Filsafat Agama
Istilah filsafat dan agama
mengandung pengertian yang dipahami secara berlawanan oleh
banyak orang. Filsafat
dalam cara kerjanya bertolak dari akal, sedangkan agama bertolak
dari wahyu. Oleh sebab itu, banyak kaitan dengan berfikir
sementara agama banyak terkait dengan pengalaman. Filsafat
mebahas sesuatu dalam rangka melihat kebenaran yang diukur,
apakah sesuatu itu logis atau bukan. Agama tidak selalu mengukur
kebenaran dari segi logisnya karena agama kadang-kadang tidak
terlalu memperhatikan aspek logisnya.
Perbedaan tersebut menimbulkan konflik
berkepan-jangan antara orang yang cenderung berfikir filosofis
dengan orang yang berfikir agamis, pada hal filsafat dan agama
mempunyai fungsi yang sama kuat untuk kemajuan, keduanya tidak
bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Untuk menelusuri
seluk-beluk filsafat dan agama secara mendalam perlu
diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan agama dan
filsafat itu.
A. Pengertian Filsafat
Salah satu kebiasaan dunia pene-litian dan
keilmuan, berfungsi bahwa penemuan konsep tentang sesuatu
ber-awal dari pengetahuan tentang satuan-satuan. Setiap satuan
yang ditemukan itu dipilah-pilah, dikelompokkan ber-dasarkan
persamaan, perbedaan, ciri-ciri ter-tentu dan sebagainya.
Berdasarkan penemuan yang telah diverivi-kasi itulah
orang merumuskan definisi tentang sesuatu itu.
Dalam sejarah perkembangan
pemikirian manusia, filsafat juga bukan diawali dari definisi,
tetapi diawali dengan kegiatan berfikir tentang segala sesuatu
secara mendalam.[1]Orang
yang berfikir tentang segala sesuatu itu tidak semuanya
merumuskan definisi dari sesuatu yang dia teliti, termasuk juga
pengkajian tentang filsafat.
Jadi ada benarnya Muhammad Hatta
dan Langeveld mengatakan "lebih baik pengertian filsafat
itu tidak dibica-rakan lebih dahulu. Jika orang telah banyak
membaca filsafat ia akan mengerti sendiri apa filsafat
itu.[2] Namun
demikian definisi filsafat bukan berarti tidak diperlukan. Bagi
orang yang belajar filsafat definisi itu juga diperlu-kan,
terutama untuk memahami pemikiran orang lain.
Dengan demikian, timbul
pertanyaan siapa yang pertama sekali memakai istilah filsafat
dan siapa yang merumuskan definisinya. Yang merumuskan
definisinya adalah orang yang datang belakangan. Penggunaan kata
filsafat pertama sekali adalah Pytagoras sebagai reaksi terhadap
para cendekiawan pada masa itu yang menama-kan dirinya orang
bijaksana, orang arif atau orang yang ahli ilmu pengetahuan.
Dalam membantah pendapat orang-orang tersebut Pytagoras
mengatakan pengetahuan yang lengkap tidak akan tercapai oleh
manusia.[3]
Semenjak semula telah terjadi perbedaan pendapat
tentang asal kata filsafat. Ahmad Tafsir umpamanya me-ngatakan
filsafat adalah gabungan dari kata philein dan sophia.Menurut
Harun Nasution kedua kata
tersebut setelah digabungkan menjadi philosophia dan
diterjemah-kan ke dalam bahasa Indonesia dengan arti cinta
hikmah atau kebijaksanaan.
Orang Arab memindahkan kata
Yunani philosophia ke
dalam bahasa mereka dan menyesuaikannya dengan su-sunan kata
bahasa Arab, yaitu falsafa dengan
pola fa`lala.Dengan
demikian kata benda dari falsafa itu
adalah falsafah atau filsaf.[4]
Dalam al-Quran kata filsafat
tidak ada, yang ada hanya adalah kata hikmah. Pada
umumnya orang mema-hami antara hikmah dan kebijaksanaan itu
sama, pada hal sesungguhnya maksudnya berbeda. Harun Hadiwijono
mengartikan kata philosophia dengan
mencintai kebijaksa-naan,[5] sedangkan
Harun Nasution mengartikan dengan hikmah.[6]Kebijaksanaan
biasanya diartikan dengan peng-ambilan keputusan berdasarkan
suatu pertimbangan terten-tu yang kadang-kadang berbeda dengan
peraturan yang telah ditentukan. Adapun hikmah sebenarnya
diungkapkan pada sesuatu yang agung atau suatu peristiwa yang
dahsyat atau berat.[7] Namun
dalam konteks filsafat kata philosophia itu
merupakan terjemahan dari love
of wisdom.[8]
Dari pengertian kebahasaan itu dapat dipahami
bah-wa filsafat berarti cinta kepada kebijaksanaan. Tetapi
pengertian itu belum memberikan pemahaman yang cu-kup, karena
maksudnya belum dipahami dengan baik. Pemahaman yang mendasar
tentang filsafat diperoleh melalui pengertian. Karena berbagai
pandangan dalam melihat sesuatu menyebabkan pandangan
pemikir tentang filsafat juga berbeda. Oleh sebab itu, banyak
orang mem-berikan pengertian yang berbeda pula tentang filsafat.
Herodotus mengatakan filsafat
adalah perasaan cinta kepada ilmu kebijaksanaan dengan
memperoleh keahalian tentang kebijaksanaan itu.[9] Plato
mengatakan filsafat ada-lah kegemaran dan kemauan untuk
mendapatkan penge-tahuan yang luhur. Aristoteles (384-322 sm)
mengatakan filsafat adalah ilmu tentang kebenaran.[10] Cicero
(106-3 sm.) mengatakan filsafat adalah pengetahuan terluhur dan
keinginan untuk mendapatkannya.[11]
Thomas Hobes (1588-1679 M) salah
seorang filosof Inggris mengemukakan filsafat ialah ilmu
pengetahuan yang menerangkan hubungan hasil dan sebab, atau
sebab dan hasilnya dan oleh karena itu terjadi perubahan.[12] R.
Berling mengatakan filsafat adalah pemikiran-pemikiran yang
bebas diilhami oleh rasio mengenai segala sesuatu yang timbul
dari pengalaman-pengalaman.[13]
Alfred Ayer mengatakan filsafat
adalah pencarian akan jawaban atas sejumlah pertanyaan yang
sudah semen-jak zaman Yunani dalam hal-hal pokok.
Pertanyaan-perta-nyaan mengenai apa yang dapat diketahui dan
bagaimana mengetahuinya, hal-hal apa yang ada dan bagaimana
hu-bungannya satu sama lain. Selanjutnya mempermasalah-kan
apa-apa yang dapat diterima, mencari ukuran-ukuran dan menguji
nilai-nilainya apakah asumsi dari pemikiran itu dan selanjutnya
memeriksa apakah hal itu berlaku.[14]
Immanuel Kant (1724-1804 M)
salah seorang filosof Jerman mengatakan filsafat adalah
pengetahuan yang men-jadi pokok pangkal pengetahuan yang
tercakup di dalam-nya empat persoalan : yaitu Apa yang dapat
diketahui, Jawabnya : Metafisika. Apa yang seharusnya diketahui
? Jawabnya : etika. Sampai di mana harapan kita ? Jawabnya
:Agama. Apa manusia itu ? Jawabnya Antropologi.[15] Jujun S
Suriasumantri mengatakan bahwa filsafat menelaah segala
persoalan yang mungkin dapat dipikirkan manu-sia.[16] Sesuai
dengan fungsinya sebagai pionir, filsafat mempermasalahkan
hal-hal pokok, terjawab suatu per-soalan, filsafat mulai
merambah pertanyaan lain.[17]
Ir. Poedjawijatna mengatakan
filsafat adalah ilmu yang berusaha mencari sebab yang
sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan pikiran
belaka.[18] Titus
mem-berikan difinisi bahwa filsafat itu adalah sikap kritis,
terbuka, toleran, mau melihat persoalan tanpa
prasangka.[19] Selanjutnya
dia mengatakan bahwa dalam mendefinisikan filsafat
sekurang-kurangnya bertolak dari empat sudut pandang yang saling
melengkapi.
Pertama filsafat adalah suatu sikap terhadap hidup
dan alam semesta. Dari sudut ini dapat dijelaskan bahwa suatu
sikap filosofis adalah sikap berfikir yang melibatkan usaha
untuk memikirkan masalah hidup dan alam semesta dari semua sisi
yang meliputi kesiapan menerima hidup dalam alam semesta
sebagaimana adanya dan mencoba melihat dalam keseluruhan
hubungan. Sikap filosofik dapat ditandai misalnya dengan sikap
kritis, berfikir terbuka, toleran dan mau melihat dari sisi
lain.
Kedua adalah suatu metode berfikir reflektif dan
metode pencarian yang beralasan. Ini bukalah metode fil-safat
yang eksklusif, tetapi merupakan metode berfikir yang akurat dan
sangat berhati-hati terhadap seluruh pengalaman.
Ketiga filsafat adalah kumpulan masalah. Semenjak
dahulu sampai sekarang banyak masalah yang sangat men-dasar yang
masih tetap tidak terpecahkan, meskipun para filosof telah
benyak mencoba memberikan jawabannya. Contohnya apakah kebenaran
itu ? apakah keindahan itu, apakah perebedaan antara benar dan
salah. ?
Keempat filsafat merupakan
kumpulan teori atau sistem-sistem pemikiran. Dalam hal ini
filsafat berarti teori-teori filosofis yang beraneka ragam atau
sistem-sistem pemikiran yang telah muncul dalam sejarah yang
biasanya dikaitkan dengan nama-nama filosof ; seperti Sokrates,
Plato, Aristoteles, Agustinus. Mereka sangat ber-pengaruh bagi
pemikiran di masa sekarang. Dari mereka lahir istilah-istilah
seperti idealisme, realisme, pragmatis-me dan sebagainya.[20]
Kattsoff mengemukakan filsafat,
ialah ilmu penge-tahuan yang dengan cahaya kodrati akal budi
mencari sebab-sebab yang pertama atau azas-azas yang
tertinggi segala sesuatu. Filsafat dengan kata lain merupakan
ilmu pengeahuan tentang hal-hal pada sebab-sebabnya yang pertama
termasuk dalam ketertiban alam.[21] Selain
itu filsafat merupakan ukuran pertama tentang nilai filsafat itu
dan berakhir dengan kesimpulan yang jika dihubungkan kembali
dengan pengalaman hidup sehari-hari, serta
peristiwa-peristiwanya menjadikan pengalaman-pengalam-an serta
peristiwa itu lebih bermakna yang menyebabkan kita lebih
berhasil menanganinya.[22]
Selain itu Liang Gie mengemukan metode
yang ber-beda dalam pembahasan ini. Penulis itu meninjau
filsafat dan segi pelaku filsafat sendiri. Menurutnya pelaku
filsafat itu terdiri atas beberapa kelompok, antara lain :
Pertama pengejek filsafat, yaitu orang-orang yang
mencemoohkan atau memperolok-olokan filsafat maupun filosof
karena ketidaktahuannya.
Kedua peminat filsafat, yaitu seseorang yang
sekedar mempunyai arah hidup, pandangan dunia, ukuran moral atau
telah membaca karya filsafat sehingga tertarik kepada filsafat.
Ketiga penghafal filsafat, pada umumnya mereka
ialah mahasiswa yang kerjanya sehari-hari menghafal buku atau
diktat filsafat untuk menghadapi ujian yang diberikan oleh
dosennya.
Keempat sarjana filsafat, yaitu mahasiswa yang
lulus di perguruan tinggi filsafat dengan memperoleh gelar
dok-torandus atau lainnya.
Kelima pengajar filsafat, yaitu sarjana yang
mem-berikan kuliah dalam mata kuliah filsafat atau salah satu
cabangnya di perguruan tinggi.
Keenam pemikir filsafat, yaitu
seorang pemikir da-lam bidang filsafat, dan itulah yang
sebenarnya disebut filosof. Filosof ialah seorang yang
senantiasa memahami persoalan-persoalan filsafat dan terus
menerus melakukan pemikiran terhadap jawaban-jawaban dari
persoalan-persoalan itu dari waktu ke waktu dan diungkapkan
dalam bentuk lisan maupun tulisan.[23]
Itulah di antara definisi yang dikemukakan oleh
filosof. Perbedaan itu definisi itu menimbulkan kesan bahwa
perbedaan itu disebabkan oleh berbagai faktor, seperti latar
belakang sosial, politik, ekonomi dan seba-gainya.
Jika disadari, perbedaan pendapat itu adalah wajar karena
perkembangan ilmu pengetahuan menimbulkan berbagai spesialisasi
ilmu yang sesungguhnya terpecah dari filsafat pada umumnya dan
selanjutnya muncullah filsafat khsus, seperti filsafat politik,
filsafat akhlak, filsafat agama dan sebagainya.
Dengan demikian diketahui betapa luasnya lapangan
filsafat. Tetapi walaupun telah terjadi berbagai pemikiran dalam
filsafat yang berbentuk umum menjadi berbagai bidang filsafat
tertentu, ternyata ciri khas filsafat itu tidak hilang, yaitu
pembahasan bersikap radikal, sistematis, universal dan bebas.
Dengan demikian dalam pembahasan ini semua prinsip itu memang
diperlukan dalam mengkaji berbagai hal tentang agama sehingga
hasil itu disebut filsafat agama.
B. Pengertian Agama
Kata “agama” berasal dari
bahasa Sanskrit “a” yang
berarti tidak dan “gam” yang
berarti pergi, tetap di tempat, diwarisi turun temurun dalam
kehidupan manusia.[24] Ter-nyata
agama memang mempunyai sifat seperti itu. Agama, selain bagi
orang-orang tertentu, selalu menjadi pola hidup manusia. Dick
Hartoko menyebut agama itu dengan religi, yaitu ilmu yang
meneliti hubungan antara manusia dengan “Yang Kudus” dan
hubungan itu direalisasikan dalam
ibadat-ibadat.[25] Kata religi berasal
dari bahasa Latin rele-gere yang
berarti mengumpulkan, membaca. Agama me-mang merupakan kumpulan
cara-cara mengabdi kepada Tuhan dan semua cara itu terkumpul
dalam kitab suci yang harus dibaca. Di sisi lain
kata religi berasal
dari religare yang
berarti mengikat. Ajaran-ajaan agama memang mem-punyai
sifat mengikat bagi manusia.[26] Seorang
yang beragama tetap terikat dengan hukum-hukum dan aturan-aturan
yang ditetapkan oleh agama.
Sidi Gazalba mengatakan bahwa
yang dimaksud dengan kata relegere asal
kata relgi mengandung
makna berhati-hati hati-hati. Sikap berhati-hati ini disebabkan
dalam religi terdapat norma-norma dan aturan yang ketat. Dalam
religi ini orang Roma mempunyai anggapan bahwa manusia harus
hati-hati terhadap Yang kudus dan Yang suci tetapi juga sekalian
tabu.[27] Yang
kudus dipercayai mempunyai sifat baik dan sekaligus
mempunyai sifat jahat.
Religi juga merupakan
kecenderungan asli rohani manusia yang berhubungan dengan alam
semseta, nilai yang meliputi segalanya, makna yang terakhir
hakikat dari semua itu. Religi mencari makna dan nilai yang
berbeda-beda sama sekali dari segala sesuatu yang dikenal.
Karena itulah religi tidak berhubungan dengan yang kudus. Yang
kudus itu belum tentu Tuhan atau dewa-dewa. Dengan demikian
banyak sekali kepercayaan yang biasanya disebut religi, pada hal
sebenarnya belum pantas disebut religi karena hubungan antara
manusia dan yang kudus itu belum jelas. Religi-religi yang
bersahaja dan Budhisma dalam bentuk awalnya misalnya menganggap
Yang kudus itu bukan Tuhan atau dewa-dewa. Dalam religi betapa
pun bentuk dan sifatnya selalu ada penghayatan yang berhu-bungan
dengan Yang Kudus.[28]
Manusia mengakui adanya ketergantungan kepada Yang
Mutlak atau Yang Kudus yang dihayati sebagai kontrol
bagi manusia. Untuk mendapatkan pertolongan dari Yang Mutlak
itu manusia secara bersama-sama men-jalankan ajaran
tertentu.
Jadi religi adalah hubungan antara
manusia dengan Yang Kudus. Dalam hal ini yang kudus itu terdiri
atas ber-bagai kemungkinan, yaitu bisa berbentuk benda, tenaga,
dan bisa pula berbentuk pribadi manusia.
Selain itu dalam al-Quran terdapat
kata din yang menunjukkan pengertian
agama. Kata din dengan akar katanya dal,
ya dan nun diungkapkan dalam dua
bentuk yaitu din dandain. Al-Quran
menyebut kata din ada me-nunjukkan arti agama
dan ada menunjukkan hari kiamat, sedangkan kata dain diartikan
dengan utang.
Dalam tiga makna tersebut
terdapat dua sisi yang berlainan dalam tingkatan, martabat atau
kedudukan. Yang pertama mempunyai kedudukan, lebih tinggi,
ditakuti dan disegani oleh yang kedua. Dalam agama, Tuhan adalah
pihak pertama yang mempunyai kekuasaan, kekuatan yang lebih
tinggi, ditakuti, juga diharapkan untuk memberikan bantuan dan
bagi manusia. Kata din dengan
arti hari kiamat juga milik Tuhan dan manusia tunduk
kepada ketentuan Tuhan. Manusia merasa takut terhadap hari
kiamat sebagai milik Tuhan karena pada waktu itu
dijanji-kan azab yang pedih bagi orang yang berdosa. Adapun
orang beriman merasa segan dan juga menaruh harapan mendapat
rahmat dan ampunan Allah pada hari kiamat itu. Kata dain yang
berarti utang juga terdapat pihak pertama sebagai yang
berpiutang yang jelas lebih kaya dan yang kedua sebagai yang
berutang, bertaraf rendah, dan merasa segan terhadap yang
berpiutang.[29] Dalam
diri orang yang berutang pada dasarnya terdapat harapan supaya
utangnya dimaafkan dengan arti tidak perlu dibayar, walaupun
harapan itu jarang sekali terjadi. Dalam Islam manusia berutang
kepada Tuhan berupa kewajiban melaksanakan ajaran agama.
Dalam bahasa Semit istilah di
atas berarti undang-undang atau hukum. Kata itu juga berarti
menundukkan, patuh, utang, balasan, kebiasaan[30] dan
semua itu memang terdapat dalam agama. Di balik semua aktifitas
dalam agama itu terdapat balasan yang akan diterimanya nanti.
Balasan itu diperoleh setelah manusia berada di akhirat.
Semua ungkapan di atas menunjuk
kepada pengerti-an agama secara etimologi. Namun banyak
pula di antara pemikir yang mencoba memberikan definisi agama.
Dengan demikian agama juga diberi definisi oleh berbagai pemikir
dalam bentuk yang berbagai macam. Dengan kata lain agama itu
mempunyai berbagai pengertian. Dengan istilah yang sangat umum
ada orang yang mengatakan bahwa agama adalah
peraturan tentang cara hidup di dunia ini. [31]
Sidi Gazalba memberikan definisi
bahwa agama ialah kepercayaan kepada Yang Kudus, menyatakan diri
berhubungan dengan Dia dalam bentuk ritus, kultus dan permohonan
dan membentuk sikap hidup berdasarkan doktrin
tertentu.[32] Karena
dalam definisi yang dikemuka-kan di atas terlihat kepercayaan
yang diungkapkan dalam agama itu masih bersifat umum, Gazalba
mengemukakan definisi agama Islam, yaitu: kepercayaan kepada
Allah yang direalisasikan dalam bentuk peribadatan, sehingga
membentuk taqwa berdasarkan al-Quran dan Sunnah.[33]
Muhammad Abdul Qadir Ahmad
mengatakan agama yang diambil dari pengertian din
al-haq ialah
sistem hidup yang diterima dan diredai Allah ialah sistem yang
hanya diciptakan Allah sendiri dan atas dasar itu manusia tunduk
dan patuh kepada-Nya. Sistem hidup itu mencakup berba-gai aspek
kehidupan, termasuk akidah, akhlak, ibadah dan amal perbuatan
yang disyari`atkan Allah untuk manusia.[34]
Selanjutnya dijelaskan bahwa
agama itu dapat dike-lompokkan menjadi dua bentuk, yaitu agama
yang mene-kankan kepada iman dan kepercayaan dan yang ke dua
menekankan kepada aturan tentang cara hidup. Namun demikian
kombinasi antara keduanya akan menjadi defi-nisi agama yang
lebih memadai, yaitu sistem keperca-yaan dan praktek yang sesuai
dengan kepercayaan tersebut, atau cara hidup lahir dan
batin.[35]
Bila dilihat dengan seksama istilah-istilah itu
ber-muara kepada satu fokus yang disebut ikatan. Dalam agama
terkandung ikatan-ikatan yang harus dipatuhi dan dilaksanakan
oleh setiap manusia, dan ikatan itu mem-punyai pengaruh yang
besar dalam kehidupan sehari-hari. Ikatan itu bukan muncul dari
sesuatu yang umum, tetapi berasal dari kekuatan yang lebih
tinggi dari manusia.
Harun Nasution mengemukakan delapan definisi untuk agama,
yaitu:
1. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia
dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi.
2. Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang
me-nguasai manusia.
3. Mengikatkan diri kepada suatu bentuk hidup yang
me-ngandung pengakuan pada suatu sumber yang berada
di luar diri manusia dan yang mempengaruhi
perbu-atan-perbuatan manusia.
4. Kepercayaan kepada sesuatu ikatan gaib yang
menim-bulkan cara hidup tertentu.
5. Suatu sistem tingkah laku yang berasal dari
kekuatan gaib.
6. Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban
yang diyakini berasal dari suatu kekuatan gaib.
7. Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari
perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius
yang terdapat dalam alam sekitar manusia.
8. Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada
manusia melalui seorang Rasul.
Definisi yang dikemukakan Harun Nasution dapat
disederhanakan menjadi dua definisi saja. Dari nomor 1 sampai 7
dapat diketahui bahwa agama berkaitan dengan keterikatan manusia
dengan kekuatan gaib yang lebih ting-gi dari manusia yang
mendorong manusia untuk berbuat baik, bisa yang berkekuatan gaib
itu dewa-dewa, atau roh-roh yang dipercayai mempunyai kekuasaan
luar biasa melebihi dari dirinya, sekalipun pada hakikatnya yang
dipercayai itu adalah benda mati seperti berhala dalam zaman
Jahiliah. Adapun definisi nomor 8 terfokus kepada agama wahyu
yang diturunkan melalui nabi-nabi. Jika disimpulkan,
definisi-definisi agama itu menunjuk kepada kuatan gaib yang
ditakuti, disegani oleh manusia, baik oleh kekuasaan maupun
karena sikap pemarah dari yang gaib itu.
Dari delapan difinisi di atas dapat
diklasifikasikan bahwa terdapat empat hal penting dalam setiap
agama, yaitu :
Pertama,
kekuatan gaib, manusia merasa dirinya lemah dan berhajat pada
kekuatan gaib itu sebagai tempat minta tolong. Oleh sebab itu,
manusia merasa harus mengadakan hubungan baik dengan kekuatan
gaib tersebut. Hubungan baik itu dapat diwujudkan dengan
mematuhi perintah dan larangan kekuatan gaib itu.
Kedua keyakinan
manusia bahwa kesejahteraannya di dunia ini dan hidup akhirat
tergantung pada adanya hu-bungan baik dengan kekuatan gaib itu.
Dengan hilangnya hubungan baik itu, kesejahteraan dan
kebahagiaan, yang dicari akan hilang pula.
Ketiga respon
yang bersifat emosionil dari manusia. Res-pon itu bisa berupa
rasa takut seperti yang terdapat dalam agama-agama primitif,
atau perasaan cinta seperti yang terdapat dalam agama-agama
monoteisme. Selanjutnya respon mengambil bentuk penyembahan yang
terdapat di dalam agama primitif, atau pemujkaan yang terdapat
dalam agama menoteisme. Lebih lanjut lagi respon itu mengambil
bentuk cara hidup tertentu bagi masyarakat yang bersangkutan.
Keempat paham
adanya yang kudus (sacred)
dan suci dalam bentuk kekuatan gaib, dalam bentuk kitab yang
mengandung ajaran-ajaran agama itu dan dalam bentuk
tempat-tempat tertentu.[36]
Setelah diketahui pengertian masing-masing dari
agama dan filsafat, perlu diketahui apa sebenarnya pengertian
filsafat agama. Harun Nasution mengemukakan bahwa filsafat agama
adalah berfikir tentang dasar-dasar agama menurut logika yang
bebas. Pemikiran ini terbagi menjadi dua bentuk, yaitu:
Pertama membahas
dasar-dasar agama secara analitis dan kritis tanpa terikat
kepada ajaran agama, dan tanpa tujuan untuk menyatakan kebenaran
suatu agama. Keduamembahas
dasar-dasar agama secara analitis dan kritis dengan maksud untuk
menyatakan kebenaran suatu ajaran agama atau sekurang-kurangnya
untuk menjelaskan bahwa apa yang diajarkan agama tidaklah
mustahil dan tidak bertentangan dengan logika.[37] Dasar-dasar
agama yang dibahas antara lain pengiriman rasul,
ketuhanan, roh manusia, keabadian hidup, hubungan manusia dengan
Tuhan, soal kejahatan, dan hidup sesudah mati dan lain-lain.
Oleh sebab itu pengertian filsafat agama adalah berfikir secara
kritis dan analitis menurut aturan logika tentang agama
secara mendalam sampai kepada setiap dasar-dasar agama itu..
C. Agama Sebagai Objek Filsafat
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa agama dan
filsafat adalah dua pokok persoalan yang berbeda. Agama banyak
berbicara tentang hubungan antara manusia dengan Yang Maha
Kuasa. Dalam agama samawi (Yahudi, Nas-rani dan Islam), Yang
Kuasa itu disebut Tuhan atau Allah, sedangkan dalam
agama ardi Yang Kuasa itu mempunyai sebutan
yang bermacam-macam, antara lain Brahma, Wisnu dan Siwa dalam
agama Hindu, Budha Gautama dalam agama Budha, dan sebagainya.
Semua itu merupa-kan bagian dari ajaran agama dan setiap
ajaran agama itulah yang menjadi objek
pembahasan filsafat agama. Filsafat seperti yang dikemukakan
bertujuan menemukan kebenaran. Jika kebenaran yang sebenarnya
itu mem-punyai ciri sistematis, jadilah ia kebenaran filsafat.
Kata objek dalam bahasa Indonesia sering diartikan
dengan sasaran atau sesuatu yang menjadi pelengkap dari suatu
aktivitas. Apa saja yang menjadi sasaran dalam suatu aktivitas
berarti hal itu menjadi objek dari aktivitas ter-sebut. Jika
seorang peneliti melakukan penelitian tentang pola
hidup masyarakat nelayan di A maka semua pola hidup
dan tingkah laku masyarakat nelayan tersebut adalah
menjadi objek penelitian. Dengan kata lain setiap nelayan yang
ada di lokasi penelitian yang dilakukan itu jelas menjadi objek
dari penelitian tersebut.
Isi filsafat itu ditentukan oleh
objek apa yang dipikir-kan. Karena filsafat mempunyai pengertian
yang berbeda sesuai dengan pandangan orang yang meninjaunya,
akan besar kemungkinan objek dan lapangan pembicaraan fil-safat
itu akan berbeda pula. Objek yang dipikirkan filosof adalah
segala yang ada dan yang mungkin ada, baik ada dalam kenyataan,
maupun yang ada dalam fikiran dan bisa pula yang ada itu dalam
kemungkinan.[38]
Aristoteles mengemukakan bahwa
objek filsafat ada-lah fisika, metafisika, etika, politik,
biologi, bahasa.[39] Al-Kindi
mengemukakan bahwa objek filsafat itu adalah fisika, matematika
dan ilmu ketuhanan.[40] Menurut
al-Farabi, objek filsafat adalah semua yang maujud.[41] Selain
yang dikemukakan oleh para filosof di atas, menambahkan bahwa
kepercayaan itu termasuk objek pembicaraan filsafat.[42]
Semua sasaran pembahasan di atas merupakan mate-ri
pembahasan filsafat. Agama adalah salah satu materi yang menjadi
sasaran pembahasan filsafat. Dengan demi-kian, agama menjadi
objek materia filsafat. Ilmu pengeta-huan juga mempunyai objek
materia yaitu materi yang empiris, tetapi objek materia filsafat
adalah bagian yang abstraknya. Dalam agama terdapat dua aspek
yang berbeda yaitu aspek pisik dan aspek metefisik. Aspek
metafisik adalah hal-hal yang berkaitan dengan yang gaib,
seperti Tuhan, sifat-sifat-Nya, dan hubungan manusia dengan-Nya,
sedangkan aspek pisik adalah manusia sebagai pribadi, maupun
sebagai anggota masyarakat.
Kedua aspek ini (pisik dan metafisik) menjadi objek
materia filsafat. Namun demikian objek filsafat agama banyak
ditujukan kepada aspek metafisik daripada aspek pisik. Aspek
pisik itu sebenarnya sudah menjadi pem-bahasan ilmu seperti ilmu
sosiologi, psikologi, ilmu biologi dan sebagainya. Ilmu dalam
hal ini sudah memi-sahkan diri dari filsafat.
Dengan demikian, agama ternyata
termasuk objek materia filsafat yang tidak dapat diteliti oleh
sain. Objek materia filsafat jelas lebih luas dari objek materi
sain.[43] Perbedaan
itu sebenarnya disebabkan oleh sifat penyelidik-an. Penyelidikan
filsafat yang dimaksud di sini adalah penyelidikan yang
mendalam, atau keingintahuan filsafat adalah bagian yang
terdalam. Yang menjadi penyelidikan filsafat agama adalah aspek
yang terdalam dari agama itu sendiri.
Selain objek materia itu terdapat pula objek forma
filsafat yaitu cara pandang yang menyeluruh, radikal dan
objektif tentang yang ada untuk mengetahui hakikatnya. Dengan
demikian, agama sebagai objek forma filsafat adalah
cara pandang yang radikal tentang agama dan ber-bagai persoalan
yang terdapat dalam agama itu. Dengan kata lain objek forma
filsafat adalah pembahasan yang mendalam dan mendasar dari
setiap hal yang menjadi ajaran dari seluruh agama di dunia ini.
Seperti diung-kapkan di atas bahwa pemabahasan terpenting dalam
setiap agama adalah ajaran tentang Tuhan. Pembahasan ini tidak
hanya melihat argumentasi yang memperkuat keya-kinan tentang
Tuhan, tetapi juga argumen yang memban-tah, melemahkan bahkan
menolak wujud Tuhan itu. Hal inilah yang akan dibahas dalam
filsafat agama.
Karena begitu mendalamnya
pembahasan tentang Tuhan terdapat dua kemungkinan yang akan
terjadi. Dengan mempelajari agama bisa seseorang berubah
keya-kinan. Ada orang yang membahas persoalan kepercayaan dalam
agama itu menambah keyakinannya terhadap Tuhan. Ada orang yang
membahas persoalan kepercayaan tentang Tuhan, tetapi karena ia
tidak mendapatkan kepuas-an dalam penemuannya sehingga orang itu
berpaling dari keyakinannya semula. Jika seorang pada mulanya
percaya kepada Tuhan, tetapi setelah membahas eksistensi Tuhan
ia bisa menjadi tidak percaya kepada Tuhan. Nietzsche, seorang
keturunan yang taat beragama adalah salah satu contoh dari
persoalan ini.[44]Sebaliknya,
seorang yang ateis, yang kemungkinan dalam hidupnya mengalami
kekosong-an dan kegersangan jiwa setelah berfikir tentang
penga-laman orang yang beragama bisa pula menjadi penganut agama
yang kuat.
Tidaklah terlalu asing orang
mengatakan bahwa pembahasan filsafat agama tidak menambah
keyakinan atau tidak meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan. Ini
bisa berarti bahwa pembahasan agama secara filosofis tidak perlu
dan usaha itu adalah sia-sia. Tetapi perlu diingat bahwa
pembahasan filsafat agama bertujuan untuk menggali kebenaran
ajaran-ajaran agama tertentu atau paling tidak untuk
mengemukakan bahwa hal-hal yang diajarkan dalam agama tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip logika.[45]
Sebenarnya objek filsafat agama tersebut tidak
hanya persoalan-persoalan ketuhanan semata, tetapi juga sampai
kepada persoalan-persoalan eskatologis. Persoalan eskato-logis
pada umumnya berbicara tentang hari kiamat dan hal-hal yang akan
dialami manusia pada waktu itu, seperti persoalan keadilan
Tuhan, penerimaan pahala dan siksa. Pentingnya persoalan
eskatologis sebagai objek pemba-hasan filsafat agama
karena eskatologislah yang mendo-rong orang
bersemangat orang untuk menjalankan ajaran agamanya. Tanpa ada
tanggung jawab terhadap amal perbuatannya keberadaan agama
menjadi kurang menarik. Hidup sesudah mati inilah yang membuat
pemeluknya menjadi tertarik kepada kepada agama.
Filsafat agama sebenarnya bukanlah langkah untuk
menyelesaikan persoalan agama secara tuntas. Pemba-hasan
filsafat agama hanya bertujuan untuk mengungkap-kan
argumen-argumen yang mereka kemukakan dan memberikan penilaian
terhadap argumen tersebut dari segi logisnya.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa
objek filsafat bukanlah hal-hal yang empiris, bukan seperti
penyelidikan sain yang keingingtahuannya hanya pada batas yang
dapat diteliti secara empiris. Dalam istilah lain, batas
penelitian dalam ilmu pengetahuan adalah pada daerah yang dapat
diriset, sedangkan objek filsafat adalah hal-hal yang dapat
dipikirkan secara logis. Sain meneliti dengan riset, sedang-kan
filsafat meneliti dangan memikirkannya.[46]
Selain itu filsafat merupakan analisa logis dari
segi bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep. Di
sini yang dilihat adalah maksud dari suatu istilah, seperti
agama itu maksudnya apa. Sudah logiskah sesuatu yang dinyatakan
dalam agama itu. Dari sekian banyak definisi yang dikemukakan
oleh para ahli filsafat, yang dimaksud dengan filsafat di sini
adalah berfikir menurut tata-tertib logika dengan bebas (tidak
terikat pada suatu tradisi, dogma, serta agama) dan dengan
sedalam-dalamnya se-hingga sampai kepada dasar-dasar persoalan.
Yang utama dalam tulisan ini adalah analisis kritis dan logis
terhadap setiap persoalan agama. Sehubungan dengan itu, apa
sebenarnya yang menjadi objek pembahasan filsafat, apakah segala
sesuatu tanpa kecuali dapat menjadi objek pembicaraan filsafat.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa objek
pembicaraan filsafat itu banyak sekali, yaitu segala yang ada.
Agama ternyata merupakan salah satu objek pembicaraan
filsafat.
D. Perbadingan Agama dan Filsafat
Dari uraian di atas diketahui
bahwa antara agama dan filsafat itu terdapat perbedaan. Menurut
Prof. Dr. H. H. Rasyidi, perbedaan antara filsafat dan agama
bukan terletak pada bidangnya, tetapi terletak pada cara
menye-lidiki bidang itu sendiri.[47] Filsafat
adalah berfikir, sedang-kan agama adalah mengabdikan diri, agama
banyak hu-bungan dengan hati, sedangkan filsafat banyak hubungan
dengan pemikiran. Williem Temple, seperti yang dikutip Rasyidi,
mengatakan bahwa filsafat menuntut pengetahuan untuk memahami,
sedangkan agama menuntut pengeta-huan untuk beribadah atau
mengabdi.[48] Pokok
agama bukan pengetahuan tentang Tuhan, tetapi yang penting
adalah hubungan manusia dengan Tuhan.[49]
Lewis mengidentikkan agama
dengan enjoyment dan
filsafat dengan contemplation.
Kedua istilah ini dapat dipahami dengan contoh: Seorang
laki-laki mencintai perempuan, rasa cinta itu dinamai
dengan enjoyment, sedangkan
pemikiran tentang rasa cinta itu disebut contemplation.[50]
Di sisi lain agama mulai dari
keyakinan, sedangkan filsafat mulai dari
mempertanyakan sesuatu. Mahmud Subhi mengatakan bahwa agama
mulai dari keyakinan yang kemudian dilanjutkan dengan mencari
argumentasi untuk memperkuat keyakinan itu, (ya`taqidu
summa yastadillu),
sedangkan filsafat berawal dari mencari-cari argumen dan
bukti-bukti yang kuat dan kemudian timbul-lah
keyakinannya (yastadillu
summa ya`taqidu).[51] Dalam
pendapat Mahmud Subhi , agama di sini kelihatan
identik dengan kalam, yaitu
berawal dari keyakinan, bukan ber-awal dari argumen.
Perbedaan lain antara agama dan
filsafat adalah bah-wa agama banyak hubungannya dengan hati,
sedangkan filsafat banyak hubungannya dengan pikiran yang dingin
dan tenang. Agama dapat diidentikkan dengan air yang terjun dari
bendungan dengan gemuruhnya, sedangkan filsafat diumpamakan
dengan air telaga yang jernih, tenang dan kelihatan
dasarnya.[52] Seorang
penganut agama biasa-nya selalu mempertahankan agama
habis-habisan karena dia sudah mengikatkan diri kepada agamanya
itu. Sebalik-nya seorang ahli filsafat sering bersifat lunak dan
sanggup meninggalkan pendiriannya jika ternyata pendapatnya
keliru.[53] Dalam
diri seorang ahli filsafat terdapat maksud meneliti
argumen-argumen yang mendukung pendapatnya dan kelemahan argumen
tersebut walaupun untuk argumen dia sendiri, sedangkan dalam
diri penganut suatu agama tidak terdapat keinginan seperti itu.
Di sisi lain Harun Nasution
membandingkan pemba-hasan filsafat agama dengan pembahasan
teologi, karena setiap persoalan tersebut juga menjadi
pembahasan tersen-diri dalam teologi. Jika dalam filsafat agama
pembahasan ditujukan kepada dasar setiap agama, pembahasan
teologi ditujukan pada dasar-dasar agama tertentu.[54] Dengan
demikian terdapatlah teologi Islam, teologi Kristen, teologi
Yahudi dan sebagainya.
Pemikiran-pemikiran seperti itu kurang tepat karena
pandangan masing-masing penganut agama dan filosof bersifat
sepihak. Pendirian yang lebih baik dan lebih berfaedah adalah
pendirian seorang penganut suatu agama yang bersedia
mendengarkan uraian tentang paham atau agama lain dan meminta
bukti dari paham atau agamanya itu.
Seseorang memerlukan kepiawaian
dalam menge-mukakan argumen, memahami teknik analisa serta
menge-tahui sejumlah bahan pengetahuan untuk memikirkan se-gala
sesuatu secara logis, termasuk setiap problem kehi-dupan yang
ada hubungannya dengan hal itu.[55] Melihat
sesuatu itu memerlukan pemikiran luas, dan jauh dari emosi.
Tetapi harus disadari bahwa agama pada satu sisi memang ditandai
dengan unsur-unsur yang bersifat memi-hak kepada keyakinannya
sendiri. Tanpa ada sifat memi-hak, agama kadang-kadang kurang
terasa maknanya.
|