SENANDUNG KOPI MALAM
Dalam rangkulan detik waktu
Dari lembayung pagi, sampai senja beranjak pergi
Kini kugandeng buah petang bergegas menuju malam
Perlahan disapa sumeringah bintang-bintang
Begitu pada sesabit wajah rembulan, tak nampak kusut
peluh nestapa
Kian berpadu menyatu
Layaknya segelas kopi yang baru saja kuracik penuh
dengan adukan cinta
Ya, kopi hitam cap kupu-kupu rindu
Bukan rindu pada hitam kisahku
/
Detik ini, sapaan malam kian lepas mesra
Duduk di kursi tua, menyusur segala lorong sunyi di
tengah keheningan
Hanya mampu berbisik lirih pada segelas kopi yang ku
cipta
Berharap bala tentara nestapa tak lagi menyeretku pada
wanita-wanita berparas dusta
Luruh deretan kisah berdebu kelam
Tenggelam bersama adukan kopi yang sesekali kembali ku
aduk sengaja
Ku teguk, berpadu satu rasa nan pas
Segelas kopi melepas peluh luka
/
Pada malam yang kian semakin larut
Kopi di gelasku tinggal setengah, sengaja kusisakan
sampai larut malam
Bicara tak lagi hangat saat ku teguk, biarlah
Nyatanya kehangatan pada kopi yang kucipta dengan
cinta,
jelas kehangatan itu tak luruh
Kembali, cukup rongrongan kelamku saja yang kian luruh
Pada buai harapan pasti
Pada tegukan setengah gelas kopi yang tersisa
Nyata, kembali hilang segala duka nan nestapa.
Jakarta, 20 Oktober 2016
KOPI CITA
Terkisah,
jejak.jejak dalam sepotong ruang
Melahap segala kerontang resah lepas merayu
Mengusir segala ragu.ragu menggerutu
Girah penyaksi apa.apa yang sanubari titah
Jangan diam di telan haru biru
Dalam cengkraman badai yang silih berganti
Bangkit, melangkahlah dengan secangkir harapan
/
Kamu,
memanggil singgah helaian daun.daun cerita
Memberi cerah segala warna
Tempat semai tuai bahasa jiwa batas langit membiru
Bilur berproses baret mendadah
Di genggam pada sebongkah niat.niat nan kuat
Memuncak di gunung.gunung karang cahaya
Padamu kopi cita
Pahit manis lepas berpadu satu
/
Pada kopi cita
Membuang pilu yang karatan dalam jiwa
Di tiap kerontang pembenci hujan
Hentak naluri menorehmu ingin
Lepas meneguknya, kuatkan segala harap dalam cita
Kembali, cerah, barisan warna pelangi
Setelahku lebur menyatu pada segelas kopi
Kopi cita, semoga segala cita lepas tercipta.
Jakarta, 21 Oktober 2016
SECANGKIR TUMBAL
aku dan mereka jadikan dia tumbal
dengan semua rasa yang tercipta,
dari satu setengah sendok serbuk hitam
dari satu setengah sendok serbuk putih
melebur bersatu tersiram cucuran air panas mengepul
bersatu dalam satu rasa
/
aku dan mereka jadikan dia tumbal
dengan semua pemikirannya
kali ini, para penyairlah yang dengan jiwa yang lapang
meraciknya
penuh dengan seribu satu ketulusan
bukan sekedar untuk menikmatinya
menjadikannya dia tumbal, adalah inspirasi kehidupan
/
aku dan mereka jadikan dia tumbal
bersama mereka para penikmat setianya
sama.sama menjadikannya dia tumbal
sepertinya tumbal terbaik bagi mereka para adam
begitu juga sebagian para hawa
secangkir tumbal, dialah kopi.
Jakarta, 22 Oktober 2016
SENANDUNG KIDUNG
SUNGAI CIMANUK
Lihat, lihat di ujung sana, di pinggiran sungai itu#
rerumput nan hijau kian menyatu
Bertegur sapa dengan angin yang lepas hampiri#
terlihat sumeringah anak.anak desa berlari
Semerbak bunga.bunga yang di sinari mentari pagi#
penghuni desa lepas riuh tersenyum gigi
Menyambut hari penuh dengan segala cita# berawal dari
niat nan kuat semoga tercipta
Di sungai ini, sungai yang penuh dengan seribu satu
cerita# bukan pada lembaran dusta
Bukan saja dedaun nan ilalang tersenyum berseri#
burung.burung pagi juga ramaikan menari
Di sungai ini, sungai cimanuk# ya, tempat berbagi kisah seluruh makhluk
/
Pada lukisan langit biru nan nyata# jejak.jejak
kembara berawal dari sungai ini tercipta
Hilang segala rongrongan resah# lenyap terkubur dalam
pusara segala buai kelam gelisah
Di tanah ini, tanah yang penuh bermandikan sejarah#
bukan pada tindak serakah nan gegabah
Hidup rukun lepas tercipta# pada sesama makhluk saling
asih penuh cinta
Dalam dekapan hari.hari nan asri# di sungai ini
lenyap.lenyaplah segala sunyi pada diri
Semua nampak menyatu, bukan mengeja hidup dalam
dekapan haru# luruhkan segala haru
Jiwa raga bangkit nan nyata# kembali, menatap sungai
jernihkan pikir dari segala hitam dusta
/
Senandung kidung sungai cimanuk# tak ada jiwa.jiwa
yang lelah terpuruk
Di bawah jembatan Kreteg Gantung# hilang dari
wajah.wajah nan bingung
Detik ini, pada hamparan sungai nan bersih# kembali,
terus saja semerbak saling kasih
Sebuah kesempurnaan cipta yang t’lah Tuhan beri# dalam
buai syukur padaNya terus berseri
Semua isi alam yang ada pada sungai cimanuk# kelola
tangan manusia tak pernah lapuk
Pada sungai cimanuk, jejak.jejak kehidupan kan’ terus
hidup# terus hidup
Begitu indah maha karyaNya# semua karenaNya.
Indramayu, 03 Oktober 2016
BULAN SEPARUH
Bulan separuh
Bersinar sayup lepas tak menyeluruh
Kemana, ya kemana para penyair tak riuh
Tak terdengar pada sebait kata.kata bergemuruh
Apa mungkin jiwa.jiwa t’lah rapuh
Jangan, jangan diam jiwa dalam pandang bulan layu
tersipuh
Jangan pula raga terbawa jatuh
/
Ini malam
Jangan, jangan ingat deretan kisah nan kelam
Sehari, seminggu, sebulan, setahun silam
Jika sempat tertuang rasa tak sepaham
Jangan, jangan di ingat, obati dengan butiran buah
sabar lalu redam
Kembali, saatnya bangkit dari rongrongan diam
terbungkam
Perlahan, lupakan segala jejak.jejak menghitam
/
Pada bulan separuh
Kembali mataku lepas memandang
Meski langit malam hanya melirik diam tak berbincang
Pada buai cita harapan, jika detik selanjutnya masih
bernafas panjang
Tetap, tetap tegar nan kukuh hadapi bala tentara
halang
Begitu segala kecaman hitam rintang
Bulan separuh, mari ajak daku melukis cita nan nyata
lalu siap berdendang
Berawal dari niat dalam doa.doa padaNya lepas
berkumandang.
Tangerang Selatan, 23 Agustus 2016
Zham Sastera
adalah nama pena, pria kelahiran Pandeglang-Banten 08 Januari. Alumni S1 Studi
Agama-agama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Zham kini aktif bergelut di dunia kepenulisan
terlebih fokus di dunia Sastra, diantaranya yaitu Pegiat Sastra di Forum
Lingkar Pena (FLP) Ciputat, Lentera Sastera (LENSA), Keluarga Pencinta Sastra
(KPS) Pandeglang, Komunitas Sastra Gunung Karang (KSKG) Pandeglang, meski
terfokus di bidang Sastra Puisi, Zham juga menulis beberapa tulisan-tulisan
lain, baik berupa kumpulan motivasi, opini, esai, sehingga karyanya pernah di
muat di beberapa media. Beberapa buku kumpulan puisi tunggalnya diantaranya
yaitu: Coretan Wajah Kehidupan
(Penerbit Asrifa 2015), 99 Semiotika
Kehidupan (Penerbit Asrifa 2015), Romantisme
Tuhan (Penerbit Asrifa 2016) dan Jejak
Kembara Cita (Pena House 2016). Buku-bukunya karya bersama Penyair
Se-Nusantara sudah lebih terkumpul 115 judul buku di terbitkan baik penerbit
indie maupun mayor.
Beberapa kejuaraan penghargaan yang pernah di raih diantaranya
yaitu:
1.
Juara I Lomba Cipta Puisi Nasional
pada buku Candrasengkala Cinta Penerbit
Inrilista 2015 dengan judul naskah “Candrasengkala Kala Senja”.
2.
Juara I Lomba Cipta Puisi Nasional
pada buku Mazhab Puisi Penerbit Vio
Publisher 2015 dengan judul naskah “Inilah Wajah Puisi”.
3.
Juara I Lomba Cipta Puisi Nasional
pada buku Inspirasi Cinta Penerbit
Nerin Media 2015 dengan judul naskah “Cinta-Nya”.
4.
Juara II Lomba Cipta Puisi Nasional
pada buku Jejak Rekam Pejuang Bangsa
Penerbit Pena House 2015 dengan judul naskah “Berkat Jasa Mereka”.
5.
Juara I Lomba Baca dan Cipta Puisi tingkat Universitas pada acara Milad Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2015.
6.
10 Penyair terbaik Deklamasi E-Sastera Malaysa & Lentera
Internasional Tahun 2016.
7.
Penyair terpilih pada acara temu Sastrawan dan buku Ije Jela Tifa Nusantara 3 Se-Nusantara, Kalimantan Selatan Tahun
2016.
Jika pembaca ingin mengenal lebih dekat atau memberi
kritik dan sarannya pada sosok Zham Sastera bisa kontak ke:
HP/WA :
085288683853
FB :
Zham Al Muzzammil / Zham Sastera
Instagram :
Zhamsastera
Twitter :
@Zhamsastera73