komitmen mereka terhadap Islam , orang lain telah tertarik pada mode Barat
terbaru dalam pakaian dan kosmetik , yang tradisionalis anggap sebagai bukti
penurunan umum dalam moralitas perempuan .
Pria
dan wanita umumnya merupakan subsocieties sebagian besar terpisah ,
masing-masing dengan nilai-nilai sendiri , sikap , dan persepsi dari yang lain
. Bahkan di antara urban modern , peran gender membatasi hubungan sosial .
Misalnya , persahabatan antara laki-laki dan perempuan yang tidak terkait pada
umumnya tidak dapat diterima . Di antara kaum muda elit , laki-laki dan
perempuan bertemu secara sosial dan kencan modis , tapi orang tua mencoba untuk
memantau hubungan tersebut dan mencegah anak-anak perempuan mereka dari
terlibat dengan pria manapun kecuali pernikahan dimaksud . Di antara keluarga
yang lebih tradisional , kencan akan merusak reputasi seorang wanita muda dan
tidak menghormati keluarganya
Kesimpulan
Dua karya besar yang menjadi magnum opus Qasim Amin adalah Tahrîr al-Mar’ah dan al-Mar’ah al-Jadîdah. Dalam Tahrîr al-Mar’ah (Pembebasan Perempuan) Qasim
lebih menekankan pada ide-ide pembebasan perempuan dari belenggu diskriminasi
dan kungkungan subordinasi. Qasim mencoba membuka “kran-kran” penyumbat
kemajuan ummat dengan menghilangkan tradisi subordinasi kaum lelaki. Dan metode
yang digunakannya pun lebih menitikberatkan pada reinterpretasi al-Quran dan
Hadist yang seakan selalu melegitimasi adanya sistem patriarkhi dalam
masyarakat.
Sedangkan
dalam al-Mar’ah al-Jadîdah (Perempuan Modern) Qasim
mengembangkan dan memperkuat ide-ide pokok dalam karya sebelumnya. Ketika kaum
perempuan telah sedikit banyak tercerahkan dengan ide-ide pembebasan
(liberalisasi), maka Qasim Amien memulai memperjuangkan pemberdayaan perempuan.
Di sini Qasim terlihat sangat getol menyerukan urgensi pendidikan kaum
perempuan. Menurutnya, perempuan harus bisa bersikap mandiri sepenuhnya tanpa
harus ada ketergantungan pada kaum laki-laki. Dari dua karya Qasim Amien ini,
kita menemukan relefansi pemikiran-pemikirannya, dari pembebasan perempuan
melalui kritik tradisi sosial agama dan budaya, menuju perempuan modern yang
“berdaya” dan tidak bisa “dipercaya”. Pemikiran Qasim Amien yang pertama masih
berbau teks-teks agama, maka pada karya kedua, Qasim Amien ingin merekonstruksi
sosial, setelah mendekonstruksinya.
Namun, di
zaman modern ini, model-model usaha Qasim Amien kelihatannya sudah tidak begitu
menemukan relevansinya lagi, sebab bagi kita yang hidup pada era globalisasi
ini, pembebasan perempuan dari “penjara” rumah dan perjuangan kaum perempuan
untuk menikmati pendidikan bukalah hal yang sulit untuk didapat. Di segala lini
kehidupan, perempuan sudah mulai diperhitungkan. Artinya, diskriminasi kaum perempuan
dan subordinasi kaum lelaki yang mencolok dan dirasakan oleh masyarakat semasa
hidup Qasim Amin, saat ini sudah berangsur-angsur punah. Walaupun tidak menutup
kemungkinan kita masih menjumpai tradisi-tradisi tersebut dalam kehidupan
sosial. Nah, agenda yang mungkin masih relevan saat ini
adalah “pemberdayaan kaum perempuan” bukan lagi “pembebasan kaum perempuan”
seperti perjuangan Qasim Amien dan tokoh-tokoh feminis yang lain pada zamannya.
Jadi,
yang bisa kita ambil dari ide-ide pembaruan Qasim Amien bukanlah model-model
materialistis usahanya, namun spirit pembaruan dan pencerahan masyarakat yang
senantiasa diperjuangkannya. Kita harus bisa menghidupkan kembali ruh
perjuangan itu sesuai dengan konteks yang ada. Semoga semangat dan jasa-jasa Qasim
Amien dalam ijtihad dan perjuangannya dalam merekonstruksi masyarakat selalu
menjadi tauladan bagi generasi selanjutnya. Wa’l lahu a‘lam bi Al-Shawâb
Daftar Pustaka :
§ Ahmed Leila, Wanita
dan Gender dalam Islam, Lentera Jakarta : 2000.
§ Chakim Sulkhan, Interkoneksitas
Feminisme Muslim dan gerakan Pembaharuan di Timur Tengah, Di ambil
dari Tesis Sulkhan Chakim.
§ El-Tahawy, Kantor
berita Commound Ground (CG.News) 6 Juli 2012.
§ Patrick Kirk, Partisipasi
Kaum Wanita, Jurnal Universitas Brawijaya, PT Danur Wijaya Press,
Surabaya : 1994.
§ Sadli Saparinah, Pengantar
tentang kajian Wanita, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta : 1995.
§ Republika.co.id,
Yogyakarta, Kamis, (15/12).
[3] Chakim Sulkhan, Interkoneksitas
Feminisme Muslim dan gerakan Pembaharuan di Timur Tengah, Di ambil
dari Tesis Sulkhan Chakim.
[4] Saparinah Sadli, Pengantar
Tentang Kajian Wanita, dalam T.O Ihromi (ed.) Kajian Wanita dalam Pembangunan,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1995, hal.14
[5] Saparinah Sadli, Pengantar
Tentang Kajian Wanita, dalam T.O Ihromi (ed.) Kajian Wanita dalam
Pembangunan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1995, hal.23
[7] E- book,
Penulisan Tesis dari Sulkhan Chakim (Dosen STAIN Purwokerto) “Interkoneksitas
Feminisme Muslim dan gerakan Pembaharuan di Timur Tengah “hal. 1-2
[8] Patrick Kirk, Partisipasi Kaum
Wanita, Jurnal Universitas Brawijaya, PT Danur Wijaya Press, Surabaya
: 1994
[10]
Muhammad Imarah, Qasim Amîn wa Tahrîr al-Mar’ah, Kairo: Kitâb
Al-Hilâl, th. 1980, hlm,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar