Kehilangan adalah sebuah pengalaman yang dapat dialami oleh setiap orang. Tidak peduli apakah Anda pria atau wanita, tinggal di kota atau di desa, miskin atau kaya raya, penguasa atau rakyat jelata, orang muda atau lanjut usia. Pengalaman kehilangan tidak mengenal agama ataupun suku bangsa. Ia bersifat universal sehingga tidak seorang pun yang dapat luput dari padanya.
Pengalaman kehilangan ini dapat muncul dalam berbagai bentuk yang berbeda-beda. Ada orang yang kehilangan harta, ada pula yang kehilangan orang yang dicintainya. Ada orang yang kehilangan pekerjaan ada pula yang kehilangan tempat tinggalnya. Ada orang yang kehilangan jabatan dan ada pula yang kehilangan kesehatannya. Bahkan pada akhirnya, setiap orang akan kehilangan nyawanya!
Maka ketika saya berpikir lebih dalam, saya sampai pada satu kesimpulan, bahwa: “Hidup adalah rangkaian pengalaman tentang kehilangan.” Kesimpulan ini bisa jadi merupakan sesuatu yang “menakutkan” bagi banyak orang, sehingga tidak heran bila sangat sedikit yang berani membicarakannya secara terbuka.
Tetapi karena “pengalaman kehilangan” adalah sebuah realita hidup manusia, maka yang terbaik dan paling bijaksana adalah supaya kita belajar mengenali dan menang atas “kehilangan” itu sendiri. Bila tidak, kita akan menjadi orang-orang yang hidup dalam kesedihan dan kekecewaan tak berujung.
Sebagai seorang Motivator, sudah menjadi pekerjaan saya untuk membuat seseorang bergerak maju, bekerja dengan antusias dan penuh semangat, guna mendapatkan suatu hasil yang lebih baik dan semakin baik. Namun semakin banyak orang yang saya temui, saya semakin menyadari bahwa ternyata menolong orang untuk mendapatkan sesuatu barulah setengah perjalanan karir seorang Motivator sejati.
Sesungguhnya, perjalanan hidup untuk mendapatkan dan mempertahankan sesuatu, hanyalah satu sisi mata uang. Sisi yang lain daripada kehidupan manusia berbicara mengenai kehilangan apa yang pernah didapat. Pada saat “pengalaman kehilangan” itulah pencerahan yang sejati dibutuhkan. Dan pencerahan ini tidak dapat diberikan oleh Kecerdasan Emotional (SQ). Seseorang yang sedang mengalami kehilangan hanya dapat dicerahkan secara tuntas oleh Kecerdasan Spiritual (SQ), seperti yang akan kita bahas kali ini. Renungkan kisah berikut...
Kisah Seorang Pemburu
Diceritakan tentang dua orang sahabat yang tinggal di suatu desa. Mereka memiliki kesenangan yang sama, yakni: berburu. Pada suatu hari, ketika mereka sedang berada di tengah hutan tiba-tiba seekor harimau muncul siap menerkam mereka berdua. Dengan sekuat tenaga kedua sahabat bergelut dengan harimau yang sangat kuat itu, dan harimau itupun berhasil dikalahkan.
Namun akibat dari pertempuran sengit itu, salah satu dari mereka kehilangan tiga jari tangan kanannya. Sementara sahabat yang satu lagi kehilangan seluruh jari tangan kanan dan kirinya. Dengan bantuan seseorang yang tengah lewat, kedua sahabat berhasil kembali ke rumah dengan selamat. Setelah perawatan selama tiga bulan, luka-luka mulai sembuh dan mereka siap memulai hidup baru.
Tetapi dengan berjalannya waktu, sahabat yang kehilangan tiga jari sering murung dan kehilangan gairah hidup. Ia sering marah dan mengurung diri di dalam rumah. Ia sering bercerita betapa kecewanya dia dengan ketiga jarinya yang telah hilang.
Bagaimana dengan sahabat yang kehilangan sepuluh jari? Apakah ia murung dan tersiksa oleh rasa kecewa yang lebih besar? Ternyata tidak, ia masih bisa tersenyum dan mampu menatap masa depan dengan penuh gairah.
Pertanyaanya adalah: mengapa mereka sangat berbeda dalam hal meresponi kehilangan yang mereka alami? Ketiga poin di bawah ini merupakan jawabannya.
1. Tak ada yang kebetulan
Ketika Anda kehilangan sesuatu yang berharga atau ditinggal oleh orang yang Anda cintai, hal yang normal bila Anda menangis dan bersedih hati. Namun jangan biarkan “kehilangan” itu menguasai dan meruntuhkan hidup Anda selamanya. Bangkit dan sadarkan diri Anda bahwa tidak ada satupun yang terjadi karena kebetulan, termasuk juga di dalam kehilangan yang tengah Anda alami.
Di balik semua kejadian selalu, sekali lagi saya katakan, selalu ada maksud dan tujuan yang baik. Memang, pada waktu kita sedang berada di tengah titik kehilangan itu, tidak selalu mudah untuk mengenali maksud dan tujuan baik yang dikandungnya. Tetapi bila saja, melalui kehilangan itu, kita dapat belajar untuk lebih kuat menghadapi kehilangan berikutnya, bukankah hal tersebut telah menjadi sesuatu yang baik dan berharga?
Jadi, sekali lagi mari kita belajar untuk percaya bahwa tidak ada kejadian, bahkan yang paling buruk sekalipun, yang terjadi secara kebetulan atau diluar ijin Sang Penguasa dunia ini. Di tengah kehilangan, yakinkan diri Anda bahwa Tuhan masih mengontrol dunia ini, termasuk hidup Anda. Karena itu, jangan putus asa, dan jangan pernah menyerah!
2. Menghitung yang Tersisa
Pemburu yang kehilangan tiga jari menjadi kecewa dan tidak mampu bersyukur karena ia terlalu sibuk menghitung apa yang telah hilang darinya. Memang, ketika pikiran kita difokuskan pada apa yang telah hilang maka kehilangan tiga jari bisa terasa sangat menjengkelkan.
Hidup pastilah tidak senyaman seperti waktu memiliki jari yang lengkap. Belum lagi perasaan tertekan di tengah pergaulan. Lalu bagaimana ketika berjabat tangan dengan seorang wanita cantik? Wah betapa sedihnya, betapa repotnya, dan betapa malunya kehilangan tiga jari.
Tetapi pemburu yang satu lagi tidak mengfokuskan pikirannya untuk menghitung sepuluh jari yang telah hilang, karena ia sadar jari itu tidak mungkin lagi dapat kembali. Ia menolak untuk menjadi korban kejadian masa lalu.
Karena itu, ia memilih untuk menghitung apa yang tersisa dalam hidupnya. Maka kemudian setiap pagi, ia bersyukur bahwa ia masih diberikan kesempatan untuk hidup. Dia sadar, di hutan itu sesuatu yang jauh lebih buruk bisa saja terjadi kepadanya. Ia bisa saja kehilangan nyawa!
Maka kemampuan kita bersyukur sangat tergantung cara kita menghitung. Bila kita menghitung dari apa yang hilang, maka pastilah kita akan sulit bersyukur. Sebaliknya, bila rasa syukur berangkat dari apa yang tersisa, mungkinkah rasa syukur itu akan pernah berakhir?
3. Mendapat Sang Pemberi
Poin yang ketiga ini jauh lebih penting dibandingkan poin yang pertama dan kedua diatas. Untuk dapat menghadapi kehilangan maka seseorang harus naik kelas dari pemahaman spiritual: “Aku ingin mendapat ini-itu dari Tuhan” menjadi “Aku ingin mendapatkan Tuhan itu sendiri (Sang Pemberi ini-itu).”
Maksudnya begini: Banyak orang yang beragama, kemudian berbuat baik atau hidup saleh karena mereka berharap, melalui semua perbuatan baik mereka, hidup mereka diperlancar, keluarga mereka dijagai, usaha mereka dibuat berhasil, tubuh mereka disehatkan...oleh yang namanya Tuhan.
Silahkan baca lagi kalimat di atas, dan renungkan sebentar. Kalau Anda dapat memahami konsep penting ini maka Anda akan meresponi kehilangan, bahkan hidup secara keseluruhan secara berbeda. Perhatikan, pada kalimat di atas, yang menjadi tujuan akhir adalah “mendapatkan ini-itu”, dan Tuhan berperan sebagai “alat”. Sekali lagi, Tuhan ditempatkan hanya sebagai alat, bukan sebagai Tuhan.
Risiko bagi orang yang memiliki pemahaman seperti di atas adalah, ketika suatu hari ia ditimpa kemalangan dan mengalami kehilangan, ia akan merasa sangat kecewa, frustasi, putus asa, berhenti berbuat baik dan kemudian mulai mengutuki serta meninggalkan Tuhan.
Mengapa ia mengutuki dan meninggalkan Tuhan? Alasannya sangat sederhana: Karena Tuhan tidak bekerja sesuai dengan apa yang diharapkan oleh orang tersebut.
Maka, ketika saya pikirkan lebih dalam lagi tentang konsep ini, maka yang paling menarik adalah: Dari pemahaman seperti di atas, ternyata, sebetulnya yang tengah berperan sebagai Tuhan, bukanlah Tuhan melainkan manusia yang tengah berharap “ini-itu” tersebut. Sekali lagi, yang terjadi adalah: Tuhan tidak lebih dari sekedar alat untuk mendapatkan apa yang diinginkan oleh manusia. Jelas, ini adalah pemahaman yang keliru.
Itulah sebab, saya menawarkan pemahaman lain dalam meresponi kehilangan. Mari kita naik kelas dari mengharapkan ini-itu dari Tuhan, menjadi mendapatkan Tuhan itu sendiri. Hanya dengan pemahaman yang baru inilah, maka hubungan kita dengan Sang Pencipta, tulus didasarkan pada cinta kita kepadaNya, dan bukan cinta kita kepada pemberianNya.
Maka di level pemahaman yang baru inilah manusia dapat berkata: “Di tengah dunia yang fana ini, aku dapat kehilangan segala-galanya. Namun, kendati aku kehilangan segala-galanya, aku ingin pastikan bahwa aku mendapatkan Sumber segala-galanya, Sang Pemberi. Dan bagiku itulah yang paling berarti!”
KESIMPULAN
Sekali lagi, “kehilangan” adalah realita hidup manusia. Ketika ia datang menghampiri, dengan tegar mari menghadapinya tiga tips di atas, sampai kita menjadi pemenang.
Pengalaman kehilangan ini dapat muncul dalam berbagai bentuk yang berbeda-beda. Ada orang yang kehilangan harta, ada pula yang kehilangan orang yang dicintainya. Ada orang yang kehilangan pekerjaan ada pula yang kehilangan tempat tinggalnya. Ada orang yang kehilangan jabatan dan ada pula yang kehilangan kesehatannya. Bahkan pada akhirnya, setiap orang akan kehilangan nyawanya!
Maka ketika saya berpikir lebih dalam, saya sampai pada satu kesimpulan, bahwa: “Hidup adalah rangkaian pengalaman tentang kehilangan.” Kesimpulan ini bisa jadi merupakan sesuatu yang “menakutkan” bagi banyak orang, sehingga tidak heran bila sangat sedikit yang berani membicarakannya secara terbuka.
Tetapi karena “pengalaman kehilangan” adalah sebuah realita hidup manusia, maka yang terbaik dan paling bijaksana adalah supaya kita belajar mengenali dan menang atas “kehilangan” itu sendiri. Bila tidak, kita akan menjadi orang-orang yang hidup dalam kesedihan dan kekecewaan tak berujung.
Sebagai seorang Motivator, sudah menjadi pekerjaan saya untuk membuat seseorang bergerak maju, bekerja dengan antusias dan penuh semangat, guna mendapatkan suatu hasil yang lebih baik dan semakin baik. Namun semakin banyak orang yang saya temui, saya semakin menyadari bahwa ternyata menolong orang untuk mendapatkan sesuatu barulah setengah perjalanan karir seorang Motivator sejati.
Sesungguhnya, perjalanan hidup untuk mendapatkan dan mempertahankan sesuatu, hanyalah satu sisi mata uang. Sisi yang lain daripada kehidupan manusia berbicara mengenai kehilangan apa yang pernah didapat. Pada saat “pengalaman kehilangan” itulah pencerahan yang sejati dibutuhkan. Dan pencerahan ini tidak dapat diberikan oleh Kecerdasan Emotional (SQ). Seseorang yang sedang mengalami kehilangan hanya dapat dicerahkan secara tuntas oleh Kecerdasan Spiritual (SQ), seperti yang akan kita bahas kali ini. Renungkan kisah berikut...
Kisah Seorang Pemburu
Diceritakan tentang dua orang sahabat yang tinggal di suatu desa. Mereka memiliki kesenangan yang sama, yakni: berburu. Pada suatu hari, ketika mereka sedang berada di tengah hutan tiba-tiba seekor harimau muncul siap menerkam mereka berdua. Dengan sekuat tenaga kedua sahabat bergelut dengan harimau yang sangat kuat itu, dan harimau itupun berhasil dikalahkan.
Namun akibat dari pertempuran sengit itu, salah satu dari mereka kehilangan tiga jari tangan kanannya. Sementara sahabat yang satu lagi kehilangan seluruh jari tangan kanan dan kirinya. Dengan bantuan seseorang yang tengah lewat, kedua sahabat berhasil kembali ke rumah dengan selamat. Setelah perawatan selama tiga bulan, luka-luka mulai sembuh dan mereka siap memulai hidup baru.
Tetapi dengan berjalannya waktu, sahabat yang kehilangan tiga jari sering murung dan kehilangan gairah hidup. Ia sering marah dan mengurung diri di dalam rumah. Ia sering bercerita betapa kecewanya dia dengan ketiga jarinya yang telah hilang.
Bagaimana dengan sahabat yang kehilangan sepuluh jari? Apakah ia murung dan tersiksa oleh rasa kecewa yang lebih besar? Ternyata tidak, ia masih bisa tersenyum dan mampu menatap masa depan dengan penuh gairah.
Pertanyaanya adalah: mengapa mereka sangat berbeda dalam hal meresponi kehilangan yang mereka alami? Ketiga poin di bawah ini merupakan jawabannya.
1. Tak ada yang kebetulan
Ketika Anda kehilangan sesuatu yang berharga atau ditinggal oleh orang yang Anda cintai, hal yang normal bila Anda menangis dan bersedih hati. Namun jangan biarkan “kehilangan” itu menguasai dan meruntuhkan hidup Anda selamanya. Bangkit dan sadarkan diri Anda bahwa tidak ada satupun yang terjadi karena kebetulan, termasuk juga di dalam kehilangan yang tengah Anda alami.
Di balik semua kejadian selalu, sekali lagi saya katakan, selalu ada maksud dan tujuan yang baik. Memang, pada waktu kita sedang berada di tengah titik kehilangan itu, tidak selalu mudah untuk mengenali maksud dan tujuan baik yang dikandungnya. Tetapi bila saja, melalui kehilangan itu, kita dapat belajar untuk lebih kuat menghadapi kehilangan berikutnya, bukankah hal tersebut telah menjadi sesuatu yang baik dan berharga?
Jadi, sekali lagi mari kita belajar untuk percaya bahwa tidak ada kejadian, bahkan yang paling buruk sekalipun, yang terjadi secara kebetulan atau diluar ijin Sang Penguasa dunia ini. Di tengah kehilangan, yakinkan diri Anda bahwa Tuhan masih mengontrol dunia ini, termasuk hidup Anda. Karena itu, jangan putus asa, dan jangan pernah menyerah!
2. Menghitung yang Tersisa
Pemburu yang kehilangan tiga jari menjadi kecewa dan tidak mampu bersyukur karena ia terlalu sibuk menghitung apa yang telah hilang darinya. Memang, ketika pikiran kita difokuskan pada apa yang telah hilang maka kehilangan tiga jari bisa terasa sangat menjengkelkan.
Hidup pastilah tidak senyaman seperti waktu memiliki jari yang lengkap. Belum lagi perasaan tertekan di tengah pergaulan. Lalu bagaimana ketika berjabat tangan dengan seorang wanita cantik? Wah betapa sedihnya, betapa repotnya, dan betapa malunya kehilangan tiga jari.
Tetapi pemburu yang satu lagi tidak mengfokuskan pikirannya untuk menghitung sepuluh jari yang telah hilang, karena ia sadar jari itu tidak mungkin lagi dapat kembali. Ia menolak untuk menjadi korban kejadian masa lalu.
Karena itu, ia memilih untuk menghitung apa yang tersisa dalam hidupnya. Maka kemudian setiap pagi, ia bersyukur bahwa ia masih diberikan kesempatan untuk hidup. Dia sadar, di hutan itu sesuatu yang jauh lebih buruk bisa saja terjadi kepadanya. Ia bisa saja kehilangan nyawa!
Maka kemampuan kita bersyukur sangat tergantung cara kita menghitung. Bila kita menghitung dari apa yang hilang, maka pastilah kita akan sulit bersyukur. Sebaliknya, bila rasa syukur berangkat dari apa yang tersisa, mungkinkah rasa syukur itu akan pernah berakhir?
3. Mendapat Sang Pemberi
Poin yang ketiga ini jauh lebih penting dibandingkan poin yang pertama dan kedua diatas. Untuk dapat menghadapi kehilangan maka seseorang harus naik kelas dari pemahaman spiritual: “Aku ingin mendapat ini-itu dari Tuhan” menjadi “Aku ingin mendapatkan Tuhan itu sendiri (Sang Pemberi ini-itu).”
Maksudnya begini: Banyak orang yang beragama, kemudian berbuat baik atau hidup saleh karena mereka berharap, melalui semua perbuatan baik mereka, hidup mereka diperlancar, keluarga mereka dijagai, usaha mereka dibuat berhasil, tubuh mereka disehatkan...oleh yang namanya Tuhan.
Silahkan baca lagi kalimat di atas, dan renungkan sebentar. Kalau Anda dapat memahami konsep penting ini maka Anda akan meresponi kehilangan, bahkan hidup secara keseluruhan secara berbeda. Perhatikan, pada kalimat di atas, yang menjadi tujuan akhir adalah “mendapatkan ini-itu”, dan Tuhan berperan sebagai “alat”. Sekali lagi, Tuhan ditempatkan hanya sebagai alat, bukan sebagai Tuhan.
Risiko bagi orang yang memiliki pemahaman seperti di atas adalah, ketika suatu hari ia ditimpa kemalangan dan mengalami kehilangan, ia akan merasa sangat kecewa, frustasi, putus asa, berhenti berbuat baik dan kemudian mulai mengutuki serta meninggalkan Tuhan.
Mengapa ia mengutuki dan meninggalkan Tuhan? Alasannya sangat sederhana: Karena Tuhan tidak bekerja sesuai dengan apa yang diharapkan oleh orang tersebut.
Maka, ketika saya pikirkan lebih dalam lagi tentang konsep ini, maka yang paling menarik adalah: Dari pemahaman seperti di atas, ternyata, sebetulnya yang tengah berperan sebagai Tuhan, bukanlah Tuhan melainkan manusia yang tengah berharap “ini-itu” tersebut. Sekali lagi, yang terjadi adalah: Tuhan tidak lebih dari sekedar alat untuk mendapatkan apa yang diinginkan oleh manusia. Jelas, ini adalah pemahaman yang keliru.
Itulah sebab, saya menawarkan pemahaman lain dalam meresponi kehilangan. Mari kita naik kelas dari mengharapkan ini-itu dari Tuhan, menjadi mendapatkan Tuhan itu sendiri. Hanya dengan pemahaman yang baru inilah, maka hubungan kita dengan Sang Pencipta, tulus didasarkan pada cinta kita kepadaNya, dan bukan cinta kita kepada pemberianNya.
Maka di level pemahaman yang baru inilah manusia dapat berkata: “Di tengah dunia yang fana ini, aku dapat kehilangan segala-galanya. Namun, kendati aku kehilangan segala-galanya, aku ingin pastikan bahwa aku mendapatkan Sumber segala-galanya, Sang Pemberi. Dan bagiku itulah yang paling berarti!”
KESIMPULAN
Sekali lagi, “kehilangan” adalah realita hidup manusia. Ketika ia datang menghampiri, dengan tegar mari menghadapinya tiga tips di atas, sampai kita menjadi pemenang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar