A. GEREJA : PENGERTIAN, SIFAT DAN
TUJUAN
PENGERTIAN
Kata “Gereja” berasal dari kata Portugis igreya, yang jika mengingat akan cara pemakaiannya sekarang ini, adalah terjemahan
dari kata Yunani kyriake[1][1], yang berarti yang menjadi milik Tuhan. Adapun yang dimaksud dengan “milik
Tuhan” adalah: orang-orang yang percaya kepada Tuhan Yesus sebagai Juru
Selamatnya. Jadi yang dimaksud dengan “Gereja adalah persekutuan para orang
beriman”.[2][2] Menurut Alkitab, keselamatan yang dikaruniakan oleh
Tuhan Allah dengan perantaraan karya Tuhan Yesus Kristus itu pertama-tama bukan
ditujukan kepada perorangan, melainkan kepada umat Allah sebagai keseluruhan,
atau kepada umat Allah yang mewujudkan suatu kesatuan. Yang disebut anak Allah
pertama-tama adalah seluruh persekutuan orang beriman. Akan tetapi oleh karena
tiap orang beriman menjadi anggota umat Allah sebagai keseluruhan, maka dengan
sendirinya tiap orang beriman juga mendapat bagian dari keselamatan tadi.[3][3]
Istilah Yunani ekklesia
berarti pertemuan atau sidang. Kata ini umumnya dipakai bagi sidang umum dari
penduduk kota yang dikumpulkan secara resmi. Tidaklah jelas apakah pemakaian ekklesia secara Kristiani pada mulanya
diambil dari pemakian non-Yahudi atau dari pemakaian Yahudi, tapi adalah pasti
bahwa kata ini lebih mengandung arti “pertemuan” daripada “organisasi” atau
“masyarakat”. Sifat asas ekklesia
ialah setempat. Ekklesia setempat
janganlah dipandang sebagai bagian dari ekklesia
seantero dunia. Sekalipun adalah mungkin banyaknya gereja seperti banyaknya
kota bahkan banyaknya rumah tangga, namun PB hanya mengacu pada satu ekklesia, tanpa menganggap perlu
menjelaskan hubungan antara gereja yang satu dengan yang banyak itu. Gereja
yang satu itu bukanlah gabungan atau federasi dari sekian banyak gereja. Gereja
mewujudkan realitas “sorgawi” yang tidak tergolong bentuk dunia ini, tapi termasuk wawasan kemuliaan kebangkitan,
tempat Kristus ditinggikan di sebelah kanan Allah (Ef 1:20-23; Ibr 2:12;
12:23). Namun, karena ekklesia setempat
dikumpulkan bersama dalam nama Kristus dan memiliki Kristus di tengah-tengahnya
(Mat 18:20), maka ekklesia itu
merasakan kuasa zaman yang akan datang dan merupakan buah-buah sulung dari ekklesia yang eskatologis. Demikianlah
gereja setempat disebut “jemaat Allah”, yang telah dibeli dengan darah-Nya
sendiri (Kis 20:28; 1 Kor 1:2; 1 Ptr 5:2; 1 Kor 12:27).[4][4]
1. Arti Linguistik
Kata "gereja" sebetulnya
tidak terdapat dalam Alkitab bahasa Indonesia, tetapi kata ini sama dengan
"jemaat" atau "sidang jemaat" (/TB #Mat 16:18; 18:17; Rom
16:1,5*). Kata-kata ini adalah terjemahan
dari bahasa Yunani
"ekklesia." Kata ekklesia terdiri dari kata depan "ek" yang
berarti "ke luar" dan kata kerja "kalein" yang berarti
"memanggil." Maka ekklesia berarti "orang-orang yang dipanggil ke
luar."
2. Arti Sekuler
Di
masyarakat Yunani kuno, ekklesia merupakan sebagian rakyat setempat yang berkumpul
untuk menyelesaikan persoalan-persoalan mereka di bawah pimpinan pemerintahan
yang bersifat demokrasi. Dalam /TB #Kisah 19:39* istilah ini dipakai untuk
menunjukkan suatu badan politik yang bercorak demokrasi, yaitu "Sidang
Rakyat" di Efesus.
3. Arti di dalam
Perjanjian Lama
Di dalam Septuaginta (Perjanjian Lama
bahasa Yunani), kata Ibrani "Qahal" diterjemahkan sebagai
"ekklesia." Qahal menunjukkan sidang bangsa Israel di hadapan Allah.
Misalnya: Jemaah/Congretation (/TB #Ul 31:30; 1Taw 29:1). Jemaah/Assembly (Hak
21:8*). Maka konsep orang Israel tentang "jemaah" adalah perhimpunan
umat Allah di bawah kedaulatan teokrasi. Masih ada satu istilah yang mempunyai
konsep ekklesia yaitu "Sinagoge" (Synogogue) yang diterjemahkan
sebagai "rumah ibadat" (/TB #Mr 1:21-23*) atau "rumah
sembahyang" (/TB #Luk 4:15-16*). Sinagoge merupakan suatu tempat di mana
mereka berbakti kepada Tuhan dan kebaktian itu berkenan dengan berdoa, membaca
serta menjelaskan ayat-ayat dalam Perjanjian Lama. Gagasan Sinagoge ini mirip
dengan eklesia.
4. Arti di dalam Perjanjian Baru
Tatkala Yesus mengatakan "Aku
akan membangun jemaat-Ku (Ekklesia)" (/TB #Mat 16:18*), para murid
mengetahui apa yang dimaksud dengan "jemaat-Ku." Seolah-olah Tuhan
mengatakan: "Lihatlah, orang-orang Yahudi mempunyai jemaat dan orang
Yunani juga mempunyainya. Kini Aku akan membangun jemaat-Ku." Menurut Hall
Lindsay, gereja di dalam Perjanjian Baru adalah suatu demokrasi-teokratik,
suatu lembaga yang bebas, tetapi kebebasan
mereka
berdasarkan kesetiaan kepada Kristus. Maka gereja merupakan suatu tubuh, di
mana anggota-anggota-Nya disatukan melalui kasih mereka terhadap Kristus dan
ketaatan kepada-Nya (under the Lordshipof
Christ).
SIFAT
Kata "ekklesia" dipakai di
Perjanjian Baru sebanyak 115 kali, di mana 92 kali dipakai untuk menunjukkan
gereja setempat (local Chruch). Yang lain menunjukkan gereja di dalam
pengertian yang umum. Dengan demikian kita megenal dua ganda sifat dasar gereja:
1. Dalam pengertian umum Ekklesia
"Ekklesia" mencakup semua
orang yang beriman di dalam Kristus, tanpa menyinggung perbedaan waktu dan
lokalitas (/TB #Mat 16:18*). Inilah yang disebut dalam Pengakuan Iman Rasuli
sebagai "gereja yang kudus dan am." Gereja ini akan menjadi realitas
sewaktu Tuhan Yesus datang untuk kedua kalinya (/TB #Ibr 12:23; Wahy 21:22*).
2. Dalam pengertian lokal
"Ekklessia" merupakan gereja
setempat, gereja yang berkaitan dengan waktu dan tempat dan merupakan sebagian
dari gereja yang kudus dan am.
Tatkala Yesus mengatakan: "Aku
akan membangun jemaat-Ku, kepadamu Aku berikan kunci Kerajaan Surga" (/TB
#Mat 16:18*). Di sini "jemaat" menunjukkan gereja di dalam
arti yang umum. Tetapi janji Tuhan itu diulang di dalam /TB #Matius 18:18-20*,
di mana gereja setempat pun diberi "Kunci Kerajaan Surga.
TUJUAN
Tujuan gereja tercantum dalam /TB
#Efesus
Tha nguoi
dung noi se yeu minh toi mai thoi thi gio day toi se vui hon. Gio nguoi lac loi
buoc chan ve noi xa xoi, cay dang chi rieng minh toi.
mencapai
tujuan ini, hendaknya kita mengenal dua kata yang sering muncul di dalam
Perjanjian Baru :
1. Koinonia
Yaitu persekutuan (Fellowship) yang
mempunyai arti "sharing" di dalam persahabatan, iman, pelayanan
bahkan harta benda (/TB #Kis 2:44*). Koinonia akan tercapai kalau
kita rela diatur dan di satukan oleh Roh Kudus.
2. Diakonia
Yaitu pelayanan orang Kristen. Hal ini
dijelaskan oleh D.L. Moody sebagai berikut: "Gereja adalah misi, tanpa
misi berarti tanpa gereja. Tuhan memanggil dan mengasingkan gereja dan
keduniawian dan kemudian mengutusnya kembali ke dunia dengan suatu misi."
Memang bentuk organisasi dan liturgi
boleh senantiasa berubah menurut kebutuhan masing-masing tetapi tujuan gereja
adalah sama yaitu melalui Koinonia dan Diakonia kita memuliakan Tuhan.
B. GEREJA SEBAGAI TUBUH KRISTUS
Prinsip hidup ”di
dalam Kristus[5][5]/tubuh Kristus” bukan hanya
dimaksudkan dalam konteks sempit yaitu menyangkut masalah pribadi dan berkaitan
dengan rohani pribadi seseorang, tetapi menyangkut juga dengan kehidupan sosial
bersama, khususnya gereja. Bagi Paulus gereja itu saja, sebagai tubuh Kristus,
dan satu Israel yang baru. Oleh karena ancaman serta perpecahan yang terjadi
merupakan hal yang sangat menyedihkan hati Paulus. Konsepsi Paulus mengenai
kesatuan meliputi kesatuan spiritual dalam Kristus/tubuh Kristus di mana tidak
terdapat perbedaan dalam hubungan dengan Allah, tetapi bukan kesatuan yang
menghilangkan semua perbedaan historis. Konsepsinya mengenai kesatuan
memerlukan keutuhan yang terus menerus antara bangsa-bangsa bukan Yahudi dan
bangsa Yahudi. Iman kepada Yahwe sebagai Allah yang esa yang universal dengan
demikian memerlukan pengakuan bersama antara orang-orang yahudi dan orang-orang
bukan yahudi bahwa mereka adalah milik Allah yang sama. Boleh dikatakan lebih
lanjut bahwa setiap usaha oleh salah satu pihak untuk menghapuskan keadaan
etnik dan budaya pihak yang lainnya akan berarti menghancurkan konsepsi khusus
Paulus mengenai kesatuan antara orang-orang Yahudi dan orang-orang bukan
Yahudi.[6][6]
1. Tubuh manusiawi dari Yesus Kristus. Ini
ditekankan dalam PB oleh para penulisnya sebagai benar-benar riil menghadapi
doketisme (menyangkal bahwa Yesus Kristus datang dalam daging adalah ’dari
antikristus’ 1 Yoh 4:2-3). Realitas tubuh Kristus adalah bukti bahwa Ia
benar-benar manusia sejati. Bahwa Sang Anak harus mengenakan tubuh manusiawi
memang maha penting bagi keselamatan (Ibr 2:14) dan teristimewa bagi pendamaian
(Ibr 10:20). Bahwa tubuh itu menjadi lain (bukan dilepaskan) pada
kebangkitan-Nya adalah jaminan dan contoh dari kebangkitan tubuh orang percaya
(1 Kor 15; Flp 3:2).
2. Roti perjamuan terakhir. Tentang ini
Kristus berfirman, ”Inilah tubuh-Ku” (Mat 26; Mrk 14; Luk 22; 1 Kor 11; 1 Kor
10:16). Kata-kata ini dalam sejarah ditafsirkan dalam dua arti: ”Itu
melambangkan korban-Ku”, dan ”Inilah Aku Sendiri”.
3.
Ungkapan yang persis dipakai Paulus dalam 1 Kor 10:16; 12:27 dan mengacu kepada
sekelompok orang percaya (bnd Rm 12:5 ’satu tubuh dalam Kristus’) dan ’tubuh’
dalam ayat-ayat tentang suatu gereja atau Gereja, yaitu 1 Kor 10:17; 12:12; Ef
1:23; 2:16; 4:4,12,16,23; Kol 1:18,24; 2:19; 3:15. Perhatikanlah bahwa
ungkapannya adalah ”tubuh Kristus”, bukan ”dari orang-orang Kristen”, dan
mengandung ari dapat kelihatan, berjemaat dan eskatologis.
Asal dari lukisan Paulus tentang
”Tubuh Kristus” ini telah dicari di pengambilan bagian secara kelompok dalam
roti perjamuan, menyatakan tubuh yang telah dipecah-pecahkan, konsepsi-konsepsi
Stoa, Kristus dianggap satu dengan orang Kristen (Kis 9:4-5; Kol 1:24).
PB menamai gereja itu dengan
beberapa istilah, yaitu gereja adalah bait Allah, bangsa Allah, Israel baru.
Tetapi istilah yang paling tepat adalah gereja sebagai tubuh Kristus. Istilah
ini sangat banyak dalam surat-surat Paulus (Ef 1:22; 5:29; Kol 1:18; 1 Kor
10:6). Dari ayat-ayat ini dinyatakan walaupun anggota tubuh dalam satu badan
yang berbeda, tapi mempunyai tugas masing-masing dan tidak dapat dipisahkan
satu dengan yang lain. Tubuh dan kepala ialah perumpamaan yang tepat untuk
menggambarkan wujud gereja. Karl Barth menguraikan arti istilah ini melalui 4
point:[8][8]
1.
Tubuh Kristus berarti bahwa di dalam gereja ada hubungan dengan Kristus. Gereja bukan
lanjutan inkarnasi Allah. Tapi tanda itu nampak di dunia ini. Kristus telah
pernah datang berupa badan manusia, sekarang berada dalam tubuh-Nya yakni
gereja. Jadi gereja adalah tubuh duniawi dari Tuhan surgawi.
2.
Gereja dikumpulkan dan diperintahkan oleh Kristus sang kepala gereja. Gereja tidak
boleh bertindak seolah-olah ia berdiri sendiri dan tidak boleh memerintah diri
sendiri. Dari awal, gereja adalah milik Kristus dan Dia-lah yang memerintah
(Kristokrasi). Jadi gereja bukan perkumpulan orang-orang yang saleh. Gereja dijadikan oleh
Kristus dan milik Kristus.
3.
Perkataan tubuh Kristus berarti anggota gereja bukan membntuk kesatuan oleh
dorongan hati sendiri. Mereka adalah satu kesatuan. Gereja bukan gabungan
oknum-oknum yang mengakibatkan berdirinya gereja. Gereja melebihi oknum,
melebihi jumlah anggota jemaat, gereja adalah ibu orang percaya.
4.
Istilah tubuh ada kaitannya dengan suatu badan yang tampak. Jika kita lihat
gereja, kita melihat anggota jemaat, pendeta dll. Tapi masih ada yang tidak
kelihatan, yaitu iman, persekutuan. Kita percaya bahwa kita adalah anggota
jemaat yang telah dipanggil dan dibenarkan juga dihimpunkan oleh Tuhan. Kita
tidak boleh membedakan gereja yang tampak dan tidak tampak. Keduanya adalah dua
segi dari satu badan.
Gereja adalah tempat persekutuan
orang-orang yang telah dipanggil dan disucikan oleh Allah melalui karya
penebusan Yesus di kayu salib dan diutus ke dalam dunia untuk mempersaksikan
Yesus Kristus.[9][9] Gereja sebagai ”tubuh Kristus”
berarti di dalam ada hubungan yang serasi antara Kristus sebagai kepala, gereja
sebagai tubuh dan sesama anggota tubuh. Gereja sebagai tubuh Kristus terdiri
dari berbagai macam bentuk anggota akan tetapi semua macam-macam anggota
tersebut telah dipersatukan dalam tubuh Kristus dan harapan gereja sebagai
tubuh Kristus adalah untuk saling mengasihi, saling membantu dan saling
menghormati dan saling merendahkan diri di hadapan Tuhan. Gereja sebagai tubuh
Kristus dan Kristus sebagai kepala tentu ada yang menghubungkan dan
mempersatukan yaitu Roh Kudus. Hubungan kepala dan tubuh harus selalu
terkordinir agar pertumbuhan tubuh itu sehat dan baik. Gereja hanya dapat
menjadi sehat dan berguna apabila hanya Kristus benar-benar menjadi kepala
setiap warga dan segala perilaku kehidupannya, membiarkan diri diatur oleh-Nya
sebagaimana setiap bagian tubuh yang sehat patuh kepada Yesus Kristus sebagai
kepala adalah pemegang kendali pemerintahan sekaligus menjadi tujuan, sehingga
apapun yang dilakukan oleh tubuh (gereja), semata-mata untuk kepala gereja
sebagai tubuh Kristus tersangkut dengan persekutuan sesama.[10][10]
C. HUBUNGAN GEREJA DENGAN KERAJAAN
ALLAH
Di dalam Al kitab kita
mendapatkan bahwa Yesus sendirilah yang pertama kali menggunakan kata Gereja
atau Jemaat. Dalam Matius 16:16-18, ketika pertama kali Kristus berbicara
mengenai gereja, yang Ia maksudkan adalah Gereja atau Jemaat yang Universal,
yang sesungguhnya tidak keliatan oleh mata manusia. Atas dasar pernyataan Yesus
ini maka dapat di sebutkan bahwa gereja adalah:
1.
Milik Kristus;
2.
Hanya ada satu (kata gereja di sini tidak di tulis dalam bentuk jamak);
3.
Didirikan oleh Kristus sendiri;
4.
Dibangun atas Batu Karang (pondasi rohani), yaitu Yesus Kristus;
5.
Akan mengalahkan alam maut;
6.
Memiliki kunci kerajaan surga;
7.
Akan memiliki kuasa untuk mengikat dan melepaskann, baik dibumi maupun
di sorga.
Jelaslah bahwa diantara Kerajaan Allah dan Gereja
terdapat hubungan yang erat, karena Kristus telah memberikan kunci kerajaan
surge kepada gereja.
George E. Ledd menyatakan bahwa Kerajaan Allah harus
dianggap sebagai pemerintahan Allah. Gereja dengan demikian merupakan kumpulan
orang yang berbeda dibawah pemerintahan Allah. Kerajaan Allah adalah
kepemimpinan Allah, sedangkan gereja merupakan masyarakat yang berbeda dibawah
kepemimpinan tersebut. Lima butir dasar hubungan di antara Kerajaan Allah
dengan Gereja, yaitu:
1. Gereja bukan Kerajaan Allah.
2. Kerajaan Allah mendirikan Gereja.
3. Gereja menyaksikan kerajaan Allah.
4. Gereja merupakan alat Kerajaan Allah.
5. Gereja adalah pemelihara-penjaga kerajaan Allah.
Jadi, Gereja meruapakan manifestasi dari kerajaan atau
pemerintahan Allah. Gereja merupakan bentuk pemerintahan Allah tersebut dimuka
bumi ini. Gereja merupakan manifestasi pemerintahan Allah yang berdaulat di
dalam hati kita, dimana kehendak Allah dilaksanakan.
(Erickson, Millard J., 1985. Christian Theology. Edisi Indonesia diterjemahkan (1998), 3 jilid, Penerbit Gandum Mas: Malang)
(Erickson, Millard J., 1985. Christian Theology. Edisi Indonesia diterjemahkan (1998), 3 jilid, Penerbit Gandum Mas: Malang)
D. GEREJA SEBAGAI DOKTRIN
PENYELAMATAN
E. PENGERTIAN SAKRAMEN
Sakramen beararti suatu kenyataan
yang tampak yang meghadirkan rahmat penyelamataan Allah. Dengan kata lain,
sakramen adalah suatu “tanda” yang tampak dari karya Allah yang tidak tampak.
Orang-orang Kristiani yankin bahwa
keberadaan Gereja (jemaat Kristiani) di dunia ini menandakan karya yang telah,
sedang, dan akan dilaksanakan oleh Allah bagi umat manusia melalui manusia
Yesus. Karya Allah, yaitu karya rekonsiliasi/pendamaian (medamaikan manuisa
dengan Allah dan manusia dengan manusia) dan karya pengudusan (membuat manusia menjadi kudus, yaitu hidup
dalam kasih dan ketaatan kepada Allah), berlanngsung di dalam dan di luar
Gereja Kristiani (misalnya, Allah berkarya pula dalam umat Islam). Keberadan
Gereja menjadi saksi karya pendamaian dan pengudusan yang dilakukan Allah dalam
sejarah dan menunjukan cara Allah – menurut keyakinan Kristiani – melaksanakan
penyelamatan umat manusia.
Orang-orang Kristiani yakin bahwa
Kristus yang telah bangkit hidup didalam dan bersama dengan umat-Nya dan
senantiasa melakukan hal yang sama seperti yang telah Ia lakukan dalam hidup
Nya di Palestina: mengajar, berdoa,
member makan, menghibur, mengampuni, menderita, dan mati di bunuh. Aktifitas
yang tidak nampak ini dibuat tampak dalam kehidupan umat melalui penerimaan
sakramen-sakramen. Dengan kata lain, ketika orang Kristiani mengambil bagian
dalam penerimaan sakramen, ia percaya bahwa ia berjumpa dengan Kristus yang
telah bangkit yang menawarkan rahmat penyelamatan Allah.
Hampir semua orang Kristiani
sependapat bahwa sakramen yang utama ada dua, yaitu: Sakramen Baptis dan
Ekaristi. Disamping sakramen yang utama ini, orang-orang Kristiani Ortodoks dan
Katolik meyakini ada lima sakramen yang lain, sehingga semuanya ada tujuh
sakramen. Gereja-gereja Protestan
bervariasi dalam hal jumlah sakramen yang mereka akui, tetapi kebanyakan
menerima ada dua sakramen utama, yaitu Baptis dan Ekaristi (Perjamuan Kudus).
Sedikit saja Gereja Protestan, misalnya “Quakers” (Penggoncang) dan “Salavation
Army” (Bala Keselamatan) yang sama sekali tidak mempunyai sakramen. ( Thomas
Michel S. J . 2001, hal, 78-79)
F. SAKRAMEN DALAM GERJA ROMA KHATOLIK DAN KRISTEN PROTESTAN
SAKRAMEN KHATOLIK
Gereja-Gereja
Katolik, Ortodoks Timur, Ortodoks Oriental, Assyria, Anglikan, Methodis,
dan Lutheran yakin bahwa sakramen-sakramen
bukan sekedar simbol-simbol belaka, melainkan "tanda-tanda atau
simbol-simbol yang mengeluarkan apa yang dilambangkannya", jadi,
sakramen-sakramen, di dalamnya dan dari padanya, yang dilayankan dengan benar,
digunakan Allah sebagai
sarana untuk mengkomunikasikan rahmat bagi umat beriman yang menerimanya.
Dalam
tradisi Kekristenan Barat, sakramen kerap diartikan sebagai tanda yang
terlihat, yakni kulit luar
yang membungkus isinya, yaitu rahmat rohaniah (walaupun tidak semua sakramen
diterima semua Gereja sebagai sakramen). Ketujuh sakramen
adalah Pembaptisan, Krisma (atau Penguatan), Ekaristi (Komuni), Imamat (Pentahbisan), Rekonsiliasi (atau
Pengakuan Dosa), Pengurapan orang
sakit (Minyak Suci), dan Pernikahan.
Kebanyakan dari sakramen-sakramen ini digunakan sejak masa apostolik dalam
Gereja, tetapi perkawinan, misalnya, baru diakui sebagai suatu sakramen
pada abad pertengahan. Beberapa
Gereja tidak menganggap beberapa dari sakramen di atas sebagai sakramen.
Beberapa Gereja yang lain, misalnya Gereja Anglikan dan Kaum Katolik-Lama
(bukan Gereja Katolik), menganggap dua sakramen ketuhanan dalam Injil,
yaitu Pembaptisan dan Ekaristi, sebagai "sakramen-sakramen yang
diperintahkan, yang mendasar, dan yang utama, yang dianugerahkan bagi
keselamatan kita," serta menganggap kelima ritus sakramental lainnya
sebagai "sakramen rendah" yang merupakan turunan dari kedua sakramen
utama tadi.
Sudah
jelas bahwa Gereja-Gereja, denominasi-denominasi, dan sekte-sekte Kristen tidak
sepaham dalam hal jumlah dan pelaksanaan sakramen, namun umumnya
sakramen-sakramen diyakini telah dilembagakan oleh Yesus.
Pihak yang tidak percaya pada teologi sakramental menyebut
ritus-ritus tersebut — atau setidak-tidaknya ritus-ritus yang mereka gunakan —
terutama pembaptisan dan Komuni,
sebagai "ordinansi." Sakramen-sakramen biasanya dilayankan oleh
klerus bagi satu atau lebih penerima, dan umumnya difahami melibatkan
unsur-unsur yang terlihat dan yang tak terlihat. Unsur yang tak terlihat (yang
bermanifestasi di dalam diri) dianggap terjadi berkat karya Roh Kudus,
rahmat Allah bekerja di dalam diri para penerima sakramen, sedangkan unsur yang
terlihat (atau yang tampak dari luar) meliputi penggunaan benda-benda sepertiair, minyak, roti,
serta roti dan anggur yang
diberkati atau dikonsekrasi; penumpangan tangan; atau suatu kaul(sumpah)
penting tertentu yang ditandai dengan suatu pemberkatan umum (seperti pada
pernikahan dan absolusi).
Sakramen
dalam Gereja Katolik
Ketujuh
sakramen adalah sebagai berikut:
Beberapa
Gereja menggunakan nama-nama lain untuk menyebut sakramen-sakramen yang mereka
akui, misalnya Krisma (Bahasa Inggris:
Chrismation, Bahasa Italia: Crezima)
adalah sebutan Gereja Ortodoks untuk
menyebut ritus penerimaan meterai Roh Kudus (Sakramen Penguatan); dan
Gereja-Gereja Protestan di Indonesia lebih umum menggunakan sebutan Sakramen
Perjamuan Kudus atau Sakramen Meja Tuhan dari pada Sakramen Ekaristi atau
Komuni Suci.
Selain
ketujuh sakramen di atas, beberapa golongan Kristen (khususnya golongan
Anabaptis dan kelompok-kelompok Persaudaraan) mengakui upacara pembasuhan kaki
sebagai sakramen (lihat Injil Yohanes 13:14), dan beberapa golongan Kristen
lainnya (Misalnya Polish National Catholic Church of America) ingin agar
mendengarkan Pembacaan Injil dianggap sebagai suatu sakramen pula. Jumlah, nama
dan makna sakramen-sakramen serta penambahan sakramen-sakramen baru
berbeda-beda antara satu denominasi dengan denominasi lainnya.
Beberapa Gereja Protestan menganggap
misteri-misteri “injili,” atau “dominikal,” yakni Pembaptisan dan Ekaristi
sajalah yang merupakan sakramen, karena hanya keduanya yang langsung
dilembagakan oleh Yesus sendiri, seperti tertulis dalam Injil-Injil. Kelima
ritus lainnya dianggap bukan sakramen bersarkan Kitab Perjanjian Baru. Jadi,
meskipun hampir semua Gereja Protestan menyelenggarakan upacara akad nikah, dan
banyak pula yang menahbiskan pejabat-pejabat Gerejanya dalam upacara
Pentahbisan, Gereja-Gereja Kristen ini menganggap ritus-ritus tersebut sebagai
ordinansi (upacara/ibadah khusus) atau Sarana-Sarana Rahmat, bukannya sakramen.
Pandangan
Gereja-Gereja dalam Komuni Anglikan berbeda-beda
dalam hal ini. Artikel ke-39 dalam Buku Doa Bersama (Book of Common Prayer)
tahun 1662 menyatakan bahwa Pembaptisan dan Komuni Suci adalah dua sakramen
dominikal yang diakui dalam Gereja Inggris, dan kelima praktek lainnya dianggap
"secara umum disebut sakramen." Kaum Anglo-Katolik (anggota Komuni
Anglikan) senantiasa mengakui angka tujuh sebagai jumlah sakramen. Katekismus
Gereja Episkopal di Amerika Serikat (anggota Komuni Anglikan), versi revisi
lengkap tahun 1979, menyatakan: "Allah tidak membatasi diri-Nya dengan
ritus-ritus ini; ritus-ritus tersebut adalah pola-pola dari cara-cara yang tak
terhitung jumlahnya di mana Allah menggunakan hal-hal yang bersifat material
untuk menjangkau kita."
Berbagai
Gereja bertradisi Katolik juga mengenal sakramental, yakni tindakan
penyembahan yang berbeda dari layaknya sakramen-sakramen, namun juga merupakan
sarana-sarana rahmat. Benda-benda seperti rosario (tasbih), berbagai macam
skapulir dan medali suci termasuk dalam sakramental.
Ketujuh
sakramen yang diakui oleh Gereja Katolik, pada umumnya juga diterima oleh Gereja Ortodoks
Timur dan Gereja Ortodoks Oriental serta
banyak Gereja dari Komuni Anglikan, akan tetapi Gereja-Gereja ini tidak
membatasi jumlah sakramen sampai tujuh saja, karena yakin bahwa apapun yang
diperbuat oleh Gereja selaku Gereja dalam beberapa segi adalah sakramental.
Untuk lebih akuratnya, bagi Gereja Ortodoks Timur dan Gereja Ortodoks Oriental
istilah “Sakramen” adalah suatu faham Barat yang berusaha mengklasifikasikan
sesuatu yang tidak mungkin diklasifikasikan. Mereka lebih suka menggunakan
istilah “Misteri”, karena “Bagaimana hal itu mungkin terjadi” tak dapat
difahami oleh manusia. Allah menyentuh kita melalui sarana-sarana material
seperti air, roti, minyak, kemenyan, lilin, altar, ikon, dst. Bagaimana Allah
melakukannya merupakan suatu misteri. Dalam makna luasnya, misteri-misteri
(sakramen) merupakan suatu penegasan akan kebaikan benda-benda ciptaan, dan
merupakan suatu deklarasi empatik dari maksud penciptaan benda-benda tersebut.
Dalam makna yang lebih spesifik, meskipun tidak secara sistematik membatasi
misteri-misteri dalam jumlah tujuh, Misteri yang paling agung tanpa diragukan
lagi adalah Ekaristi, yang di dalamnya orang-orang yang mengambil bagian,
dengan berpartisipasi dalam liturgi serta menerima roti dan anggur yang sudah
dikonsekrasi, yang diyakini telah menjadi tubuh dan darah Kristus sendiri,
secara langsung berkomuni (masuk dalam persekutuan) dengan Allah. Adanya
kekurangjelasan tersebut dipandang Gereja Ortodoks sebagai kesalehan dan sikap
hormat terhadap sesuatu yang mendalam dan tak terfahami. Gereja Ortodoks tidak
ingin mencoba menggolong-golongkannya ke dalam jenjang-jenjang apapun karena
tindakan tersebut dipandang sebagai tindakan buang-buang waktu yang tidak perlu
terjadi dan tidak berfaedah.
Pendekatan
ini merupakan karakteristik teologi Ortodoks pada umumnya, dan kerap disebut
"apofatik," artinya setiap dan semua pernyataan positif mengenai
Allah dan hal-hal teologis lainnya harus diimbangi dengan pernyataan-pernyataan
negatif. Misalnya, meskipun bahwasanya benar dan tepat untuk mengatakan bahwa
Allah itu ada, atau bahkan bahwa Allah adalah satu-satunya yang sungguh-sungguh
ada, pernyataan-pernyataan semacam itu harus difahami juga mengandung gagasan
bahwa Allah melampaui apa yang biasanya difahami dengan istilah
"ada."
Meskipun
demikian, para teolog Ortodoks menulis juga mengenai adanya tujuh misteri
(sakramen) "utama."
Gereja Bala Keselamatan tidak
mempraktekkan sakramen-sakramen formal dengan berbagai macam alasan, termasuk
adanya keyakinan bahwa adalah lebih baik bila berkonsentrasi pada realitas di
balik simbol-simbol; meskipun demikian, Gereja ini tidak melarang warganya
untuk menerima sakramen-sakramen di denominasi-denominasi lain[1].
Kaum
Quaker tidak mempraktekkan sakramen-sakramen formal, karena percaya bahwa
segala aktivitas semestinya dipandang suci.
SAKRAMEN PROTESTAN
Bagi Gereja Protestan, kata "menjadi perantara" atau
"menyalurkan" digunakan hanya dengan pemahaman bahwa sakramen adalah
suatu simbol atau peringatan yang terlihat dari rahmat yang tak terlihat. Gereja-Gereja Pentakosta klasik, kaum Injili, Nazarin dan Fundamentalis, menganut suatu bentuk imamat yang unik. Karena
alasan ini, kebanyakan dari mereka lebih suka menggunakan istilah “Fungsi
Imamat” atau “Ordinansi”. Keyakinan ini menjadikan ordinansi efektif dalam hal
ketaatan dan partisipasi orang-orang percaya serta kesaksian pimpinan dan
anggota jemaat. Cara pandang ini bersumber dari pengembangan konsep
"imamat setiap orang percaya". Kegiatan ordinansi lebih ditekankan
peran imamat dari pada peran sakramentalnya sehingga ordinansi lebih dipandang
sebagai suatu tindakan pengorbanan yang dipersembahkan oleh orang-orang percaya
dari pribadinya masing-masing, dari pada sebagai suatu ritual yang mengandung
kuasa sendiri.
G. JENIS-JENIS DAN MAKNA SAKRAMEN
Kristus sudah mempercayakan
Sakramen-Sakramen kepada Gereja-Nya. Sakramen-Sakramen itu adalah
Sakramen-Sakramen ”Gereja” dalam arti ganda: Sakramen-Sakramen itu ”dari
Gereja” sejauh merupakan tindakan Gereja, yang pada gilirannya merupakan
Sakramen tindakan Kristus, dan ”untuk Gereja” sejauh Sakramen-Sakramen itu
membangun Gereja. (Kompendium KGK)
H. SAKRAMEN SEBAGAI DOKTRIN
PENYELAMATAN
Sakramen menjadi Lambang serta Sarana Penyelamatan
Penyelamatan manusia merupakan kehendak Allah dan itu diwujudkandan dilaksanakan dalam Yesus Kristus. Yesus Kristus menjadi sakramen induk, artinya dalam dialah terjadi sejarah penyelamatan Allah. Kristus menjadi lambang dan sarana Allah yang menyelamatkan umat manusia. Yesus Kristus merpakan kehadiran Allah sendiri ditengah umatNya, kehadiran yang menyelamatkan dan menebus kita. (Kis 4:12). Kristus menjadi simbol dan tanda yang hidup darikehadiran Allah dan sekaligus menghadirkan keselamatan yang hanya berpangkal dan mungkin dikerjakan oleh Allah saja.
Sekarang, tindak penyelamatan Allah itu dilanjutkan oleh Allah dalam Gereja, Tubuh Kristus. Gereja didirikan oleh Kristus bukan untukdirinya sendiri, tetapi untuk tujuan penyelamatan itu. Gereja menjalankan fungsi penyelamatan yang diembannya dalam Roh Kudusyang dijanjikan Kristus. Gereja merupakan tanda dan tempatkehadiran Kristus. Gereja adalah tanda kehadiran Allah yangmenyelamatkan sebagaimana terlaksana dalam Yesus Kristus. Olehkarena itu, Gereja juga disebut sakramen dasar karena Kristus. Kalau demikian, Gereja menjadi lambang dan sarana penyelamatan Allahyang terwujud dalam Kristus.
Pelaksanaan tindak penyelamatan Allah dalam Yesus melalui Gerejaitu secara konkret terjadi dalam liturgi baptis, ekaristi, krisma, tobat, minyak suci, tahbisan dan perkawinan. Dari segi Gereja, sakramen-sakramen ini merupakan konkretisasi dari Gereja sebagai sakramen dasar. Dengan perayaan sakramen, maka terungkaplah, ditampilkanlah, dan terlaksanalah apa yang disebut Gereja (SC 2). Gereja adalah kumpulan umat beriman dan kumpulan itu secara jelas menampilkan dirinya dalam perayaan liturgi sakramen (bdk. LG 26).Dari segi dinamika penyelamatan Allah, maka sakramen-sakramen itumenjadi lambang dan sarana penyelamatan itu. Lambang di sini dalam arti simbol ekspresif, tanda yang sekaligus menjalankan apa yang ditandakan. Sarana berarti menjadi alat.
Berkaitan dengan daya guna sakramen-sakramen itu, perlu diperhatikan bahwa dayaguna sakramen menjadi real dan terwujudjika penerima memiliki intentio recioiendi quod facit ecclesia (penerima punya maksud menerima apa yang dibuat Gereja), sedang demi sahnya pelayan sakramen juga harus memiliki intentio faciendi quod facit ecclesia (ia punya kehendak dan bertindak sesuai yangdimaui Gereja), serta simbol sakramennya sah. Kalau disposisinya belum penuh, kita mengenal reviviscentia sacramentorum.
Penyelamatan manusia merupakan kehendak Allah dan itu diwujudkandan dilaksanakan dalam Yesus Kristus. Yesus Kristus menjadi sakramen induk, artinya dalam dialah terjadi sejarah penyelamatan Allah. Kristus menjadi lambang dan sarana Allah yang menyelamatkan umat manusia. Yesus Kristus merpakan kehadiran Allah sendiri ditengah umatNya, kehadiran yang menyelamatkan dan menebus kita. (Kis 4:12). Kristus menjadi simbol dan tanda yang hidup darikehadiran Allah dan sekaligus menghadirkan keselamatan yang hanya berpangkal dan mungkin dikerjakan oleh Allah saja.
Sekarang, tindak penyelamatan Allah itu dilanjutkan oleh Allah dalam Gereja, Tubuh Kristus. Gereja didirikan oleh Kristus bukan untukdirinya sendiri, tetapi untuk tujuan penyelamatan itu. Gereja menjalankan fungsi penyelamatan yang diembannya dalam Roh Kudusyang dijanjikan Kristus. Gereja merupakan tanda dan tempatkehadiran Kristus. Gereja adalah tanda kehadiran Allah yangmenyelamatkan sebagaimana terlaksana dalam Yesus Kristus. Olehkarena itu, Gereja juga disebut sakramen dasar karena Kristus. Kalau demikian, Gereja menjadi lambang dan sarana penyelamatan Allahyang terwujud dalam Kristus.
Pelaksanaan tindak penyelamatan Allah dalam Yesus melalui Gerejaitu secara konkret terjadi dalam liturgi baptis, ekaristi, krisma, tobat, minyak suci, tahbisan dan perkawinan. Dari segi Gereja, sakramen-sakramen ini merupakan konkretisasi dari Gereja sebagai sakramen dasar. Dengan perayaan sakramen, maka terungkaplah, ditampilkanlah, dan terlaksanalah apa yang disebut Gereja (SC 2). Gereja adalah kumpulan umat beriman dan kumpulan itu secara jelas menampilkan dirinya dalam perayaan liturgi sakramen (bdk. LG 26).Dari segi dinamika penyelamatan Allah, maka sakramen-sakramen itumenjadi lambang dan sarana penyelamatan itu. Lambang di sini dalam arti simbol ekspresif, tanda yang sekaligus menjalankan apa yang ditandakan. Sarana berarti menjadi alat.
Berkaitan dengan daya guna sakramen-sakramen itu, perlu diperhatikan bahwa dayaguna sakramen menjadi real dan terwujudjika penerima memiliki intentio recioiendi quod facit ecclesia (penerima punya maksud menerima apa yang dibuat Gereja), sedang demi sahnya pelayan sakramen juga harus memiliki intentio faciendi quod facit ecclesia (ia punya kehendak dan bertindak sesuai yangdimaui Gereja), serta simbol sakramennya sah. Kalau disposisinya belum penuh, kita mengenal reviviscentia sacramentorum.
I.
HUBUNGAN
ANTARA GREJA DENGAN SAKRAMEN
Sakramen-sakramen Gereja ini tak dapat dipisahkan dari ibadat atauliturgi Gereja, karena semua sakramen-sakramen adalan bentuk-bentuk ibadat Gereja; yaitu mereka merayakan misteri penyelamatan Allah melalui Kristus. Melalui tanda-tanda, mereka menghasilkan rahmat yang sesuatu dengan masing-masing sakramen bagi pribadi-pribadi yang merayakan sakramen-sakramen ini.
Sejarah keselamatan adalah sejarah perjumpaan personal Allahdengan manusia dan penyingkapan rencana keselamatanNya dalam sejarah. Perjumpaan personal Allah dengan manusia ini, yanginisiatifnya datang dari Allah dan hanya dari Dia, telah terpenuhi sekali untuk selamanya dalam Yesus Kristus : dalam satu Pengantara jarak tak terbatas yang memisahkan manusia dari Allah telah dijembatani; melalui misteri Paskah Kristus semua manusia telah diselamatkan dan dipersatukan dengan Allah. Namun, misteri itu yangterpenuhi sekali untuk selamanya masih harus dihadirkan dan operatifdi segala zaman dan segala tempat, dan dampak penyelematanNya harus menyentuh semua orang. Perayaan sakramen-sakramen merupakan sarana khusus yang ditetapkan oleh Kristus dandipercayakanNya pada Gereja, yang olehnya misteri penyelamatan menjadi, bagi setiap zaman sampai pada akhir zaman, sebuah realitas yang hidup dan bisa disentuh. Melalui sakramen-sakramen, misteri Kristus selalu aktual dan efektif. Kristus yang telah mati danbangikit hadir di dalamnya dan melaksanakan melalui sakramen-sakramen itu daya keselamatanNya. Dalam sakramen-sakramen, manusia sampai pada sentuhan personal dengan Tuhan yang bangkitdan karya penyelamatanNya. Tanda-tanda manusiawi yang sederhanayang dari dirinya sendiri tak pernah dapat memiliki suatu daya kekuatan yang berdaya supranatural telah menjadi sarana rahmat Allah karena Kristus telah menetapkannya melalui Gereja menjadi ungkapan indrawi dari kehendak pengudusanNya.
Dengan demikian, ada dua penegasan fundamental berkaitan denganajaran Gereja tentang Sakramen. Pertama, Gereja adalah tempatmenyimpan tanda-tanda yang ditetapkan oleh Kristus, yangdipercayakanNya pada Gereja supaya dipelihara dan dirayakan dengansetia. Kedua, tanda-tanda ini, karena mereka adalah tanda-tandatindakan Kristus yang mulia, merupakan tanda-tanda yang berdaya rahmat. Dirancang olehNya untuk mengkomunikasikan penyelamatanNya dan dianggapNya sebagai tindakanNya sendiri,tanda-tanda itu tidak dihalangi dalam validitas mereka oleh kelemahan manusiawi dari para pelayannya, sejauh merekabermaksud untuk mengkomunikasikan apa yang telah dipercayakan Kristus pada Gereja. Penerimaan akan tanda-tanda itu yang berbuah limpah tidak tergantung pada disposisi mereka yang merayakannya.
Selama berabad-abad, Gereja telah berkembang dalam kesadaran eksplisit akan kehidupan sakramentalnya. Doktrin sakramentalnya telah mengembangkan pelaksanaan kehidupan sakramentalnya; secara khusus, doktrin tentang jumlah tujuh sakramen secara eksplisit telah ditetapkan kurang lebih sejak periode-periode awal. Setelah lama dimiliki secara tenang, doktrin sakramental Gereja secara serius ditantang pertama kali oleh kaum reformasi. Gereja mempertahankan khasanah kesuciannya dan menegaskan denganjelas daya guna obyektif yang melekat pada sakramen-sakramen yangditetapkan Kristus. Namun, dalam proses penekanan daya guna ex opere operato dari tanda-tanda sakramental, teologi post Trente telah, secara luas, kehidulangan pandangan akan aspek personalnya. Hal ini ditekankan kembali pada tahun-tahun belakangan ini : sakramen-sakramen adalah perjumpaan personal Kristus denganmanusia dalam tanda-tanda Gereja. Maknanya bagi kehidupan Gerejajuga mendapatkan penekanan baru : sebagai ungkapan kelihatan danaktualitas yang terus menerus dari misteri Kristus, sakramen-sakramen adalah juga suatu manifestasi atau epifani dari misteri Gereja.
[1][1]
Kata kyriake sebagai sebutan bagi
persekutuan para orang yang menjadi milik Tuhan, belum terdapat di dalam PB.
Istilah ini baru dipakai pada zaman sesudah zaman para rasul, yaitu sebagai
sebutan Gereja sebagai suatu lembaga dengan segala peraturannya. Di dalam PB
kata yang dipakai untuk menyebutkan persekutuan para orang beriman adalah ekklesia, yang berarti rapat atau
perkumpulan yang terdiri dari orang-orang yang dipanggil untuk berkumpul.
Mereka berkumpul karena dipanggil atau dikumpulkan.
[2][2]Harun
Hadiwijono, Iman Kristen, Jakarta:
BPK-GM, 2009, hlm. 362
[3][3]Ibid, hlm. 362-363. Ingat kepada tubuh
dengan segala anggota-anggotanya: tubuh bukan terdiri dari tangan yang hidup,
kaki yang hidup, dada yang hidup, dan sebagainya, yang kemudian dikaitkan yang
satu dengan yang lain, tetapi seluruh tubuh mendapat hidup, dan oleh karena itu
segala bagiannya hidup juga.
[4][4]F.J.A
Hort, “Gereja”, dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid I: A-L,
J.D. Douglas (ed.), Jakarta: YKBK/OMF, 2008, hlm. 334
[5][5]Paulus
melihat pemahaman en-Kristo
ditunjukkan dalam keseluruhan gereja, di mana itu adalah keseluruhan di dalam
Kristus. Bukan hanya gereja tetapi
semua anggota di dalam gereja itu adalah di dalam Kristus. Dan itu menunjuk
kepada Kristus. Sebab di dalam, dijelaskan bahwa di dalam Kristus kita tidak
ada perbedaan, semua orang adalah satu tubuh yang disebut sebagai tubuh Kristus
(Gal 2:28). Ungkapan “di dalam Kristus” dimaksudkan untuk suatu perubahan
radikal yang terjadi pada saat ketika seseorang menjadi Kristen. Akan tetapi “di dalam Kristus” jauh lebih
berarti dari sekedar ungkapan lain bagi “Kristen”. Secara hidup ungkapan ini
mengungkapkan pemikiran bahwa apa yang terjadi pada Kristus ada dampaknya bagi
setiap orang yang percaya kepada-Nya. Paulus juga menghubungkan di dalam
Kristus adalah ciptaan baru (2 Kor 5:17). Ciptaan baru itu terjadi pada orang
percaya berkat apa yang telah terjadi pada Kristus. Paulus juga tanpa ragu
menghubungkan ciptaan baru ini dengan suatu peristiwa masa lalu, yaitu kematian
dan kebangkitan Yesus yang sungguh-sungguh terjadi (2 Kor 5:15). Dalam kematian
Kristus ia melihat lebih dari kematian Yesus yang manusiawi. Ia juga melihat di
situ kematian ciptaan lama yang dikuasai kekuatan-kekuatan jahat, dan
kedatangan suatu ciptaan baru yang di dalamnya segalanya mencakup asas-asas
hidup yang baru, gagasan-gagasan moral yang baru, metode berpikir yang baru. Ia membawa
dampak kepada pribadi-pribadi, tetapi juga ada segi kebersamaan. Latar
belakang “ciptaan baru di dalam Kristus” ini mempengaruhi makna ungkapan “di
dalam Kristus”, sebab ciptaan baru ini menjadi terwujud hanya dalam mereka yang
berada “di dalam Kristus”. Donald Guthrie, Teologi
Perjanjian Baru 2: Misi Kristen, Roh Kudus, Kehidupan Kristen, Jakarta:
BPK-GM, 2009, hlm. 303-304
[6][6]George Howard, Paul: Crisist in Galatia dikutip dalam John S. Feinberg (ed), Masih Relevankah Perjanjian Lama di Era
Perjanjian Baru, Malang: Gandum Mas, 1996, hlm. 400
[7][7]J.A.T
Robinson, “Tubuh Kristus”, dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II: M-Z,
J.D. Douglas (ed), Jakara: YKBK/OMF, 2008, 494
[8][8]E.P.
Gintings, Apakah Hukum Gereja,
Bandung: Jurnal Info Media, 2009, hlm. 15-16
[9][9]G.C.
van Niftrik & B.J. Boland, Dogmatika
Masa Kini, Jakarta: BPK-GM, 2008, hlm. 358
[10][10]Prancis
Fulkos, Ephession Commentary,
Interversity Press Leicester, England: 1983, p. 108